Pendahuluan
Problematika
Ilmu Kalam tentang Kalam Allah. Kalam Allah muncul dari persoalan tentang
keqadiman dan keabadian (eternitas) Kalam Allah. Suatu pemikiran yang muncul
dari sintesa antara sifat atau keadaan Qadim dan Keabadian Tuhan, serta sifat atau
keadaan Tuhan yang Maha Berfiman, Berkalam. Pemikiran yang muncul dari aksioma
tersebut antara lain, bahwa:
1. Allah senantiasa berfirman, tidak pernah berhenti berfirman, dan tidak pernah “diketahui” kapan Allah berfirman.
2. Cara Allah berfirman tidak dalam suatu proses yang sistematik dan terstruktur.
Aksioma tersebut, menjadi persoalan ketika cara berpikir dialekstis dan induktif (empirikal) berkembang, sehingga keabsahan aksioma tersebut dipersoalkan:
1. Apakah Kalam itu makhluk atau seesensi dengan Allah (Allah itu sendiri) ?
2. Mungkinkan Allah berfirman “sa’at” Allah belum menciptakan satu makhluk pun? Bila “ya” kepada siapa ia berfiman ? dan bila tidak berarti Allah pernah hanya memiliki “potensi” berfirman.
3. Bagaimana firman Allah bisa dipahami makhluknya bila firman Allah tidak terungkap secara terstruktur dan sistematis, sebagaimana manusia berkata-kata.
Problematika tentang Kalam Allah ini telah menambah khazanah sekaligus objek diskursus Ilmu Kalam. Diskursus tentang Kalam ini, bukan hanya melahirkan tuntutan untuk menjawabselesaikan ketiga masalah di atas, tetapi juga telah mengilhami suatu pendekatkan dan sikap yang berbeda terhadap Al-Qur’an sebagai Kalam Allah. Perbedaan pendekatan dan sikap terhadap Al-Qur’an, yaitu aliran salaf dan khalaf. Aliran salaf yang memandang Al-Qur’an atau Kalam Allah seesensi dengan Allah. Cara pandang ini melahirkan pendekatan terhadap Al-Qur’an yang cenderung tekstualis atau skriptualis. Lain halnya dengan aliran khalaf yang memandang Al-Qur’an sebagai makhluk, telah melahirkan keberanian pada mereka untuk melakukan penafsiran rasional terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.
A. Jawaban Aliran-aliran Kalam terhadap Problematika Kalam Allah
1. Allah senantiasa berfirman, tidak pernah berhenti berfirman, dan tidak pernah “diketahui” kapan Allah berfirman.
2. Cara Allah berfirman tidak dalam suatu proses yang sistematik dan terstruktur.
Aksioma tersebut, menjadi persoalan ketika cara berpikir dialekstis dan induktif (empirikal) berkembang, sehingga keabsahan aksioma tersebut dipersoalkan:
1. Apakah Kalam itu makhluk atau seesensi dengan Allah (Allah itu sendiri) ?
2. Mungkinkan Allah berfirman “sa’at” Allah belum menciptakan satu makhluk pun? Bila “ya” kepada siapa ia berfiman ? dan bila tidak berarti Allah pernah hanya memiliki “potensi” berfirman.
3. Bagaimana firman Allah bisa dipahami makhluknya bila firman Allah tidak terungkap secara terstruktur dan sistematis, sebagaimana manusia berkata-kata.
Problematika tentang Kalam Allah ini telah menambah khazanah sekaligus objek diskursus Ilmu Kalam. Diskursus tentang Kalam ini, bukan hanya melahirkan tuntutan untuk menjawabselesaikan ketiga masalah di atas, tetapi juga telah mengilhami suatu pendekatkan dan sikap yang berbeda terhadap Al-Qur’an sebagai Kalam Allah. Perbedaan pendekatan dan sikap terhadap Al-Qur’an, yaitu aliran salaf dan khalaf. Aliran salaf yang memandang Al-Qur’an atau Kalam Allah seesensi dengan Allah. Cara pandang ini melahirkan pendekatan terhadap Al-Qur’an yang cenderung tekstualis atau skriptualis. Lain halnya dengan aliran khalaf yang memandang Al-Qur’an sebagai makhluk, telah melahirkan keberanian pada mereka untuk melakukan penafsiran rasional terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.
A. Jawaban Aliran-aliran Kalam terhadap Problematika Kalam Allah
Diskursus tentang Kalam Allah muncul tatkala terlontar pemikiran tentang kemakhlukkan Kalam Allah. Pemikiran ini terlontar lama sebelum Washil bin Atha (w. 748/9 M), tokoh awal Mu’tazillah, yang melontarkan pemikiran tentang al-manjila baina al-manjilatain. Pemikiran tentang kemakhlukkan Kalam Allah ini untuk pertama kalinya dilontarkan oleh Ja’d ibn Dirham, semasa Khlaifah Umayyah Hisham (724-743 M) . Hisyam kemudian memerintahkan untuk mengeksekusi Ja’d ibn Dirham.
Namun demikian, pembicaraan tentang kemakhlukan Kalam Allah ini baru populer dan menjadi diskursus Ilmu Kalam secara lebih serius pada masa Khalifah Al-Ma’mun, setelah cukup lama Mu’tazilah lahir (secara formal, tercatat dalam sejarah kelahirannya yang dihubungkan dengan Wasil bin ‘Atha [699-748/9 M), baru dilontarkan kembali pemikiran tentang kemakhlukkan Kalam Allah (khususnya Al-Qur’an) ini oleh Ibn Abi Duwad masa Khalifah Al-Ma’mun (sekitar 827 M) , yang menjadikan paham Mu’tazilah sebagai mazhab resmi yang dianut Negara . Lebih dari itu, persoalan tentang kemakhlukkan ini bernuansa politis.
1. Kebaharuan atau Kemakhlukkan Kalam Allah.
Seperti disebutkan di atas, bahwa Mu’tazilah memiliki pandangan bahwa Tuhan tidak memiliki sifat (dalam pengertian sifat sebagai sesuatu yang terpisah atau merupakan substansi tersendiri disamping dzat Tuhan), dengan demikian ia termasuk kelompok nafi al-sifat, atau mu’atillah (yang menihilkan sifat-sifat Tuhan).
Aliran yang populer dalam tradisi Islam yang beranggapan bahwa Kalam Allah sebagai Makhluk adalah aliran Mu’tazilah. Kaum Mu’tazili pada umumnya memahami hakikat “kalam” atau perkataan, sebagai: “huruf yang tersusun dan suara yang terputus-putus yang diucapkan dengan lisan”. Di kalangan Mu’tazilah terjadi perbedaan pendapat tentang persoalan apakan kalam itu jism (dzat, materi) atau ‘ard (form, bentuk, sifat, accident: sesuatu yang menempel pada dzat). Abu al-Huzail, Muammar, Ja’far ibn Harbin dan al-Iskafi memandangnya sebagai ‘ard. Sedangkan Allah, dalam pandangan Mu’tazilah, tidak dapat dikatan memiliki sifat-sifat jasmaniah. Qadi Abd al-Jabbar (w. 415) menegaskan bahwa bila Allah memili sifat jasmani tentulah memiliki ukuran (panjang, lebar dan tinggi). Lebih tegas lagi, Abd al-Jabbar menyatakan bahwa apabila Tuhan memiliki sifat jasmani, maka ia akan bisa dilihat secara inderawi (di dunia) , baik secara keseluruhan maun sebagiannya.
Dalam menghadapi ayat-ayat yang secara tekstual melahirkan kesan antropomorfistik, Mu’tazilah melakukan penafsiran-penafsiran secara metaforis.
Pendapat tersebut sama dengan Maturidiyah Samarkan dengan Mu’tazilah dalam menghadapi ayat-ayat yang bisa melahirkan kesan antropomorfistik. Maturidiyah baik Samarkand, mengatakan bahwa mata, tangan serta aspek-aspek yang digambarkan seperti bagian tubuh manusia adalah kekuasaan Alllah.
Al-Nadzdzam dan para pengikutnya berpendapat bahwa kalam manusia merupakan ‘ard dan harakat (gerakan, movement, berubah) karena bagi mereka tidak ada ‘ard kecuali al-harakat. Dan Kalam Allah merupakan jism. Dengan demikian Kalam Allah adalah makhluk sebab jism dan ard merupakan makhluk yang diciptakan Allah.
Argumen-argumen tentang kemakhlukkan Kalam Allah ini diantaranya berpijak ayat al-Qur’an, antara lain :
“Susungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya : ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia” (QS. Yasin, 36: 82)
Ayat ini, dalam pandangan Mu’tazili, kata “kun !” adalah baharu (muhadats), karena merupakan sesuatu yang tersusun dari dua huruf yang dapat dipindah-pindahkankan, yang satu mendahului yang lain (memiliki struktur). Selain itu, dalam ayat di atas terdapat lafadz “an “, menurt Mu’tazilah, lafadz tersebut merupakan fi’il mudhari, menunjuk pada masa mendatang. Dengan demikian, lafadz “an” tersebut menunjukkan pada baharunya “kun”. Demikian juga dengan huruf “fa “dalam kata “fayakun” sebagai li al-ta’qib (penegasan), sehingga membawa pengertian bahwa ciptaan di dahului oleh zaman. Maka, berdasarkan pengertian dan argumen-argumen tersebut di atas, Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Qur’an, sebagai Kalam Allah adalah baharu, makhluk. Kaum Mu’tazilah berpendapat, bahwa Allah mensifati Al-Qur’an dengan muhadats (yang baharu) dan munzal (yang diturunkan), seperti dalam firman-Nya:
“Tidak datang kepada mereka dari peringatan (al-Qur’an) yang baru dari Tuhannya….” (QS. Al-Anbiya, 21: 2).
B.
Tauhid
Tauhid secara
bahasa arab merupakan bentuk masdar dari fi’il wahhada-yuwahhidu
(dengan huruf ha di tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja. Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Makna ini tidak tepat kecuali diikuti
dengan penafian. Yaitu menafikan segala sesuatu selain sesuatu yang kita
jadikan satu saja, kemudian baru menetapkannya” (Syarh Tsalatsatil Ushul,
39).
Secara istilah syar’i,
makna tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang benar
dengan segala kekhususannya (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39). Dari makna
ini sesungguhnya dapat dipahami bahwa banyak hal yang dijadikan sesembahan oleh
manusia, bisa jadi berupa Malaikat, para Nabi, orang-orang shalih atau bahkan
makhluk Allah yang lain, namun seorang yang bertauhid hanya menjadikan Allah
sebagai satu-satunya sesembahan saja.
BAB
I
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Aswaja
Ahlussunnah Wal Jama’ah Menurut Syekh
Abu al-Fadl ibn Syekh ‘Abdus Syakur al-Senori dalam kitab karyanya “al-Kawâkib
al-Lammâ‘ah fî Tahqîq al-Musammâ bi Ahli al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah”
(kitab ini telah disahkan oleh Muktamar NU ke XXlll di Solo Jawa Tengah)
menyebutkan definisi Ahlussunnah wal jama’ah sebagai: kelompok atau golongan
yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi saw. dan thariqah para
sahabatnya dalam hal akidah, amaliyah fisik (fiqh), dan akhlaq batin
(tasawwuf). Syekh ‘Abdul Qodir al-Jilani mendefinisikan Ahlussunnah wal jama’ah
sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan as-Sunnah adalah apa yang telah
diajarkan oleh Rasulullah saw. (meliputi ucapan, prilaku, serta ketetapan
beliau). Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian jama’ah adalah segala
sesuatu yang yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi saw. pada masa
Khulafa’ ar-Rasyidin yang empat yang telah diberi hidayah Allah.”
Secara historis, para imam Aswaja di
bidang akidah telah ada sejak zaman para sahabat Nabi saw. sebelum munculnya
paham Mu’tazilah. Imam Aswaja pada saat itu diantaranya adalah ‘Ali bin Abi
Thalib ra., karena jasanya menentang pendapat Khawarij tentang al-Wa‘d wa
al-Wa‘îd dan pendapat Qadariyah tentang kehendak Allah dan daya manusia. Di
masa tabi’in ada beberapa imam, mereka bahkan menulis beberapa kitab untuk
mejelaskan tentang paham Aswaja, seperti ‘Umar bin ‘Abd al-Aziz dengan karyanya
“Risâlah Bâlighah fî Raddi ‘alâ al-Qadariyah”. Para mujtahid fiqh juga turut
menyumbang beberapa karya teologi untuk menentang paham-paham di luar Aswaja,
seperti Abu Hanifah dengan kitabnya “Al-Fiqh al-Akbar”, Imam Syafii
dengan kitabnya “Fi Tashîh al-Nubuwwah wa al-Radd ‘alâ al-Barâhimah”.
Generasi Imam dalam teologi Aswaja sesudah itu kemudian diwakili oleh Abu Hasan
al-Asy’ari (260 H – 324 H), lantaran keberhasilannya menjatuhkan paham
Mu’tazilah.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa
akidah Aswaja secara substantif telah ada sejak masa para sahabat Nabi saw.
Artinya paham Aswaja tidak mutlak seperti yang dirumuskan oleh Imam al-Asy’ari,
tetapi beliau adalah salah satu di antara imam yang telah berhasil menyusun dan
merumuskan ulang doktrin paham akidah Aswaja secara sistematis sehingga menjadi
pedoman akidah Aswaja.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya,
istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam
hal akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah. Imam Ibnu Hajar
al-Haytami berkata: Jika Ahlussunnah wal jama’ah disebutkan, maka yang dimaksud
adalah pengikut rumusan yang digagas oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam
Abu Manshur al-Maturidi. Dalam fiqh adalah mazhab empat, Hanafi, Maliki,
Syafi’i, dan Hanbali. Dalam tasawuf adalah Imam al-Ghazali, Abu Yazid
al-Bisthomi, Imam al-Junaydi, dan ulama-ulama lain yang sepaham. Semuanya
menjadi diskursus Islam paham Ahlussunnah wal jama’ah.
Secara teks, ada beberapa dalil Hadits
yang dapat dijadikan dalil tentang paham Aswaja, sebagai paham yang
menyelamatkan umat dari kesesatan, dan juga dapat dijadikan pedoman secara
substantif. Di antara teks-teks Hadits Aswaja adalah:
افْتَرَقَتْ
الْيَهُودُ عَلَى إحْدَى وَسَبْعِينَ
فِرْقَةً وَافْتَرَقَتْ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ
فِرْقَةً وَ سَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إلَّا وَاحِدَةً. قَالُوا: مَنْ هم يَا
رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي. رَوَاهُ أَبُو
دَاوُدوَالتِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ
Dari Abi Hurayrah ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW
bersabda, “Terpecah umat Yahudi menjadi 71 golongan. Dan terpecah umat Nasrani
menjadi 72 golongan. Dan akan terpecah umatku menjadi 73 golongan. Semuanya
masuk neraka kecuali satu.” Berkata para sahabat, “Siapakah mereka wahai
Rasulullah?” Rasulullah saw. Menjawab,
“Mereka adalah yang mengikuti aku dan para sahabatku.” (HR. Abu Dawud,
Turmudzi, dan Ibnu Majah)
Jadi inti paham Ahlussunnah wal jama’ah
(Aswaja) seperti yang tertera dalam teks Hadits adalah paham keagamaan yang
sesuai dengan sunnah Nabi saw. dan petunjuk para sahabatnya.
B. Ruang Lingkup Aswaja
Karena secara substansi paham Aswaja
adalah Islam itu sendiri, maka ruang lingkup Aswaja berarti ruang lingkup Islam
itu sendiri, yakni aspek akidah, fiqh, dan akhlaq. Seperti disebutkan oleh para
ulama Aswaja, bahwa aspek yang paling krusial di antara tiga aspek di atas
adalah aspek akidah. Aspek ini krusial, karena pada saat Mu’tazilah dijadikan
paham keagamaan Islam resmi pemerintah oleh penguasa Abbasiyah, terjadilah
kasus mihnah yang cukup menimbulkan keresahan ummat Islam. Ketika
Imam al-Asy’ari tampil berkhotbah menyampaikan pemikiran-pemikiran teologi
Islamnya sebagai koreksi atas pemikiran teologi Mu’tazilah dalam beberapa hal
yang dianggap bid’ah atau menyimpang, maka dengan serta merta masyarakat Islam
menyambutnya dengan positif, dan akhirnya banyak umat Islam menjadi pengikutnya
yang kemudian disebut dengan kelompok Asy’ariyah dan terinstitusikan dalam
bentuk Madzhab Asy’ari.
Ditempat lain yakni di Samarqand
Uzbekistan, juga muncul seorang Imam Abu Manshur al-Maturidi (w. 333 H) yang
secara garis besar rumusan pemikiran teologi Islamnya paralel dengan pemikiran
teologi Asy’ariyah, sehingga dua imam inilah yang kemudian diakui sebagai imam
penyelamat akidah keimanan, karena karya pemikiran dua imam ini tersiar ke
seluruh belahan dunia dan diakui sejalan dengan sunnah Nabi saw. serta petunjuk
para sahabatnya, meskipun sebenarnya masih ada satu orang ulama lagi yang
sepaham, yaitu Imam al-Thahawi (238 H – 321 H) di Mesir. Akan tetapi karya
beliau tidak sepopuler dua imam yang pertama. Akhirnya para ulama menjadikan
rumusan akidah Imam Asy’ari dan Maturidi sebagai pedoman akidah yang sah dalam
Aswaja.
Secara materiil banyak produk pemikiran
Mu’tazilah yang, karena metodenya lebih mengutamakan akal daripada nash (Taqdîm
al-‘Aql ‘alâ al-Nash), dinilai tidak sejalan dengan sunnah, sehingga sarat
dengan bid’ah, maka secara spontanitas para pengikut imam tersebut bersepakat
menyebut sebagai kelompok Aswaja, meskipun istilah ini bahkan dengan pahamnya
telah ada dan berkembang pada masa-masa sebelumnya, tetapi belum
terinstitusikan dalam bentuk mazhab. Karena itu, secara historis term aswaja
baru dianggap secara resmi muncul dari periode ini. Setidaknya dari segi paham
telah berkembang sejak masa ‘Ali bin Abi Thalib ra., tetapi dari segi fisik
dalam bentuk mazhab baru terbentuk pada masa al-Asy’ari, al-Maturidi, dan
al-Thahawi.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya,
istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam
hal akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah, dalam fiqh adalah
mazhab empat, dan dalam tasawuf adalah al-Ghazali dan ulama-ulama yang sepaham.
Semuanya menjadi diskursus Islam paham Sunni.
Ruang lingkup yang kedua adalah
syari’ah atau fiqh, artinya paham keagamaan yang berhubungan dengan ibadah dan
mu’amalah. Sama pentingnya dengan ruang lingkup yang pertama, yang menjadi
dasar keyakinan dalam Islam, ruang lingkup kedua ini menjadi simbol penting
dasar keyakinan. Karena Islam agama yang tidak hanya mengajarkan tentang
keyakinan tetapi juga mengajarkan tentang tata cara hidup sebagai seorang yang
beriman yang memerlukan komunikasi dengan Allah swt., dan sebagai makhluk
sosial juga perlu pedoman untuk mengatur hubungan sesama manusia secara
harmonis, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial.
Dalam konteks historis, ruang lingkup
yang kedua ini disepakati oleh jumhur ulama bersumber dari empat mazhab, yakni
Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. Secara substantif, ruang lingkup yang kedua
ini sebenarnya tidak terbatas pada produk hukum yang dihasilkan dari empat
madzhab di atas, produk hukum yang dihasilkan oleh imam-imam mujtahid lainnya,
yang mendasarkan penggalian hukumnya melalui al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan
Qiyas, seperti, Hasan Bashri, Awzai, dan lain-lain juga tercakup dalam lingkup
pemikiran Aswaja, karena mereka memegang prinsip utama Taqdîm al-Nash ‘alâ
al-‘Aql (mengedepankan daripada akal).
Ruang lingkup ketiga dari Aswaja adalah
akhlak atau tasawuf. Wacana ruang lingkup yang ketiga ini difokuskan pada
wacana akhlaq yang dirumuskan oleh Imam al-Ghazali, Abu Yazid al-Busthami, dan
al-Junayd al-Baghdadi, serta ulama-ulama sufi yang sepaham. Ruang lingkup
ketiga ini dalam diskursus Islam dinilai penting karena mencerminkan faktor
ihsan dalam diri seseorang. Iman menggambarkan keyakinan, sedang Islam
menggambarkan syari’ah, dan ihsan menggambarkan kesempurnaan iman dan Islam.
Iman ibarat akar, Islam ibarat pohon. Artinya manusia sempurna, ialah manusia
yang disamping bermanfaat untuk dirinya, karena ia sendiri kuat, juga memberi
manfaat kepada orang lain. Ini yang sering disebut dengan insan kamil. Kalau
manusia memiliki kepercayaan tetapi tidak menjalankan syari’at, ibarat akar
tanpa pohon, artinya tidak ada gunanya. Tetapi pohon yang berakar dan rindang
namun tidak menghasilkan buah, juga kurang bermanfaat bagi kehidupan. Jadi
ruang lingkup ini bersambung dengan ruang lingkup yang ketiga, sehingga
keberadaannya sama pentingnya dengan keberadaan ruang lingkup yang pertama dan
yang kedua, dalam membentuk insan kamil.
Pada dasarnya tidak ada perbedaan
secara prinsipil di antara kelompok dan mazhab dalam Islam. Pertama, dalam hal
sumber ajaran Islam, semuanya sama-sama meyakini al-Qur’an dan al-sunnah
sebagai sumber utama ajaran Islam; Kedua, para ulama dari masing-masing
kelompok tidak ada yang berbeda pendapat mengenai pokok-pokok ajaran Islam,
seperti keesaan Allah swt., kewajiban shalat, zakat dan lain-lain. Tetapi,
mereka berbeda dalam beberapa hal di luar ajaran pokok Islam, lantaran berbeda
di dalam manhaj bepikirnya, terutama diakibatkan oleh perbedaan otoritas akal
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan teks-teks sunnah. Masing masing
firqah dalam pemikiran Islam, memiliki manhaj sendiri-sendiri.
Mu’tazilah disebut kelompok liberal
dalam Islam. Keliberalan Mu’tazilah, berpangkal dari paham bahwa akal, sebagai
anugerah Allah swt., memiliki kekuatan untuk mengetahui hal-hal yang
berhubungan dengan Allah swt. dan hal-hal yang dianggap baik dan buruk.
Sementara bagi kelompok Asy’ariyah, akal tidak sanggup untuk mengetahui hal
tersebut, kecuali ada petunjuk dari naql atau nash. Kelompok
Maturidiyah sedikit lebih ‘menengah’ dengan pernyataanya, bahwa perbuatan
manusia mengandung efek yang disebut baik atau buruk, apa yang dinyatakan oleh
akal baik, tentu ia adalah baik, dan sebaliknya, akan tetapi tidak semua
perbuatan manusia pasti sesuai dengan jangkauan akal untuk menilai baik dan
buruknya. Dalam keadaan seperti ini, maka baik dan buruk hanya dapat diketahui
melalui naql atau nash.
Jika manhaj-manhaj ini dihubungkan
dengan akidah, maka peran akal dan naql berkaitan dengan masalah-masalah
ketuhanan, jika dikaitkan dengan masalah fiqh, maka peran akal dan naql
berhubungan dengan perbuatan manusia (mukallaf), dan jika dikaitkan dengan
akhlaq atau tasawuf, maka akal dan naql berhubungan dengan hubungan
spiritual antara manusia dengan tuhannya.
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan demikian, maka
definisi Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak keluar dari definisi Salaf. Dan
sebagaimana telah dikemukakan bahwa salaf ialah mereka yang mengenalkan
Al-Qur-an dan berpegang teguh dengan As-Sunnah. Jadi Salaf adalah Ahlus Sunnah
yang dimaksud oleh Nabi SAW. Dan ahlus sunnah adalah Salafush Shalih dan orang
yang mengikuti jejak mereka.
Inilah pengertian yang lebih khusus dari Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Maka tidak termasuk dalam makna ini semua golongan ahli bid'ah dan orang-orang yang mendikuti keinginan nafsunya, seperti Khawarij, Jahmiyah, Qadariyah, Mu'tazilah, Murji'ah, Rafidhah (Syiah) dan lain-lainnya dari ahli bid'ah yang meniru jalan mereka.
Inilah pengertian yang lebih khusus dari Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Maka tidak termasuk dalam makna ini semua golongan ahli bid'ah dan orang-orang yang mendikuti keinginan nafsunya, seperti Khawarij, Jahmiyah, Qadariyah, Mu'tazilah, Murji'ah, Rafidhah (Syiah) dan lain-lainnya dari ahli bid'ah yang meniru jalan mereka.
B. Penutup
Demikian makalah yang kami susun semoga apa yang kita
rumuskan, kita pelajari mendapatkan anugrah dan inayah dari allah serta
bermanfaat bagi kita semua. Dengan semangat belajar yang tinggi pula insyaallah
dapat menegakkan tiang agama dan mendapatkan tempat yang mulia kelak di hari
akhir amin ya robbal alamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar