Selasa, 07 April 2015

Makalah Problematika Ilmu Kalam tentang Kalam Allah



Pendahuluan

Problematika Ilmu Kalam tentang Kalam Allah. Kalam Allah muncul dari persoalan tentang keqadiman dan keabadian (eternitas) Kalam Allah. Suatu pemikiran yang muncul dari sintesa antara sifat atau keadaan Qadim dan Keabadian Tuhan, serta sifat atau keadaan Tuhan yang Maha Berfiman, Berkalam. Pemikiran yang muncul dari aksioma tersebut antara lain, bahwa:
1. Allah senantiasa berfirman, tidak pernah berhenti berfirman, dan tidak pernah “diketahui” kapan Allah berfirman.
2. Cara Allah berfirman tidak dalam suatu proses yang sistematik dan terstruktur.

Aksioma tersebut, menjadi persoalan ketika cara berpikir dialekstis dan induktif (empirikal) berkembang, sehingga keabsahan aksioma tersebut dipersoalkan:
1. Apakah Kalam itu makhluk atau seesensi dengan Allah (Allah itu sendiri) ?
2. Mungkinkan Allah berfirman “sa’at” Allah belum menciptakan satu makhluk pun? Bila “ya” kepada siapa ia berfiman ? dan bila tidak berarti Allah pernah hanya memiliki “potensi” berfirman.
3. Bagaimana firman Allah bisa dipahami makhluknya bila firman Allah tidak terungkap secara terstruktur dan sistematis, sebagaimana manusia berkata-kata.

Problematika tentang Kalam Allah ini telah menambah khazanah sekaligus objek diskursus Ilmu Kalam. Diskursus tentang Kalam ini, bukan hanya melahirkan tuntutan untuk menjawabselesaikan ketiga masalah di atas, tetapi juga telah mengilhami suatu pendekatkan dan sikap yang berbeda terhadap Al-Qur’an sebagai Kalam Allah. Perbedaan pendekatan dan sikap terhadap Al-Qur’an, yaitu aliran salaf dan khalaf. Aliran salaf yang memandang Al-Qur’an atau Kalam Allah seesensi dengan Allah. Cara pandang ini melahirkan pendekatan terhadap Al-Qur’an yang cenderung tekstualis atau skriptualis. Lain halnya dengan aliran khalaf yang memandang Al-Qur’an sebagai makhluk, telah melahirkan keberanian pada mereka untuk melakukan penafsiran rasional terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.

A. Jawaban Aliran-aliran Kalam terhadap Problematika Kalam Allah

Diskursus tentang Kalam Allah muncul tatkala terlontar pemikiran tentang kemakhlukkan Kalam Allah. Pemikiran ini terlontar lama sebelum Washil bin Atha (w. 748/9 M), tokoh awal Mu’tazillah, yang melontarkan pemikiran tentang al-manjila baina al-manjilatain. Pemikiran tentang kemakhlukkan Kalam Allah ini untuk pertama kalinya dilontarkan oleh Ja’d ibn Dirham, semasa Khlaifah Umayyah Hisham (724-743 M) . Hisyam kemudian memerintahkan untuk mengeksekusi Ja’d ibn Dirham.

Namun demikian, pembicaraan tentang kemakhlukan Kalam Allah ini baru populer dan menjadi diskursus Ilmu Kalam secara lebih serius pada masa Khalifah Al-Ma’mun, setelah cukup lama Mu’tazilah lahir (secara formal, tercatat dalam sejarah kelahirannya yang dihubungkan dengan Wasil bin ‘Atha [699-748/9 M), baru dilontarkan kembali pemikiran tentang kemakhlukkan Kalam Allah (khususnya Al-Qur’an) ini oleh Ibn Abi Duwad masa Khalifah Al-Ma’mun (sekitar 827 M) , yang menjadikan paham Mu’tazilah sebagai mazhab resmi yang dianut Negara . Lebih dari itu, persoalan tentang kemakhlukkan ini bernuansa politis.

1. Kebaharuan atau Kemakhlukkan Kalam Allah.
Seperti disebutkan di atas, bahwa Mu’tazilah memiliki pandangan bahwa Tuhan tidak memiliki sifat (dalam pengertian sifat sebagai sesuatu yang terpisah atau merupakan substansi tersendiri disamping dzat Tuhan), dengan demikian ia termasuk kelompok nafi al-sifat, atau mu’atillah (yang menihilkan sifat-sifat Tuhan).
Aliran yang populer dalam tradisi Islam yang beranggapan bahwa Kalam Allah sebagai Makhluk adalah aliran Mu’tazilah. Kaum Mu’tazili pada umumnya memahami hakikat “kalam” atau perkataan, sebagai: “huruf yang tersusun dan suara yang terputus-putus yang diucapkan dengan lisan”. Di kalangan Mu’tazilah terjadi perbedaan pendapat tentang persoalan apakan kalam itu jism (dzat, materi) atau ‘ard (form, bentuk, sifat, accident: sesuatu yang menempel pada dzat). Abu al-Huzail, Muammar, Ja’far ibn Harbin dan al-Iskafi memandangnya sebagai ‘ard. Sedangkan Allah, dalam pandangan Mu’tazilah, tidak dapat dikatan memiliki sifat-sifat jasmaniah. Qadi Abd al-Jabbar (w. 415) menegaskan bahwa bila Allah memili sifat jasmani tentulah memiliki ukuran (panjang, lebar dan tinggi). Lebih tegas lagi, Abd al-Jabbar menyatakan bahwa apabila Tuhan memiliki sifat jasmani, maka ia akan bisa dilihat secara inderawi (di dunia) , baik secara keseluruhan maun sebagiannya.
Dalam menghadapi ayat-ayat yang secara tekstual melahirkan kesan antropomorfistik, Mu’tazilah melakukan penafsiran-penafsiran secara metaforis.
Pendapat tersebut sama dengan Maturidiyah Samarkan dengan Mu’tazilah dalam menghadapi ayat-ayat yang bisa melahirkan kesan antropomorfistik. Maturidiyah baik Samarkand, mengatakan bahwa mata, tangan serta aspek-aspek yang digambarkan seperti bagian tubuh manusia adalah kekuasaan Alllah.
Al-Nadzdzam dan para pengikutnya berpendapat bahwa kalam manusia merupakan ‘ard dan harakat (gerakan, movement, berubah) karena bagi mereka tidak ada ‘ard kecuali al-harakat. Dan Kalam Allah merupakan jism. Dengan demikian Kalam Allah adalah makhluk sebab jism dan ard merupakan makhluk yang diciptakan Allah.
Argumen-argumen tentang kemakhlukkan Kalam Allah ini diantaranya berpijak ayat al-Qur’an, antara lain :


“Susungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya : ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia” (QS. Yasin, 36: 82)

Ayat ini, dalam pandangan Mu’tazili, kata “kun !” adalah baharu (muhadats), karena merupakan sesuatu yang tersusun dari dua huruf yang dapat dipindah-pindahkankan, yang satu mendahului yang lain (memiliki struktur). Selain itu, dalam ayat di atas terdapat lafadz “an “, menurt Mu’tazilah, lafadz tersebut merupakan fi’il mudhari, menunjuk pada masa mendatang. Dengan demikian, lafadz “an” tersebut menunjukkan pada baharunya “kun”. Demikian juga dengan huruf “fa “dalam kata “fayakun” sebagai li al-ta’qib (penegasan), sehingga membawa pengertian bahwa ciptaan di dahului oleh zaman. Maka, berdasarkan pengertian dan argumen-argumen tersebut di atas, Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Qur’an, sebagai Kalam Allah adalah baharu, makhluk. Kaum Mu’tazilah berpendapat, bahwa Allah mensifati Al-Qur’an dengan muhadats (yang baharu) dan munzal (yang diturunkan), seperti dalam firman-Nya:
“Tidak datang kepada mereka dari peringatan (al-Qur’an) yang baru dari Tuhannya….” (QS. Al-Anbiya, 21: 2).

B. Tauhid
Tauhid secara bahasa arab merupakan bentuk masdar dari fi’il wahhada-yuwahhidu (dengan huruf ha di tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Makna ini tidak tepat kecuali diikuti dengan penafian. Yaitu menafikan segala sesuatu selain sesuatu yang kita jadikan satu saja, kemudian baru menetapkannya” (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39).
Secara istilah syar’i, makna tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dengan segala kekhususannya (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39). Dari makna ini sesungguhnya dapat dipahami bahwa banyak hal yang dijadikan sesembahan oleh manusia, bisa jadi berupa Malaikat, para Nabi, orang-orang shalih atau bahkan makhluk Allah yang lain, namun seorang yang bertauhid hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan saja.







BAB I
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Aswaja
Ahlussunnah Wal Jama’ah Menurut Syekh Abu al-Fadl ibn Syekh ‘Abdus Syakur al-Senori dalam kitab karyanya “al-Kawâkib al-Lammâ‘ah fî Tahqîq al-Musammâ bi Ahli al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah” (kitab ini telah disahkan oleh Muktamar NU ke XXlll di Solo Jawa Tengah) menyebutkan definisi Ahlussunnah wal jama’ah sebagai: kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi saw. dan thariqah para sahabatnya dalam hal akidah, amaliyah fisik (fiqh), dan akhlaq batin (tasawwuf). Syekh ‘Abdul Qodir al-Jilani mendefinisikan Ahlussunnah wal jama’ah sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan as-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw. (meliputi ucapan, prilaku, serta ketetapan beliau). Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian jama’ah adalah segala sesuatu yang yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi saw. pada masa Khulafa’ ar-Rasyidin yang empat yang telah diberi hidayah Allah.”
Secara historis, para imam Aswaja di bidang akidah telah ada sejak zaman para sahabat Nabi saw. sebelum munculnya paham Mu’tazilah. Imam Aswaja pada saat itu diantaranya adalah ‘Ali bin Abi Thalib ra., karena jasanya menentang pendapat Khawarij tentang al-Wa‘d wa al-Wa‘îd dan pendapat Qadariyah tentang kehendak Allah dan daya manusia. Di masa tabi’in ada beberapa imam, mereka bahkan menulis beberapa kitab untuk mejelaskan tentang paham Aswaja, seperti ‘Umar bin ‘Abd al-Aziz dengan karyanya “Risâlah Bâlighah fî Raddi ‘alâ al-Qadariyah”. Para mujtahid fiqh juga turut menyumbang beberapa karya teologi untuk menentang paham-paham di luar Aswaja, seperti Abu Hanifah dengan kitabnya “Al-Fiqh al-Akbar”, Imam Syafii dengan kitabnya “Fi Tashîh al-Nubuwwah wa al-Radd ‘alâ al-Barâhimah”. Generasi Imam dalam teologi Aswaja sesudah itu kemudian diwakili oleh Abu Hasan al-Asy’ari (260 H – 324 H), lantaran keberhasilannya menjatuhkan paham Mu’tazilah.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa akidah Aswaja secara substantif telah ada sejak masa para sahabat Nabi saw. Artinya paham Aswaja tidak mutlak seperti yang dirumuskan oleh Imam al-Asy’ari, tetapi beliau adalah salah satu di antara imam yang telah berhasil menyusun dan merumuskan ulang doktrin paham akidah Aswaja secara sistematis sehingga menjadi pedoman akidah Aswaja.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah. Imam Ibnu Hajar al-Haytami berkata: Jika Ahlussunnah wal jama’ah disebutkan, maka yang dimaksud adalah pengikut rumusan yang digagas oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Dalam fiqh adalah mazhab empat, Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Dalam tasawuf adalah Imam al-Ghazali, Abu Yazid al-Bisthomi, Imam al-Junaydi, dan ulama-ulama lain yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus Islam paham Ahlussunnah wal jama’ah.
Secara teks, ada beberapa dalil Hadits yang dapat dijadikan dalil tentang paham Aswaja, sebagai paham yang menyelamatkan umat dari kesesatan, dan juga dapat dijadikan pedoman secara substantif. Di antara teks-teks Hadits Aswaja adalah:
افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتْ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَ سَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إلَّا وَاحِدَةً. قَالُوا: مَنْ هم يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي. رَوَاهُ أَبُو دَاوُدوَالتِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ
Dari Abi Hurayrah ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Terpecah umat Yahudi menjadi 71 golongan. Dan terpecah umat Nasrani menjadi 72 golongan. Dan akan terpecah umatku menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu.” Berkata para sahabat, “Siapakah mereka wahai Rasulullah?”  Rasulullah saw. Menjawab, “Mereka adalah yang mengikuti aku dan para sahabatku.” (HR. Abu Dawud, Turmudzi, dan Ibnu Majah)
Jadi inti paham Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) seperti yang tertera dalam teks Hadits adalah paham keagamaan yang sesuai dengan sunnah Nabi saw. dan petunjuk para sahabatnya.


B.     Ruang Lingkup Aswaja
Karena secara substansi paham Aswaja adalah Islam itu sendiri, maka ruang lingkup Aswaja berarti ruang lingkup Islam itu sendiri, yakni aspek akidah, fiqh, dan akhlaq. Seperti disebutkan oleh para ulama Aswaja, bahwa aspek yang paling krusial di antara tiga aspek di atas adalah aspek akidah. Aspek ini krusial, karena pada saat Mu’tazilah dijadikan paham keagamaan Islam resmi pemerintah oleh penguasa Abbasiyah, terjadilah kasus mihnah yang cukup menimbulkan keresahan ummat Islam. Ketika Imam al-Asy’ari tampil berkhotbah menyampaikan pemikiran-pemikiran teologi Islamnya sebagai koreksi atas pemikiran teologi Mu’tazilah dalam beberapa hal yang dianggap bid’ah atau menyimpang, maka dengan serta merta masyarakat Islam menyambutnya dengan positif, dan akhirnya banyak umat Islam menjadi pengikutnya yang kemudian disebut dengan kelompok Asy’ariyah dan terinstitusikan dalam bentuk Madzhab Asy’ari.
Ditempat lain yakni di Samarqand Uzbekistan, juga muncul seorang Imam Abu Manshur al-Maturidi (w. 333 H) yang secara garis besar rumusan pemikiran teologi Islamnya paralel dengan pemikiran teologi Asy’ariyah, sehingga dua imam inilah yang kemudian diakui sebagai imam penyelamat akidah keimanan, karena karya pemikiran dua imam ini tersiar ke seluruh belahan dunia dan diakui sejalan dengan sunnah Nabi saw. serta petunjuk para sahabatnya, meskipun sebenarnya masih ada satu orang ulama lagi yang sepaham, yaitu Imam al-Thahawi (238 H – 321 H) di Mesir. Akan tetapi karya beliau tidak sepopuler dua imam yang pertama. Akhirnya para ulama menjadikan rumusan akidah Imam Asy’ari dan Maturidi sebagai pedoman akidah yang sah dalam Aswaja.
Secara materiil banyak produk pemikiran Mu’tazilah yang, karena metodenya lebih mengutamakan akal daripada nash (Taqdîm al-‘Aql ‘alâ al-Nash), dinilai tidak sejalan dengan sunnah, sehingga sarat dengan bid’ah, maka secara spontanitas para pengikut imam tersebut bersepakat menyebut sebagai kelompok Aswaja, meskipun istilah ini bahkan dengan pahamnya telah ada dan berkembang pada masa-masa sebelumnya, tetapi belum terinstitusikan dalam bentuk mazhab. Karena itu, secara historis term aswaja baru dianggap secara resmi muncul dari periode ini. Setidaknya dari segi paham telah berkembang sejak masa ‘Ali bin Abi Thalib ra., tetapi dari segi fisik dalam bentuk mazhab baru terbentuk pada masa al-Asy’ari, al-Maturidi, dan al-Thahawi.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah, dalam fiqh adalah mazhab empat, dan dalam tasawuf adalah al-Ghazali dan ulama-ulama yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus Islam paham Sunni.
Ruang lingkup yang kedua adalah syari’ah atau fiqh, artinya paham keagamaan yang berhubungan dengan ibadah dan mu’amalah. Sama pentingnya dengan ruang lingkup yang pertama, yang menjadi dasar keyakinan dalam Islam, ruang lingkup kedua ini menjadi simbol penting dasar keyakinan. Karena Islam agama yang tidak hanya mengajarkan tentang keyakinan tetapi juga mengajarkan tentang tata cara hidup sebagai seorang yang beriman yang memerlukan komunikasi dengan Allah swt., dan sebagai makhluk sosial juga perlu pedoman untuk mengatur hubungan sesama manusia secara harmonis, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial.
Dalam konteks historis, ruang lingkup yang kedua ini disepakati oleh jumhur ulama bersumber dari empat mazhab, yakni Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. Secara substantif, ruang lingkup yang kedua ini sebenarnya tidak terbatas pada produk hukum yang dihasilkan dari empat madzhab di atas, produk hukum yang dihasilkan oleh imam-imam mujtahid lainnya, yang mendasarkan penggalian hukumnya melalui al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas, seperti, Hasan Bashri, Awzai, dan lain-lain juga tercakup dalam lingkup pemikiran Aswaja, karena mereka memegang prinsip utama Taqdîm al-Nash ‘alâ al-‘Aql (mengedepankan daripada akal).
Ruang lingkup ketiga dari Aswaja adalah akhlak atau tasawuf. Wacana ruang lingkup yang ketiga ini difokuskan pada wacana akhlaq yang dirumuskan oleh Imam al-Ghazali, Abu Yazid al-Busthami, dan al-Junayd al-Baghdadi, serta ulama-ulama sufi yang sepaham. Ruang lingkup ketiga ini dalam diskursus Islam dinilai penting karena mencerminkan faktor ihsan dalam diri seseorang. Iman menggambarkan keyakinan, sedang Islam menggambarkan syari’ah, dan ihsan menggambarkan kesempurnaan iman dan Islam. Iman ibarat akar, Islam ibarat pohon. Artinya manusia sempurna, ialah manusia yang disamping bermanfaat untuk dirinya, karena ia sendiri kuat, juga memberi manfaat kepada orang lain. Ini yang sering disebut dengan insan kamil. Kalau manusia memiliki kepercayaan tetapi tidak menjalankan syari’at, ibarat akar tanpa pohon, artinya tidak ada gunanya. Tetapi pohon yang berakar dan rindang namun tidak menghasilkan buah, juga kurang bermanfaat bagi kehidupan. Jadi ruang lingkup ini bersambung dengan ruang lingkup yang ketiga, sehingga keberadaannya sama pentingnya dengan keberadaan ruang lingkup yang pertama dan yang kedua, dalam membentuk insan kamil.
Pada dasarnya tidak ada perbedaan secara prinsipil di antara kelompok dan mazhab dalam Islam. Pertama, dalam hal sumber ajaran Islam, semuanya sama-sama meyakini al-Qur’an dan al-sunnah sebagai sumber utama ajaran Islam; Kedua, para ulama dari masing-masing kelompok tidak ada yang berbeda pendapat mengenai pokok-pokok ajaran Islam, seperti keesaan Allah swt., kewajiban shalat, zakat dan lain-lain. Tetapi, mereka berbeda dalam beberapa hal di luar ajaran pokok Islam, lantaran berbeda di dalam manhaj bepikirnya, terutama diakibatkan oleh perbedaan otoritas akal dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan teks-teks sunnah. Masing masing firqah dalam pemikiran Islam, memiliki manhaj sendiri-sendiri.
Mu’tazilah disebut kelompok liberal dalam Islam. Keliberalan Mu’tazilah, berpangkal dari paham bahwa akal, sebagai anugerah Allah swt., memiliki kekuatan untuk mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan Allah swt. dan hal-hal yang dianggap baik dan buruk. Sementara bagi kelompok Asy’ariyah, akal tidak sanggup untuk mengetahui hal tersebut, kecuali ada petunjuk dari naql atau nash. Kelompok Maturidiyah sedikit lebih ‘menengah’ dengan pernyataanya, bahwa perbuatan manusia mengandung efek yang disebut baik atau buruk, apa yang dinyatakan oleh akal baik, tentu ia adalah baik, dan sebaliknya, akan tetapi tidak semua perbuatan manusia pasti sesuai dengan jangkauan akal untuk menilai baik dan buruknya. Dalam keadaan seperti ini, maka baik dan buruk hanya dapat diketahui melalui naql atau nash.
Jika manhaj-manhaj ini dihubungkan dengan akidah, maka peran akal dan naql berkaitan dengan masalah-masalah ketuhanan, jika dikaitkan dengan masalah fiqh, maka peran akal dan naql berhubungan dengan perbuatan manusia (mukallaf), dan jika dikaitkan dengan akhlaq atau tasawuf, maka akal dan naql berhubungan dengan hubungan spiritual antara manusia dengan tuhannya.
BAB II
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dengan demikian, maka definisi Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak keluar dari definisi Salaf. Dan sebagaimana telah dikemukakan bahwa salaf  ialah mereka yang mengenalkan Al-Qur-an dan berpegang teguh dengan As-Sunnah. Jadi Salaf adalah Ahlus Sunnah yang dimaksud oleh Nabi SAW. Dan ahlus sunnah adalah Salafush Shalih dan orang yang mengikuti jejak mereka.
Inilah pengertian yang lebih khusus  dari Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Maka tidak termasuk dalam makna ini semua golongan ahli bid'ah dan orang-orang yang mendikuti keinginan nafsunya, seperti  Khawarij, Jahmiyah, Qadariyah, Mu'tazilah, Murji'ah, Rafidhah (Syiah) dan lain-lainnya dari ahli bid'ah yang meniru jalan mereka.
B.     Penutup
Demikian makalah yang kami susun semoga apa yang kita rumuskan, kita pelajari mendapatkan anugrah dan inayah dari allah serta bermanfaat bagi kita semua. Dengan semangat belajar yang tinggi pula insyaallah dapat menegakkan tiang agama dan mendapatkan tempat yang mulia kelak di hari akhir amin ya robbal alamin.

Tidak ada komentar: