ANALISA
KRITIS SILA KETUHANAN YANG MAHA ESA:
SPIRITUALITAS
BANGSA BERKETUHANAN YANG BERKEADABAN
Dosen
Pembimbing:
Bapak
Bartolomeus Samho
Fakultas Filsafat
Universitas Katolik Parahyangan
Disusun
oleh:
Stanislaus
Ryo Zenna
Pendahuluan
Ketuhanan yang Maha Esa
adalah sila pertama dari Pancasila yang dalam perjalanan sejarah kehidupan
bangsa Indonesia mengalami banyak dinamika kontradiktif. Eksistensi sila
tersebut sebagai salah satu dasar filsafat negara Republik Indonesia mengalami
berbagai macam interpretasi dan manipulasi politik. Bahkan, peri Ketuhanan yang
berkeadaban seringkali direduksi, dibatasi dan dimanipulasi demi kepentingan
politik kelompok tertentu saja. Fenomena ini menjadi gambar yang jelas bahwa
sila Ketuhanan yang Maha Esa belum secara integral menjadi bagian yang hidup
bangsa. Dengan kata lain, ia belum sungguh menjadi spiritualitas yang dipahami
dan dihidupi oleh setiap warga negara Indonesia. Diperlukan suatu analisa
kritis guna menemukan penghayatan yang benar atas nilai-nilai Pancasila, yang
bersumber pada pemikiran Sukarno sebagai pelopor penggalian nilai-nilai
Pancasila dan pemikiran beberapa tokoh ahli yang ditulis dalam berbagai
referensi.
Dalam karya tulis yang
berjudul “Analisa Kritis Sila Ketuhanan Yang Maha Esa: Spiritualitas Bangsa
Berketuhanan yang Berkeadaban” ini, penulis akan memaparkan makna umum
spiritualitas, bagaimana ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ dimaknai sebagai
spiritualitas, napak tilas sila pertama tersebut dalam pemikiran Bung Karno,
Eksistensi sila ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ ditengah pluralitas agama, resistensi
peri Ketuhanan yang dihayati bangsa Indonesia dalam dominansi agama di
Indonesia, dan relevansi ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ dalam kehidupan bangsa. Penulisan
karya tulis ini bertujuan untuk membuka lebih luas cakrawala pemikiran analitis
atas nilai-nilai Pancasila, khususnya Ketuhanan yang Maha Esa sebagai
spiritualitas yang penting untuk dihidupi oleh segenap rakyat Indonesia.
Makna Umum ‘Spiritualitas’
dalam Konteks Hidup Selibat
Berdasarkan
Etimologinya, spiritualitas berasal dari kata spirit yang berarti roh, energi,
kekuatan penggerak. Roh sendiri berasal dari bahasa Ibrani: Ruah, yang berarti
hembusan angin. Maka hal pertama yang
dapat disimpulkan defenisi spiritualitas ialah; Hal/Ikhwal mengenai spirit.
Kemudian, spiritualitas yang berkaitan erat dengan sifat manusiawi yang
mengarah kepada sang pencipta, menurunkan beberapa pemahaman makna
spiritualitas yaitu cara hidup manusia dihadapan Allah dengan segala kelebihan
dan kekurangannya. Manusia harus menerima apa yang ada dalam dirinya baik
kelebihan maupun kekurangan-kekurangan yang telah ia miliki. Dan kemudian yang kedua adalah usaha dan kemampuan untuk menjajarkan diri
dengan kehendak Allah, dalam hal ini, manusia adalah ciptaan Allah sendiri yang
memiliki akal budi, dan spirit atau semangat untuk selalu berusaha dalam segala
hal, usaha yang dimaksud adalah mau sejajar atau dekat selalu dengan Allah
sebaga penciptaNya. Yang ketiga
adalah; suatu hal dimana Allah hadir dalam hidup manusia, dan manusia mau
terbuka dan bersedia atas campur tangan Tuhan dalam hidup. Maka hal umum dari
definisi spiritualitas itu adalah sebagai relasi yang intim atas dasar cinta
kasih antara manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam ciptaan yang terarah kepada
Tuhan yang diwujudnyatakan dalam hidup sehari-hari. Spiritualitas ini sungguh
sangat membatu, karena mampu menyadari manusia untuk terus menerus
merefleksikan hidup yang dijalani, dalam contoh hal ini ialah sebagai kaum
religius. Yang harus disadari oleh seorang yang memilih jalan hidup khusus
secara biarawan adalah bahwa ia telah menjadi seorang religius dan berada
dibiara; tempat dimana benih itu ditanamkan dan berbuah sehingga menghasilkan
buah yang baik[1].
Oleh karena itu supaya
benih itu tumbuh dan berbuah dengan baik maka haruslah tunduk dan taat pada
pelaku-pelaku utama yaitu para pastor, Roh Kudus, dan Formator. Pertama pastor; mereka adalah
orang-orang yang juga membantu setiap orang yang baru mumulai hidup
spiritualitas agar selalu menghayati hidup spiritual didalam kehidupan
membiara. Kedua, Roh Kudus; Roh yang
yang harus kita hidupi dalam diri kita agar semakin lurus jalan yang ditempuh,
“tidak berbelok arah”. Ketiga,
Formator; adalah mereka yang selalu mendidik, atau menuntun kita agar kita
menjadi seorang religius yang baik dan tetap mempertahankan hidup spiritualitas
kita sebagai seorang religius[2].
Mereka juga bisa dianggap sebagi Roh Kudus juga yang selalu mengarahkan kita
kepada kehidupan yang baik, yang lurus, dan tidak beberbelok kearah
spiritualitas-spiritualitas yang tidak sepatutnya kita jalani seperti hidup spiritualitas
di luar Biara. Maka, mereka (formator) akan selalu membimbing, menuntun kita
agar semakin disadari dan membedakan antara kehidupan spiritualias luar dan
spiritualitas didalam biara. Tentunya diluar biara sangat jauh berbeda dengan
kehidupan di dalam membiara. Spiritualitas di luar itu tidak ada
larangan-larangan untuk berbuat segala sesuatu dalam kehidupan kita
sehari-hari, sedangkan spiritualitas yang kita hidupi sebagi sorang religius,
tentunya ada larangan-larang, dalam hal ini kita hidup sesuai dengan
spiritualitas kita dalam Ordo masing-masing. Oleh karena itu, spiritualitas yang kita hidupu atau
jalani dalam hidup membiara terdapat beberapa bidang-bidang pembinaan yang
membatu mengarahkan kita untuk hidup selaras dengan kehidupan dalam spiritualitas
Ordo, seperti berikut.
Pertama; Kepribadian.
Kematangan diri seseorang itu sangat perlu yaitu seseorang harus menunjukan
kedewasaanya. Misalnya, sseorang yang sudah lama hidup diluar, tentunya akan
sangat sulit ketika ia berada dalam biara. Maka dari itu, spiritualitas yang
ada dalam hidup membiara tentu harus diranamkan dalam dirinya agar mampu
merubah kepribadiannya agar menjadi atau selaras dengan spiritualitas dalam
Ordo tersebut, seperti dulunya menjadi
orang yang hidup secara individual kini harus menjadi orang yang harus hidup
dalam kebersamaan. Dan bukan hanya menyangkut hidup idividual atau komunal
tetapi juga mengenai sifat atau karakter. Kepribadiannya harus diolah terutama
karakter agar tidak menjadi orang yang egois atau atau menganggap diri hebat
tetapi mau menjadi orang yang satu atau sama dengan orang lain. [3]
Kedua.
Disampiing
mengolah kepribadian agar semakin bertumbuh dengan baik sesuai dengan
spiriritualitas yang di hidupi maka,
perlu juga di tanamkan hidup rohani yaitu bukan hanya mengembangkan
perasaan-perasaan religious tetapi mengembangkan hidup yang berpola injil. Tiga
nasihat injil yang harus kita jalankan
dalam hidup kita sebagai seorang religius
adalah: (1) “Ketaatan”; yaitu taat pada aturan yang ada komunita, dan juga taat
pada sesama, taat pada atasan, taat pada formator, taat pada Allah, taat mati;
dalam arti saya sebagi seorang religius, sebagai pengikut Kristus, saya harus
mengabdi dan taat sampai mati. Dari semua ketatan-ketaatan inilah yang dapat
membentuk kita menjadi manusia yang baik
sesuai denagn spiritualitas yang kita hidupi[4].(2)
“Selibat/Keperawanan”; yaitu penyerahan diri penuh dan/total
dengan hati tak terbagi kepada Allah. Ketika sudah mengabdikan diri atau
menyerahkan diri kepada Kristus maka kitalah milik Kristus bukan milik yang
lain. Dalam hal ini sorang religius tidak boleh ikut campuir dalam hal-hal
duniawi seperti hidup berkeluarga, berpacaran atappu berhubungan dengan wanita
dalam arti bersetubuh, karena menjadi seorang religius berarti hidup selibat
atau dapat dikatakan bahwa kitalah milik Kristus, kita akan hidup sampai mati
bersama Kristus[5].
(3) “Kemiskinan”;
yaitu solidaritas terhadap sesama, tidak ada milik pribadi, segala yang kita
miliki menjadi bersama. Hidup Kominitas; hidup dalam persaudaraan harus terbuka
satu dengan yang lain[6].
Keterbukaan ini melalui corectio fraternal, karena panggilan kita untuk
berkomunitas adalah supaya tidak sombong atau senag bertengkar, menjadi orang
yang rendah hati, tulus dan juga terbuka pada relasi-relasi yang jernih atau
bersifat persaudaraan. Oleh Karena itu, dapat disimpulkan bahwa spiritulaitas
adalah hal ikwal tentang spirit atau tentang Allah yang menggerakkan hidup
manusia tersedia atau terbuka atau mau digerakan, karena menyangkut manusia
maka spiritualitas terwarna oleh spiritualitas tenatang kemanusiaan.
Spiritualitas yaitu roh, daya, atau kekuatan yang mampu menuntun, menggerakan
kita unntuk menjadi manusia yang yang baik dihadapan Allah[7].
Ketuhanan yang Maha Esa sebagai Spiritualitas
Ketuhanan yang Maha Esa bukan saja bangsa Indonesia BerTuhan, tetapi
masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan, Tuhannya Sendiri. Yang
Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang Islam bertuhan
menuru petunjuk Nabi Muhamad. Begitu juga
agama- agama yang lainnya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan.
Hendaknya Negara Indonesia ialah Negara
yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa.[8]
Dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia menyatakan
kepercayaannya dan bertagwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan oleh karenanya
manusia Indonesia percaya dan tagwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan
agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab. Didalam kehidupan masyarakat Indonesia dikembangkan sikap hormat
menghormati dan bekerjasama antara pemeluk-pemeluk agama dan penganut-penganut
kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga dapat selalu dibina kerukunan hidup
diantara sesame umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Sadar bahwa agama dan kepercayaan terhadapa Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah
yang menyangkut hubungn pribai dengan Tuhan Yang Maha Esa yang dipercayai dan
diyakininya, maka dikembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan
ibadah sesuai agama dan kepercayaannya dan tidak memaksa sesuatu agama dan
kepercayaannya itu kepada orang lain[9]. Itulah sebabnya sila
ketuhanan ini dijadikan basic/fondasi
utama yang mewajibkan kita untuk mengakui bahwa Tuhan yang Maha Esa, sebagai awal
atau pencipta,, pemelihara, dan penyelenggara dari segala yang ada. Dengan
demikian kita diwajibkan untuk hidup berlaku menurut keyakinan itu. Sila ini
merupakan asas hidup, kewajiban, yang menjadi pedoman hidup[10].
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa sila ketuhanan adalah kewajiban asasi bangsa kita yang
mengharuskan kita berlaku menurut keyakinan, yang mengakui adanya Tuhan Yang
Maha Esa, sebagai pencipta segala yang ada, sekaian makhluk, baik yang kelihatan
maupun yang tak kelihatan, Dengan sila ini ditegakan bahwa pengakuan adanya
Tuhan Yang Maha Esa itu adalah Dasar Negara Republik Indonesia. Sebab itulah
Undang-Undang Dasar ditekankan,/ditegaskan lagi berdasarkan atas Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Tuhan Pencipta
Kita harus menyadari bahwa pangkal pengerak-penggerak dan penyebab
gerak pertama dari segala yang gerak dan perubahan atau peralihan, penyebab
peralihan dari baka ada kepada “nyata”
dan dari bakal jadi kepada “nyata jadi”, singkatnya dari potensi ( kebaklan)
kepada aktus (ada yang nyata), orang akan tiba kepada penggerak pertama yang
kita sebut ialah Tuhan.
Kalau kita percaya Tuhan Pancasila itu adalah Pencipta, maka
sebagaimana kita telah sebutkan dalam pembuktian tentang adanya Tuhan, semua makhluk diluar
Tuhan adalah makhluk yang “ bisa ada atau tiada”, kita juga harus pencaya bahwa
Tuhanlah sumber kebangsaan dan Negara kita yakni Negara Republik Indonesia.
Sebab itu dikatakan dalam Kitab orang Kristen “segala sesuatau dijadikan oleh
Dia dan tanpa Dia tak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah
dijadikan (Yoh 1,3). Dan karena “Ia memberi perintah, maka semuanya tercipta”
(Mzm 148,5). Disini semakin jelaslah bahwa Tuhan merupakan asas dari segala
yang ada, termasuk juga pancasila yang merupakan Dasar Negara Republik Indonesia[11].
Tuhan pemelihara segala makhluk
Pemelihara berarti mempertahankan adanya sesuatu, tidak
membinasakannya atau dengan mempertahankan adanya secara langsung. Tuhan
memelihara ciptan-Nya. Negara Indonesia juga harus memelihara segala yang ada
dalam negaranya tidak merusak yang ada, tetapi menumbuhkembangkan segala yang
Negara miliki, membangun bangsa yang adil dan makmur. Meniadakan peperangan,
korupsi, membuka lapangan kerja bagi para penganggur dan sebagainya. “Tuhan
tetap menjaga, memegang, dan mengadakan makhluk-makhluk dengan kehendakNya yang
mahakuasa” (kitab Salomo 11, 25-27)[12].
Tuhan itu Esa (Keesaan Tuhan)
Keesaan Tuhan merupakan tuntutan kodratNya sebagai Tuahn. Kalau ada
banyak Tuhan yang tak bergantung satu sama lain, maka mereka bukan Tuhan,
karena tak satupun memiliki segala kesempurnaan
tuhan-tuhan itu didalam dirinya. Tuhan yang menciptakan segala alam ini
memperhatikan itu semuanya. Dan untuk keselamatan manusia dan kemanusiaan
(kebudayaan), maka diutuslah manusia-manusia istimewa yaitu nabi-nabi dan
rasul-rasul ke tiap-tiap pelosok dan negeri dimana ada manusia bahwa gunung, hutan, sumur, laut dan
lain-lainnya itu bukan Tuhan. Tetapi
Tuhanlah yang mengadakan semuanya itu.
Maha tunggal Ia, Mahaesa Ia, tidaklah ada lain bernama Tuahn selain
Dia. Kepada Allah ialah kita manusia harus menyembah dan memuja dan kepadaNya
pulalah kita memohon dan meminta tolong (Bey Arifin “mengenai Allah” 1961,
Bandung, halaman34)[13].
Dalam pidatonya Sukarno memberi penegasan, bahwa Tuhan baginya ada.
Malahan baginya Tuhan adalah suatu realitas yang nyata. Dalam
sembahyang-sembahyangnya dia bebicara kepada Tuhan sama seperti kalau kita berdoa kepada Tuahn kita.
Apa yang beliau minta kepada Tuhan, diberikan kepadanya. Hal-hal semacam itulah
yang memberi keyakinan kepada Bung Karno bahwa Tuhan itu ada.
Bagaimana seluruh rakyat Indonesia pada garis besarnya? Kalau pada
garis besarnya Bung Karno telah tahu, telah salami, bahwa secara historis, dia
telah melihat sejarah keagamaan, pada garis besarnya rakyat Indonesia ini
percaya kepada Tuhan. Bahkan Tuhan yang sebagai yang kita kenal didala
agama-agama kita masing-masing. Dan formulering Tuhan yang maha Esa bisa
diterima oleh semua golongan agama di Indonesia ini. Kalau kitamengecualikan
elemen agama ini, kita membuang salah
satu elemen yang bisa memersatukan batin bangsa Negara Indonesia dengan cara
yang semesra-mesranya. Kalau kita kita tidak memasukkan sila ini kita telah
kehilangan salah satu Leitstar yang utama, sebab kepercayaan kita kepada Tuhan
ini bahkan itulah yang menjadi Leitstar kita yang utama, untuk menjadi bangsa
yang mengejar kebajikan, satu bangsa yang mengejar kebaikan. Bukan saja dalam
meja statis, tetapi juga Leitstar dinamis menuntut kepada kita supaya elemen
ke-Tuhanan ini dimasukkan. Danh itulah sebabnya maka dalam Pancasila elemen
ke-Tuhanan ini dimasukkan dengan nyata dan tegas[14].
Napak Tilas Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pemikiran Bung Karno
Pancasila adalah dasar filsafat negara Republik Indonesia yang secara
resmi disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 dan tercantum dalam
pembukaan UUD 1945, di undangkan dalam berita Republik Indonesia tahun II No. 7
bersama-sama dengan batang tubuh UUD 1945. Nilai-nilai pancasila yang sebenarnya
sudah ada pada bangsa Indonesia sejak
zaman dahulu kala sebelum bangsa Indonesia belum mendirikan negara, yang berupa
nilai-nilai adat-istiadat, kebudayaan serta nilai-nilai religius. Nilai-nilai
tersebut telah ada dan melekat serta teramalkan dalam kehidupan sehari-hari
sebagai pandangan hidup, sehingga materi pancasila yang berupa nilai-nilai
tersebut tidak lain adalah dari bangsa Indonesia sendiri, sehingga bangsa
Indonesia kuasa materialis pancasila. Nilai-nilai tersebut
kemudian diangkat dan dirumuskan secara formal oleh para pendiri negara untuk
dijadikan sebagai dasar filsafat negara Indonesia. Proses penyusunan materi Pancasila secara
formal tersebut dilakukan dalam sidang BPUPKI pertama, sidang panitia “9”,
sidang BPUPKI kedua, serta akhirnya disyahkan secara yuridis sebagai dasar
filsafat negara Republik Indonesia[15].
Sila Ketuhanan adalah asas dasar yang mewajibkan kita untuk mengakui
adanya Tuhan Maha Esa, sebagai pencipta, pemelihara dan penyelenggara dari
segala yang ada (baik yang kelihatan maupun yang tak kelihatan, baik yang hidup
maupun yang tak bernyawa, baik yang berbudi maupun yang tidak) kalau kita
pemilik dan pendukung pancasila, kita mesti berkeyakinan demikian. Dan dari
sebab itu kalau kita belum meyakini kebenaran ini “bertanyalah kepada binatang
maka engkau akan diberinya pengajaran, kepada burung di udara, maka engkau
diberinya keterangan. Atau bertutur kepada bumi, maka engkau diberinya
pengajaran bahkan ikan di laut akan bercerita kepadamu.
· Siapa di antara semuanya itu yang tidak tahu,
bahwa tentang Alllah yang melakukan itu....(bibel, Ayub,12,7-9).
· Langit menceritakan kemulian Allah dan
cakrawala membertitakan pekerjaan tanggan-Nya, (bibel, Mzm, 19,2).
Jadi,
juga dengan pemikiran budi, manusia bisasamp kepada pengetahuan akan adanya
Tuhan. Di katakan “bisa” dari kenyataan tidak semua orang sampai kepada-Nya
melalui pemikiran budi sendiri, melaikan melalui ajaran[16].
Menurut pandangan Sukarno tentang Ke-Tuhan yang digali dalam diri
bangsa Indonesia adalah sebagai berikut;
“Ada orang berkata; pada waktu Bung Karno mempropagandakan panca sila,
pada waktu ia menggali, ia mengalinya kurang dalam. Terang-terangan yang
berkata demikian dari pihal islam. Dan saya tegaskan, saya orang islam. Tetapi
saya menolak perkataan bahwa pada waktu saya menggali di dalam jiwa dan
kepribadian bangsa Indonesia kurang dalam menggalinya. Sebab dari pihak muslim
dikatakan, jikalau Bung Karno menggali dalam sekali, ia akan mendapat galiannya
itu islam. Sebaliknya saya berkata penggalian saya itu sampai zaman sebelum ada
agama islam. Saya gali sampai zaman Hindu dan Pra-Hindu. Masyarakat Indonesia
ini boleh saya gambarkan dengan saf-safan. Saf ini di atas saf itu, di atas saf
itu ada saf lagi. Saya melihat macam-macam saf. Saf Pra-Hindu, yang pada waktu
itu kita telah bangsa yang berkultur dan bercit-cita. Berkultur sudah, beragama
sudah hanya agamanya lain dengan agama sekarang. Jangan kira bahwa kita pada
zaman Pra-Hindu adalah bangsa yang biadab. Jadi saya menolak perkataan bahwa
kurang dalam penggalian saya. Kalau ini saya pakai sebagai dasar statis dan
laitstar dinamis, insya Allah, seluruh rakyat Indonesia bisa menerima, dan di
atas meja statis dan leitstar dinamis itu rakyat Indonesia seluruhnya bisa
bersatu padu. Ke-Tuhanan. Salah satu karakter bangsa kita, corak, jiwa, kita
baik di dalam zaman saf kesatu, saf kedua, saf ketiga dan saf keempat, bahwa
bangsa Indonesia selalu hidup didalam alam pemujaan daripada satu hal yang
kepada hal itu ia menaruh segenap harapan, kepercayaan”[17].
Pada dasarnya rakyat Indonesia percaya adanya Tuhan. Bahkan Tuhan yang
sebagai yang kita kenal di dalam agama, agma kita. Tuhan yang maha esa bisa
diterima oleh semua golongan agama di Indonesia ini. Kalau kita mengecualikan
elemen agama ini, kita membuang salah satu elemen yang bisa mempersatukan batin
bangsa Indonesia dengan cara yang semesrah-mesrahnya. Kalau kita tidak masukkan
sila ini, kita kehilangan salah satu leitstar yang utama. Sebab kepercayaan
kita pada Tuhan ini yang menjadi yang utama. Untuk mengejar kebajikan, satu
bangsa yang yang mengejar kebaikan. Itulah sebabnya di dalam pancasila, elemen
ketuhanan ini dimaksudkan nyata dan tegas.
Ketuhanan yang Maha Esa dalam Pluralitas Agama
Ketuhanan
yang Maha Esa bagi bangsa indonesia menuntut sikap harmoni antar agama.
Keharmonisan dalam beragama sangat berpengaruh dalam kesatuan bangsa indonesia
itu sendiri. Kesatuan suatu bangsa tampak dalam sikap saling menghormati.
Sikap menghormati menyangkut sikap
toleran dalam perbedaan sehingga menandakan perkembangan suatu bangsa yakni
untuk kesejahteraan bangsa dalam menghargai harkat dan martabat manusia.
Pluralitas agama menurut sukarno
Ketuhanan yang Maha Esa salah satu dasar penting indonesia merdeka.
Dasar tersebut mengajak bangsa indonesia
sebagai bangsa yang bertuhan. Bangsa yang bertuhan mengakui adanya sosok
yang tertinggi diluar dirinya yang menguasai segala tingkah laku manusia.
Prinsip ketuhana ini sukarno menyatakan bahwa bukan saja bangsa indonesia yang
bertuhan, tetapi masing-masing orang indonesia hendaknya bertuhan dengan
Tuhannya sendiri. Yang kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk isa Almasih,
dan yang islam bertuhan berdasarkan petunjuk nabi Muhammad s.a.w., orang buddha
menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita
semuanya bertuhan. Hendaknya negara indonesia ialah negara yang tiap-tiap
orangnya dapat menyembah Tuhan dengan cara yang leluasa. Dari sebab itu sukarno
mengidealkan bangsa indonesia sebagai bangsa yang taat dan hormat kepada tuhan[18].
Maka dengan ketatan orang indonesia pada tuhannya sendiri menimbulkan rasa
hormat pada sesama manusia sehingga sikap toleransi terjalin diantara anggota
warga negra indonsia walaupun kepercayaannya berbeda. Dengan demikian sukarno
pun menginginkan supaya bangsa indonseia hidup secara berkebudayaan yakni
dengan tiada egoisme agama. Egoisme agama sangat diperhatikan oleh sukarno demi
menjaga kesatuan bangsa indonesia yang plural.Oleh karena bangsa indonesia
bangsa yang plural untuk itulah sukarno mengajak bangsa indonesia untuk hormat
pada agama sesama. Bangsa indonesia juga bukan hanya plural dalam agama
melainkan juga plural dalam ras dan budaya. Maka dengan kata lain sukarno
mengajak bangsa indonesia mengamalkan dan menjalankan agama, baik islam,
kristen dengan cara berkeradaban. Apakah cara yang berkeradaban itu? Ialah
hormat-menghormati satu sama lain.[19]
Dari sebab itu indonesia dapt dikatakan sebgai bangsa yang menghargai kebebasan
agama. Kebebasan beragama sangat dijunjung tinggi oleh bangsa indonesia sebagai
nilai-nilai yang penting untuk dikatakan.
Ketuhanan yang tidak ideal dalam pluralitas
agama
Dalam pluralitas agama tidak tertutup kemungkinan terjadi salah
pengertian dalam melihat agama yang lain. Pluralitas agama bagi bangsa Indonesia
sendiri banyak mengalami berbagai persoalan bagi para pemeluknya. Akan tetapi
benturan antarumat beragama menjadi warna khas baik hubungan antarpemeluk agama
maupun antar pemeluk keyakinan dalam sebuah agama. Jujur harus diakui bahwa
selain memberikan kontribusi bagi kehidupan, tidak bias diabaikan juga pengaruh
buruk agama-agma bagi hubungan antarmanusia. Sejarah mencatat bahwa agama
seringkali bersifat toleran terhadap agama lain dan perbedaan pendapat didalam
dirinya, dan mempunyai kecenderungan terhadap berbagai bentuk kekerasan yang
terjadi. Bahkan ketika membagun hubungan dengan rezim-rezimnya yang operasif,
agama-agama berubah menjadi sangat tidak manusiawi dan seringkali menggunakan
nama Tuhan untuk mengadili tindakan-tindakan jahat, perbudakan, perang dan anti
kebebasan.[20]
Dapat disebutkan beberapa fakta domestik yang menjadi gambaran suram hubungan
antar-agama di Indonesia, misalnaya konflik Maluku, konflik poso, perusakan dan
pelemparan terhadap beberapa rumah ibadah, dan sekolah.[21]
Dalam buku pancasila
kekuatan pembebas mengatakan ada tiga hal yang menjauhkan manusia yang beragama
dari cita-cita untuk menjalankan kehidupan yang penuh dengan kebajikan,
pertama, perasaan diri sebagai satu-satunya umat pilihan yang telah
diselamatkan. Perasan puas diri sendiri yang diberikan agama diperlihatkan
dalam pembenaran yang tertutup ataupun terang-terangan terhadap keangkuhan
manusia. Ini bias menyebabkan orang tidak lagi mengembangkan tanggung jawab
moral, apalagi menghindari untuk mengulangi tindakan tidak bermoral yang
terlampau dianggap sebagi yang benar. Kedua, adanya kepercayaan akan
pengampunan, yang melaluinya kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan seseorang dapat dihapuskan. Orang beragama
bias dengan sangat muda bersembunyi atau melarikan diri kedalam sebuah bentuk
pengampunan atas kesalahan dan dosanya sebagai sarana rekonsiliasi dengan Allah,
bukan saja mendapatkan pengampunan, melainakn juga upah yang besar atas
pelanggaran dan kejahatan yang telah mereka lakukan. Ketiga, sejak awal oarng
beragama telah berulang kali gagal dalam menerjemahkan dan menjalankan ideal
kepercayaan dan ajaran agama mereka. Dengan keyakinan bahwa tuhan telah berada
dipihak mereka telah mendorong sejarah panjang konflik antar-agama dan pandangan bahwa perang adalah jalan
keluar yang tak terelakan.[22]
Keharmonisan pluralitas agama
Kehidupan beragama yang sehat dalam suatu bangsa memberikan pengakuan
terhadap kebebasan beragama. Dari sebab itu berdasarkan ketuhanan yangmahaesa
bagi bangsa indonesia menandakan bangsa yang mengakui kebebebasan beragama.
Kebebasan beragama menuntut sikap toleran terhadap umat beragama dengan
menjauhakan sikap kecenderungan menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan
masalah sosial yang ada. Sikap toleran terrealisasikan apabila umat beragama menghindari
tiga hal yang menjauhkan manusia dari sikap kebajikan.
Resistensi Sila Ketuhanan Yang Maha Esa di Tengah Dominansi Agama
di Indonesia
Indonesia bukanlah sebuah negara berbasis agama. Ia berdiri diatas
peri kebangsaan, kemanusiaan (internasionalisme), demokrasi, kesejahteraan
sosial, dan ketuhanan yang maha esa[23]. Realitas yang dihadapi
bangsa Indonesia, yang seharusnya diterima dan bukan dianggap sebagai ‘bahaya’,
ialah kemajemukan dan multikulturalitas. Beragam ras, suku, etnis, agama, dan
status sosial bersama-sama hidup serta berkembang dalam wilayah negara
Indonesia. Itulah sebab mengapa
Indonesia disebut dengan istilah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Bangsa dan Negara Indonesia tidak boleh menghianati Bhinneka Tunggal Ika sebagai salah satu dari empat konsensus nasional yang mendasari pendirian Indonesia
merdeka. Walaupun bangsa Indonesia juga mengenal kelompok mayoritas tertentu
yang hidup di wilayah tertentu pula dalam realitas konkret, dominansi dan selfishness tidak diperkenankan
memperoleh tempat dalam idealisme kehidupan berbangsa dan bernegara.
Akan tetapi, sejak awal pendirian negara Indonesia yang merdeka,
beragam paradigma telah berusaha menghubung-hubungkan negara dan agama
tertentu. Permasalahan ini pun tidak luput dari proses pengukuhan Pancasila
sebagai dasar negara, terutama pada sila yang pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dapat dibenarkan jika hubungan agama dan negara di Indonesia berada pada posisi
saling membutuhkan dan bersifat timbal balik (paradigma simbiosis mutualisme);
yaitu agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan
mengembangkan agama, sekaligus pula negara memerlukan agama sebagai sumber
moral, etika, dan spiritualitas warga negaranya.[24] Menjadi paradigma yang
salah jika simbiosis itu didasarkan pada ajaran agama tunggal, dan tidak
memperhatikan hak manusia untuk memeluk agama secara bebas serta menjalankan
hidup sesuai ajaran agama yang diimani.
Sukarno sebagai proklamator kemerdekaan RI dan salah satu bapak
pelopor dasar negara Indonesia merdeka pun merasakan kontradiksi antara kaum
nasionalis sekuler dan kaum nasionalis berbasis agama (Islam). Sukarno dinilai
oleh kaum nasionalis berbasis agama tidak menggali secara mendalam untuk
Pancasila sebagai dasar negara. ‘Ketuhanan yang maha esa’ dianggap tidak
mewakili aspirasi mereka sebagai penganut agama Islam yang menjadi mayoritas
bangsa Indonesia. Padahal, Sukarno sendiri menyatakan bahwa Pansila adalah buah
penggalian dan permenungan yang mendalam dari penghayatan iman pribadi bangsa
Indonesia sejak masa pra-Hindhuisme. Sukarno melihat realitas Indonesia yang
majemuk dan ber-Tuhan secara berkeadaban.[25] Sukarno menjunjung tinggi
keberagaman religiusitas dan cara beragama rakyat Indonesia yang plural. Sila
‘Ketuhanan yang Maha Esa’ yang dimaksudkan oleh Sukarno bukanlah ‘Keagamaan
yang Maha Esa’, sebab ia hendak menunjukkan bangsa Indonesia yang bertuhan itu
sebagai bangsa yang mampu saling menghormati dan solider antar orang-orang beragama,
bukan bangsa yang memaksakan ajaran agama masing-masing. Dengan demikian, makna
Ketuhanan yang dihayati bangsa Indonesia adalah Ketuhanan yang berkebudayaan,
berbudi pekerti luhur, dan memberi tempat pada realitas kemajemukan.[26]
Oleh sebab itu, resistensi (ketahanan) sila ‘Ketuhanan yang Maha Esa’
haruslah dijaga dan dipertahankan dari berbagai pihak yang berkehendak untuk
memanipulasi, atau bahkan meruntuhkan makna ‘Ketuhanan’ yang telah dihidupi
bangsa Indonesia sejak waktu yang lampau. Agama dan negara harus senantiasa
mengupayakan kekuatan integratif bangsa, yakni dengan bersikap inklusif dan
toleran terhadap kodrat kemajemukan Indonesia. Setiap komponen bangsa harus
bersatu untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi, dominansi, etnosentrisme,
dan egoisme kelompok/golongan yang muncul dari pemahaman yang salah atas sila
pertama Pancasila. Untuk mewujudkan pola hubungan yang dinamis antara agama dan
negara di Indonesia, diperlukan cara-cara dialogis manakala terjadi
perselisihan pandangan antara kelompok masyarakat sipil atau antara warga
negara dengan negara.
Prinsip demokrasi yang dijalankan dengan benar juga sangat membantu
dalam menjaga resistensi sila ‘Ketuhanan yang Maha Esa’. Perilaku santun dalam
berdemokrasi dapat diwujudkan melalui sikap menghindarkan diri dari tindakan
main hakin sendiri, lebih-lebih dengan mengatasnamakan agama, kelompok, maupun
partai politik tertentu, untuk memaksakan kehendak individu maupun kelompok.
Membangun demokrasi adalah proses membangun kepercayaan (trust) publik.
Demokrasi yang dicita-citakan para pendiri bangsa Indonesia adalah tidak
sekadar kebebasan tanpa batas, tetapi kebebasan yang bertanggungjawab.[27]
‘Ketuhanan yang Maha Esa’, dengan kata lain, harus berkaitan dengan pemaknaan
sila-sila yang lain dari Pancasila. Resistensi Ketuhanan Indonesia adalah
Ketuhanan yang altruis, bukan Ketuhanan yang egois, otoriter, diktaktor, sarat
akan monopoli kepercayaan dan melahirkan kaum fundamentalis fanatik.
Relevansi “Ketuhanan yang Maha Esa” dalam Kehidupan
Bangsa Indonesia
Menurut Bung Karno[28],
salah satu karakter corak, jiwa bangsa
Indonesia, baik di zaman pra-Hindu, zaman Hindu, zaman Islam, maupun zaman
imperialis ialah bahwa bangsa Indonesia senantiasa hidup di dalam alam pemujaan
daripada sesuatu hal yang kepada hal itu ia menaruh segenap harapan atau
kepercayaan. Bangsa Indonesia percaya pada adanya zat yang baik, yaitu Tuhan.
Maka, pemakaian unsur Ketuhanan sebagai satu pengikat keseluruhan, tentu dapat
diterima. Sebaliknya, jika unsur Ketuhanan tidak dipakai sebagai satu alat
pengikat keseluruhan bangsa, maka pembentukan Pancasila sebagai dasar negara
Indonesia merdeka telah menghilangkan atau membuang satu elemen yang
fundamental dan inheren, bahkan yang sungguh masuk di dalam jiwa bangsa
Indonesia. Ini artinya, elemen Ketuhanan memiliki potensi yang bisa
mempersatukan batin bangsa Indonesia dengan cara yang semesra-mesranya.
‘Ketuhanan yang Maha Esa’ adalah leitstar yang utama, untuk menjadi satu
bangsa yang senantiasa mengejar kebajikan.
Dewasa ini, sila Ketuhanan yang Maha Esa dalam realitas
dunia sekuler hanya merupakan rangkaian kata-kata indah dengan berbagai teori
pemaknaan nilai. Peri Ketuhanan seringkali menjadi harta yang terpendam jauh di dalam tanah, atau bahkan
menjadi barang usang yang terlupakan oleh pemiliknya. Kenyataan itu tampak
dalam toleransi antar pemeluk agama yang masih rendah di berbagai daerah di
Tanah Air. Adanya dominansi dan eksklusivisme pemeluk agama tertentu yang
menekan dan memaksakan suatu paham agama kepada pemeluk agama lain menandakan
bahwa pemaknaan sila Ketuhanan yang Maha Esa masih jauh dari substansinya.
Kasus-kasus terorisme atas nama agama, tindakan kekerasan atas nama idealisme
agama, dan sikap menghakimi suatu kelompok pemeluk agama masih menjadi warna
kelam religiusitas kehidupan bangsa Indonesia. Itupun masih ditambah dengan
munculnya kelompok fundamentalis yang fanatik, radikal, dan frontal yang hendak
mendirikan suatu negara berbasis agama tertentu di atas Pancasila. Sungguh hal
ini seperti bermimpi di siang bolong
jika dibandingkan dengan realitas bangsa Indonesia yang majemuk dan plural.
Akan tetapi, peri Ketuhanan harus tetap
diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Ketuhanan yang Maha Esa, yang adalah bagian pertama dari Pancasila, merupakan
dasar filsafat Negara, pandangan hidup bangsa, serta ideologi bangsa dan
Negara. Ia harus diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat
berbangsa dan bernegara.[29]
Bagaimanapun, bangsa Indonesia sebagai bangsa yang ber-Tuhan secara berkeadaban
perlu senantiasa dilestarikan, dihidupi, dan di-revitalisasi. Realitas historis
bangsa Indonesia yang digali oleh Sukarno menyatakan bahwa bangsa Indonesia
adalah bangsa yang percaya kepada Tuhan, yang tampak dalam perjalanan hidup
spiritual mereka.[30]
Aktualisasi sila Ketuhanan yang Maha Esa dapat
dilakukan secara objektif maupun subjektif.[31]
Aktualisasi secara objektif artinya penanaman nilai-nilai Ketuhanan dalam
berbagai bidang kehidupan kenegaraan: kelembagaan negara, politik, ekonomi, hukum,
dan pendidikan. Sedangkan aktualisasi secara subjektif merupakan suatu bentuk
pengamalan Pancasila sebagai spiritualitas yang dihidupi masing-masing
individu. Aktualisasi secara subjektif atas nilai-nilai Ketuhanan berarti bahwa
masing-masing pribadi dalam setiap lapisan masyarakat harusah menjunjung tinggi
aspek moralitas yang diajarkan dalam religiusitas yang mereka imani. Setiap
pribadi yang mengaku sebagai warga negara Indonesia harus mampu bersikap
solider, toleran dan mawas diri agar memiliki moral Ketuhanan dan Kemanusiaan
sebagaimana terkandung dalam Pancasila.
Relevansi nilai-nilai Ketuhanan yang Maha Esa juga
harus dirasakan di dalam lingkup pendidikan dan pembinaan generasi muda.
Aktualisasi atas sila pertama ini dapat dilakukan dengan memberlakukan bidang
studi budi pekerti, etiket (tata karma), etika, dan pendidikan agama yang
mengacu pada penghayatan Pancasila secara benar dalam berbagai jenjang
pendidikan. Proses pembelajaran Pancasila melalui metode pembelajaran aktif,
kolaboratif, dan dinamis adalah salah satu upaya internalisasi nilai-nilai
Pancasila di kalangan pendidikan, peserta didik, dan masyarakat.[32]
Pancasila tidak boleh menjadi sesuatu yang asing bagi setiap warga negara
Indonesia, sebab ia lahir dari endapan kebudayaan yang pernah berkembang dan
hidup di wilayah Nusantara.[33]
Semua kelompok masyarakat Nusantara memiliki sumbangan terhadap lahirnya
Pancasila. Maka, melestarikan empat konsensus kebangsaan Indonesia: Pancasila,
NKRI, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika;
sama dengan melestarikan nilai-nilai Pancasila, termasuk didalamnya nilai-nilai
Ketuhanan yang Maha Esa.
Penutup
Menghidupi dan
melestarikan nilai-nilai Pancasila adalah tugas dan kewajiban setiap warga
negara Indonesia, tanpa terkecuali. Metode dan cara menghidupi masing-masing
nilai pun harus benar dan saling terkait satu sama lain. Ketuhanan yang Maha
Esa sebagai sila pertama mengartikan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
beriman pada Tuhan secara berkeadaban dan bertanggungjawab. Berkeadaban
dimaknai sebagai sikap yang humanistis, terbuka, inklusif, saling menghargai,
bermoral, toleran, dan solider sebagai satu bangsa. Sikap bertanggungjawab
menandakan bahwa Ketuhanan yang Maha Esa terinternalisasi secara otentik dalam
diri manusia, sehingga ia mampu mempertanggungjawabkan sikap dan perilaku
dirinya sebagai orang beriman pada Tuhan. Makna Ketuhanan yang integral dalam
Pancasila bukan untuk direduksi, dimanipulasi, dan dimonopoli untuk kepentingan
kelompok tertentu saja, melainkan suatu nilai bersama seluruh bangsa Indonesia
yang layak dihidupi sebagai suatu spiritualitas—Ketuhanan yang Maha Esa,
Ketuhanan yang berkeadaban, Ketuhanan yang altruistik.
DAFTAR PUSTAKA
Djebarus,
Vilulis. 1994. Pancasila Awal, Isi, dan
Makna. Bali.
Gayo, Iwan.
1986. Buku Pintar. Jakarta: Upaya
Warga Negara.
Kaelan, H. 2010.
Pendidikan Pancasila.
Yogyakarta:Paradigma.
Laku, Sylvester
Kanisius, dkk. 2012. Pancasila Kekuatan
Pembebas. Yogyakarta: Kanisius.
Sukarno. 1954. Tjamkan Pantja
Sila!: Pantja Sila Dasar Falsafah Negara. Jakarta:Balai Pustaka
Sunu. 2013.
Kuliah Mimbar “Spiritualitas” Tahun Orientasi Rohani Gabungan.
Ubaedillah, A.
dan Abdul Rozak. 2003. Pendidikan Kewarga[negara]an: Pancasila, Demokrasi, HAM, dan
Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media Group.
[1] Seminar Spiritualitas Tahun
Orientasi Gabungan 12 September 2013 oleh Pst. Sunu, Pr
[2] Seminar Spiritualitas Tahun
Orientasi Gabungan 19 September 2013 0leh Pst. Sunu, Pr
[3] Seminar spiritualitas tahun
orientasi gabungan 26 September 2013
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Sukarno, tjamkan panca sila!pantja sila dasar falsafah Negara (Jakarta:
Balai pustaka, 1964), hlm. 29.
[9] Iwan Gayo, buku pintar (Jakarta: Upaya Warga Negara, 1986), hlm. 6.
[10] Mgr. Vilulis Djebarus, SVD,
pancasila awal, isi dan makna (Bali,1994), hlm. 35.
[11] Mgr. Vilulis Djebarus, SVD, pancasila awal, isi dan makna (Bali,1994),
hlm.47.
[12] Mgr. Vilulis Djebarus, SVD, pancasila awal, isi dan makna
(Bali,1994), hlm. 51.
[13] Mgr. Vilulis Djebarus, SVD, pancasila awal, isi dan makna
(Bali,1994), hlm. 53.
[14] Sukarno, Tjamkan Panca Sila!Pantja Sila Dasar Falsafah Negara (Jakarta:
Balai pustaka, 1964), hlm.93.
[16] Mgr Vilulis Djebarus SVD Uskup
Denpasar, Pancasila Awal. Isi dan Makna (Bali-NTB 1994).
[17] Sukarno, Tjamkan Pantja
Sila!: Pantja Sila Dasar Falsafah Negara (Jakarta:Balai Pustaka,1964), hlm.
81.
[18]Sukarno,
Tjamkan Pantja Sila!: Pantja Sila Dasar
Falsafah Negara (Jakarta:Balai Pustaka,1964), hlm. 29.
[20]Sylvester Kanisius Laku, dkk., Pancasila Kekuatan Pembebas (Yogyakarta:
Kanisius, 2012), hlm.109.
[23] Sukarno, Tjamkan
Pantja Sila!: Pantja Sila Dasar Falsafah Negara (Jakarta:Balai
Pustaka,1964), hlm. 29.
[24] A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarga[negara]an: Pancasila, Demokrasi,
HAM, dan Masyarakat Madani (Jakarta: Prenada Media Group dan ICCE UIN
Syarif Hidayatullah, 2003), hlm. 133.
[25] bdk. Sukarno, Op.Cit., hlm.
79-81.
[26] bdk. Sukarno, Op. Cit., hlm.
29-30.
[27] A. Ubaedillah dan Abdul Rozak,
Op. Cit., hlm. 141-142.
[28]Sukarno, Tjamkan Pantja Sila!: Pantja Sila Dasar Falsafah Negara
(Jakarta:Balai Pustaka,1964), hlm. 67-93.
[29]Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta:Paradigma, 2010), hlm. 259.
[30]Sukarno, Op. Cit., hlm. 93
[31]Kaelan, Loc. Cit.
[32]A.
Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan
Kewarga[negara]an: Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani (Jakarta:
Prenada Media Group dan ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), hlm. 46.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar