penanganan rawan pangan
PROBLEMATIK PANGAN DI DAERAH
1. Pengertian Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan sebagian terjemahan istilah food security, ketahanan
pangan diberikan pengertian sebagai suatu kondisi ketersediaan pangan cukup
bagi setiap orang pada setiap saat dan setiap individu mempunyai akses untuk
memperolehnya baik secara fisik maupun ekonomi. Dalam pengertian ini ketahanan
pangan dikaitkan dengan 3 (tiga) faktor utama yaitu :
a.
Kecukupan (ketersediaan) pangan
b.
Stabilitas ekonomi pangan
c.
Akses fisik maupun ekonomi bagi individu untuk
mendapatkan pangan
Indonesia menerima konsep ketahanan pangan, yang dilegitimasi pada
Undang-undang pangan Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan Undang-Undang ini
ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemeintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang
Ketahanan Pangan. Indonesia
memasukkan mutu, keamanan, dan keragaman sebagai kondisi yang harus terpenuhi
dalam pemenuhan kebutuhan pangan penduduk secara cukup, merata dan terjangkau.
Kondisi Ketahanan Pangan yang diperlukan juga mencakup persyaratan bagi
kehidupan sehat. Definisi Ketahanan pangan sebagai termuat dalam Undang-undang
RI Nomor 7 Tahun 1996 adalah sebagai berikut :
“Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman,
merata dan terjangkau”.
Dari definisi diatas dapat dilihat bahwa swasembada merupakan bagian dari
ketahanan pangan. Meskipun demikian, pengertian ketahanan pangan dan swasembada
secara konsep dapat dibedakan. Kembali lagi ke pengertian ketahanan pangan yang
konsepsinya tidak mempersoalkan asal sumber pangan, apakah dari dalam negeri
atau impor. Ketahanan pangan merupakan sebagian dari ketahanan pangan. Meskipun
demikian, pengertian ketahanan pangan dan swasembada secara konsep dapat
dibedakan. Kembali lagi ke pengertian ketahanan pangan yang konsepsinya tidak
mempersoalkan asal sumber pangan, apakah dari dalam negeri atau impor.
Ketahanan pangan merupakan konsep yang komplek dan terkait dengan mata rantai
sistem pangan dan gizi mulai dari distribusi, produksi, konsumsi dan status
gizi.
Konsep ketahanan pangan (food security) dapat diterapkan untuk menyatakan
ketahanan pangan pada beberapa tingkatan : 1. global, 2. nasional, 3. regional
dan 4. tingkat rumah tangga di tingkat rumah tangga dan individu.
Ketahanan pangan rumah tangga didefinisikan dalam beberapa alternatif
rumusan :
a. Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan anggota rumah tangga dalam
jumlah, mutu dan beragam sesuai budaya setempat dari waktu ke waktu agar hidup
sehat.
b. Kemampuan rumah tangga untuk mencukupi pangan anggotanya dari produk
sendiri dan atau membeli dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat.
c. Kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari
waktu ke waktu agar hidup sehat (Usep Sobar Sudrajat, 2004).
Ketahanan pangan minimal harus dua unsur pokok, yaitu ketersediaan dan
aksebelitas masyarakat terhadap pangan (Bustanul Arifin, 2004). Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan :
a. Pangan adalah segala
sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang diolah maupun yang
tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi
manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang
digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan atau pembuatan makanan dan
minuman.
b. Pangan olahan adalah
makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau
tanpa bahan tambahan.
c. Sistem pangan adalah segala
sesuatu yang berhubungan dengan pengaturan, pembinaan, dan atau pengawasan
terhadap kegiatan atau proses produksi pangan dan peredaran pangan sampai
dengan siap dikonsumsi manusia.
d. Keamanan pangan adalah
kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan
cemaran kimia, biologis dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan
membahayakan kesehatan manusia.
e. Mutu pangan adalah nilai
yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi, dan
standart perdagangan terhadap bahan makanan, makanan dan minuman.
f. Gizi pangan adalah zat
atau senyawa yang terdapat dalam pangan yang terdiri atas karbohidrat, protein,
lemak, vitamin, dan mineral serta turunnya yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan
kesehatan manusia.
g. Kemasan pangan adalah bahan
yang digunakan untuk mewadahi atau membungkus pangan, baik yang bersentuhan
langsung dengan pangan maupun yang tidak.
h. Ketahanan pangan adalah
kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup.
2. Penyediaan Pangan
Penyediaan pangan tentunya dapat ditempuh melalui :
a. Produksi sendiri, dengan
cara mengalokasikan sumber daya alam (SDA), manajemen dan pengembangan sumber
daya manusia (SDM), serta aplikasi dan penguasaan teknologi yang optimal.
b. Import dari negara lain,
dengan menjaga perolehan devisa yang memadai disektor perekonomian untuk
menjaga neraca keseimbangan luar negeri.
Ketahanan pangan atau aksesibilitas setiap individu terhadap bahan pangan dapat dijaga dan ditingkatkan melalui pemberdayaan sistem pasar serta mekanisme pemasaran yang efektif dan efisien, yang juga dapat disempurnakan dan kebijakan tata niaga, atau distribusi pangan dari sentral produksi sampai ketangan konsumen. Akses individu dapat juga ditopang dengan oleh intervensi kebijakan harga yang memadai, menguntungkan dan memuaskan berbagai pihak yang terlibat. Intervensi pemerintah dalam hal distribusi pangan pokok masih nampak relevan, terutama untuk melindungi produsen terhadap anjloknya harga produk pada musim panen, dan untuk melindungi konsumen dari melambungnya harga kebutuhan pokok pada musim tanam atau musim paceklik (Bustanul Arifin, 2004).
3. Pengembangan Ketahan Pangan Khususnya di Tingkat Rumah Tangga
Pengembangan ketahanan pangan khususnya di tingkat rumah tangga, mempunyai
prespektif pembangunan yang sangat mendasar karena :
a. Akses pangan dan gizi
seimbang bagi seluruh rakyat sebagai pemenuhan kebutuhan dasar pangan merupakan
hak yang paling asasi bagi manusia
b. Proses pembentukan sumber
daya manusia yang berkualitas sangat di pengaruhi oleh keberhasilan untuk
memenuhi kecukupan pangan dan nutrisi
c. Ketahanan pangan merupakan
unsur trategis dalam pembangunan ekonomi dan ketahan tangan (BKP, 2006).
4. Ketahanan Pangan Terdiri dari Berbagai Elemen :
a. Ketersediaan pangan
b. Aksesibilitas yang menggambarkan kemampuan untuk menguasai pangan yang
cukup
c. Keamanan yang dapat
diartikan sebagai stabilitas (menunjukkan pada kerentanan internal seperti
penurunan produksi) dan keandalan (menunjukkan pada kerentanan eksternal
seperti flukuasi perdagangan internasional).
d. Keberlanjutan merupakan kontinuitas dari akses dan ketersediaan pangan
yang ditunjukkan oleh keberlanjutan usaha tani (Ali Khomsan dkk, 2004).
5. Situasi Ketahanan Pangan di Indonesia
Ketahanan pangan dan gizi menghendaki pasokan dan harga pangan yang stabil,
merata dan berkelanjutan, serta kemampuan rumah tangga untuk memperoleh pangan
yang cukup, serta mengelolanya dengan baik agar setiap anggotanya memperoleh
gizi yang cukup dari hari ke hari (Suryana, 2004).
Sejak kritis multidimensi tahun 1997, kemampuan Indonesia untuk memenuhi sendiri
kebutuhan pangan bagi penduduk terus menurun. Kenyataan yang ada menunjukkan
bahwa untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi bangsa Indonesia yang jumlahnya
lebih dari 210 juta jiwa, Indonesia harus mengimpor bahan pangan seperti beras
2 juta ton, jagung lebih dari 1 juta ton, kedelai lebih dari 1 juta ton, kacang
tanah lebih dari 0,8 juta ton, gula pasir 1,6 juta ton, ternak hidup setara 82
ribu ton, daging 39 ribu ton, susu dan produknya 99 ribu ton per tahun.
Selama kurun waktu 1997-2001, produktivitas padi menurun 0,38% per tahun,
juga beberapa komuditas pangan, pada periode ini juga terjadi pertumbuhan
permintaan pangan yang terus meningkat dan tidak diikut peningkatan produksi,
bahkan ada peningkatan kecenderungan penurunan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa
kebutuhan pangan tidak mampu dipenuhi dari produksi nasional. Sebagai
akibatnya, kebutuhan pangan harus dipenuhi dari impor. Hal ini merupakan
kondisi yang tidak baik karena impor menguras banyak devisa serta tidak
strategis bagi kepentingan ketahanan pangan nasional dalam jangka panjang (BKP,
2006). Kesenjangan antara ketersediaan dan konsumsi ini merupakan indikasi
lemahnya daya akses rumah tangga terhadap pangan. Disisi penyediaan pangan,
walaupun saat ini volumenya mencukupi, namun saat ini Indonesia
menghadapi tantangan yang cukup serius yaitu laju percepatan konsumsi, terutama
didorong oleh pertumbuhan penduduk yang lebih cepat dibadingkan laju
pertumbuhan produksi. (BKP, 2006).
6. Ketahanan Pangan di Tingkat Rumah Tangga
Ketahanan pangan ditingkat rumah tangga sangat berkaitan dengan faktor
kemiskinan. Ketahanan pangan terutama ditentukan oleh nilai ekonomis beras,
sebab beras merupakan komoditas paling penting di Indonesia, terutama bagi kelompok
sosial ekonomi rendah. Dengan demikian tingkat harga beras merupakan determinan
utama kemiskinan di tingkat rumah tangga. Kebijakan tentang harga beras
merupakan dilema bagi masyarakat baik produsen maupun konsumen. Harga beras
yang tinggi akan merugikan kelompok masyarakat yang murni sebagai konsumenn
seperti masyarakat perkotaan, sedangkan harga beras yang rendah akan merugikan
masyarakat petani di pedesaan sebagai produsen beras (Timer, 2004).
Ketahanan pangan di tingkat rumah tangga juga dipengaruhi oleh ketahanan
pangan di tingkat nasional dan regional, namun tanpa disertai dengan distribusi
dan aksesibilitas rumah tangga terhadap pangan, maka tidak akan tercapai
ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Oleh karena itu kompleknya permasalahan
dan faktor yang mempengaruhi, maka sampai saat ini belum ada cara yang paling
sempurna untuk menilai dan menerangkan semua aspek yang berkaitan dengan
ketahanan pangan.
Ketahanan pangan sangat ditentukan oleh faktor ketersediaan pangan.
Ketahanan pangan sangat ditentukan oleh faktor ketersediaan pangan, akses dan
utilisasinya terutama pada kelompok rentan (Valientes, 2004). Ketersediaan
pangan ditingkat rumah tangga merupakan faktor langsung yang mempengaruhi
ketahanan pangan ditingkat rumah tangga. Ketersediaan pangan lebih mengacu pada
simpanan bahan pangan (food storage) dan ketersediaan pangan pokok (staple
food) di rumah kemarin (BKP, 2006).
7. Indikator Ketahanan Pangan
Maxwell dan Frankenberger (1992) menyatakan bahwa pencapaian ketahanan
pangan dapat diukur dari berbagai indikator. Indikator tersebut dibedakan
menjadi dua kelompok, yaitu indikator proses dan indikator dampak. Indikator
proses menggambarkan situasi pangan yang ditujukan oleh ketersediaan dan akses
pangan, sedangkan indikator dampak meliputi indikator langsung maupun tak
langsung.
Indikator ketersediaan pangan berkaitan dengan produksi pertanian, iklim,
akses terhadap sumber daya alam, praktek pengelolaan lahan, pengembangan
institusi, pasar, konflik regional, dan kerusuhan sosial. Indikator akses
pangan meliputi antara lain sumber pendapatan, akses terhadap kredit modal.
Indikator akses pangan juga meliputi strategi rumah tangga untuk memenuhi
kekurangan pangan. Strategi tersebut dikenal sebagai koping ability indikator.
Indikator dampak secara langsung adalah konsumsi dan frekuensi pangan.
Indikator dampak tak langsung meliputi penyimpanan pangan dan status gizi (Ali
Khomsan dkk, 2004).
Kerawanan
Pangan
Istilah “Rawan pangan” (food insecurity) merupakan kondisi kebalikan dari
ketahanan pangan (food security). Istilah ini sering diperhalus dengan istilah
“terjadingan penurunan ketahanan pangan”, meskipun pada dasarnya pengertian
sama. Ada dua
jenis kondisi rawan pangan, yaitu yang bersifat kronis (chronical food
insecurity) dan bersifat sementara (transitory food insecurity).
Rawan pangan kronis merupakan kondisi kurang pangan (untuk tingkat rumah
tangga berarti kepemilikan pangan lebih sedikit dari pada kebutuhan dan untuk
tingkat individu konsumsi pangan lebih rendah dari pada kebutuhan biologis)
yang terjadi sepanjang waktu. Sedangkan pengertian rawan pangan akut atau
transitory mencangkup rawan pangan musiman. Rawan pangan ini terjadi karena
adanya kejutan yang sangat membatasi kepemilikan pangan oleh rumah tangga,
terutama mereka yang berada di pedesaan. Bagi rumah tangga diperkotaan rawan
pangan tersebut disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja dan pengangguran.
Pengertian Rawan Pangan
Rawan pangan didefinisikan sebagai suatu kondisi ketidakmampuan untuk
memperoleh pangan yang cukup dan sesuai utnuk hidup sehat dan beraktivitas
dengan baik utnuk sementara waktu dalam jangka panjang. Kondisi ini dapat
saja sedang terjadi atau berpotensi untuk terjadi (Kompas, 2004). Rawan pangan
juga didefinisikan kondisi didalamnya tidak hanya mengandung unsur yang
berhubungan dengan state of poverty saja seperti masalah kelangkaan sumber daya
alam, kekurangan, modal, miskin motivasi, dan sifat malas yang disebabkan
ketidakmampuan mereka mencukupi konsumsi pangan. Namun juga mengandung unsur
yang bersifat dinamin yang berkaitan dengan proses bagaimana pangan yang
diperlukan didistribusikan dan dapat diperoleh setiap individu/rumah tangga
melalui proses pertukaran guna mempengaruhi kebutuhan pangannya.
Ketersediaan pangan
secara makro tidak menjamin tersedianya pangan di
tingkat mikro. Produksi yang hanya
terjadi di wilayah-wilayah tertentu pada waktu-waktu tertentu menyebabkan
terjadinya konsentrasi ketersediaan di daerah-daerah produksi dan pada
masa-masa panen. Pola konsumsi yang
relatif sama pada antar-individu, antar-waktu dan antar-daerah mengakibatkan
adanya masa-masa defisit dan lokasi-lokasi defisit pangan. Sehingga, mekanisme
mekanisme pasar dan distribusi pangan antar lokasi dan antar waktu dengan
mengandalkan stok akan berpengaruh pada kesetimbangan antara ketersediaan dan
konsumsi serta pada harga yang terjadi di pasar. Faktor harga sangat terkait dengan daya beli
rumah tangga terhadap pangan. Sehingga,
meskipun komoditas pangan tersedia di pasar namun jika harganya tinggi
sementara daya beli rumah tangga rendah akan menyebabkan rumah tangga tidak
bisa mengaksesnya. Kondisi ini memicu
timbulnya kerawanan pangan.
Penduduk rawan pangan adalah mereka yang tingkat konsumsi energinya
rata-rata 71-89 % dari kecukupan energi normal.
Sementara penduduk dikatakan sangat rawan pangan jika hanya mengkonsumsi
energi kurang dari 70% dari kecukupan energi normal.
Banyaknya penduduk rawan pangan masih terjadi di semua propnsi dengan
besaran yang berbeda. Berdasarkan data
SUSENAS yang tertuang dalam Nutrition Map
of Indonesia 2006, proporsi penduduk rawan pangan di semua propinsi masih
di atas 10% kecuali di propinsi Sumbar, Bali dan NTB. Jumlah anak balita dengan status gizi buruk
dan gizi kurang di daerah rawan pangan juga masih tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa ketahanan
pangan di tingkat nasional atau wilayah tidak selalu berarti bahwa tingkat
ketahanan pangan di rumah tangga dan individu juga terpenuhi. Masalah-masalah distribusi dan mekanisme
pasar yang berpengaruh pada harga, daya beli rumahtangga yang berkaitan dengan
kemiskinan dan pendapatan rumah tangga, dan tingkat pengetahuan tentang pangan
dan gizi sangat berpengaruh pada konsumsi dan kecukupan pangan dan gizi rumah
tangga.
tingkat mikro. Produksi yang hanya
terjadi di wilayah-wilayah tertentu pada waktu-waktu tertentu menyebabkan
terjadinya konsentrasi ketersediaan di daerah-daerah produksi dan pada
masa-masa panen. Pola konsumsi yang
relatif sama pada antar-individu, antar-waktu dan antar-daerah mengakibatkan
adanya masa-masa defisit dan lokasi-lokasi defisit pangan. Sehingga, mekanisme
mekanisme pasar dan distribusi pangan antar lokasi dan antar waktu dengan
mengandalkan stok akan berpengaruh pada kesetimbangan antara ketersediaan dan
konsumsi serta pada harga yang terjadi di pasar. Faktor harga sangat terkait dengan daya beli
rumah tangga terhadap pangan. Sehingga,
meskipun komoditas pangan tersedia di pasar namun jika harganya tinggi
sementara daya beli rumah tangga rendah akan menyebabkan rumah tangga tidak
bisa mengaksesnya. Kondisi ini memicu
timbulnya kerawanan pangan.
Penduduk rawan pangan adalah mereka yang tingkat konsumsi energinya
rata-rata 71-89 % dari kecukupan energi normal.
Sementara penduduk dikatakan sangat rawan pangan jika hanya mengkonsumsi
energi kurang dari 70% dari kecukupan energi normal.
Banyaknya penduduk rawan pangan masih terjadi di semua propnsi dengan
besaran yang berbeda. Berdasarkan data
SUSENAS yang tertuang dalam Nutrition Map
of Indonesia 2006, proporsi penduduk rawan pangan di semua propinsi masih
di atas 10% kecuali di propinsi Sumbar, Bali dan NTB. Jumlah anak balita dengan status gizi buruk
dan gizi kurang di daerah rawan pangan juga masih tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa ketahanan
pangan di tingkat nasional atau wilayah tidak selalu berarti bahwa tingkat
ketahanan pangan di rumah tangga dan individu juga terpenuhi. Masalah-masalah distribusi dan mekanisme
pasar yang berpengaruh pada harga, daya beli rumahtangga yang berkaitan dengan
kemiskinan dan pendapatan rumah tangga, dan tingkat pengetahuan tentang pangan
dan gizi sangat berpengaruh pada konsumsi dan kecukupan pangan dan gizi rumah
tangga.
Penyebab Rawan Pangan
Kerawanan terjadi mana kala rumah tangga, masyarakat atau daerah tertentu
mengalami ketidak cukupan pangan untuk memenuhi standart kebutuhan fisiologis
bagi pertumbuhan dan kesehatan para individu anggota. Ada tiga hal penting yang
mempengaruhi tingkat rawan pangan, yaitu :
a. Kemampuan penyediaan pangan kepada individu/rumah;
b. Kemampuan individu / rumah tangga untuk mendapatkan dan
pangan;
c. Proses distribusi dan pertukaran pangan yang tersedia dengan
sumber daya yang dimiliki oleh individu/rumah tangga.
Ketiga hal tersebut, pada
kondisi rawan pangan yang akut atau kronis dapat muncul secara stimultan dan
bersifat relatif permanen. Sedang pada kasus rawan pangan yang musiman dan
sementara, faktor yang berpengaruh kemungkinan hanya salah satu atau dua faktor
saja yang sifatnya tidak permanen. Permasalahan rawan pangan yang
muncul bukan persoalan produksi pangan semata. Kerawanan pangan merupakan
masalah multidimensional, bukan hanya urusan produksi saja. Dari berbagai
indikator itu, maka kerawanan pangan mencakup masalah pendidikan, tenaga kerja,
kesehatan, kebutuhan dan prasarana fisik. Kerawanan pangan di Indonesia
diakui masih mengakibatkan impor pangan semakin meningkat.
Kondisi Rawan Pangan di Tingkat Rumah Tangga
Kondisi rawan pangan ditingkat rumah tangga dapat dikategorikan tingkat
empat, yaitu :
a. Tidak rawan pangan (food
secure);
b. Rawan pangan tanpa terjadi
kelaparan (food insecure without hunger);
c. Rawan pangan dan terjadi
kelaparan tingkat sedang (food insecure with hunger moderate);
d. Rawan pangan dan terjadi
kelaparan tingkat berat (food insecure with hunger severe)
Indikator Rawan Pangan
Tanda-tanda rawan pangan yang erat kaitannya dengan usaha individu/rumah
tangga untuk mengatasi kerawanan pangan (Sapuan, 2001).
a. Tanda-tanda pada kelompok pertama, berhubungan dengan gejala kekurangan
produksi dan cadangan pangan suatu tempat yaitu :
1. Terjadinya eksplosi hama
dan penyakit pada tanaman;
2. Terjadi bencana alam berupa
kekeringan, banjir, gempa bumi, gunung meletus, dan sebagainya;
3. Terjadi kegagalan tanaman
pangan makanan pokok; dan
4. Terjadinya penurunan
persediaan bahan pangan setempat.
b. Sedangkan tanda-tanda rawan pangan kedua yang terkait akibat rawan
pangan, yaitu : kurang gizi dan gangguan kesehatan meliputi ;
1. Bentuk tubuh individu
kurus;
2. Ada penderita kurang kalori protein (KKP)
atau kurang makanan (KM);
3. Terjadinya peningkatan
jumlah orang sakit yang dicatat di Balai Kesehatan Puskesmas;
4. Peningkatan kematian bayi
dan balita; dan
5. Peningkatan angka kelahiran
dengan angka berat badan dibawah standar
c. Tanda-tanda yang ketiga yang erat hubungannya dengan masalah sosial
ekonomi dalam usaha individu atau rumah tangga untuk mengatasi masalah rawan
pangan yang meliputi;
1. Bahan pangan yang kurang
biasa dikonsumsi seperti gadung yang sudah mulai makan sebagian masyarakat;
2. Peningkatan jumlah
masyarakat yang menggadaikan aset;
3. Peningkatan penjualan
ternak, peralatan produksi (bajak dan sebagainya);
4. Meningkatkan kriminalitas.
Indikator yang digunakan untuk menilai adanya masalah rawan pangan di
daerah pedesaan dengan tipe masyarakat agraris seharusnya dibedakan dengan
faktor yang digunakan untuk daerah perkotaan. Indikator yang digunakan dalam
Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) oleh Departement Kesehatan terdiri
dari 3 (tiga) variabel yaitu presentase penduduk miskin, presentase balita gizi
buruk dan luas kerusakan tanaman pangan (Depkes RI, 1999). Indikator ini lebih
tepat jika ditempatkan untuk daerah agraris. Untuk daerah perkotaan perlu
indikator lain yang lebih peka.
Upaya
Penanggulangan Rawan Pangan
Akhir-akhir ini masalah
busung lapar melanda anak-anak di bawah usia lima
tahun (balita) di beberapa propinsi di Indonesia. Salah satu harian
nasional (pada tanggal 28 Mei 2005) memperkirakan 8 persen balita Indonesia
menderita masalah tersebut. Jika angka ini benar, artinya terdapat sekitar 1,7
juta balita yang menderita kasus busung lapar. Suatu jumlah yang besar, yang
seyogianya tidak dipandang sebagai masalah jangka pendek semata. Satu generasi
ke depan, masalah tersebut dapat berubah bentuk menjadi masalah lainnya, yaitu
angkatan kerja yang brainless atau tidak pintar, yang berjumlah sekitar satu
juta orang (bila 60 persen di antara penderita busung lapar tersebut survive
hingga menjadi angkatan kerja). Tentunya hal ini dapat memberikan dampak
negatif terhadap perekonomian lokal, di tempat-tempat terjadinya masalah busung
lapar dan gizi buruk tersebut. Singkat kata, masalah tersebut adalah masalah
kritikal yang harus ditangani secara serius.
Sesungguhnya busung lapar, sebagai salah satu perwujudan ‘rawan pangan’, bukanlah masalah baru. Masalah ini sering berulang, terutama pada saat-saat gagal panen yang sering disebabkan oleh kekeringan, di daerah-daerah yang tergolong miskin. Pertanyaannya ialah mengapa masalah itu terjadi sampai berulang-ulang? Tidak dapatkah kita mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian yang lalu? Jika dapat, sudah benarkah pemahaman kita terhadap pelajaran tersebut? Atau sederhananya, sudah cukup seriuskah kita menangani masalah tersebut?
Artikel ini tidak
bermaksud menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, melainkan menekankan pada
beberapa aspek yang penulis pandang penting diperhatikan (lagi). Pertama,
masalah rawan pangan—apalagi gizi buruk dan busung lapar—hendaknya tidak
dilihat sebagai persoalan kekurang-tersediaan pangan semata. Secara makro pada
tataran nasional, ketersediaan pangan enerji mencapai 3098 kkal/kapita/hari dan
ketersediaan pangan protein 74,5 gram/kapita/hari untuk kondisi tahun 2003.
Angka-angka ini melampaui tingkat rekomendasi yang masing-masing sebesar 2550
kkal/kapita/hari dan 55 gram/kapita/hari. Jika dipersempit kepada beras, sejak
tahun 2000 produksi beras Indonesia
telah melebihi konsumsi beras nasional. Pada tahun 2000an, di tingkat nasional,
produksi beras berkisar antara 32 hingga 33 juta ton, sedangkan konsumsinya 30
hingga 31 juta ton. Dengan demikian, bila pada tataran mikro ada rakyat yang
busung lapar atau kekurangan pangan, tentu lebih disebabkan oleh masalah
distribusi bahan pangan tersebut serta dayabeli rakyat tersebut yang rendah.
Tentunya ini tidak berarti
bahwa upaya peningkatan produksi beras menjadi tidak penting. Peningkatan
produksi beras, yang akhir-akhir ini cenderung stagnant, tetap penting. Dengan
laju pertumbuhan penduduk sekitar 1,4 persen pertahun, dan masih tingginya
tingkat konsumsi beras perkapita serta belum terdiversifikasi secara memadainya
konsumsi pangan, produksi gabah dan beras masih perlu ditingkatkan. Mencermati
Gambar 1, areal panen akhir-akhir ini sebenarnya cenderung meningkat, namun
yield atau produktivitas gabah per hektar cenderung menurun. Produksi beras
diperkirakan akan meningkat jika yield tersebut dapat ditingkatkan, katakanlah
mencapai 4,8-5,0 ton gabah/hektar. Ini dapat dicapai bila faktor-faktor
produksi komersial, terutama pupuk, digunakan pada tingkatan yang optimal, yang
pada gilirannya tentunya membutuhkan air irigasi. Pengembangan irigasi skala
kecil, semisal irigasi pompa, diperkirakan akan cukup membantu. Irigasi semacam
ini hanya membutuhkan teknologi sederhana, sehingga pembuatan dan
pemeliharaannya dapat dilakukan oleh industri kecil-menengah di kawasan
perdesaan. Ini dapat menambah kegiatan off farm rakyat pedesaan.
Akses Masyarakat terhadap
Bahan Pangan
Akses masyarakat terhadap
bahan pangan setidaknya sama pentingnya dengan ketersediaan bahan pangan itu
sendiri. Katakanlah produksi beras dapat ditingkatkan secara signifikan, tidak
ada jaminan bahwa seluruh lapisan masyarakat mampu mengakses bahan pangan
tersebut secara memadai. Salah satu komponen penting dari akses ini adalah
jaringan distribusi bahan pangan. Kelancaran distribusi pangan bergantung pada
kecukupan prasarana dan sarana transportasi yang diperlukan, pergudangan, serta
pasar dalam arti market place. Dari komponen ini kiranya tidak sulit untuk
memprakirakan bahwa daerah atau kawasan dengan prasarana dan sarana minim
cenderung memiliki peluang (probability) terkena busung lapar atau setidaknya
rawan pangan yang lebih besar dibandingkan kawasan dengan prasarana dan sarana
yang memadai. Perhatian secara khusus hendaknya diberikan kepada kawasan
seperti itu.
Terlepas dari bentuk
kelembagaannya yang telah menjadi Perum, Bulog pada dasarnya masih potensial
digunakan untuk memperlancar distribusi bahan pangan terutama beras. Prasarana
yang dimiliki lembaga ini, misalnya gudang, dan pengalaman operasinya selama
ini tentu merupakan aset penting untuk membantu kelancaran distribusi bahan
pangan ke berbagai kawasan. Dengan pengawasan yang lebih efektif, antara lain
yaitu yang dilakukan sendiri oleh masyarakat, diharapkan program seperti raskin
(beras untuk orang miskin) dapat dilaksanakan secara lebih efisien (bebas
‘kebocoran’), tepat jumlah, tepat sasaran (tidak hanya untuk urban poor namun
juga untuk orang miskin di kawasan pedesaan), dan tepat waktu. Perlu
digarisbawahi bahwa ketiga hal terakhir sangat membutuhkan koordinasi lintas
instansi.
Walaupun jaringan
distribusi cukup memadai, bahan pangan yang tersedia tidak akan dapat diakses
jika rakyat tidak memiliki dayabeli. Bagi masyarakat yang tergolong poorest of
the poor, Rp 1000 per kilogram raskin pun seringkali tidak terjangkau. Padahal
bagi kelompok masyarakat ini, beras merupakan komponen utama dalam konsumsinya.
Terlihat pada Gambar 2 bahwa bagi kelompok rumahtangga dengan pendapatan 20
persen terendah (quintile pertama, Q1), rata-rata pengeluaran atau konsumsinya
terhadap beras mencapai pangsa 22 persen dari total pengeluaran rumahtangganya.
Pangsa tersebut bagi kelompok yang sama di kawasan pedesaan bahkan mencapai 27
persen. Sementara itu, bagi kelompok rumahtangga berpendapatan 20 persen
tertinggi (Q5), secara rata-rata pengeluarannya untuk beras hanyalah 6 persen
dari total pengeluaran. Dengan kata lain, ‘peranan’ beras dalam konsumsi
kelompok masyarakat termiskin secara rata-rata sekitar empat kali lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok terkaya.
Berkurangnya konsumsi
beras kelompok rumah tangga termiskin akan berpengaruh signifikan pada tingkat
kesejahteraan mereka, yang biasanya diukur dengan besaran pengeluaran
rumahtangga. Agar ini tidak terjadi, pendapatan riil (yaitu pendapatan nominal
dibagi dengan tingkat harga umum) dari kelompok rumahtangga ini haruslah
ditingkatkan. Yang terjadi akhir-akhir ini ialah laju inflasi cenderung makin
tinggi, sehingga jika kelompok rumahtangga tersebut memiliki pendapatan nominal
yang tetap—kalau tidak menurun, berarti pendapatan riil mereka mengalami
penurunan. Akibatnya, konsumsi mereka terhadap beras (dan kemungkinan juga
terhadap berbagai komoditas lain) mengalami penurunan. Perlu diteliti secara
cermat, seberapa besarkah kontribusi dayabeli masyarakat, akses terhadap pangan
ditilik dari sudut pandang jaringan distribusinya, ketersediaan bahan pangan
dan faktor-faktor lainnya (seperti tingkat pengetahuan ibu rumahtangga tentang
gizi dan kesehatan) terhadap terjadinya busung lapar dan gizi buruk.
Diversifikasi konsumsi
perlu didorong lebih lanjut. Tingginya ketergantungan rumahtangga dalam hal
konsumsi terhadap beras secara perlahan-lahan perlu dikurangi mengingat
kecenderungan stagnasi produksi beras dan penurunan yield usahatani padi. Data
Susenas BPS tahun 2002 menunjukkan bahwa rata-rata pangsa pengeluaran
rumahtangga terhadap pangan serealia selain beras hanya sekitar 0,5 persen dari
total pengeluaran rumah tangga. Di kawasan pedesaan, pangsa ini sebesar 0,8
persen, sedangkan di kawasan perkotaan hanya 0,3 persen. Upaya untuk
meningkatkan diversifikasi konsumsi tentunya membutuhkan ‘pendidikan masal’,
yang antara lain dapat ditempuh dengan pendidikan dari sejak sekolah dasar
hingga kampanye terhadap konsumsi pangan pokok alternatif.
Peta Kerawanan Pangan Kecamatan
Badan Ketahana Pangan
Propinsi Jawa Timur telah melakukan pemetaan kerawanan pangan tingkat kecamatan
di seluruh Kabupaten di Jawa Timur pada tahun 2006. Pemetaan kerawanan pangan
tersebut menggunakan indikator FIA (Food Security Atlas). Menurut FIA,
Indikator Ketahanan Pangan terdiri dari:
1.
Ketersediaan
Pangan
2.
Akses
Pangan
3.
Kesehatan
dan Gizi
4.
Kerawanan
Pangan
1. KETERSEDIAAN
PANGAN
Ketersediaan pangan
diperoleh dari produksi pangan serealia di suatu wilayah serta kondisi netto
ekspor dan impor yang diperoleh melalui berbagai jalur. Ketersediaan Pangan
menggunakan proporsi konsumsi normatif terhadap ketersediaan netto padi dan
jagung yang layak dikonsumsi manusia.
2. AKSES TERHADAP PANGAN DAN PENDAPATAN
Indikator-indikator yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah:
a. Persentase penduduk yang
hidup di bawah garis kemiskinan (data estimasi dari BPS)
b. Persentase kepala rumah tangga yang
bekerja kurang dari 15 jam per minggu
c. Persentase kepala rumah
tangga yang tidak tamat pendidikan dasar
d. Persentase rumah tangga
yang tidak memiliki fasilitas listrik
e. Panjang jalan per kilometer
persegi
3.
PEMANFAATAN/PENYERAPAN PANGAN
Pemanfaatan/penyerapan
pangan meliputi infrastruktur kesehatan dan akibat yang ditimbulkan (outcome)
dilihat dari aspek nutrisi dan kesehatan. Selain ke dua indikator ini, data
Perempuan Buta Huruf dimasukkan di sini, yang secara global diakui sebagai
indikator yang menjelaskan proporsi yang signifikan dari tingkat malnutrisi
pada anak
1.
%
Rumah tangga yang tinggal lebih dari 5 km dari fasilitas kesehatan
2.
Populasi
per dokter yang disesuaikan dengan kepadatan penduduk
3.
% Anak yang tidak diimunisasi secara lengkap (4 jenis
imunisasi
4.
%
Rumah tangga tanpa akses ke air bersih
5.
Angka
harapan hidup waktu lahir
6.
%
Anak dengan berat badan di bawah standar
7.
Tingkat
kematian Bayi (IMR)
8.
%
Perempuan buta huruf
4. KERENTANAN
PANGAN
Dimensi ini mencerminkan
kondisi rawan pangan sementara (transient) dan resiko yang disebabkan oleh
faktor lingkungan, yang mengancam kelangsungan kondisi tahan pangan baik pada
jangka pendek maupun jangka panjang.
Indikator yang digunakan
adalah fluktuasi curah hujan, persentase penutupan hutan terhadap luas total
wilayah, persentase lahan yang rusak terhadap luas total wilayah, dan
persentase luas panen tanaman padi yang rusak akibat kekeringan, banjir,
longsor dan hama
(daerah puso).
1.
Persentase
daerah hutan (PDH)
2.
Persentase
daerah puso (PDP)
3.
Daerah
rawan longsor & banjir (DLB)
4.
Penyimpangan
curah hujan (DCH)
KERENTANAN TERHADAP KERAWANAN PANGAN
SEMENTARA
Kerentanan terhadap bencana alam dan
gangguan mendadak lainnya dapat mempengaruhi ketahanan pangan suatu wilayah
baik sementara ataupun dalam jangka waktu panjang. Ketidak-mampuan untuk
memenuhi kebutuhan pangan secara sementara dikenal sebagai kerawanan pangan
sementara (transient food insecurity).
Bencana alam atau teknologi yang
terjadi tiba-tiba, bencana yang terjadi secara bertahap, perubahan harga atau
goncangan terhadap pasar, epidemic penyakit, konflik sosial dapat menyebabkan
terjadinya kerawanan pangan sementara. Kerawanan pangan sementara dapat
berpengaruh terhadap sebagian atau semua dimensi ketahanan pangan seperti
ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan penyerapan pangan.
Kerawanan pangan sementara dapat juga
dibagi menjadi dua sub-kategori: menurut siklus, di mana terdapat suatu pola
yang berulang terhadap kondisi rawan pangan, misalnya, "musim
paceklik" yang terjadi dalam periode sebelum panen, dan sementara, yang
merupakan hasil dari suatu gangguan mendadak dari luar pada jangka pendek
seperti kekeringan atau banjir.
Konflik sipil juga termasuk dalam
kategori goncangan sementara walaupun dampak negatifnya terhadap ketahanan
pangan yang disebabkan oleh konflik dapat berlanjut untuk jangka waktu yang
lama. Dengan kata lain, kerawanan pangan sementara dapat mempengaruhi
orang-orang yang berada pada kondisi rawan pangan kronis dan juga orang-orang
yang terjamin pangannya pada keadaan normal.
Faktor lingkungan dan kemampuan
masyarakat untuk mengatasi goncangan sangat menentukan apakah suatu negara atau
wilayah dapat mempertahankan ketahanan pangan secara berkelanjutan. Tinjauan
ketahanan pangan dan gizi dari sudut pandang lingkungan hidup meliputi
perhatian terhadap pengelolaan tanah, konservasi dan pengelolaan air,
konservasi anekaragam hayati, peningkatan teknologi pra-panen, pelestarian
lingkungan hidup dan pengelolaan hutan.
Deforestasi hutan melalui eksploitasi
sumber daya alam, fluktuasi curah hujan, persentase daerah "puso"dan
persentase daerah yang terkena banjir dan tanah longsor, merupakan beberapa
indikator yang digunakan dalam bab ini untuk menjelaskan kerawanan pangan
sementara di Indonesia.
KREDIT
KETAHANAN PANGAN: Alternatif Mengatasi Rawan Pangan
Pangan merupakan
kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia untuk mempertahankan hidup
dan kehidupan. Pembangunan ketahanan pangan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 7
tahun 1996 tentang Pangan,
bertujuan untuk mewujudkan ketersediaan pangan bagi seluruh rumah tangga, dalam
jumlah yang cukup, mutu, dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata serta
terjangkau oleh setiap individu.
Istilah “ketahanan pangan” (food
security) oleh Irawan (2001), didefinisikan sebagai akses dari semua
penduduk di suatu negara/wilayah untuk memenuhi konsumsi kebutuhan dasar makanan
yang cukup, yang dibutuhkan untuk bisa hidup secara layak (aktif dan sehat).
Dalam hal ini, elemen terpenting dari ketahanan pangan yaitu ketersediaan pangan dan
kemampuan untuk memperoleh kebutuhan makanan yang paling esensi.
Sebaliknya “kerawanan pangan” (food insecurity) diartikan
sebagai kurangnya akses untuk kebutuhan makanan yang memadai. Secara
konseptual, terdapat dua jenis kerawanan pangan, yaitu kronis dan sementara (chronic and transitory food
insecurity) (Irawan, 2001). Kerawanan pangan kronik (Chronic Food Insecurity) merupakan situasi
ketika sekelompok penduduk mengalami ketidakmampuan atas kebutuhan dasar gizi (minimum
dietary needs) secara terus menerus yang umumnya disebabkan oleh
ketidakmampuan untuk memperoleh kebutuhan pokok makanan. Insiden kerawanan pangan kronis ini
mempengaruhi rumah tangga-rumah tangga yang secara “konsisten” mempengaruhi
kemampuan yang sangat terbatas baik untuk membeli kebutuhan pangan yang cukup
maupun untuk memproduksinya sendiri. Sementara itu, kerawanan pangan sementara (Transitory Food
Insecurity) merupakan penurunan atau gangguan yang mendadak – namun
bersifat sementara – pada akses penduduk/rumah tangga-rumah tangga terhadap
kebutuhan pangan
yang cukup. Situasi seperti ini biasanya berkaitan dengan komoditi makanan
pokok, produksi pangan
dan rata-rata tingkat pendapatan rumah tangga. Dalam kondisi yang terburuk kerawanan pangan bisa
menjurus ke bencana kelaparan.
Pada umumnya peristiwa kerawanan pangan ini dialami
oleh para penduduk yang bertempat tinggal pada daerah-daerah kering atau daerah
yang miskin sumberdaya alam, daerah dengan iklim yang cenderung memberikan
batasan bagi perkembangan sektor pertaniannya.
Daerah dengan iklim seperti ini dapat
ditemukan di Kabupaten Kupang, Propinsi Nusa Tenggara Timur, sehingga pola
ketahanan pangan
masyarakat di Kabupaten Kupang disesuaikan dengan kondisi alam yang ada baik
itu iklim, topografi maupun kondisi tanahnya.
Secara umum Kabupaten Kupang tergolong
dalam iklim semi-arid (lahan kering) yang menyebabkan vegetasi yang tumbuh di
Kabupaten Kupang relatif terbatas sehingga memunculkan ekosistem yang unik
serupa dengan ekosistem di lingkungan semi-arid atau ekosistem lahan kering.
Kondisi ekosistem ini pula menyebabkan
Kabupaten Kupang memiliki pola ketahanan pangan yang unik, sebagai bentuk adaptasi
penduduknya terhadap lingkungan fisik yang cenderung memberikan pembatas bagi
usaha-usaha pertaniannya.
Menurut Adiyoga dan Erni (2003), dalam
usaha untuk memenuhi kebutuhan pangan, masyarakat di Kabupaten Kupang memiliki tiga penyangga
ketersediaan pangan,
yaitu :
1. Usaha
tani ladang (jagung, ketela pohon, dan kacang-kacangan). Produksi usaha tani
ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (pada dasarnya pola
hidup masyarakatnya berorientasi pada kebutuhan hidup sehari-hari dan tidak
berorientasi pada pasar).
2. Bila
penyangga pertama runtuh (seperti karena ada paceklik) maka mereka masih
memiliki penyangga kedua yaitu ternak besar (terutama sapi, kerbau, dan kuda).
Mereka masih mampu menjual ternaknya untuk memperoleh kebutuhan pangan.
3. Bila
penyanggah kedua ini tidak berhasil maka masyarakat masih memiliki peyanggah
ketiga, yaitu tanaman pangan yang tersedia di hutan (non budidaya–liar) seperti: ubi
hutan – berbentuk bulat sebesar kelereng dan berwarna hitam, talas liar, dan
lain-lain.
Terlepas
dari pola ketahanan pangan
tradisional masyarakat, salah satu kecamatan di Kabupaten Kupang yang
ditetapkan sebagai sentra produksi padi bagi masyarakatnya, selain Kecamatan
Kupang Tengah, yaitu Kecamatan Kupang Timur. Selain padi sawah, Kecamatan Kupang
Timur juga memproduksi padi ladang, komoditas yang tidak terdapat di Kecamatan Kupang
Tengah. Namun kedua kecamatan ini juga memproduksi ubi kayu sebagai komoditas unggulan
lainnya.
Di sisi
lain, menurut data ketahanan pangan Dinas Pertanian 2005, perkembangan dari sektor pertanian
untuk komoditas padi di Kecamatan Kupang Timur mengalami penurunan produktivitas,
khususnya dari musim tanam 2003/2004 ke 2004/2005 sebesar 54,67 % sehingga daerah
ini termasuk dalam kategori resiko tinggi dalam urusan pangan1. Kondisi
tersebut sangat dilematis, di satu sisi kecamatan ini sebagai sentra produksi
padi, sementara itu di sisi lain termasuk daerah yang beresiko tinggi dalam
urusan pangan.
Resiko
tinggi yang dimaksud adalah apabila total skor yang diperoleh dari skor luas
tanam, luas puso, luas panen, dan produktivitas berkisar antara 13-16,
sedangkan untuk resiko sedang dan resiko rendah masing- masing berkisar antara
9-12 dan kurang dari 9 (< 9).
Dalam upaya mengembangkan usaha tani
masyarakat, modal menjadi salah satu elemen penting untuk diperhatikan. Modal
yang dapat dijadikan pembiayaan usaha tani ini dapat diperoleh dari berbagai
program kredit pertanian. Selama ini, program kredit usaha tani, khususnya padi
dan palawija, telah mengalami beberapa kali perubahan kebijakan. Setelah
terjadinya tunggakan yang tinggi pada kredit Bimas/Inmas akibat puso pada
tahun 1970-an dan awal 1980-an, pada tahun 1985 pemerintah mengeluarkan program
Kredit Usaha Tani (KUT) yang menggunakan pendekatan kelompok. Seperti halnya
kredit Bimas/Inmas, KUT pun mengalami kemacetan dengan total tunggakan sekitar
23 % dari realisasi kredit Rp 1,184 triliun yang disalurkan hingga musim tanam 1997/1998.
Meskipun demikian, sejak tahun 1998 pemerintah mengubah KUT dengan sistem baru dan
plafon ditingkatkan secara drastis, yaitu lebih dari 13 kali lipat menjadi Rp
8,4 triliun. Bank tidak
lagi menjadi executing agent tetapi hanya sebagai channeling agent.
Fungsi executing agent digantikan oleh Departemen Koperasi dan PKM
(Pengusaha Kecil dan Menengah) yang melibatkan koperasi dan LSM (Lembaga
Swadaya Masyarakat) dalam pelaksanaannya.
PENANGANAN DAERAH RAWAN PANGAN
Rawan pangan adalah kondisi suatu
wilayah/daerah, masyarakat atau rumah tangga yang tidak menpunyai akses secara
fisik (ketersediaan) dan ekonomi (daya beli) untuk memperoleh pangan yang cukup
dalam jumlah, mutu, beragam dan aman untuk memenuhi standar kebutuhan
fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan.
Mengacu kepada konsep ketahanan pangan
dalam UU No. 7 tahun 1996 tentang pangan yaitu :
a. Tidak adanya kasus
secara fisik maupun ekonomi bagi individu/rumah tangga untuk memperoleh pangan
yang cukup.
b. Tidak terpenuhinya
pangan secara cukup dalam jumlah, mutu, beragam, aman dan terjangkau.
c. Tidak tercukupnya
pangan untuk kehidupan yang produktif individu/rumah tangga.
Rawan
pangan terdiri dari :
Rawan
pangan Kronis
Suatu
keadaan rawan pangan berkelanjutan yang terjadi sepanjang waktu, disebabkan
karena keterbatasan Sumber Daya Alam (SDA) dan keterbatasan kemampuan Sumber
Daya Manusia (SDM) dalam mengakses pangan dan gizi.
Rawan
Pangan Transien
Suatu
keadaan rawan pangan yang bersifat mendadak dan sementara yang disebabkan oleh
kejadian berbagai musibah yang tidak dapat diduga sebelumnya, seperti: bencana
alam (gempa bumi, gunung meletus, banjir bandang, tsunami) dan konflik sosial.
Urgensi Penanganan rawan Pangan
Jika kita amati beberapa pemberitaan di media massa, masih didapati beberapa keluarga yang mengalami kerawanan pangan dan gizi buruk. Karena itu perlu dilakukan intervensi, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, untuk menanganinya.
Urgensi penanganan kerawanan pangan dan gizi buruk merupakan hal yang sangat serius untuk dilakukan, karena berdasarkan peta kerawanan pangan yang diterbitkan Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian bersama World Food Program masih terdapat 100 kabupaten di Tanah Air yang rawan pangan dan memerlukan penanganan secara komprehensif.
Kondisi kerawanan pangan bisa dibedakan menjadi kerawanan pangan kronis dan transien. Kerawanan pangan dapat dikatakan kronis, jika terjadi berkelanjutan sepanjang waktu, karena keterbatasan kemampuan SDM, sumber daya alam dan sumber daya kelembagaan, sehingga menyebabkan kondisi masyarakat menjadi miskin. Untuk mengetahui apakah suatu masyarakat dalam kondisi rawan pangan kronis dapat dilihat dari 10 indikator yang tercakup dalam tiga aspek.
Pertama, aspek ketersediaan pangan dengan indikator konsumsi normatif per kapita terhadap rasio ketersediaan bersih padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar.
Ke dua, aspek akses pangan dan matapencaharian, dengan indikator; persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan; persentase desa tidak memiliki akses penghubung yang memadai, dan persentase penduduk tanpa akses listrik.
Ke tiga aspek kesehatan dan gizi dengan indikator angka harapan hidup saat lahir, berat badan balita dibawah standar; perempuan buta huruf; angka kematian bayi; penduduk tanpa akses ke air bersih dan dan persentase penduduk yang tinggal lebih dari 5 km dari puskesmas.
Sedangkan kerawanan pangan transien adalah keadaan kerawanan pangan disebabkan kondisi tidak terduga karena datangnya berbagai musibah, bencana alam, kerusuhan, musim yang menyimpang dan keadaan lain yang bersifat mendadak. Untuk mengetahui apakah suatu daerah mengalami kerawanan pangan transien dapat dilihat dari empat indikator, yaitu (1) persentase daerah tak berhutan, (2) daerah puso, (3) daerah rawan longsor dan banjir serta (4) fluktuasi/penyimpangan curah hujan.
Terjadinya kerawanan pangan, baik kronis maupun transien, harus secepatnya mendapat perhatian dan bantuan pemerintah. Jika tidak segera ditangani dengan baik, dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap masyarakat yang mengalaminya. Misalnya, terjadi penurunan tingkat kesehatan, kelaparan, gizi buruk sampai kematian.
Melihat masih adanya kerawanan pangan di Tanah Air, untuk mencegah dan menanggulanginya perlu strategi yang tepat dan komprehensif. Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain adalah, pertama, pemerintah daerah harus mempunyai komitmen yang tinggi dalam membangun ketahanan pangan.
Jika sebagian masyarakat dalam satu wilayah terjadi kerawanan pangan dan gizi buruk, bisa dikatakan daerah tersebut belum berhasil membangun ketahanan pangannya. Karena itu, agar pembangunan ketahanan pangan di daerah bisa terlaksana dengan baik, komitmen yang tinggi saja belum cukup, tetapi harus diikuti dan didukung dengan kelembagaan yang mantap dan bisa bersinergi dengan pemangku kepentingan di bidang pangan lainnya, serta tersedianya dana untuk mengoperasionalkan kegiatan yang sudah dirancang.
Ke dua, revitalisasi kelembagaan sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG) dan kelembagaan masyarakat lainnya. Hal tersebut sangat penting dilakukan, karena SKPG merupakan suatu sistem pendeteksian secara dini dalam pengelolaan informasi tentang situasi pangan dan gizi yang berjalan terus menerus. Hal ini harus menjadi tugas utama pemerintah daerah.
Informasi yang dihasilkan sangat penting sebagai dasar dalam perencanaan, penentuan kebijakan, koordinasi pelaksanaan program dan kegiatan penang-gulangan kerawanan pangan dan gizi.
Kelembagaan lain yang tidak kalah pentingnya untuk direvitalisasi adalah pusat kesehatan masyarakat, kegiatan posyandu dan sebagainya yang peranannya dalam memberikan pelayanan kesehatan sangat dekat dengan masyarakat, terutama bagi wanita hamil, ibu-ibu menyusui dan balita. Kegiatan pemberian makanan tambahan anak sekolah (PMTAS) pun perlu terus dilakukan, terutama terhadap anak-anak sekolah dasar dan pra sekolah.
Ke tiga, pemberdayaan masyarakat. Kelembagaan nonformal yang tumbuh dan berkembang dengan baik sampai di pedesaan seperti kelompok wanita (pemberdayaan kesejahteraan keluarga, kelompok wanita tani dan lainnya) sangat penting dilibatkan dalam memperbaiki tingkat kesehatan dan gizi masyarakat/keluarga. Karena itu, kegiatan-kegiatan seperti pemanfaatan lahan pekarangan dengan pertanian terpadu, tanaman obat, sayur-sayuran dan buah-buahan perlu terus dikembangkan. Dengan begitu dapat meningkatkan pendapatan dan ekonomi rumah tangga.
Hal yang tidak kalah penting dalam pemberdayaan masyarakat ini adalah pentingnya tokoh-tokoh masyarakat dan pemuka agama untuk dilibatkan dalam pemantapan ketahanan pangan rumah tangga. Melalui ceramah yang ditujukan terutama kepada bapak-bapak diharapkan pemahaman tentang pangan dan gizi masyarakat akan meningkat, sehingga anak-anak yang masih dalam proses pertumbuhan dan ibu-ibu hamil atau menyusui mendapat prioritas dalam mengonsumsi makanan yang lebih beragam dan bergizi seimbang.
Ke empat, pembangunan lumbung pangan desa. Untuk menjaga agar ketersediaan pangan di suatu wilayah dapat selalu terjamin kecukupan pangannya, pemerintah daerah harus berperan aktif menginisiasi dan memfasilitasi pembangunan lumbung pangan desa, beserta kelembagaan dan manajemennya.
Keberadaan lumbung-lumbung desa ini sangat penting dan strategis nilainya, terutama di saat membantu para petani dan keluarganya menghadapi masa-masa paceklik, di mana harga bahan pangan cenderung selalu meningkat.
Melalui berbagai upaya di atas, diharapkan pembangunan ketahanan pangan di setiap wilayah akan semakin mantap. Dengan demikian berbagai masalah pangan, seperti kerawanan pangan dan gizi buruk, dapat di atasi dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar