Kawin Kontrak -
- KAWIN KONTRAK MENURUT HUKUM ISLAM By: Subchi {13071567} Teguh Pamungkas {13071571} Restu Subiandana {13071583}
- Pendahuluan
- Perkawinan merupakan bagian hidup yang sakral, karena harus memperhatikan norma dan kaidah hidup dalam masyarakat. Namun kenyataannya, tidak semua orang berprinsip demikian, dengan berbagai alasan pembenaran yang cukup masuk akal dan bisa diterima masyarakat, perkawinan sering kali tidak dihargai kesakralannya.
- Pengertian
- Di dalam agama Islam, menurut Abdus Salam Nawawi, kawin kontrak dikenal dengan istilah kawin mut’ah
- nikah mut’ah adalah nikah kontrak dalam jangka waktu tertentu, sehingga apabila waktunya telah habis maka dengan sendirinya nikah tersebut bubar tanpa adanya talak.
- Larangan Nikah Mut’ah
- Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib r.a, bahwa Rasulullah saw. melarang nikah mut'ah pada perang Khaibar dan melarang memakan daging keledai peliharaan, (HR Bukhari [4216] dan Muslim [1407]).
- Diriwayatkan dari ar-Rabi' bin Sabrah al-Juhani, dari ayahnya bahwa Rasulullah saw. melarang nikah mut'ah. Rasululalh saw. bersabda, "Ketahuilah sesungguhnya nikah mut'ah itu haram mulai sekarang sampai hari kiamat. Barangsiapa yang telah memberikan sesuatu (yakni) upah maka janganlah ia mengambilnya kembali,”
- Hukum Kawin Kontrak Menurut MUI
- nikah mut’ah ini haram hukumnya. Nikah ini disebut nikah mut’ah karena tujuannya adalah untuk mencari kesenangan belaka, tidak untuk membangun rumah tangga yang melahirkan anak dan juga saling mewarisi, yang keduanya merupakan tujuan utama dari ikatan pernikahan dan menimbulkan konsekwensi langgengnya pernikahan
- Perkawinan Kontrak Fikih Islam
- Perkawinan Islam adalah kontrak, bukan sakralmen. Meskipun telah pentingnya agama sebagai satu-satunya cara sanksi bagi individu untuk memiliki hubungan seksual yang sah dan melanjutkan keturunan perkawinan adalah perjanjian sipil, masuk ke dalam oleh dua individu atau mereka yang bertindak atas nama mereka.
- Terima Kasih
HUKUM-HUKUM NIKAH
1 . WAJIB : Bagi orang yang mengharapkan
keturunan , Takut melakukan zina bila tidak nikah .
2 . MAKRUH : Bagi orang yang tidak senang nikah dan tidsak mengharapkan keturunan.
3 . HARAM : Bagi orang yang membahayakan wanita , karena tidak mampu melakukan senggama tidak mampu memberi nafaqoh dan memperoleh pekerja’an halal ,
Tambahan hukum menurut Syaikh Ibnu Urfah yg memandang dari aspek lain bahwa seorang WANITA wajib nikah.
2 . MAKRUH : Bagi orang yang tidak senang nikah dan tidsak mengharapkan keturunan.
3 . HARAM : Bagi orang yang membahayakan wanita , karena tidak mampu melakukan senggama tidak mampu memberi nafaqoh dan memperoleh pekerja’an halal ,
Tambahan hukum menurut Syaikh Ibnu Urfah yg memandang dari aspek lain bahwa seorang WANITA wajib nikah.
IKHTILAF :
Apakah nikah lebih utama di tinggalkan karna untuk terus-terusan ibadah ???
* Menurut pendapat yang paling unggul adalah bahwa nikah tidak jadi penghalang melakukan ibadah malah bisa menyempurnakan ibadah.
RUKUN NIKAH :
1. Suami
2. Wali ( kedua yg di akadi )
3. Istri
4. Mahar ( Mas kawin ) Baik mahar itu secara jelas , mitsalnya nikah yg menyebutkan maharnya , atau secara hokum ,mitsalnya nikah yg menyerahkan mahar dan sighat.
5. Saksi
Hadist-hadist tentang keutama’an nikah :
1. Rosulalloh saw , Bersabda : Wahai golongan pemuda ! Siapakah di antara kamu yg mampu memberikan ongkos nikah , maka nikahlah !! sesungguhnya nikah itu lebih bias memejamkan mata dan menjaga farji , Dan barangsiapa yg tidak mampu , maka sebaiknya berpuasalah karna puasa merupakan bentng baginya. Maksudnya dengan puasa kita bias menahan sahwat .
2. Rosululloh saw , Bersabda : Apabila seorang lelaki nikah maka ia telah menyempurnakan separo agamanya, maka hendaklah ia selalu bertaqwa pada alloh dalam menyempurnakan separo yg lainnya.
3. Rosululloh saw , Bersabda : Nikah adalah (sunnahku) ajaranku ,barang siapa yg cinta kepadaku , hendaklah melaksanakan ( sunnah ku )ajaranku
4. Rosululloh saw , Bersabda : Barang siapa yang tidak menikah karena takut melarat maka mereka bukan golonganku , ( dalam hadist lain perowi menambahkan kalimat ) : Dan mereka oleh alloh akan di serahkan kepada 2 orang malaikat dan menulis diantara 2 matanya , sebagai seorang yg telah menyia-nyiakan anugrah alloh maka senangkanlah dengan sedikit rezeki.
5. Rosululloh saw , Bersabda : Keutamaan Bagi Orang yg Berkeluarga atas orang yang Bujangan seperti halnya keutama’an orang yg berjuang atas orang yg berdiam diri. Shalat 2 raka’at yang sudah berkeluarga , lebih utama daripada 80 raka’at yg dilakukan oleh bujangan.
Apakah nikah lebih utama di tinggalkan karna untuk terus-terusan ibadah ???
* Menurut pendapat yang paling unggul adalah bahwa nikah tidak jadi penghalang melakukan ibadah malah bisa menyempurnakan ibadah.
RUKUN NIKAH :
1. Suami
2. Wali ( kedua yg di akadi )
3. Istri
4. Mahar ( Mas kawin ) Baik mahar itu secara jelas , mitsalnya nikah yg menyebutkan maharnya , atau secara hokum ,mitsalnya nikah yg menyerahkan mahar dan sighat.
5. Saksi
Hadist-hadist tentang keutama’an nikah :
1. Rosulalloh saw , Bersabda : Wahai golongan pemuda ! Siapakah di antara kamu yg mampu memberikan ongkos nikah , maka nikahlah !! sesungguhnya nikah itu lebih bias memejamkan mata dan menjaga farji , Dan barangsiapa yg tidak mampu , maka sebaiknya berpuasalah karna puasa merupakan bentng baginya. Maksudnya dengan puasa kita bias menahan sahwat .
2. Rosululloh saw , Bersabda : Apabila seorang lelaki nikah maka ia telah menyempurnakan separo agamanya, maka hendaklah ia selalu bertaqwa pada alloh dalam menyempurnakan separo yg lainnya.
3. Rosululloh saw , Bersabda : Nikah adalah (sunnahku) ajaranku ,barang siapa yg cinta kepadaku , hendaklah melaksanakan ( sunnah ku )ajaranku
4. Rosululloh saw , Bersabda : Barang siapa yang tidak menikah karena takut melarat maka mereka bukan golonganku , ( dalam hadist lain perowi menambahkan kalimat ) : Dan mereka oleh alloh akan di serahkan kepada 2 orang malaikat dan menulis diantara 2 matanya , sebagai seorang yg telah menyia-nyiakan anugrah alloh maka senangkanlah dengan sedikit rezeki.
5. Rosululloh saw , Bersabda : Keutamaan Bagi Orang yg Berkeluarga atas orang yang Bujangan seperti halnya keutama’an orang yg berjuang atas orang yg berdiam diri. Shalat 2 raka’at yang sudah berkeluarga , lebih utama daripada 80 raka’at yg dilakukan oleh bujangan.
Nikah Sirri
in Pernikahan Tag:hukum
nikah sirri, hukum
nikah tanpa KUA, KUA, nikah 'urfi, nikah adat, nikah sirri, pencatatan nikah, poligami
Secara bahasa sirri/sirriyah berarti tersembunyi.
Dalam hal pernikahan sirri dapat dihukumi berbeda menurut
bagaimana pernikahan tersebut dilaksanakan.
- Menjadi haram jika pernikahan tersebut tidak
diketahui oleh siapapun dan tidak ada wali dari wanita. Pada hakiktnya ini adalah
zina karena tidak memenuhi syarat sahnya nikah.
Al-qur’an dan hadits telah menunjukkan bahwa
salah satu syarat sahnya nikah adalah adalah adanya wali. Pernikahan ini tidak
sah dan harus dibatalkan. [Disalin dari kitab Shahih Fikih Sunnah Abu Malik
Kamal bin As-Sayyid Salim, dikomentari oleh Syaikh Nashiruddin Al- Albani.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin Pustaka
Azzam 3/144.] (sumber: http://abiyazid.wordpress.com/2007/07/02/macam-macam-nikah-yang-tidak-syah-menurut-syariat/)
- nikah sirri (‘urfi = adat):
INDAHNYA PERNIKAHAN YANG SYAR’I LAGI
RESMI[1]
Pernikahan adalah sebuah akad yang agung.
Dibangun di atas dasar hak dan kewajiban pasangan suami istri kepada sang
Kholiq dan kepada sesama. Islam pun mengaturnya sejak awal proses pemilihan
pasangan hidup, prosesi pernikahan itu sendiri, saat-saat bersama mengayuh
biduk maupun ketika terselimuti kabut fitnah. Bahkan ketika porak poranda
sekalipun Islam mengaturnya.
Islam menyaratkan akad dari seorang wali wanita
dengan disaksikan dua orang saksi, serta mensyariatkan agar diumumkan kepada
masyarakat adanya ikatan agung ini. Dan berlayarnya bahtera ini dibarengi
dengan keridhoan dan kebahagiaan, tanpa ada keresahan sosial dan pandangan
curiga dari masyarakat sekitar.
Namun seiring dengan semakin jauhnya manusia dari
cahaya nubuwwah, bermunculanlah manusia yang melalaikan kewajiban. Suami
pura-pura lupa tugasnya atau istri terlalu berani pegang kendali. Di luar
rumahpun ada orang-orang yang mau bersaksi palsu, muncullah problematika baru
yang mungkin belum pernah ada sebelumnya. Untuk menghindari hal itu dan untuk
kebutuhan-kebutuhan penting lainnya maka dibutuhkanlah sebuah bukti akurat
berupa pencatatan akad pernikahan oleh sebuah lembaga resmi. Pemerintah muslim
di seluruh dunia pun mewajibkan pencatatan pernikahan pada lembaga resmi
tersebut. Banyak maslahat yang diperoleh dan banyak mafsadah yang dihilangkan
atau setidak-tidaknya diminimalkan dengan hal baru ini, pencatatan akad nikah.
Meski bukan syarat sah sebuah pernikahan, -dan
pernikahan tetap sah selama terpenuhi syarat rukun secara syar’I, -namun karena
pencatatan akad nikah diwajibkan oleh pemerintah maka wajib bagi setiap insan
beriman untuk menaati ketetapan ini.
Bukankah merupakan salah satu pokok aqidah
Ahlussunnah yang sudah mapan bahwa wajib menaati pemerintah selagi bukan untuk
maksiat kepada Allah ?
Wallohi, jika peraturan semacam ini
dianggap tidak wajib, lalu peraturan pemerintah macam apa lagi yang akan
menjadi wajib? Renungkanlah waffaqokumullah.
NIKAH ILEGAL, NIKAH BERMASALAH[2]
DEFINISI NIKAH ‘URFI
Masalah yang sedang kita bahas ini (nikah sirri)
dalam fiqih kontemporer dikenal dengan istilah zawaj ‘urfi yaitu suatu
pernikahan yang memenuhi syarat-syarat pernikahan tetapi tidak tercatat secara
resmi oleh pegawai pemerintah yang menangani pernikahan (baca: KUA).[3]
Disebut nikah ‘urfi (adat) karena pernikahan ini
merupakan adat dan kebiasaan yang berjalan dalam masyarakat muslim sejak masa
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat yang mulia, dimana mereka
tidak perlu untuk mencatat akad pernikahan mereka tanpa ada permasalahn dalam
hati mereka.[4]
Dan definisi tersebut dapat kita pahami bahwa
sebenarnya tidak ada perbedaan yang menonjol antara pernikahan syar’I dengan
pernikahan ‘urfi, perbedaannya hanyalah antara resmi dan tidak resmi, karena
pernikahan ‘urfi adalah sah dalam pandangan syar’I disebabkan terpenuhinya
semua persyaratan nikah seperti wali dan saksi, hanya saja belum dianggap resmi
oleh pemerintah karena belum tercatat oleh pegawai KUA setempat sehingga mudah
digugat. DR. Abdul Fattah Amr berkata: “Nikah ‘urfi mudah untuk dipalsu dan
digugat, berbeda dengan pernikahan resmi yang sulit digugat”.[5]
FAKTOR-FAKTOR PENDORONG NIKAH ‘URFI
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan seorang memilih pernikahan tanpa dicatat di
KUA. Diantaranya adalah:
1.Faktor Sosial
a. Problem Poligami
Syariat Islam membolehkan bagi laki-laki yang
mampu untuk menikah lebih dari satu istri. Sebagian kaum lelaki pun ingin
mempraktikkan hal ini, namun ada hambatan sosial yang menghalanginya, sebab
poligami dipandang negatif oleh masyarakat atau undang-undang negara
mempersulit atau bahkan melarangnya.
b. Undang-undang usia
Dalam suatu Negara biasanya ada peraturan tentang
usia layak menikah. Di saat ada seorang pemuda atau pemudi yang sudah siap
menikah tetapi belum terpenuhi usia dalam undang-undang, maka akhirnya dia
memilih jalan ini.
c. Tempat tinggal yang tidak menetap.
Sebagian orang tidak menetap tempat tinggalnya
karena terikat dengan pekerjaannya atau selainnya. Terkadang dia harus tinggal
beberapa waktu yang cukup lama sedangkan istrinya tidak bisa mendampinginya.
Dari situlah dia memilih pernikahan model ini guna menjaga kehormatannya.
2. Faktor Harta
Dalam sebagian suku atau Negara masih mengakar
adat jual mahar sehingga menjadi medan
kebanggan bagi mereka. Nah, tatkala ada pasangan suami istri yang ridho dengan
dengan mahar yang relative murah, mereka menempuh pernikahan model ini karena
khawatir diejek oleh masyarakatnya.
3. Faktor Agama
Termasuk faktor juga adalah lemahnya iman, dimana
sebagian orang lebih menempuh jalan ini untuk memenuhi hasratnya bersama
kekasihnya dan tidak ingin terikat dalam suatuy pernikahan resmi.[6]
SEJARAH PENCATATAN AKAD NIKAH
Kaum muslimin pada zaman dahulu mencukupkan diri
untuk melangsungkan nikah dengan lafadz dan saksi, tanpa memandang perlu untuk
dicatat dalam catatan resmi. Namun, dengan berkembangnya kehidupan dan
berubahnya keadaaan, dimana dimungkinkan para saksi itu lupa, lalai, meninggal
dunia, dan sebagainya, maka diperlukan adanya pencatatan akad nikah secara
tertulis.[7]
Awal pencatatan akad nikah adalah ketika kaum
muslimin mulai mengakhirkan mahar atau sebagain mahar, lalu catatan pengakhiran
mahar tersebut dijadikan bukti pernikahan. Syaikhul Islam rahimahullah[8]
mengatakan: “Para sahabat tidak
menulis mahar karena mereka tidak mengakhirkannya, bahkan memberikannya secara
langsung, seandainya diantara mereka ada yang mengakhirkan tetapi dengan cara
yang baik. Tatkala manusia mengakhirkan mahar padahal waktunya lama dan
terkadang lupa maka mereka menulis mahar yang diakhirkan tersebut, sehingga
catatan itu merupakan bukti kuat tentang mahar dan bahwasanya wanita tersebut
adalah istrinya”.
MANFAAT PENCATATAN NIKAH
Pencatatan akad nikah secara resmi memiliki
beberapa manfaat yang banyak sekali, diantaranya:
1. Menjaga hak dari kesia-siaan,
baik hak suami istri atau hak anak berupa nasab, nafkah, warisan dan sebagainya.
Catatan resmi ini merupakan bukti otentik yang tidak bisa digugat untuk
mendapatkan hak tersebut.
2. Menyelesaikan persengketaan
antara suami istri atau para walinya ketika mereka berselisih, karena bisa jadi
salah satu diantara mereka akan mengingkari suatu hak untuk kepentingan pribadi
dan pihak lainnya tidak memiliki bukti karena saksi telah tiada. Maka dengan
adanya catatan ini, hal itu tidak bisa diingkari.
3. Catatan dan tulisan akan
bertahan lama, sehingga sekalipun yang bertanda tangan telah meninggal dunia
namun catatan masih berlaku. Oleh karena itu, para ulama menjadikan tulisan
merupakan salah satu cara penentuan hukum.
4. Catatan nikah akan menjaga
suatu pernikahan dari pernikahan yang tidak sah, karena akan diteliti terlebih
dahulu beberapa syarat dan rukun pernikahan serta penghalang-penghalangnya.
5. Menutup pintu pengakuan dusta
dalam pengadilan. Karena bisa saja sebagian orang yang hatinya rusak telah
mengaku telah menikahi seorang wanita secara dusta untuk menjatuhkan lawannya
dan mencemarkan kehormatan hanya karena mudahnya suatu pernikahan dengan saksi
palsu.[9]
BILA UNDANG-UNDANG MEWAJIBKAN PENCATATAN
AKAD NIKAH
Melihat manfaat-manfaat pencatatan akad nikah di
atas, maka hampir semua negara membuat peraturan agar pernikahan warganya
dicatat oleh pegawai yang ditunjuk pemerintah. Undang-undang ini merupakan
politik syar’i[10]
yang ditetapkan oleh pemerintah karena memandang maslahat dibaliknya yang
sangat besar sekali yaitu untuk menjaga hak dan khawatir adanya pengingkaran.
Kita tidak boleh lupa bahwa agama Islam dibangun
di atas maslahat dan menolak kerusakan. Seandainya saja undang-undang ini
disepelekan pada zaman sekarang niscaya akan terbuka lebar kerusakan dan bahaya
yang sangat besar serta pertikaian yang berkepanjangan, tentu saja hal itu
sangat tidak sesuai dengan syari’at kita yang indah.
Jadi apabila pemerintah memandang adanya
undang-undang keharusan tercatatnya akad pernikahan, maka itu adalah
undang-undang yang sah dan wajib bagi rakyat untuk mematuhinya dan tidak
melanggarnya. Allah ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu.” (QS.
an-Nisaa’: 59)
Al-Mawardi rahimahullah berkata: “Allah
mewajibkan kita menaati para pemimpin kita”.[11]
Dan masih banyak lagi dalil-dalil lainnya yang
mewajibkan kita taat kepada pemimpin selama perintah tersebut bukan suatu yang
maksiat.[12]
Dalam sebuah kaidah fiqih dikatakan:
“Ketetapan pemerintah pada rakyat tergantung
kepada maslahat (kebaikan)”[13]
Lantas, bukankah menjaga kehormatan dan nasab
manusia adalah maslahat yang besar?
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:
“Perintah pemerintah terbagi menjadi tiga macam:
1.Perintah yang sesuai dengan perintah Allah
seperti shoal fardlu, maka wajib menaatinya.
2.Perintah yang maksiat kepada Allah seperti
cukur jenggot, maka tidak boleh menaatinya.
3.Perintah yang bukan perintah Allah dan bukan
juga maksiat kepada Allah seperti undang-undang lalu-lintas, undang-undang
pernikahan dan sebagainya yang tidak bertentangan dengan syari’at, maka wajib
ditaati juga, bila tidak menaatinya maka dia berdosa dan berhak mendapatkan
hukuman setimpal.
Adapun anggapan bahwa tidak ada ketaatan kepada
pemimpin kecuali apabila sesuai dengan perintah Allah saja, sedangkan
peraturan-peraturan yang tidak ada dalam perintah syari’at maka tidak wajib
menaatinya, maka ini adalah pemikiran yang batil dan bertentangan dengan
al-Qur’an dan Sunnah.[14]
APAKAH PENCATATAN AKAD MERUPAKAN SYARAT
SAH NYA NIKAH?
Sekalipun demikian pentingnya pencatatan akad
nikah dalam catatan resmi KUA pada zaman sekarang –yang penuh dengan fitnah dan
pertikaian-, tetap saja bukanlah sebuah syarat sahnya sebuah pernikahan.
Artinya, apabila semua syarat telah terpenuhi, suatu pernikahan hukumnya tetap
sah sekali pun tidak tercatat dalam KUA. Hal ini berdasarkan argumen sebagai
berikut:
1. Tujuan pencatatan akad nikah adalah menjaga
hak suami istri, dan nasab anak apabila terjadi persengketaan. Tujuan ini sudah
bisa terwujudkan dengan adanya saksi dan mengumumkan pernikahan.
2. Tidak ada dalil syar’I untuk mengatakan bahwa
pencatatan akad nikah adalah syarat sahnya pernikahan.
3. Pencatatan akad nikah tidak dikenal pada zaman
Nabi, sahabat, dan ulama salaf, mereka hanya mencukupkan dengan saksi dan
mengumumkan pernikahan.
4. Dalam persyaratan ini terkadang sulit
realisasinya dalam sebagian tempat dan keadaan, seperti di pelosok-pelosok desa
yang sulit mendapatkan pegawai resmi pancatatan akad nikah.[15]
HUKUM NIKAH TANPA KUA
Karena masalah pencatatan akad nikah ini termasuk
masalah kontemporer, maka tak heran jika para ulama berbeda pandang tentang
hukumnya. Silang pendapat mereka dapat kita bagi sebagai berikut:
1. Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah tanpa
KUA hukumnya boleh dan sah secara mutlak, karena pencatatan bukanlah termasuk
syariat nikah dan tidak ada pada zaman Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam dan sahabat.
2. Sebagai ulama berpendapat bahwa nikah tanpa
KUA hukumnya haram dan tidak boleh pada zaman sekarang, karena itu termasuk
nikah sirri yang terlarang dan melanggar peraturan pemerintah yang bukan
maksiat.
3. Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah tanpa
KUA hukumnya adalah sah karena semua syarat nikah telah terpenuhi hanya saja
dia berdosa karena melanggar perturan pemerintah yang bukan maksiat.
Setelah menimbang ketiga pendapat di atas,
penulis (Ust. Abu Ubaidah) lebih cenderung kepada pendapat ketiga yang
mengatakan bahwa pernikahan tanpa KUA hukumnya adalah sah sebab pencatatan akad
nikah bukanlah syarat sah pernikahan sebagaiman telah berlalu. Hanya saja, bila
memang suatu pemerintah telah membuat suatu undang-undang keharusan pencatatan
akad nikah, maka wajib bagi kita untuk menaatinya dan tidak melanggarnya karena
hal itu bukanlah undang-undang yang maksiat atau bertentangan dengan syari’at
bahkan undang-undang tersebut dibuat untuk kemaslahatan orang banyak. Apalagi,
hal itu bukanlah suatu hal yang sulit bahkan betapa banyak penyesalan terjadi
akibat pernikahan yang tak tercatat dibagian resmi pemerintah.[16]
FATWA
Berikut ini sebuah fatwa tentang masalah ini dari
anggota komisi fatwa Saudi Arabia yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz,
anggota Syaikh Abdurrozzaq Afifi, Abdulloh al-Ghudayyan, Abdulloh bin Qu’ud:
Soal: Dalam undang-undang
Negara, seorang muslim dan muslimah yang ingin menikah dituntut datang ke
kantor pencatatan akad nikah, sehingga keduanya datang ke kantor bersama para
saksi dan melangsungkan akad nikah disana. Apakah ini merupakan nikah yang
syar’i? Bila jawabanya adalah tidak, maka apakah muslim dan muslimah harus
mendaftar dan mencatat sebelum akad nikah sesuai dengan undang-undang? Perlu
diketahui bahwa pencatatan ini berfaedah bagi suami istri ketika terjadi
sengketa?
Jawab: Apabila telah terjadi
akad ijab qobul dengan terpenuhinya semua syarat nikah dan tidak ada semua
penghalangnya maka pernikahan hukumnya adalah sah. Dan apabila secara
undang-undang, pencatatan akad nikah membawa maslahat bagi kedua mempelai
baik untuk masa sekarang maupun masa depan maka hal itu wajib dipatuhi.[17]
KESIMPULAN
Dari keterangan di atas, dapat kita tarik sebuah
kesimpulan sebagai berikut:
1.Nikah tanpa pencatatan secara resmi oleh
pegawai pemerintah hukumnya adalah sah selagi semua persyaratan nikah telah
terpenuhi.
2.Pencatatan nikah memang tidak ada pada zaman
Nabi dan para sahabat, hal ini termasuk politik syar’I yang tidak bertentangan
dengan agama bahkan memiliki banyak manfaat.
3.Wajib bagi setiap muslim menaati undang-undang
tersebut karena ini termasuk salah satu bentuk ketaatan kepada pemimpin.
Demikianlah pembahasan yang dapat kami tengahkan.
Sekali lagi, hati kami (Ust. Abu Ubdaidah) terbuka untuk menerima tanggapan dan
kritikan dari suadara pembaca semua demi kebaikan kita bersama.
Referensi:
1.Mustajaddat Fiqhiyyah fii Qodhoya Zawaj wa
Tholaq karya Usamah Umar Sulaiman al-Asyqor, Dar Nafais, Yordania, cet. 1425 H.
2. Az-Zawaj Al-‘Urfi karya Dr. Ahmad bin Yusuf
ad-Daryuwisy, Darul Ashimah, KSA, cet pertama 1426 H
3.Dll
PERTANYAAN
- Bagaimana hukum pernikahan dengan wanita yang sedang hamil?
- Bila terlanjur menikah, apa yang harus dilakukan? Apakah harus bercerai terlebih dahulu kemudian menikah lagi, atau langsung menikah tanpa harus bercerai terlebih dahulu?
- Dalam hal ini, apakah masih diperlukan mas kawin (mahar)?
- Manakah cara berdzikir yang benar sesudah shalat, dengan cara bersama-sama (kur) atau sendiri-sendiri? Dan mengeraskan suara atau tidak?
Dari Mugiyono, Jakarta Pusat
Kami jawab -dengan meminta pertolongan dari Allah
Al- ‘ Alim Al-Hakim – sebagai berikut.
JAWABAN PERTAMA
Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil ada
dua macam:
- Perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil.
- Perempuan yang hamil karena melakukan zina, sebagaimana yang banyak terjadi di zaman ini -wal ‘ iyadzu billah , mudah-mudahan Allah menjaga kita dan seluruh kaum muslimin dari dosa terkutuk ini-.
Adapun perempuan hamil yang diceraikan oleh
suaminya, maka tidak boleh dinikahi sampai lepas ‘ iddah[1] nya, dan ‘ iddahnya ialah sampai ia
melahirkan, sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu Wa
Ta ’ ala ,
“ Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘
iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya. ” [
Ath-Thalaq: 4 ]
Hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini
adalah haram, dan nikahnya batil, tidak sah, sebagaimana dalam firman Allah Ta
’ ala ,
“ Dan janganlah kalian ber- ‘ azam (bertetap
hati) untuk beraqad nikah sebelum habis ‘ iddahnya. ” [
Al-Baqarah: 235 ]
Berkata Ibnu Katsir, dalam Tafsir
-nya, tentang makna ayat ini, “ Yaitu, jangan kalian melakukan akad nikah
sampai lepas ‘ iddahnya. ” Kemudian beliau berkata, “ Dan para ulama telah
bersepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa ‘ iddah. ”
Lihat Al-Mughny 11/227, Takmilah
Al-Majmu ’ 17/347-348, Al-Muhalla 10/263, dan Zadul
Ma ‘ ad 5/156.
Adapun perempuan yang hamil karena zina, kami
perlu merinci lebih meluas, karena pentingnya perkara ini dan banyaknya kasus
yang terjadi di seputarnya. Maka, dengan mengharap curahan taufiq dan hidayah
dari Allah Al- ‘ Alim Al-Khabir , masalah ini kami uraikan sebagai
berikut.
Tentang perempuan yang telah berzina dan
menyebabkan dia hamil atau tidak, dalam hal bolehnya melakukan pernikahan
dengannya, terdapat persilangan pendapat di kalangan ulama.
Secara global, para ulama berbeda pendapat dalam
pensyaratan dua perkara untuk sahnya nikah dengan perempuan yang berzina.
Syarat pertama , bertaubat dari
perbuatan zinanya yang nista.
Dalam pensyaratan taubat, ada dua pendapat di
kalangan ulama:
- Disyaratkan bertaubat. Ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq, dan Abu ‘ Ubaid.
- Tidak disyaratkan bertaubat. Ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi ’ iy, dan Abu Hanifah.
Tarjih
Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat
pertama yang mengatakan disyaratkan untuk bertaubat.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa
32/109, “ Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat,
apakah yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau selainnya. Inilah
(pendapat) yang benar tanpa keraguan. ”
Tarjih di atas berdasarkan firman Allah ‘ Azza Wa
Jalla ,
“ Laki-laki yang berzina tidak menikahi
melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan
yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau
laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mukminin. ”
[ An-Nur: 3 ]
Lalu, dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya,
dari kakeknya, ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Âsh, beliau berkata,
أَنَّ مَرْثَدَ
بْنَ أَبِيْ مَرْثَدٍ الْغَنَوِيَّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ يَحْمِلُ الْأَسَارَى بِمَكَّةَ وَكَانَ بِمَكَّةَ امْرَأَةٌ بَغِيٌّ يُقَالُ لَهَا عَنَاقٌ وَكَانَتْ صَدِيْقَتَهُ. قَالَ
: فَجِئْتُ إِلىَ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ
يَا رَسُوْلَ اللهِ أَنْكِحُ عَنَاقًا ؟ قَالَ : فَسَكَتَ عَنِّيْ فَنَزَلَتْ : ((وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ)) فَدَعَانِيْ فَقَرَأَهَا عَلَيَّ. وَقَالَ : لاَ تَنْكِحْهَا
“ Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad
Al-Ghanawy membawa tawanan perang dari Makkah, dan di Makkah ada seorang
perempuan pelacur disebut dengan (nama) ‘Anaq dan ia adalah teman (Martsad).
(Martsad) berkata, ‘ Maka saya datang kepada Nabi shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala
alihi wa sallam lalu saya berkata, ‘ Ya Rasulullah, (apakah) saya (boleh)
menikahi ‘ Anaq? ’.’ Martsad berkata, ‘ Maka beliau diam, lalu turunlah (ayat),
‘ Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang
berzina atau laki-laki musyrik .’ Kemudian beliau memanggilku lalu
membacakannya padaku dan beliau berkata, ‘ Jangan kamu menikahi dia .’ . ”
(Hadits hasan, riwayat Abu Daud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i 6/66
dan dalam Al-Kubra 3/269, Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153,
Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1745, dan disebutkan oleh
Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Ash-Shahih Al-Musnad Min
Asbabin Nuzul )
Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan haram
menikah dengan perempuan pezina. Namun, hukum haram tersebut berlaku bila ia
belum bertaubat. Adapun kalau ia telah bertaubat maka terhapuslah hukum haram
menikah dengan perempuan pezina tersebut, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu
‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam ,
التَّائِبُ مِنَ
الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ
“ Orang yang bertaubat dari dosa seperti
orang yang tidak ada dosa baginya. ” (Dihasankan oleh Syaikh Al-Albany
dalam Adh-Dha’ifah 2/83 dari seluruh jalan-jalannya)
Adapun para ulama yang mengatakan bahwa kata nikah
dalam ayat 3 surah An-Nurini bermakna jima ’ , atau yang mengatakan
bahwa ayat ini mansukh ‘ terhapus hukumnya ’, adalah pendapat yang
jauh dari kebenaran, dan pendapat ini (yaitu yang mengatakan bermakna jima’
atau mansukh) telah dibantah secara tuntas oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa
32/112-116. Pendapat yang mengatakan haram menikah dengan perempuan pezina
sebelum bertaubat juga dikuatkan oleh Asy-Syinqithy dalam Adhwa`
Al-Bayan 6/71-84 dan lihat Zadul Ma’ad 5/114-115.
Lihat permasalahan di atas dalam Al-Ifshah
8/81-84, Al-Mughny 9/562-563 (cet. Dar ‘Âlamil Kutub),
dan Al-Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah 2/582-585.
Catatan
Sebagian ulama berpendapat bahwa perlu diketahui
kesungguhan taubat perempuan yang berzina ini dengan cara dirayu untuk berzina.
Kalau ia menolak, berarti taubatnya telah baik. Pendapat ini disebutkan oleh
Al-Mardawy dalam Al-Inshaf 8/133, diriwayatkan dari ‘Umar dan
Ibnu ‘Abbas, dan merupakan pendapat Imam Ahmad. Ibnu Taimiyah, dalam Al-Fatawa
32/125, kelihatan condong ke pendapat ini.
Tetapi Ibnu Qudamah, dalam Al-Mughny 9/564,
berpendapat lain. Beliau berkata, “ Tidak pantas bagi seorang muslim mengajak
perempuan untuk berzina dan memintanya. Karena permintaannya ini (dilakukan)
pada saat ber-khalwat ‘berduaan’ padahal tidak halal ber-khalwat dengan
Ajnabiyah ‘perempuan bukan mahram’ walaupun untuk mengajarinya (Ajnabiyah)
Al-Qur`an, maka bagaimana (bisa) hal tersebut dihalalkan dalam merayunya (Ajnabiyah)
untuk berzina? ”
Maka yang benar adalah ia bertaubat atas
perbuatan zinanya, sebagaimana ia bertaubat kalau melakukan dosa besar yang
lainnya. Yaitu dengan lima
syarat:
- Ikhlas karena Allah.
- Menyesali perbuatannya.
- Meninggalkan dosa tersebut.
- Ber-‘azam dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya.
- Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum matahari terbit dari Barat dan sebelum ruh sampai ke tenggorokan.
Dan bukan di sini tempat menguraikan dalil-dalil lima syarat ini. Wallahu
A’lam.
Syarat Kedua , telah lepas
‘iddah.
Para ulama
berbeda pendapat apakah lepas ‘iddah, apakah merupakan syarat bolehnya menikahi
perempuan yang berzina atau tidak, ada dua pendapat:
Pertama , wajib ‘iddah. Ini
adalah pendapat Hasan Al-Bashry, An-Nakha’iy, Rabi’ah bin ‘Abdurrahman, Imam
Malik, Ats-Tsaury, Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih.
Kedua , tidak wajib ‘iddah. Ini
adalah pendapat Imam Syafi’iy dan Abu Hanifah, tapi ada perbedaan antara mereka
berdua pada satu hal, yaitu menurut Imam Syafi’iy boleh untuk melakukan akad
nikah dengan perempuan yang berzina dan boleh ber-jima’ dengannya
setelah akad, apakah orang yang menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya
itu sendiri atau selainnya. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat boleh melakukan
akad nikah dengannya dan boleh ber-jima’ dengannya, apabila yang
menikahinya adalah orang yang menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau yang
menikahinya selain orang yang menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah tapi
tidak boleh ber- jima’ sampai istibra` (telah nampak
kosongnya rahim dari janin) dengan satu kali haid atau sampai melahirkan kalau
perempuan tersebut dalam keadaan hamil.
Tarjih
Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat
pertama yang wajib ‘iddah berdasarkan dalil-dalil berikut ini.
Dalil pertama , hadits Abu Sa’id
Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘
alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam bersabda tentang tawanan perang Authas,
لاَ تُوْطَأُ
حَامِلٌ حَتَّى تَضَعُ وَلاَ غَيْرُ حَامِلٍ حَتَّى تَحِيْضَ حَيْضَةً
“ Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia
melahirkan dan jangan (pula) yang tidak hamil sampai ia telah haid satu kali. ”
(diriwayatkan olehAhmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224, Al-Hakim
2/212, Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thabarany dalam Al-Ausath
no. 1973,dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 307. Di dalam
sanadnya ada rawi yang bernama Syarik bin ‘Abdullah An-Nakha’iy dan ia lemah
karena hafalannya yang jelek, tetapi hadits ini mempunyai dukungan dari jalan
yang lain dari beberapa orang shahabat sehingga dishahihkan dari seluruh
jalan-jalannya oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 187)
Dalil kedua , hadits Ruwaifi’
bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘ alaihi wa ‘
ala alihi wa sallam , beliau bersabda,
مَنْ كَانَ
يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلاَ يَسْقِ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ
“ Siapa yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat, maka jangan ia menyiramkan airnya ke tanaman orang lain. ”
(diriwayatkan olehAhmad 4/108,Abu Daud no. 2158,At-Tirmidzy no. 1131,
Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qani’ dalam Mu’jam Ash-Shahabah 1/217,
Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqat 2/114-115, dan Ath-Thabarany
5/no. 4482. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no.
2137)
Dalil ketiga , hadits Abu
Ad-Darda` riwayat Muslimdari Nabi shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa
sallam ,
أَنَّهُ أَتَى
بِامْرَأَةٍ مُجِحٍّ عَلَى بَابِ فُسْطَاطٍ فَقَالَ لَعَلَّهُ يُرِيْدُ أَنْ يُلِمَّ بِهَا فَقَالُوْا نَعَمْ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَلْعَنَهُ لَعْنًا يَدْخُلُ مَعَهُ قَبْرَهُ كَيْفَ يُوَرِّثُهُ وَهُوَ لاَ يَحِلُّ لَهُ كَيْفَ يَسْتَخْدِمُهُ وَهُوَ لاَ يَحِلُّ لَهُ.
“ Beliau mendatangi seorang perempuan yang
hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda, ‘ Barangkali orang itu
ingin menggaulinya? ’ ( Para sahabat)
menjawab, ‘ Benar. ’ Maka Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa
sallam bersabda, ‘ Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknatnya dengan
laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu tidak
halal baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal baginya
’ . ”
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah, “
Dalam (hadits) ini ada dalil yang sangat jelas akan haramnya menikahi perempuan
hamil, apakah hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang
budak-pent.), syubhat (yaitu nikah dengan orang yang haram ia nikahi
karena tidak tahu atau karena ada kesamar-samaran-pent.) atau karena zina. ”
Nampaklah dari sini kuatnya pendapat yang
mengatakan wajib ‘iddah dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah,
Ibnul Qayyim, Asy-Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga
Fatwa Saudi Arabia). Wallahu A’lam.
Catatan
Nampak dari dalil-dalil yang disebutkan di atas
bahwa perempuan hamil karena zina tidak boleh dinikahi sampai melahirkan, maka
ini ‘iddah bagi perempuan yang hamil karena zina dan ini juga ditunjukkan oleh
keumuman firman Allah ‘ Azza
Wa Jalla,
“ Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu
‘iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya. ” [
Ath-Thalaq: 4 ]
Adapun perempuan yang berzina dan belum nampak
hamilnya, ‘iddahnya diperselisihkan oleh para ulama yang mewajibkan ‘iddah bagi
perempuan yang berzina. Sebagian para ulama mengatakan bahwa iddahnya adalah istibra`
dengan satu kali haid, sedangkan ulama yang lainnya berpendapat bahwa tiga
kali haid yaitu sama dengan ‘iddah perempuan yang ditalak.
Namun, yang dikuatkan oleh Imam Malik dan Ahmad,
dalam satu riwayat, adalah cukup dengan istibra` dengan satu kali
haid. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits Abu
Sa’id Al-Khudry di atas. Adapun ‘iddah dengan tiga kali haid hanya disebutkan
dalam Al-Qur`an bagi perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh suaminya,
sebagaimana dalam firman Allah Jalla Sya`nuhu,
“ Dan wanita-wanita yang ditalak (hendaknya)
mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru`(haid). ” [
Al-Baqarah: 228 ]
Kesimpulan
- Tidak boleh menikah dengan perempuan yang berzina kecuali dengan dua syarat, yaitu bila perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan nistanya dan telah lepas ‘iddahnya.
- Ketentuan perempuan yang berzina dianggap lepas ‘iddah adalah sebagai berikut:
- Kalau ia hamil, ‘iddahnya adalah sampai melahirkan.
- Kalau ia belum hamil, ‘iddahnya adalah sampai ia telah haid satu kali semenjak melakukan perzinahan tersebut. Wallahu Ta’ala A’lam.
Lihat pembahasan di atas dalam Al-Mughny 9/561-565,
11/196-197, Al-Ifshah 8/81-84, Al-Inshaf
8/132-133, Takmilah Al-Majmu’ 17/348-349, Raudhah
Ath-Thalibin 8/375, Bidayatul Mujtahid 2/40, Al-Fatawa
32/109-134, Zadul Ma’ad 5/104-105, 154-155, Adhwa`
Al-Bayan 6/71-84, dan Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah Li
Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah 2/582-585, 847-850.
JAWABAN KEDUA
Telah jelas, dari jawaban di atas, bahwa
perempuan yang hamil, baik hamil karena pernikahan sah, syubhat maupun
karena zina, ‘iddahnya adalah sampai melahirkan. Para
ulama bersepakat bahwa akad nikah pada masa ‘iddah adalah akad yang batil lagi
tidak sah. Kalau keduanya tetap melakukan akad nikah dan melakukan hubungan
suami-istri setelah keduanya mengetahui haramnya melakukan akad pada masa
‘iddah, keduanya dianggap pezina dan keduanya harus diberi hadd ‘
hukuman ’ sebagai pezina kalau negara mereka menerapkan hukum Islam. Demikian
keterangan Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 11/242.
Kalau ada yang bertanya, “ Setelah berpisah,
apakah keduanya boleh kembali setelah lepas masa ‘iddah? ”
Jawabannya adalah ada perbedaan pendapat di
kalangan ulama.
Jumhur (kebanyakan) ulama berpendapat, “
Perempuan tersebut tidak diharamkan baginya bahkan boleh ia meminangnya setelah
lepas ‘iddahnya. ”
Tetapi pendapat mereka diselisihi oleh Imam
Malik. Beliau berpendapat bahwa perempuan telah menjadi haram baginya untuk
selama-lamanya. Beliau berdalilkan dengan atsar ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu
‘ anhu yang menunjukkan hal tersebut. Pendapat Imam Malik ini juga
merupakan pendapat terdahulu dari Imam Syafi ’ iy, tetapi belakangan Imam Syafi
’ iy berpendapat bolehnya menikah kembali setelah dipisahkan. Pendapat yang
terakhir ini merupakan zhahir yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir
-nya, dan beliau melemahkan atsar ‘Umar yang menjadi dalil bagi Imam Malik,
bahkan Ibnu Katsir juga membawakan atsar yang serupa dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu
‘ anhu yang menunjukkan bolehnya. Maka sebagai kesimpulan pendapat yang
kuat dalam masalah ini adalah boleh keduanya menikah kembali setelah lepas
‘iddah. Wal ‘ ilmu ‘ indallah .
Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/355
(Darul Fikr).
JAWABAN KETIGA
Laki-laki dan perempuan hamil yang melakukan
pernikahan dalam keadaan keduanya mengetahui tentang haramnya menikahi
perempuan hamil, kemudian mereka berdua tetap melakukan jima ’ , maka keduanya
dianggap berzina dan wajib atas hukum hadd kalau mereka berdua berada
di negara yang diterapkan hukum Islam di dalamnya, dan tidak ada mahar bagi
perempuan tersebut.
Adapun kalau keduanya tidak mengetahui tentang
haramnya menikahi perempuan hamil, ini dianggap nikah syubhat dan
harus dipisahkan antara keduanya, karena tidak sahnya nikah yang seperti ini
sebagaimana yang telah diterangkan.
Adapun mahar, si perempuan hamil ini berhak
mendapatkan maharnya kalau ia memang belum mengambil atau belum dilunasi mahar
tersebut.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا
امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتُحِلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنْ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهَا
“ Perempuan mana saja yang menikah tanpa izin
walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil, dan apabila ia
telah masuk padanya (perempuan), baginya mahar dari dihalalkannya kemaluannya,
dan apabila mereka berselisih, penguasa adalah wali bagi yang tidak mempunyai
wali. ” (diriwayatkan olehSyafi ’ iy sebagaimana dalam Musnad
-nya 1/220, 275 dan dalam Al-Umm 5/13, 166, 7/171, 222,
‘Abdurrazzaq dalam Mushannaf -nya 6/195, Ibnu Wahb sebagaimana
dalam Al-Mudawwah Al-Kubra 4/166, Ahmad 6/47, 66, 165, Ishaq
bin Rahawaih dalam Musnad -nya 2/no. 698, Ibnu Abi Syaibah
3/454, 7/284, Al-Humaidy dalam Musnad -nya 1/112, Ath-Thayalisy
dalam Musnad -nya no. 1463, Abu Daud no. 2083, At-Tirmidzy no.
1102, Ibnu Majah no. 1879, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqa no. 700,
Sa ’ id bin Manshur dalam Sunan -nya 1/175, Ad-Darimy 2/185,
Ath-Thahawy dalam Syarh Ma’ani Al-Âtsar 3/7, Abu Ya ’ la dalam Musnad
-nya no. 4682, 4750, 4837, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan
no. 4074, Al-Hakim 2/182-183, Ad-Daraquthny 3/221, Al-Baihaqy 7/105, 124, 138,
10/148, Abu Nu ’ aim dalam Al-Hilyah 6/88, As-Sahmy dalam Tarikh
Al-Jurjan hal. 315, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.
1654, dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 19/85-87.
Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 1840)
Nikah tanpa wali hukumnya adalah batil, tidak
sah, sebagaimana nikah di masa ‘iddah hukumnya batil tidak sah. Karena itu,
kandungan hukum dalam hadits mencakup semuanya.
Demikian rincian Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah, dan
Ibnul Qayyim.
Adapun orang yang ingin meminang kembali
perempuan hamil ini setelah ia melahirkan, maka kembali diwajibkan mahar
atasnya, berdasarkan keumuman firman Allah Ta ’ ala ,
“ Berikanlah kepada para perempuan (yang
kalian nikahi) mahar mereka dengan penuh kerelaan. ” [ An-Nisa`: 4
]
Juga firman Allah Subhanahu Wa
Ta ’ ala ,
فَآتُوْهُنَّ
أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً
“ Berikanlah kepada mereka mahar mereka
sebagai suatu kewajiban. ” [ An-Nisa`: 24 ]
Banyak lagi dalil yang semakna dengannya. Wallahu
A ’ lam .
Lihat Al-Mughny 10/186-188, Shahih
Al-Bukhary ( Fathul Bary )9/494, Al-Fatawa
32/198, 200, dan Zadul Ma’ad 5/104-105.
JAWABAN KEEMPAT
Ada
dua permasalahan yang harus diuraikan dalam pertanyaan yang keempat ini:
- Manakah yang paling utama, berdzikir secara bersama atau sendiri-sendiri?
- Apakah disyariatkan mengeraskan suara atau tidak ketika berdzikir?
Adapun jawaban untuk masalah yang pertama, kami
persilahkan untuk menyimak fatwa-fatwa berikut ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya sebagai
berikut.
“Apakah berdoanya imam dan makmum (secara
bersama) setelah shalat wajib boleh atau tidak?”
Beliau menjawab, “Alhamdulillah, adapun doanya
imam dan makmum secara bersama setelah shalat adalah (perkara) bid’ah, tidak
pernah ada di masa Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam . Doa
beliau hanya di pertengahan shalat, karena orang yang shalat bermunajat kepada Rabb-nya,
sehingga, kalau ia berdoa saat bermunajat kepada-Nya, itu sangatlah cocok.
Adapun doa setelah selesai bermunajat dan menghadap kepada-Nya tidaklah cocok,
tetapi yang disunnahkan setelah shalat hanyalah berdzikir dengan yang ma’tsur
‘ada riwayatnya’ dari Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam berupa
tahlil, tahmid dan takbir ….” Lihat Majmu’
Al-Fatawa 22/519-520.
Lalu pada jilid 22 hal. 512, beliau berkata,
“Tidaklah Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi
wa sallam dan para makmum berdoa setelah shalat lima waktu, sebagaimana yang dilakukan oleh
sebagian orang setelah shalat fajr dan ashar. Hal tersebut tidaklah dinukil
dari seorang pun dan tidak pula disunnahkan oleh seorang pun dari kalangan imam,
dan siapa yang menukil dari Asy-Syafi’iy bahwa ia menganggapnya sunnah, sungguh
ia telah salah, karena lafazh beliau (Imam Syafi’iy-pent.) yang ada di
buku-buku beliau menafikan hal tersebut, dan demikian pula Ahmad dan selainnya
dari para imam, mereka tidak menganggapnya sunnah ….”
Kemudian dalam pertanyaan kedua pada fatwa no.
3552 dari lembaga fatwa ulama besar Saudi Arabiyah yang dijawab dan
ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, Syaikh
‘Abdurrazzaq ‘Afify rahimahullah, Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayyan hafizhahullah
dan Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud hafizhahullah, disebutkan sebagai
berikut.
Pertanyaan: Membaca Al-Qur`an dan berdoa secara
berjamaah setelah shalat wajib, apakah termasuk sunnah atau bid’ah?
Jawaban: Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
Muhammad shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam dan sejelek-jelek
perkara adalah sesuatu yang diada-adakan. Khulafa` Ar-Rasyidin dan
para shahabat beliau telah menerima petunjuk beliau shallallahu ‘ alaihi wa
alihi wa sallam dan beramal dengannya serta menyampaikannya kepada orang
setelah mereka. Petunjuk beliau adalah berdzikir kepada Allah dan berdoa
seorang diri, dan tidaklah beliau shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam meminta
seorang pun dari para shahabat untuk berkumpul dengannya kemudian beliau berdoa
dengan orang-orang yang bersamanya secara berjamaah. Apa yang dilakukan oleh
sebagian orang dengan membaca Al-Fatihah dan berdoa secara berjamaah setelah
shalat merupakan perkara bid’ah. Telah tsabit ‘tetap,pasti’ dari
Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bahwa beliau
bersabda,
مَنْ عَمِلَ
عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Siapa yang berbuat suatu amalan yang tidak
berada di atas perkara (syariat) kami, maka ia tertolak.” (Dikeluarkan
oleh Imam Muslim dalam Shahih -nya).
Asal (hadits ini) dalam (riwayat) Ash-Shahihain
dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘ alaihi wa
alihi wa sallam sesungguhnya beliau bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ
فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang membuat perkara baru dalam agama
kami ini, apa-apa yang bukan darinya maka ia tertolak.”
Hadits-hadits yang semakna dengan ini sangatlah
banyak. Tidaklah menjadi baik akhir dari ummat ini kecuali dengan apa-apa yang
menjadikan awal dari mereka baik dengannya, sebagaimana yang dikatakan oleh
Imam Malik bin Anas rahimahullah dan selain beliau dari Ahlul
‘Ilmi. Wabillahit taufiq. Washallallahu ‘ ala nabiyyina Muhammad wa ‘
ala alihi wa shahbihi wa sallam .”
Kemudian pada pertanyaan ketiga dalam fatwa no.
2251 disebutkan sebagai berikut.
“Manusia berselisih tentang berdoa dengan cara
berjamaah setelah sunnah-sunnah rawatib. Sebagian orang berkata,
‘Tidak dinukil sesuatu pun tentang hal tersebut dari Nabi shallallahu ‘
alaihi wa alihi wa sallam dan tidak (pula) dari sahabatnya. Andaikata itu
adalah suatu kebaikan, maka tentunya mereka telah mendahului kita dalam
mengerjakannya karena mereka adalah manusia yang paling bersemangat dalam
mengikuti kebenaran.’ Sebagian orang berkata, ‘Berdoa dengan cara berjamaah
setelah sunnah-sunnah rawatib adalah mustahab ‘disukai’ dan mandub
‘dianjurkan’, bahkan masnun[2]
‘disunnahkan’, karena ia merupakan dzikir dan ibadah, dan setiap dzikir dan
ibadah paling sedikitnya adalah merupakan mustahab atau masnun.’
Mereka juga mencela orang-orang yang tidak menunggu (untuk) berdoa dan
(langsung) berdiri setelah shalat.”
Jawaban: “Doa adalah salah satu ibadah dari
bentuk-bentuk ibadah, dan ibadah-ibadah itu dibangun diatas At-Tauqif
‘tidak boleh dilakukan kecuali dengan dalil-pent.’. Tidak boleh dikatakan bahwa
ini adalah ibadah yang disyariatkan, baik dari sisi asalnya, bilangannya,
bentuknya maupun tempatnya (waktu dan tempatnya-pen), kecuali dengan dalil syar’iy
yang menunjukkan hal tersebut, dari nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa
sallam , baik dari perkataan, perbuatan maupun taqrir ‘penetapan,
persetujuan’ dari beliau, yang menunjukkan apa yang disangka oleh kelompok
kedua. Segala kebaikan adalah dengan mengikuti petunjuk beliau shallallahu
‘alaihi wa alihi wa sallam . Dalam bab ini, telah tsabit ‘tetap,pasti’
dengan dalil-dalil yang menunjukkan apa yang beliau lakukan setelah salam, dan
telah berlalu para khalifah yang mengikuti mereka dengan baik setelah mereka.
Siapa yang membuat perkara baru yang menyelisihi petunjuk Rasul shallallahu
‘ alaihi wa alihi wa sallam , maka ia tertolak. Beliau shallallahu ‘
alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ
عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang beramal dengan suatu amalan yang
tidak berada di atas perkara (syariat) kami, maka ia tertolak.”
Imam yang berdoa setelah salam, dan doanya
diaminkan oleh para makmum dan semuanya mengangkat tangan, akan dimintai dalil
yang menetapkan perbuatannya. Kalau ia tidak mempunyai dalil, maka amalannya
tertolak. Demikian pula orang yang mengerjakan hal tersebut setelah shalat nafilah
‘shalat sunnah’ dimintai dalil, sebagaimana firman Allah pada (ayat) yang
seperti ini ,
“Katakanlah, ‘Berikanlah bukti kalian jika
kalian memang benar.’.” [ Al-Baqarah: 111 ]
Kami tidak mengetahui adanya satu dalil pun, dari
Al-Kitab dan tidak pula dari sunnah, yang menunjukkan disyariatkannya
apa yang disangka oleh kelompok kedua ini, berupa doa dan dzikir berjamaah
dengan bentuk yang disebutkan dalam pertanyaan. Wabillahit taufiq.
Washallallahu ‘ ala nabiyyina Muhammad wa ‘ ala alihi wa shahbihi wa sallam
.”
Selain itu, pada pertanyaan pertama dalam fatwa
no. 3901 yang dijawab oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, ‘Abdullah bin
Ghudayyan hafizhahullah dan ‘Abdullah bin Qu’ud hafizhahullah,
disebutkan sebagai berikut.
Pertanyaan: “Apakah berdoa setelah shalat fardhu
adalah sunnah, dan apakah doa dibarengi dengan mengangkat tangan, dan apakah
diangkat bersama imam lebih utama atau tidak?”
Jawaban: “Doa setelah shalat fardhu bukanlah
sunnah kalau hal tersebut dengan mengangkat tangan, baik dari imam sendiri,
dari makmum sendiri, maupun dari keduanya secara bersama (berjamaah), bahkan
itu adalah bid’ah, karena tidak pernah dinukil dari Nabi shallallahu ‘
alaihi wa alihi wa sallam dan tidak (pula) dan para sahabatnya. Adapun doa
(sendiri-sendiri-pen.) tanpa mengangkat tangan, itu tidaklah apa-apa, karena warid
dalam sebagian hadits tentang hal tersebut. Wabillahit taufiq.
Washallallahu ‘ ala nabiyyina Muhammad wa ‘ ala alihi wa shahbihi wa sallam
.”
Adapun masalah kedua jawabannya sebagai berikut.
Imam An-Nawawy, dalam Syarh Muslim
5/117 (cet. Mu’assasah Qurthubah), menyebutkan ada perbedaan pendapat di
kalangan ulama tentang hukum mengeraskan dzikir setelah shalat fardhu:
- Sebagian para ulama salaf menganggap hal tersebut adalah sunnah, dan ini juga pendapat Ibnu Hazm Azh-Zhahiry.
- Ibnu Baththal dan yang lainnya menukil bahwa para pengikut madzhab fiqih dan selain mereka telah bersepakat tentang tidak disunnahkannya mengangkat suara dengan dzikir maupun takbir.
- Berkata Imam Syafi’iy, “Saya memilih bagi imam dan makmum untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala setelah selesai shalat dan keduanya menyembunyikan (baca: tidak mengeraskan) hal tersebut, kecuali seorang imam yang hendak diambil pelajaran darinya, maka ia mengeraskan sehingga diketahui (hal tersebut) kemudian ia menyembunyikannya.”
Para Ulama yang menganggap sunnahnya mengeraskan
dzikir berdalilkan dengan hadits riwayat Bukhary dan Muslim dari jalan Ibnu
Juraij, dari ‘Amr bin Dinar, dari Abu Ma’bad, dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
إِنَّ رَفْعَ
الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلىَّ
اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ. وَقَالَ ابْنُ
عَبَّاسٍ : كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوْا
بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ.
“Sesungguhnya mengangkat suara ketika
berdzikir saat manusia selesai dari shalat wajib, ada di masa Nabi shallallahu
‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam , dan Ibnu ‘Abbas berkata, ‘Saya mengetahui
mereka selesai dengan hal tersebut bila saya mendengarnya.’.”
Kata berdzikir menurut pandangan para
ulama di atas adalah kalimat yang umum, sehingga mencakup segala jenis dzikir.
Tetapi pendalilan ini kurang kuat, karena hadits
ini diriwayatkan pula oleh Bukhary dan Muslim dengan lafazh lain dari jalan
Sufyan bin ‘Uyainah, dari ‘Amr bin Dinar, dari Abu Ma’bad, dari Ibnu ‘Abbas,
beliau berkata (dari lafazh riwayat Muslim),
مَا كُنَّا
نَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ
وَسَلَّمَ إِلاَّ بِالتَّكْبِيْرِ
“Kami tidak mengetahui selesainya shalat
Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam , kecuali dengan
(mendengar) takbir.”
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul
Bary 2/326, “Perkataan beliau “dengan mendengar takbir” lebih
khusus dari riwayat Ibnu Juraij yang sebelumnya, karena dzikir lebih
umum daripada takbir dan mungkin riwayat ini menafsirkan (riwayat
sebelum)nya, sehingga yang diinginkan dengan mengeraskan suara dengan dzikir
adalah dengan takbir.”
Maka yang benar, dalam hadits Ibnu ‘Abbas ini,
adalah mengangkat suara pada takbir saja, bukan pada dzikir secara umum. Kami
menguatkan hal ini berdasarkan tiga alasan:
- Riwayat takbir lebih kuat dari riwayat dzikir, karena Sufyan Ibnu ‘Uyainah lebih kuat dari Ibnu Juraij dalam meriwayatkan hadits dari ‘Amr bin Dinar. Lihat Syarh ‘Ilal At-Tirmidzy 2/684-685 tahqiq Dr. Hammam.
- Apabila ada dua kalimat yang berbeda; ada yang umum dan ada yang khusus, dan dua kalimat ini berasal dari satu hadits yang sama makhraj ‘perputaran sanad’-nya, maka pengertian kalimat yang umum dikembalikan ke kalimat yang khusus. Demikian dikatakan oleh Ibnu Daqiqil ‘Ied dan selainnya dari para ulama ahli ushul fiqih.
Demikian pula dalam hadits ini, kata dzikir
lebih umum daripada kata takbir. Karena perputaran hadits ini satu,
yaitu ‘Amr bin Dinar, dari Abu Ma’bad, dari Ibnu ‘Abbas, maka kata dzikir
dikembalikan maknanya kepada kata takbir, sehingga bisa disimpulkan
bahwa yang diinginkan dengan dzikir itu adalah takbir saja. Wallahu
A’lam.
- Lafazh riwayat Muslimyang kami sebutkan di atas datang dalam bentuk hashr ‘pembatasan’, sehingga semakin menguatkan bahwa hanya takbir saja yang disyariatkan untuk diucapkan dengan mengangkat suara setelah shalat. Wallahu A’lam.
Adapun selain takbir, dalil-dalil dari Al-Qur`an
dan Sunnah menunjukkan bahwa dzikir tidak dikeraskan. Banyak dalil yang
menunjukkan hal tersebut, di antaranya:
Firman Allah Ta’ala,
“Dan sebutlah (nama) Rabb-mu pada dirimu
dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara di
waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai
.”[ Al-A'raf: 205 ]
Berkata Ibnu Katsir, “Dan demikianlah disunnahkan
bahwa dzikir itu tidak berupa teriakan atau suara keras yang berlebihan.”
Lalu sabda Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa
‘ ala alihi wa sallam ,
أَيُّهَا
النَّاسُ اِرْبَعُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ
إِنَّكُمْ لَيْسَ تَدْعُوْنَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا إِنَّكُمْ
تَدْعُوْنَ سَمِيْعًا قَرِيْبًا وَهُوَ مَعَكُمْ
“Wahai sekalian manusia, kuasailah diri-diri
kalian dan rendahkan suara kalian, karena sesungguhnya kalian tidak berdoa
kepada yang tuli dan tidak ada. Sesungguhnya kalian berdoa kepada Yang Maha
Mendengar dan Maha Dekat, dan Dia bersama kalian.” (Diriwayatkan oleh
Bukhary-Muslim dari Abu Musa Al-Asy’ary radhiyallahu ‘anhu)
Kemudian hadits Abu Sa’id Al-Khudry, Rasulullah shallallahu
‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam bersabda,
أَلاَ إِنَّ
كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلاَ يُؤْذِيَنَّ
بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلاَ يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي
الْقِرَاءَةِ أَوْ قَالَ فِي الصَّلاَةِ
“Ketahuilah bahwa setiap dari kalian
bermunajat kepada Rabbnya, maka jangan sekali-sekali sebagian dari kalian
mengganggu sebagian yang lain, dan jangan (pula) sebagian dari kalian
mengangkat suaranya terhadap sebagian yang lain dalam membaca, atau beliau
berkata, dalam shalat.” ( Diriwayatkan oleh Ahmad 3/94, Abu Daud no. 1332,
An-Nasa`i dalam Al-Kubra 5/32, Ibnu Khuzaimah no. 1162,
Abdu bin Humaid no. 883, Al-Hakim 1/454, Al-Baihaqy 3/11 dan dalam Syu’abul
Îman 2/543, dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid
23/318. Dishahihkan oleh Syaikh Muqbil rahimahullah di atas syarat Asy-Syaikhain
dalam Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shahihain )
Selain itu, Syaikhuna Muqbil Al-Wadi’iy rahimahullah,
dalam kitab Ijabah As-Sa`il hal. 79, menyebutkan beberapa
dampak yang kurang baik dari mengeraskan dzikir, di antaranya:
- Orang yang berdzikir akan terganggu oleh dzikir orang lain jika semuanya mengangkat suara, khususnya kalau susunan dzikirnya berbeda-beda.
- Akan mengganggu orang-orang yang masbuq.
- Mengganggu orang yang melakukan shalat sunnah (orang yang shalat sunnah setelah shalat wajib tanpa dzikir karena ada keperluan yang mendesak atau yang lainnya). Wallahu A’lam.
Kesimpulan
Dzikir tidak di-jahr-kan (tidak
dikeraskan) setelah shalat fardhu, kecuali ucapan takbir yang disunnahkan untuk
dikeraskan.
Pelengkap
Ucapan takbir adalah mengucapkan Allahu Akbar,
tetapi tidak disebutkan dalam hadits berapa kali takbir ini diucapkan. Karena
itu, takbir boleh diucapkan beberapa kali tanpa batas, tetapi lebih utama
dengan urutan bilangan ganjil, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah riwayat
Bukhary-Muslim, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ
وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ
“Sesungguhnya Allah itu tunggal, menyenangi
bilangan ganjil.”
[1]
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar sebagaimana dalam Nailul Authar
4/438 , “‘Iddah adalah istilah bagi waktu penantian seorang perempuan untuk
menikah (lagi) setelah suaminya meninggal atau (suaminya) menceraikannya.
(Berakhirnya waktu ini) dengan (sebab dia) melahirkan (jika hamil), quru`
(yaitu haid menurut pendapat yang kuat-pen.) atau dengan (berlalunya) beberapa
bulan.”
[2]
Kata mustahabb, mandub dan masnun menurut para ulama
ushul fiqh bermakna sama , yaitu disunnahkan, tetapi kami
menerjemahkannya sesuai dengan konteks pertanyaan.
Dalil dan Referensi Nikah Dari Al Qur’an dan Hadist
“Sesungguhnya, apabila seorang suami memandang
isterinya (dengan kasih & sayang) dan isterinya juga memandang suaminya
(dengan kasih & sayang), maka Allah akan memandang keduanya dengan
pandangan kasih & sayang. Dan apabila seorang suami memegangi jemari
isterinya (dengan kasih & sayang) maka berjatuhanlah dosa-dosa dari segala
jemari keduanya” (HR. Abu Sa’id)
“Shalat 2 rakaat yang diamalkan orang yang sudah
berkeluarga lebih baik, daripada 70 rakaat yang diamalkan oleh jejaka (atau
perawan)” (HR. Ibnu Ady dalam kitab Al Kamil dari Abu Hurairah)
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berpikir” (Ar-Ruum 21)
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di
antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. JIKA MEREKA MISKIN ALLAH AKAN
MENGKAYAKAN MEREKA DENGAN KARUNIANYA. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) dan
Maha Mengetahui.” (An Nuur 32)
“Dan segala sesuatu kami jadikan
berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat kebesaran Allah” (Adz Dzariyaat 49)
“Janganlah kalian mendekati zina, karena zina itu
perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk” (Al-Isra 32)
“Dialah yang menciptakan kalian dari satu orang,
kemudian darinya Dia menciptakan istrinya, agar menjadi cocok dan tenteram
kepadanya” (Al-A’raf 189)
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki
yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula),
dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang
baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)” (An-Nur 26)
“Berikanlah mahar (mas kawin) kepada wanita (yang
kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan” ( An Nisaa : 4)
“Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak suka,
bukan golonganku” (HR. Ibnu Majah, dari Aisyah r.a.)
“Empat macam diantara sunnah-sunnah para Rasul
yaitu : berkasih sayang, memakai wewangian, bersiwak dan menikah” (HR.
Tirmidzi)
“Janganlah seorang laki-laki berdua-duan
(khalwat) dengan seorang perempuan, karena pihak ketiga adalah syaithan” (Al
Hadits)
“Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian
yang telah mampu untuk kawin, maka hendaklah dia menikah. Karena dengan menikah
itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang
siapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa
itu bisa menjadi perisai baginya” (HR. Bukhori-Muslim)
“Janganlah seorang laki-laki dan wanita
berkhalwat, sebab syaithan menemaninya. Janganlah salah seorang di antara kita
berkhalwat, kecuali wanita itu disertai mahramnya” (HR. Imam Bukhari dan Iman
Muslim dari Abdullah Ibnu Abbas ra).
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari
Akhir, hendaklah tidak melakukan khalwat dengan seorang wanita yang tidak
disertai mahramnya, karena sesungguhnya yang ketiga adalah syetan” (Al Hadits)
“Dunia ini dijadikan Allah penuh perhiasan, dan
sebaik-baik perhiasan hidup adalah istri yang sholihah” (HR. Muslim)
“Jika datang (melamar) kepadamu orang yang engkau
senangi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan putrimu). Jika kamu
tidak menerima (lamaran)-nya niscaya terjadi malapetaka di bumi dan kerusakan
yang luas” (H.R. At-Turmidzi)
“Barang siapa yang diberi istri yang sholihah
oleh Allah, berarti telah ditolong oleh-Nya pada separuh agamanya. Oleh karena
itu, hendaknya ia bertaqwa pada separuh yang lain” (Al Hadits)
“Jadilah istri yang terbaik. Sebaik-baiknya
istri, apabila dipandang suaminya menyenangkan, bila diperintah ia taat, bila
suami tidak ada, ia jaga harta suaminya dan ia jaga kehormatan dirinya” (Al
Hadits)
“Tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah :
a. Orang yang berjihad / berperang di jalan Allah. b. Budak yang menebus
dirinya dari tuannya. c. Pemuda / i yang menikah karena mau menjauhkan dirinya
dari yang haram” (HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Hakim)
“Wahai generasi muda ! Bila diantaramu sudah
mampu menikah hendaklah ia nikah, karena mata akan lebih terjaga, kemaluan akan
lebih terpelihara” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud)
“Kawinlah dengan wanita yang mencintaimu dan yang
mampu beranak. Sesungguhnya aku akan membanggakan kamu sebagai umat yang
terbanyak” (HR. Abu Dawud)
“Saling menikahlah kamu, saling membuat
keturunanlah kamu, dan perbanyaklah (keturunan). Sesungguhnya aku bangga dengan
banyaknya jumlahmu di tengah umat yang lain” (HR. Abdurrazak dan Baihaqi)
“Seburuk-buruk kalian, adalah yang tidak menikah,
dan sehina-hina mayat kalian, adalah yang tidak menikah” (HR. Bukhari)
“Diantara kamu semua yang paling buruk adalah
yang hidup membujang, dan kematian kamu semua yang paling hina adalah kematian
orang yang memilih hidup membujang” (HR. Abu Ya¡¦la dan Thabrani)
“Dari Anas, Rasulullah SAW. pernah bersabda :
Barang siapa mau bertemu dengan Allah dalam keadaan bersih lagi suci, maka
kawinkanlah dengan perempuan terhormat” (HR. Ibnu Majah,dhaif)
“Rasulullah SAW bersabda : Kawinkanlah
orang-orang yang masih sendirian diantaramu. Sesungguhnya, Allah akan memperbaiki
akhlak, meluaskan rezeki, dan menambah keluhuran mereka” (Al Hadits)
“Barangsiapa yang menikahkan (putrinya) karena
silau akan kekayaan lelaki meskipun buruk agama dan akhlaknya, maka tidak akan
pernah pernikahan itu dibarakahi-Nya, Siapa yang menikahi seorang wanita karena
kedudukannya, Allah akan menambahkan kehinaan kepadanya, Siapa yang menikahinya
karena kekayaan, Allah hanya akan memberinya kemiskinan, Siapa yang menikahi
wanita karena bagus nasabnya, Allah akan menambahkan kerendahan padanya, Namun
siapa yang menikah hanya karena ingin menjaga pandangan dan nafsunya atau
karena ingin mempererat kasih sayang, Allah senantiasa memberi barakah dan
menambah kebarakahan itu padanya” (HR. Thabrani)
“Janganlah kamu menikahi wanita karena
kecantikannya, mungkin saja kecantikan itu membuatmu hina. Jangan kamu menikahi
wanita karena harta / tahtanya mungkin saja harta / tahtanya membuatmu
melampaui batas. Akan tetapi nikahilah wanita karena agamanya. Sebab, seorang
budak wanita yang shaleh, meskipun buruk wajahnya adalah lebih utama” (HR. Ibnu
Majah)
“Dari Jabir r.a., Sesungguhnya Nabi SAW. telah
bersabda : Sesungguhnya perempuan itu dinikahi orang karena agamanya,
kedudukan, hartanya, dan kecantikannya ; maka pilihlah yang beragama” (HR.
Muslim dan Tirmidzi)
“Wanita yang paling agung barakahnya, adalah yang
paling ringan maharnya” (HR. Ahmad, Al Hakim, Al Baihaqi dengan sanad yang
shahih)
“Jangan mempermahal nilai mahar. Sesungguhnya
kalau lelaki itu mulia di dunia dan takwa di sisi Allah, maka Rasulullah
sendiri yang akan menjadi wali pernikahannya.” (HR. Ashhabus Sunan)
“Sesungguhnya berkah nikah yang besar ialah yang
sederhana belanjanya (maharnya)” (HR. Ahmad)
“Dari Anas, dia berkata : ” Abu Thalhah menikahi
Ummu Sulaim dengan mahar berupa keIslamannya” (Ditakhrij dari An Nasa’i)
“Adakanlah perayaan sekalipun hanya memotong seekor kambing.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Adakanlah perayaan sekalipun hanya memotong seekor kambing.” (HR. Bukhari dan Muslim)
MACAM-MACAM NIKAH YANG TIDAK SYAH MENURUT SYARI’AT
1. Nikah syighar
Adalah seorang laki-laki menikahkan anak
perempuan, saudara perempuan atau budak perempuannya kepada seorang laki-laki
dengan syarat laki-laki tersebut menikahkan anak perempuan, saudara perempuan
atau budak perempuannya kepadanya, baik ketika adanya maskawin maupun tanpa
maskawin dalam kedua pernikahan tersebut
Para ulama telah
sepakat mengharamkan nikah syighar, hanya saja mereka bereda pendapat
mengenai keabsahan nikah syighar. Jumhur ulama berpendapat nikah syighar
tidak sah, berdasarkan dalil:
1. Hadits dari Jabir radiallahuanhu, dia berkata: “Rasulullah shallallahu alayhi wasalam melarang nikah syighar“(HR Muslim)
1. Hadits dari Jabir radiallahuanhu, dia berkata: “Rasulullah shallallahu alayhi wasalam melarang nikah syighar“(HR Muslim)
2. Hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah
radiallahuanhu, dia berkata “Rasulullah shallallahu alayhi wasalam melarang
nikah syighar” Abu Hurairah radiallahuanhu berkata “Nikah syighar
bekata kepada laki-laki lain, ‘Nikahkanlah aku dengan anak perempuanmu dan
sebagai gantinya aku akan menikahkan kamu dengan anak perempuanku’ ” Atau
dia mengatakan “Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu dan sebagai
gantinya aku akan menikahkan kamu dengan saudara perempuanku“(HR Muslim,
An Nasa’i, dan Ibnu Majah)
3. Hadits dari Al Araj, dia berkata : Al Abbas
bin Abdullah bin Abbas pernah menikahkan Abdurrahman dengan anak perempuannya,
dan sebaliknya Abdurrahman juga menikahkan Al Abbas dengan anak perempuannya.
Dalam kedua pernikahan itu keduanya membayar maskawin. Setelah mendengar pernikahan
ini, Mu’awiyah menulis surat kepada Marwandan menyuruhnya untuk menceraikan
pernikahan itu. Dalam surat itu Mu’awiyah berkata, “ini mereupakan nikah
syighar yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu alayhi wasalam” (HR Abu
Dawud)
4. Sabda Nabi Shallallahu alayhi wasalam:
“Barang siapa mensyaratkan sesuatu yang tidak
terdapat dalam kitab Allah (al-Qur’an), maka ia tidak sah, sekalipun ia
mensyaratkan 100 syarat. Syarat dari Allah itu lebih haq dan lebih kuat“(HR
Bukhari dan Muslim)
5. yang menyebabkan pernikahan ini tidak sah
adanya persyaratan yang mengharuskan tukar menukar (anak atau saudara
perempuan). Di dalam syighar terdapat suatu kekejian yang sangat
besar, yaitu adanya pemaksaan terhadap perempuan untuk menikah dengan orang yang
tidak dicintainya. Permasalahan ini menyimpulkan anjuran kepada para wali agar
memperhatikan perasaan anak-anak perempuannya, karena perbuatan ini dapat
menzalimi mereka. Disamping itu pernikahan ini juga menghalangi mereka dari
kemungkinan mendapatkan mahar yang seyogyanya. Kasus seperti ini sering terjadi
dikalangan orang-orang yang mempraktekkan model pernikahan seperti ini.
Pernikahan syighar juga sering menimbulkan perselisihan dan
persengketaan. Apa yang disebutkan diatas merupakan balasan dari Allh didunia
bagi orang-orang yang tidak melaksanakan aturan-Nya.
2. Nikah Muhallil
Nikah muhallil adalah seorang laki-laki
(perantara) yang menikahi seorang perempuan yang sudah dicerai oleh suaminya
sebanyak tiga kali, (setelah menikahi) kemudian menceraikannya dengan tujuan
agar suami yang pertama dapat menikahinya kembali.
Nikah ini (muhallil) termasuk dosa
besar, yang dilarang oleh Allah. Orang yang menjadi perantara dan diperantarai
dalam nikah muhallil dilaknat oleh Allah. Dalil yang melarang nikah muhallil:
1. Dari Ibnu Mas’ud radiallahuanhu dia berkata: “Rasulullah
melaknat al-Muhallil (laki-laki yang menikahi perempuan dan menceraikannya) dan
muhallalah(orang yang menyryu muhallil)“(HR Tirmidzi, an Nasa’i dan
Ahmad).
Jumhur ulama seperti Mali, Syafi’i -dalam
salah satu pendapatnya-, Ahmad, Al laits, at-Tsauri, Ibnu Mubarak dan
ulama lainnya berpendapat nikah ini tidak sah. Umar bin Khaththab, Abdullah bin
Umar dan Ustman bin Affan juga berpendpat demikian. (Lihat Al Bidayah Al
Mujtahid2/120, Al Mughni 6/149)
a. Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab dia
berkata “Tidaklah dilaporkan kepadaku mengeni seorang muhallil dan
muhallalah melainkan aku akan merajam keduanya“(HR Abdurrazaq dan Sa’id
bin Mansur).
b. Ibnu Umar pernah ditanya tentang seseorang
yang menikahi wanita yang sudah dicerai sebanyak tiga kali oleh suaminya dengan
tujuan agar suami pertama dapat menikahinya kembali. ibnu Umar menjawab : “perbuatan
itu adalah zina“(HR Abdurrazaq).
3. Nikah Mut’ah
Adalah seorang lelaki yang menikahi seorang perempuan
untuk waktu tertentu -sehari, dua hari atau lebih- dengan memberikan
imbalan kepada pihak perempuan berupa harta atau lainnya.
Nikah mut’ah pernah diperbolehkan oleh
Rasulullah shallallahu alayhi wasalam kemudia dihapus oleh Allah melalaui sabda
Nabi shallallahu alayhi wasalam dan beliau telah mengharamkan nikah mut’ah
samapi hari kaiamat.
Terdapat perbedaan mengenai hadits-hadits yang
menjelaskan tentang informasi waktu dihapuskannya nikah mut’ah.
Diantara hadits-hadits shahih yang menjelaskannya
adalah:
1. Nikah mut’ah dihapus pada saat perang
Khaibar
Diriwayatkand ari Ali bahwa dia pernah berkata
kepada Ibnu Abbas, “Sesungguhnya Nabi shallallahu alayhi wasalam telah
mengharamkan nikah mut’ah dan mengharamkan memakan daging keledai piaraan pada
waktu perang khaibar ” (HR Bukhari dan Muslim).
Setelah itu Nabi shallallahu alayhi wasalam
memberi keringanan lagi dengan membolehkan nikah mut’ah. hanya saja informasi
tentang keringanan ini tidak sampai kepada Ali bin abi Thalib, sehingga dia
melandaskan pendapatnya berdasarkan apa yang pernah dia dengar dari Rasulullah
shallallahu alayhi wasalam tentang diharamkannya nikah mut’ah pada
peristiwa khaibar.
2. Nikah Mut’ah dihapus pada tahun
penaklukan kota Mekah.
Diriwayatkan dari Ar-Rabi’ bin Subrahbahwa ayahnya,
Subrah pernah berperang bersama Rasulullah shallallahu alayhi wasalam pada saat
penaklukan kota Mekah. Dia berkata: “Kami tinggal diMekah selama lima belas
hari, lalu Rasulullah shallallahu alayhi wasalam membolehkan kami
menikah secara mut’ah. Kemudian aku menikah secara mut’ah dengan seorang gadis
dan aku tidak keluar (berpisah dengannya) sampai Rasulullah shallallahu alayhi
wasalam melarangnya“(HR Muslim).
dalam Riwayat lain disebutkan “….wanita-wanita
yang kami nikahi secara mut’ah itu bersama kami slema tiga hari, kemudia
Rasulullah memerintahkan kami agar mencerai mereka” (HR Muslim dan
Baihaqi).
Dalam riwayat lain disebutkan dengan redaksi “Rasulullah
memerintahkan kami menikah secara mut’ah pada tahun penaklukan kota Mekah
ketiak kami memasuki kota Mekah dan kami tidak keluar dari kota Mekah sampai
Nabi shallallahu alayhi wasalam melarangnya” (HR Muslim).
3. Nikah Muta’h dihapus pada tahun Authas
Diriwayatkan dari Salamah bin Al-Akwa’, dia
berkata “Rasulullah memberi kelonggaran untuk nikah mut’ah selaam tiga hari
pada tahun Authas (tahun penaklukan kota Mekah) kemudia beliau melarangnya”
(HR Muslim, Albaihaqi dan Ibnu Hibban).
Pernikahan tahun ini (Authas) adalah
pengharaman secara permanen sampai hari kiamat.
CATATAN.
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah
radiallahuanhu, dia berkata “kami pernah menikah secara mut’ah dengan
segenggam kurma dan gandum pada masa Rasulullah dan Abu Bakar, hingga akhirnya
Umar bin Khaththab melarangnya ketika terjadi kasus Amru bin Harits” (HR
Muslim dan Abu Dawud).
Hadits ini ditafsirkan, bahwa orang yang
melakukan nikah mut’ah pada zaman Abu Bakar mungkin karena berita
mengenai pengharamannya tidak sampai kepada mereka. (lihat syarah Ma’ani Al
Atsar 3/27 dan Syarah Muslim 3/555).
Lalu bagaimana dengan orang yang sudah terlanjur
nikah mut’ah ? apa yang harus dilakukan ?
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa
nikah mut’ah adalah tidak sah. Dengan demikian dia harus bercerai.
Sebab Nabi shallallahu alayhi wasalam menyuruh orang yang melakukan nikah mut’ah
untuk menceraikan isterinya, sebagaimana dengan hadits yang diriwayatkan oleh
Subrah.
4. Nikah Sirri
Pernikahan yang tidak diketahui oleh siapapun dan
tidak ada wali dari wanita. Pada hakiktnya ini adalah zina karena tidak
memenuhi syarat sahnya nikah.
Al-qur’an dan hadits telah menunjukkan bahwa
salah satu syarat sahnya nikah adalah adalah adanya wali. Pernikahan ini tidak
sah dan harus dibatalkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar