Selasa, 07 April 2015

Makalah Muamalah



KATA PENGANTAR
Sebagai pedoman bagi manusia, Al-Quran mengandung ajaran tentang kehidupan manusia yaitu manusia sebagai hamba dan manusia sebagai wakil Allah SWT. di bumi (khalifah). Keluasan kandungan Al-Quran tersebut menjadi bukti terhadap firman Allah SWT., artinya :” Kitab itu (Al-Quran) adalah tidak ada keraguan, dan menjadi pedoman bagi orang yang bertakwa[1]”. (QS. Al-Baqarah : 2).

Ciri-ciri orang yang bertakwa di antaranya adalah mendayagunakan “akal”  untuk meneliti isi Al-Quran. Usaha tersebut dilakukan atas dasar melaksanakan perintah Allah SWT. serta untuk meningkatkan pengamalan Al-Quran dalam kehidupan.

Berdasarkan paradigma tersebut, termotivasi penulis untuk mengkaji firman Allah SWT. ayat 282 dari surat Al-Baqarah yang mengatur tentang utang piutang.

Kajian ini dilakukan sebagai sebuah jawaban terhadap pertanyaan – pertanyaan sebagai berikut : 1). Kenapa Allah SWT. memerintahkan pencatatan dan kesaksian dalam transaksi utang piutang?; 2). Kenapa kesaksian dua wanita di mata Allah SWT. sama dengan satu lelaki?; 3). Dan sejauhmana dampak manajemen utang piutang tersebut terhadap kehidupan manusia?.

Dalam kajian ini penafsiran Ibnu Katsir penulis jadikan sebagai dasar dalam memahami maksud ayat. Kemudian ayat tersebut penulis bahas secara mendalam melalui pendekatan ilmu sosiologi, psykologi, akuntansi dan fiqih.
Wallahu a’lam.     

Darussalam, Banda Aceh
19 Rabiul Akhir 1433 H. / 29 Maret 2011 M.
Al Furqan

I. Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk Allah SWT. mempunyai peran ganda yaitu sebagai hamba dan sebagai khalifah di bumi. Peran ganda tersebut jika dikelola dengan benar berdasarkan ketentuan Allah SWT., kehidupan manusia akan menjadi baik (dunia – akhirat) karena ihwal kehidupan manusia sangat ditentukan dari ketaatan mereka kepada Allah SWT.

Aristatoles filosof Yunani (384 - 322 SM.) menyampaikan teori tentang  manusia. Manusia adalah “Zoon Politikon” yaitu makhluk sosial yang hanya menyukai hidup bergolongan, atau sedikitnya mencari teman untuk hidup bersama, lebih suka daripada hidup menyendiri[2]. Pertemanan tersebut dalam sosiologi diistilahkan sebagai relasi sosial (social relation). Sedangkan dalam fiqih dinamakan dengan muamalah.

Relasi atau interaksi sosial sebagai sebuah kebutuhan manusia, maka ketersediaan pedoman (worldview) untuk menjaga kebutuhan tersebut adalah sebuah keniscayaan. Untuk kepentingan itu, manusia membuat peraturan – peraturan berdasarkan keyakinan dan budaya mereka masing-masing.     

Manusia yang benar, menjadikan Al – Quran dan Hadis sebagai pedoman dalam mewujudkan keharmonisan
ber-muamalah. Kedua sumber tersebut berisikan tentang aqidah dan syari’ah yang kemudian syari’ah itu sendiri terdiri dari ibadah dan muamalah.

Aqidah berkaitan dengan persoalan keimanan dan keyakinan manusia terhadap eksistensi Allah SWT. Ibadah berkaitan dengan pengabdian manusia sebagai hamba kepada Allah SWT. Sedangkan muamalah merupakan ajaran yang berkaitan dengan interaksi manusia dengan yang lain dalam memenuhi kebutuhan masing-masing[3].

Konsep muamalah yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadis adalah seluruh tindakan manusia tidak bisa melepaskan diri dari nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, mengutamakan kemaslahatan umum, kesamaan hak dan kewajiban serta melarang berbuat curang dan melarang berperilaku tidak bermoral di antara satu dengan yang lain[4]. Peraturan muamalah seperti itu salah satunya terdapat dalam ayat 282 dari surat Al-Baqarah yang mengatur tentang hutang piutang.

Untuk mengetahui bagaimana peraturan hutang piutang dari ayat tersebut dan sejauhmana dampak aturan itu terhadap kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, dalam kajian ini penulis akan menafsirkan ayat 282 dari surat Al-Baqarah  secara mendalam.

Dalam memahami maksud ayat tersebut, tafsir Ibnu Katsir penulis jadikan sebagai referensi primer.  Sedangkan untuk mengetahui sejauhmana dampak manajemen tersebut terhadap kehidupan manusia, buku-buku tentang sosiologi, psykologi, fiqih dan akuntansi penulis posisikan juga sebagai referensi utama.Jika referensi yang diperlukan tidak penulis dapati, maka penulis akan menguraikan secara inferential. Wallahu a’lam.

II. Pokok Bahasan
 Untuk kepentingan kajian tentang konsepsi ber-muamalah  yang tertuang dalam Al-Quran dalam tulisan singkat ini akan penulis tafsirkan QS. Al – Baqarah ayat 282 yang berisikan tentang manajemen utang piutang.

Dalam penafsiran ini, penulis menafsirkan ayat tersebut tidak hanya merujuk kepada penafsiran yang sudah ada, dalam hal ini tafsir Ibnu Katsir.   Akan tetapi untuk memahami lebih dalam ayat dimaksud, penulis menafsirkan dengan melibatkan disiplin ilmu pengetahuan sosiologi, psykologi, akuntansi dan fiqih. Dengan pendekatan interdisipliner ini diharapkan, sisi positif bagi manusia dari manajemen utang piutang yang tersurat dalam Al-Quran bisa dibuktikan secara ilmiah.

Ayat 282 Al-Quran surat  Al – Baqarah, artinya adalah sebagai berikut :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau (lemah keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mendiktekan, maka hendaklah walinya mendiktekan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (tulislah muamalahmu itu) kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah jika kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.[5]

III. Asbab An-Nuzul
Ulama sepakat, bahwa ayat-ayat Al-Quran yang turun tidak semuanya memiliki asbab an-nuzul. Berdasarkan kesepakatan ulama tersebut, pengertian asbab an-nuzul adalah sebab-sebab (peristiwa) yang melatari turun ayat-ayat Al-Quran.

Pengertian tersebut di atas penulis pahami dari pengertian asbab an-nuzul yang didefinisikan oleh kalangan ulama baik al-Zarqani[6], Manna Al-Qaththan[7] serta Dr.M.Quraisy Syihab[8].

Istilah “SEBAB” di sini, tidak sama pengertiannya dengan istilah “SEBAB” yang dikenal dalam hukum kausalitas. Karena adanya asbab an-nuzul untuk ayat-ayat tertentu lebih bersifat penampakan hubungan kebijaksanaan antara Allah SWT. sebagai pemberi petunjuk dengan manusia yang diberi petunjuk.

Mengetahui asbab an-nuzul dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran akan membantu para mufassir dalam memahami maksud dari sebuah ayat Al-Quran. Pandangan demikian maskipun redaksi yang berbeda dinyatakan juga oleh al-Syatibi, al-Wahidi, Ibn Daqiq al-Id, Ibn Taymiyah, al-Sayuti[9].

Sebagai contoh manfaat dari mengetahui asbab an-nuzul adalah menghilangkan kemusykilan dalam memahami terhadap maksud ayat. Kesukaran dalam memahami maksud ayat pernah dialami oleh Marwan bin Hakam tentang kemusykilan Marwan dalam memahami ayat 188 QS. Ali-Imran yang artinya : “ Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka dipuji atas perbuatan yang tidak mereka lakukan, jangan sekali-kali kamu mengira bahwa mereka akan lolos dari azab. Mereka akan mendapat azab yang pedih”[10].   
Kesukaran Marwan dari ayat itu adalah bagaimana mungkin orang yang bergembira dengan apa yang telah diperbuatnya dan senang dipuji atas apa yang tidak diperbuatnya, lalu disiksa oleh Allah?.

Akan tetapi ketika Marwan mengetahui asbab an-nuzul ayat tersebut melalui Ibn ‘Abbas, kesukaran Marwan tersebut terjawab. Asbab an-nuzul ayat dimaksud adalah berkaitan dengan pertanyaan Rasulullah SAW. kepada orang-orang Yahudi dan mereka tidak menjawab pertanyaan Rasulullah SAW.  bahkan mereka menceritakan apa yang tidak ditanyakan Rasulullah SAW. Mereka mengira bahwa tindakan mereka itu menimbulkan respek Rasulullah SAW. (marah) kepada mereka sehingga mereka merasa gembira dengan sikap tersebut.

Kesepakatan ulama sebagaimana tersebut di atas bahwa tidak semua ayat dalam Al-Quran memiliki asbab an-nuzul salah satunya terbukti dengan ayat 282 yang tersurat  dalam QS. Al-Baqarah. Ayat tersebut turun bukan dilatari dari suatu peristiwa sebagaimana pengertian asbab an-nuzul itu sendiri.
Tapi bila dipahami bahwa Al-Quran turun sebagai hidayah dan berisi pesan-pesan moral, maka setiap ayat yang turun tidak kosong dari asbab an-nuzul. Begitu juga halnya dengan ayat 282 dalam QS. Al-Baqarah. Wallahu a’lam.

IV. Manajemen Utang Piutang (QS. Al-Baqarah Ayat 282) :
      Sebuah Konsep Sosial (muamalah) Dalam Islam
Manusia dalam hidup dan kehidupannya tidak dapat melepaskan diri dari hidup berkelompok yang demikian sudah terlihat semenjak manusia itu lahir. Pakar sosiologi Ellwood menyatakan; kehidupan sosial harus dipandang sebagai satuan tabiat kejiwaan yang lebih tinggi dan lebih sesuai yang telah tumbuh dari satuan biologi[11].  

Unsur-unsur keharusan biologi manusia untuk hidup dan berkehidupan sosial dapat diketahui dari berbagai macam pendekatan di antaranya ialah;  kebutuhan untuk perlindungan; kebutuhan untuk makan; kebutuhan untuk berkembang biak; dan kebutuhan untuk bermasyarakat[12].

Memenuhi kebutuhan tersebut, manusia dengan segenap potensi yang ada berupaya memperoleh kebutuhan mereka berdasarkan kemampuan masing-masing. Hal demikian teridentifikasi dari hasil usaha manusia yang variatif dan berimplikasi kepada tingkatan sosial mereka.

Tingkatan sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia akan menyebabkan kebaikan bagi mereka jika satu dengan yang lain saling mengisi dan tidak saling menzalimi. Konsep sosial seperti itulah yang diatur dalam Al-Quran untuk terjaga keharmonisan sosial sebagai kebutuhan dasar bagi umat manusia.

Perbedaan tingkatan sosial manusia antara lain adalah terjadi dalam aspek perekonomian. Perbedaan itulah yang melatari perbuatan utang piutang kerap terjadi dalam kehidupan manusia. Al-Quran sebagai pedoman umat Islam menjelaskan secara rinci tentang perbuatan tersebut yaitu pada ayat 282 dari surat Al-Baqarah.   

Mengawali ayat tersebut, Allah SWT. berfirman yang artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”.

Dalam penafsiran ini, tadaayantum diartikan dengan muamalah karena  utang piutang merupakan perbuatan sosial manusia yang di dalamnya terlibat debitor (pemberi utang) dan kreditor (orang yang berutang).
Ayat tersebut, Allah SWT. menuntun hamba-Nya yang mukmin, jika mereka bermuamalah hutang piutang hendaknya ditulis supaya jelas jumlahnya, waktunya, dan memudahkan untuk persaksian.

Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan hutang piutang yang terjamin, jelas masanya dan telah dihalalkan oleh Allah SWT. Beliau juga mengatakan, ketika Rasulullah SAW. sampai di kota Madinah dijumpai di sana orang biasa meminjamkan buah untuk setahun, dua tahun atau tiga tahun, maka Rasulullah SAW. bersabda, artinya : “ Barangsiapa meminjamkan harus meminjamkan dengan takaran yang tertentu, timbangan yang tertentu dan masa yang tertentu. (HR. Bukhari – Muslim)[13].

Pada akhir ayat di atas “hendaklah kamu menuliskannya”, Ibnu Katsir memahami perintah menulis di sini hanya merupakan petunjuk ke jalan yang baik dan terjaminnya keselamatan yang diharapkan, bukan perintah wajib. Ibnu Juraij berkata, “pada mulanya perintah menulis itu wajib, kemudian kewajiban itu di-nasakh dengan ayat 283 QS. Al-Baqarah artinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”. Di akhir ayat tersebut nyata bahwa tidak ada tulis menulis lanjut Ibnu Juraij[14].

Menuliskan utang piutang sebagai manajemen sosial manusia berdasarkan ayat di atas dalam bentuk “anjuran” dan bukan sebuah “kewajiban” adalah   sebuah petunjuk yang melegitimasikan bahwa dalam diri manusia mempunyai dua kecenderungan yang berbeda yaitu baik (taqwa) dan buruk (fujur).

Hal tersebut sebagaimana firman Allah SWT. dalam Al – Quran surat Asy-Syamsu ayat 8-10 yang artinya : “ Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa manusia sifat fujur dan takwa. Sungguh bahagia orang yang mensucikan jiwanya, dan sungguh celaka orang yang mengotori jiwanya”.

Kecenderungan yang baik mendorong manusia untuk berperilaku yang normatif. Sedangkan yang buruk menjadikan perilaku manusia berdasarkan hawa nafsu (impulsif). Dengan demikian, kehidupan manusia senantiasa dihadapkan pada situasi konflik antara benar-salah dan baik-buruk. Untuk menyelesaikan konflik tersebut, Allah SWT. memberikan kebebasan kepada manusia untuk  memilih (free choice) dan impact bagi manusia adalah berdasarkan pilihan manusia sendiri.   

Manusia sebagai makhluk yang memiliki dua kecenderungan yang berbeda dalam diri menyebabkan kehidupan sosial mereka tidak luput dari kecemasan dan ancaman. Kondisi tersebut berimplikasi terhadap kepribadian manusia, dan dalam ilmu psykologi, kepribadian tersebut dijelaskan secara detail oleh Kally dengan memperkenalkan konsep anxiety (cemas) dan threat (ancaman).  

Kally melaporkan bahwa anxiety dan threat merupakan keadaan yang kritis bagi organisme. Oleh karena itu individu senantiasa berusaha melindungi diri dari anxiety dengan berbagai cara. Anxiety bukan akibat dari konstruk yang tidak sah (invalidated), tetapi merupakan akibat dari tidak dimiliki oleh manusia sebuah konstruk yang cocok dengan situasi yang dihadapi.

Sedangkan threat mempunyai daerah pecabangan yang luas, manakala individu melakukan aktivitas yang baru, dia akan mengalami kebingungan (confusion) dan ancaman, kebingungan ini memungkinkan dapat mengarahkan kepada hal-hal baru, tetapi juga mungkin akan menjadi ancaman bagi individu. Seseorang akan mengalami threat, manakala dia menyadari bahwa sistem konstruk yang ada secara drastis dipengaruhi oleh apa yang dihadapi[15].

Di samping anxiety dan threat, Kelly juga mengemukakan teori tentang psychopathology. Psychopathology ini meliputi konsep - konsep aggression, hostility, dan guilt. Menurut Kelly, aggression itu melibatkan elaborasi yang aktif bidang persepsi seseorang. Aggression ini memiliki dua kutub yang ekstrim, yaitu kutub inisiatif (penuh daya) dan kutub yang kaku (inertia). Lawan dari  aggression adalah hostility yaitu seseorang mencoba untuk membuat orang lain berbuat dengan cara yang sesuai dengan harapan dia. Sedangkan guilt perasaan bersalah pada diri sendiri seseorang sehingga tidak mengherankan bagi kita ada peristiwa bunuh diri yang terjadi dalam kehidupan manusia[16].

Berdasarkan kecenderungan jiwa manusia sebagaimana yang tertuang dalam QS. Asy-Syamsu ayat 8-10 dan telah dibuktikan secara ilmiah melalui ilmu psykologi manusia. Maka perintah Allah SWT. kepada manusia untuk mencatat utang piutang merupakan sebuah konsep yang terbaik untuk keutuhan kehidupan sosial manusia sendiri. Dengan konsep demikianlah kenyamanan (prudential) manusia terwujud.

Kendatipun pencatatan utang piutang bukan sebuah kewajiban, akan tetapi dalam keadaan tertentu, pencatatan tersebut menjadi wajib apalagi berkaitan dengan kepentingan manusia secara umum (maslahah ‘ammah). Karena hukum  Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.  

Hal demikian didasarkan kepada kaidah ushul fiqh, “al-Maslahatul ‘ammah muqaddimatun minal maslahatil syakhsiyah (kepentingan umum lebih diutamakan daripada kepentingan pribadi)”.

Pencatatan utang piutang sebagai sebuah konsep yang dibutuhkan oleh manusia juga diperkuat oleh keberadaan ilmu akuntansi sebagai sebuah pengetahuan yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Ilmu tersebut berkonsentrasi tentang proses mengenali, mengukur dan mengkomunikasikan informasi ekonomi untuk memperoleh pertimbangan dan keputusan yang tepat oleh pemakai informasi yang bersangkutan. Kemudian output-output dari pengetahuan tersebut diintegrasikan menjadi sebuah definisi akuntansi secara luas[17].     

Ayat selanjutnya Allah SWT. berfirman, artinya : Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan (menolak) menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis.

Maksud dari firman tersebut, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah SWT. mengajarkan supaya antara orang yang berhutang dan yang mengutang ada pencatat, yaitu seorang yang adil, jujur dan tidak memiliki kepentingan, hanya semata-mata memberikan tenaga yang dibutuhkan oleh saudara sesama muslim.

Sedangkan orang yang dimintakan bantuan untuk menuliskan transaksi tersebut adalah sebuah kewajiban untuk ditunaikan menurut Ibnu Katsir. Hal demikian terpahami dari hadis Rasulullah SAW. yang artinya: “Sesungguhnya setengah daripada sedaqah adalah membantu pekerjaan orang yang tidak mampu dikerjakan”.
Dalam hadis yang lain, artinya : “Barangsiapa yang menyembunyikan ilmu yang diketahuinya, akan dikendalikan di hari kiamat dengan kendali api neraka”[18].    

Dalam dunia akuntansi, pengajaran Allah SWT. tersebut telah diterapkan secara utuh. Sebagai sebuah disiplin ilmu, mengaplikasikan sebuah metode atau konsep adalah berangkat dari proses-proses eksperimen ilmiah. Begitu juga dengan akuntansi sebagai sebuah ilmu.   

Hasil dari sebuah penelitian, pakar akuntansi Marcus Aurelius melaporkan bahwa, karakter ideal para akuntan adalah, “Seseorang hendaknya berkepribadian jujur; bukan diperintahkan jujur”[19]. Pandangan Marcus tersebut menjadi nyata bahwa ajaran Al-Quran sangat memahami konsep sosial berdasarkan kebutuhan manusia.

Para akuntan dalam menjalankan profesi memiliki kode etik yang dinamakan dengan “kode etika profesi (code of professional ethic) yang disusun oleh organisasi profesi Certified Public Accountant (CPA) dan AICPA.
Seorang CPA mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan dengan penuh tanggungjawab dan kejujuran bukan hanya bagi kliennya, tetapi juga kepada teman sejawat dan masyarakat secara umum. Tujuan kode etik tersebut untuk menanamkan kepercayaan terhadap mutu jasa yang diberikan oleh profesi akuntan publik.

Kode tersebut menetapkan standar minimum pelaksanaan yang diterima umum; namun seringkali dituntut hal yang melebihi ketentuan yang secara hukum sudah dapat diterima. Misalnya, kode etika profesi AICP melarang penggunaan iklan palsu yang menyesatkan dan menipu.

Seorang CPA yang melanggar kode etika dikenakan tindakan disiplin. AICPA dan CPA memiliki wewenang memberhentikan seorang pelanggar kode etik dari keanggotaan organisasi[20].

Masih dalam ayat yang sama, Allah melanjutkan firman yang artinya: “ Dan hendaklah orang yang berhutang itu mendiktekan (apa yang ditulis), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya”.

Firman Allah SWT. di atas bermaksud bahwa dalam proses pencatatan utang, data – data tersebut bersumber dari pihak pengutang bukan dari pemberi hutang. Karena posisi orang yang berhutang adalah pihak yang lemah dibandingkan dengan pemberi utang. Kendati pun demikian, Allah tetap memperingatkan orang yang berhutang untuk bertakwa kepada-Nya, jangan sampai mengurangi atau merugikan pihak pemberi utang dan jangan menyembunyikan apa pun dalam perjanjian tersebut.

Firman Allah SWT. di atas mengingatkan kita kepada diskripsi Kelly tentang psychopathology manusia yang cenderungan menerapkan konsep hostility yaitu seseorang mencoba untuk membuat orang lain berbuat dengan cara yang sesuai dengan harapan dia. Dan dalam firman Allah SWT. di atas memberikan sinyal tentang eksistensi hostility dalam diri manusia yaitu dengan melindungi pihak yang berhutang dari tekanan (pressure) pemberi hutang dengan cara menjadikan data-data pengutang sebagai data primer dalam transaksi hutang piutang. Dan begitu juga untuk melindungi pemberi hutang dari pressure pengutang yaitu Allah SWT. mewajibkan kepada pengutang untuk memelihara komitmen berdasarkan perjanjian yang telah dibuat.      

Dan firman Allah SWT., artinya : “Jika orang yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mendiktekan, maka hendaklah walinya mendiktekan dengan jujur”.

Firman Allah SWT. sangat jelas kepada kita bahwa jika yang berhutang itu orang bodoh atau tidak sempurna akal, maka keterlibatan wali pengutang untuk menuliskan hutang tersebut adalah sebuah kewajiban dalam sebuah transaksi hutang piutang.

Masih dalam ayat yang sama Allah berfirman, artinya: “ Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang laki di antaramu. Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya”.

Ibnu Katsir menerangkan maksud firman Allah SWT. di atas dengan hadis yang bersumber (sanad) dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah bersabda, artinya: “Wahai para wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah meminta ampunan (istighfar) karena aku melihat kebanyakan ahli neraka adalah wanita. Salah seorang wanita bertanya, mengapa wanita banyak menghuni neraka ya Rasulullah?, Rasul menjawab, karena banyak mengomel dan memungkiri budi suami. Aku tidak melihat orang yang kurang akal dan agamanya yang dapat mengalahkan orang yang sempurna akal selain kalian. Ditanya, apakah kekurangan akal dan agama kami?, jawab Rasul, adapun kurang akal, maka terbukti dalam kesaksian dua wanita sama dengan satu lelaki, dan pada hari-hari tertentu tidak melaksanakan salat dan tidak puasa, maka ini termasuk kurang agamanya”. (HR. Muslim)[21].

Hadis di atas merupakan sebuah jawaban yang digunakan oleh Ibnu Katsir terhadap pertanyaan, kenapa kesaksian dua wanita sama dengan satu lelaki?.

Menurut penulis, jika hanya berpegang kepada hadis tersebut, maka jawaban dari pertanyaan itu belum terjawab. Karena hadis itu justru menjadikan ayat di atas sebagai referensi Rasulullah SAW. dalam menjawab pertanyaan kalangan sahabat wanita bahwa akal perempuan tidak sekuat dengan akal laki-laki.

Untuk menguak misteri Ilahi itu, penulis merujuk kepada hasil penelitian terbaru di Universitas Purdue Amerika Serikat bahwa wanita memiliki kebutuhan lebih besar untuk disentuh dibandingkan pria. Hal ini disebabkan karena, secara anatomi, wanita memiliki lebih banyak ujung syaraf di setiap inci kulit dibandingkan pria.

Perbedaan kebutuhan sentuhan pada pria dan wanita itu dapat juga diteliti dari sikap masyarakat. Sudah menjadi tradisi dalam masyarakat, wanita sudah memperkenalkan bahasa cinta yang diekspresikan melalui fisik mereka semenjak masih kecil. Hal demikian terlihat dari kebiasaan anak perempuan, sebelum ayah ke kantor, anak perempuan meminta kepada ayahnya untuk dicium pipi dan memeluknya. Ketika jalan – jalan, anak perempuan otomatis menggandeng ayahnya. Saat beranjak remaja, perempuan lebih leluasa memeluk, memegang tangan atau mencium pipi kawan sesama wanita.
Kesimpulan dari riset tersebut memperkuat terhadap teori fungsionalisme[22] bahwa, struktur anatomi manusia mempengaruhi kepada psykologi manusia itu sendiri.

Berdasarkan fakta ilmiah di atas serta dikaitkan kepada teori fungsionalisme, kasih sayang dan kelembutan (feminim) lebih dominan pada wanita dibanding pria (masculin) disebabkan karena kulit wanita lebih banyak memiliki ujung syaraf di setiap inci kulit dibandingkan dengan lelaki.

Oleh sebab itu, sifat pengasih, rasa iba dan lembut pada wanita terbentuk karena kebutuhan kulit mereka untuk disentuh lebih besar. Sifat – sifat tersebut  merupakan sebuah karunia Allah SWT. bagi wanita (given).
Berdasarkan karunia inilah Allah SWT. menilai bahwa kesaksian dua wanita sebanding dengan kesaksian satu lelaki. Karena kesaksian adalah perbuatan hukum yang sarat dengan godaan, tekanan dan ancaman. Ini adalah sebuah bukti akan keadilan Allah SWT. kepada hamba-Nya.    

Saksi – saksi yang dihadirkan dalam transaksi utang piutang adalah para saksi yang disetujui oleh kedua belah pihak, pemberi hutang dan orang yang berhutang. Berdasarkan kalimat itu bermakna bahwa, saksi disyaratkan harus adil dan jujur.

Firman Allah SWT. yang artinya: “Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil”.

Tentang firman Allah SWT. ini, Zaid bin Khalid mengatakan, Rasulullah SAW. bersabda, artinya: “ Sukakah aku beritakan kepadamu sebaik-baik saksi, ialah yang memberikan kesaksiannya sebelum diminta”. (HR. Bukhari – Muslim).

Berdasarkan hadis di atas, kriteria saksi yang jujur adalah saksi yang menerangkan apa yang ia ketahui, dan menyampaikan apa yang diketahui ketika diperlukan dalam menyelesaikan suatu persengketaan.
Dalam hadis lain Rasulullah SAW. bersabda, artinya: “Sukakah aku beritahukan kepadamu sejahat-jahat saksi, ialah mereka yang  memberikan kesaksian sebelum diminta”. (HR. Bukhari – Muslim)[23].

Hadis yang kedua ini, Rasulullah SAW. memberitahukan kepada kita bahwa kriteria saksi yang tidak jujur adalah menyampaikan kesaksian ketika tidak diperlukan dalam menyelesaikan sebuah persoalan.

Lanjutan firman Allah SWT. dengan artinya: “ Dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu”.

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa sebab dari menuliskan utang piutang baik besar atau pun kecil akan bermanfaat sebagai alat bukti untuk menghilangkan  keragu-raguan bagi kedua belah pihak. Dan menghilangkan keraguan merupakan aspek yang lebih adil di sisi Allah SWT.[24]

Konsep yang Allah SWT. berikan sebagaimana tersebut di atas, berdampak besar terhadap kestabilan jiwa (soul) manusia. Karena dengan konsep tersebut manusia menemukan sebuah konstruk yang tepat dengan situasi yang dihadapi. Tersedia konstruk yang tepat menyebabkan hilangnya kecemasan manusia (anxiety) dari ketidaknyamanan hidup karena setiap diri manusia diilhami oleh Allah SWT. dengan dua kecenderungan yang berbeda (taqwa dan fujur).
Ketika Allah SWT. menanamkan dua kecenderungan yang berbeda dalam diri manusia, Allah SWT. sebagai khaliq juga memberikan solusi kepada manusia  untuk menghadapinya.   Di sinilah letak letak keadilan Allah SWT.    

Kemudian di akhir ayat 282 QS. Al Baqarah Allah SWT. berfirman, artinya:  “Kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menuliskannya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.

Tentang firman Allah SWT. tersebut, Ibnu Katsir menerangkan bahwa dalam jual beli tunai, Allah SWT. tidak mewajibkan untuk menuliskannya. Akan tetapi, hendaklah mempersaksikan jual beli tersebut supaya lebih aman.
Dalam menafsirkan firman Allah SWT. ini, Ibnu Katsir merujuk kepada hadis Rasulullah SAW. yang bersumber dari Khuzaimah (sanad) yang artinya sebagai berikut : “ Khuzaimah bin Tsabit Al-Anshari menuturkan, bahwa Rasulullah SAW. membeli seekor kuda dari seorang Baduwi, kemudian Rasulullah SAW.  meminta kepadanya supaya ikut ke rumah untuk dibayar harganya. Rasululllah SAW. berjalan agak cepat, sedang Baduwi perlahan-lahan, sehingga banyak orang yang menawar kudanya, karena orang-orang itu tidak mengetahui bahwa kuda itu sudah jadi dibeli oleh Rasulullah SAW. Ketika ada tawaran yang lebih tinggi dari tawaran Rasulullah SAW., Baduwi itu berseru kepada Rasulullah SAW., “Jika anda membeli kuda ini, segeralah. Jika tidak, maka akan aku jual”. Ketika Rasulullah SAW. mendengar seruan Baduwi itu, beliau segera berhenti dan berkata, “Bukankan kuda itu sudah aku beli?”, Baduwi menjawab, “Tidak, demi Allah aku belum menjual kepada mu”. Maka orang-orang berkerumun di antara Rasulullah SAW. dan Baduwi, lalu Baduwi itu berkata, “Siapakah saksinya, bahwa aku telah menjual kepada mu?”. Maka kaum muslimin yang ada di situ semuanya memperingatkan kepada Baduwi, “Celaka kamu, Rasulullah SAW. tidak pernah berdusta”. Kemudian Khuzaimah bin Tsabit datang dan mendengar tuntutan Baduwi untuk membawa saksi, maka Khuzaimah bersaksi, “Aku bersaksi, bahwa engkau telah membelinya”. Maka selesailah urusan itu. Kemudian Rasulullah SAW. bertanya kepada Khuzaimah, “Dengan dasar apa bahwa kamu berani menjadi saksi?”, jawab Khuzaimah, “ Karena keteranganmu, ya Rasulullah”. Maka Rasulullah SAW. menetapkan, bahwa kesaksian Khuzaimah sama dengan kesaksian dua orang.” (HR. Ahmad) dan hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i.

Ibnu Katsir melanjutkan, Abu Musa r.a. mengatakan, bahwa Rasulullah SAW. bersabda, artinya : “Tiga macam orang yang berdoa kepada Allah, tetapi doa mereka tidak diterima, yaitu : 1. Seseorang yang mempunyai istri yang rendah budinya tetapi tidak diceraikannya; 2. Seseorang yang menyerahkan harta kepada anak yatim sebelum baligh; 3. Seseorang yang memberi hutang kepada orang lain dan tidak mempersaksikannya”. (HR. Ibnu Murdawaih dan Hakim).
Ibnu Katsir juga menjelaskan firman Allah SWT. yang artinya : “Dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan”, bahwa penulis dan saksi tidak boleh dibebani, dalam tugasnya jangan sampai dirugikan atau dipaksakan kepadanya untuk menyalahi yang sebenarnya. Karena perbuatan itu merupakan pelanggaran yang berarti fasiq dalam agama[25].

Al-Qurtubi dalam tafsirnya berkenaan ayat 282 QS. Al-Baqarah melaporkan, “Ketika Allah SWT. memerintahkan penulisan, penyaksian, dan pegadaian, ini merupakan teks qat’i (pasti) yang berbicara mengenai pemeliharaan dan pengembangan harta, serta sebagai penyangkal terhadap orang-orang yang jahil yang tidak mengetahui hal itu. Mereka mengeluarkan seluruh harta dan tidak meninggalkan kecukupan untuk diri keluarga dan perbuatan semacam ini sangat dibenci oleh Allah SWT.”[26]. Wallahu a’lam.

V. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penafsiran penulis tentang ayat 282 surat Al-Baqarah tentang manajemen utang piutang. Kesimpulan yang dapat penulis sarikan adalah sebagai berikut :

I. Asbab An-Nuzul
1. Didasarkan kepada pengertian asbab an-nuzul yaitu peristiwa – peristiwa (sebab) diturunkan sebuah ayat, maka untuk ayat 282 surat Al-Baqarah adalah tidak memiliki asbab al-nuzul.
2. Akan tetapi, bila dipahami bahwa Al-Quran turun sebagai hidayah dan berisi pesan-pesan moral, maka setiap ayat yang turun tidak kosong dari asbab al-nuzul. Begitu juga halnya dengan ayat 282 surat Al-Baqarah.

II. Manajemen utang piutang :
1. Transaksi utang piutang wajib dicatat jika ke dua belah pihak (kreditor dan debitor) merasa diperlukan untuk itu.
2. Pencatatan utang piutang dicatat oleh para ahli dibidang tersebut. Dan untuk kondisi sekarang pencatatan transaksi utang piutang dilakukan bisa dilakukan di kantor notaris.
3.  Dalam pencatatan utang piutang, kedua belah pihak wajib menghadirkan dua orang saksi laki - laki berdasarkan persetujuan. Akan tetapi, jika saksi yang dihadirkan terdiri dari saksi laki-laki dan saksi wanita, maka para pihak wajib menghadirkan satu orang saksi dari laki-laki dan dua orang saksi dari wanita. Karena kesaksian dua wanita adalah sebanding dengan kesaksian satu lelaki.
4.  Menghadirkan kesaksian tidak hanya diperintahkan pada transaksi utang piutang. Akan tetapi menghadirkan kesaksian juga diperintahkan dalam jual beli tunai.

II. Implikasi manajeman utang piutang bagi manusia
  1. Terpelihara kehidupan sosial manusia sebagai sebuah kebutuhan dasar bagi mereka.
  2. Menjunjung tinggi hak dan kewajiban manusia dengan tidak mereduksi sifat-sifat kemanusiaan.  
  3. Berdasarkan point 1 dan 2 di atas bahwa, manajemen utang piutang dalam Al-Quran merupakan sebuah konsep sosial bagi manusia yang mengedepankan nilai-nilai kemanusian (humanis). Konsep sosial demikian membuktikan bahwa, kandungan Al-Quran adalah sebuah kebenaran yang absolut dan Al-Quran menjadi pedoman hanyalah bagi manusia yang bertakwa. Wallahu a’lam.
.
[1] Secara etimologi, takwa adalah takut. Sedangkan pengertian secara terminologi takwa adalah  menjunjung segala perintah Allah SWT. dan meningggalkan segala yang dilarang.

[2] Syahid Mu’ammar Pulungan, Manusia Dalam Al Quran, Surabaya : PT.Bina Ilmu, cetakan pertama, 1984, hlm. 58.

[3] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Jakarta : Gaya Media Pratama, t.t., hlm. ix.

[4] Ibid., hlm. xii.

[5] Departemen Agama RI, Al-Quran Tajwid Dan Terjemahannya, Bandung : PT. Syaamil Cipta Mulia, t.t., hlm. 48.

[6] Al-Zarqani : Sabab al-Nuzul ialah sesuatu peristiwa yang dengannya itu turun satu ayat atau beberapa ayat berbicara tentangnya atau menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum yang terjadi pada waktu terjadinya peristiwa tersebut. Muhammad ‘Abd al-Azhim al-Zarqani, Manahil al-Irfan, Mesir , al-Bab al-Halabi, I, t.t., h. 412.  

[7] Manna al-Khaththan : Sebab al-Nuzul ialah sesuatu, yang turun Al-Quran berkenaan dengannya pada waktu terjadinya seperti suatu peristiwa yang terjadi atau ada pertanyaan. Manna al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Quran, Mansyurat al-Ashr al-Hadits, t.t., hlm. 78. 

[8] Quraisy Syihab : Asba al-Nuzul ialah peristiwa-peristiwa yang  menyebabkan turunnya ayat, dimana ayat tersebut menjelaskan pandangan Al-Quran tentang peristiwa tadi atau mengometarinya. M. Quraisy Syihab, Metode Penelitian Tafsir, Ujung Pandang : IAIN Alauddin, 1984, hlm. 3.

[9] Untuk jelasnya baca : Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, cetakan I, Agustus 2005, hlm. 136-137.

[10]  Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 75.

[11] Bouman, P.J., Sosiologi Pengertian dan Masalah, trj : Sugito-Sujitno, Penerbit Yayasan Kanisius, cetakan XII tahun 1971, hlm. 31. 

[12]  Syahid Mu’ammar Pulungan, loc.cit., hlm. 57.

[13] Tafsir Ibnu Katsir Jilid I, Surabaya : PT. Bina Ilmu, cetakan keempat, 2004, Hlm. 556

[14] Ibid., hlm. 557.

[15] Syamsu Yusuf, Juntika Nurihsan, Teori Kepribadian, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, cetakan pertama, 2007, hlm. 173.

[16] Ibid., hlm. 176.

[17] Philip E. Fess dkk., Accounting Principles, terj : Hyginus Ruswinarto, Prinsip – Prinsip Akuntansi Jilid 1, Jakarta : Erlangga, edisi 14, 1988, hlm. 2. 

[18] Ibnu Katsir, op.cit., hlm. 558.

[19]  Philip E. Fess dkk., op.cit., hlm. 7.

[20] Ibid., hlm. 6 

[21] Ibnu Katsir, op.cit., hlm. 560.

[22]  Behaviour menurut pandangan fungsionalisme bahwa; kejiwaan itu selalu mempunyai tujuan tertentu. Yaitu mencapai dan menyempurnakan jasad (organisme). Oleh sebab itu yang patut diperhatikan ialah sudah atau belumkah kesempurnaan organisme tercapai. Jadi yang menjadi obyek di dalam fungsionalisme ini hanya organisme, hanya tubuh,  hanya apa yang tampak dari luar saja. Karena itu benarlah bila orang mengatakan bahwa Behaviourisme tidak lain daripada pelaksanaan yang sebenar-benarnya daripada fungsionalisme. Pendapat fungsionalisme ini telah diterima secara luas. Agus Sujanto, Psikologi Umum, Jakarta : Bumi Aksara, cetakan kesembilan, Maret 1993, hlm. 117.

[23] Ibnu Katsir, op.cit., hlm. 561. 

[24] Ibid.

[25] Ibid., hlm. 562 – 563.

[26] Muhammad as-Sayyid Yusuf, Ahmad Durrah, Manhaj al-Quran al-Karim fi Islah al-Mujtama’, Qasas al-Ilm fi al-Quran, Mesir : Dar as-Salam Maktabah al-Usrah, t.t., terj : Abu Akbar Ahmad, Pustaka Pengetahuan Al-Quran, Edisi Indonesia : PT. Rehal Publika, t.t., hlm. 15







1212
Ayat 282 ini dimulai dengan seruan Allah swt. Kepada kaum yang menyatakan beriman, Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.
Kata tadaayantum, yang diatas diterjemahkan dengan bermuamalah, terambil dari kata dain. Kata ini memiliki banyak arti, tetapi makna setiap kata yang dihimpun oleh huruf-huruf kata dain itu (yakni daal, ya’ dan nuun) selalu menggambarkan hubungan antar dua pihak, salah satunya berkedudukan lebih tinggi dari pihak yang lain. Kata ini antara lain bermakna hutang, pembalasan, ketaatan dan agama. Kesemuanya menggambarkan hubungan timbale balik itu, atau dengan kata lain bermuamalah. Muamalah yang dimaksud adalah muamalah yang tidak secara tunai, yakni hutang-piutang.
Sedikit menerangkan diatas, kami disini hanya mencoba menjelaskan tentang persaksian, baik secara tulis menulis maupun selainnya.
Yang dinamai saksi adalah orang yang berpotensi menjadi saksi, walaupun ketika itu dia belum melaksanakan kesaksian, dan dapat juga secara actual telah menjadi saksi.
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantara kamu. kata saksi yang digunakan ayat ini adalah syahiidain bukan syaahidain. Ini berarti bahwa saksi yang dimaksud adalah benar-benar yang wajar serta telah dikenal kejujurannya sebagai saksi, dan telah berulang-ulang melaksanakan tugas tersebut. Dengan demikian, tidak ada keraguan menyangkut kesaksiannya. Dua orang saksi dimaksud adalah saksi-saksi lelaki yang merupakan anggota masyarakat muslim. Atau kalau tidak ada – atau kalau bukan yakni kalau bukan dua orang saksi, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, yakni yang disepakati oleh yang melakukan transaksi.
Betapapun, ayat di atas tidak menutup kemungkinan kesaksian wanita baik secara luas, terbatas, maupun sempit.
Dalam pandangan mazhab Malik, kesaksian wanita dibenarkan dalam hal-hal yang berkaitan dengan harta benda, tidak dalam kriminal, pernikahan, cerai dan rujuk. Mazhab Hanafi lebih luas dan lebih sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kodrat wanita. Mereka membenarkan kesaksian wanita dalam hal-hal yang berkaitan dengan harta, persoalan rumah tangga, seperti pernikahan, talak, dan rujuk, bahkan segala sesuatu kecuali dalam soal kriminal. Memang, persoalan kriminal yang dapat mengantar kepada jatuhnya hukuman mati, dan dera, disamping tidak sejalan dengan kelemahlembutan wanita, kesaksian dalam hal tersebut juga tidak lumrah bagi mereka yang diharapkan lebih banyak member perhatian pada anak-anak dan rumah tangganya.
Sebagaimana Allah berpesan, “janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil. Karena keengganannya dapat mengakibatkan hilangnya hak atau terjadi korban. Memang, banyak orang, sejak dahulu apalagi sekarang, yang enggan menjadi saksi, akibat berbagai faktor, paling sedikit karena kenyamanan dan kemaslahatan pribadinya terganggu. Karena itu, merka perlu dihimbau. Perintah ini adalah anjuran, apalagi jika ada orang lain yang member keterangan, dan wajib hukumnya bila kesaksiannya mutlak untuk menegakkan keadilan. Nanti dalam ayat berikut akan ada larangan tegas disertai ancaman bagi saksi-saksi yang menyembunyikan kesaksian, yang mengakibatkan kerugian pihak lain.
Saksi dan penulis yang diminta atau diwajibkan untuk menulis dan menyaksikan, tentu saja mempunyai aneka kepentingan pribadi atau keluarga; kehadirannya sebagai saksi, dan atau tugasnya menulis, dapat mengganggu kepentingannya. Di sisi lain, mereka yang melakukan transaksi jual beli atau hutang-piutang itu, dapat juga mengalami kesulitan dari para penulis dan saksi jika mereka menyelewengkan kesaksian atau menyalahi ketentuan penulisan. Karena itu Allah berpesan dengan menggunakan satu redaksi yang dapat dipahami sebagai tertuju kepada penulis saksi, kepada penjual dan pembeli, serta yang berhutang dan pemberi hutang.
Salah satu bentuk mudharat yang dapat dialami oleh saksi dan penulis adalah hilangnya kesempatan memperoleh rezeki, karena itu tidak ada salahnya memberikan mereka ganti biaya transport dan biaya , sebagai imbalan jerih payah dan penggunaan waktu mereka. Di sisi lain, para penulis dan saksi hendaknya tidak juga merugikan yang bermuamalah dengan memperlambat kesaksian, apalagi menyembunyikannya, atau melakukan penulisan yang tidak sesuai dengan kesepakatan mereka. Jika kamu, wahai para saksi dan penulis serta yang melakukan muamalah, melakukan yang demikian, maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.
Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajar kamu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Menutup ayat ini dengan perintah bertakwa yang disusul dengan mengingatkan pengajaran Ilahi, merupakan penutup yang amat tepat, karena seringkali yang melakukan transaksi perdagangan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dengan berbagai cara terselubung untuk menarik keuntungan sebanyak mungkin. Dari sini peringatan tentang perlunya takwa serta mengingat pengajaran Ilahi menjadi sangat tepat.
Namun dalam penafsiran lain disebutkan lebih jelas dan mendetail mengenai tafsiran ayat ini, Ayat di atas dapat disimpulkan bahwa Islam menetapkan perlunya mendokumentasikan misalnya dalam bentuk tulisan berbagai peristiwa-peristiwa penting yang terjadi diantara manusia karena itu sangat beralasan kalau tulisan atau surat-surat dijadikan sebagai salah satu alat bukti.
Surat sebagai alat bukti tertulis dapat dibedakan dalam 2 jenis yaitu:
  1. Akta otentik
Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapkan pejabat yang berwenang untuk itu, menurut ketentuan yang telah ditetapkan sebagai pejabat yang berwenang dimaksudkan antara lain notaris, jurusita, panitra, dan hakim pengadilan, pegawai catatan sipil dan lain-lain.
Pada setiap akta otentik dikenal 3 (tiga) macam kekuatan bukti, yaitu :
1) Kekuatan bukti lahir yakni berkenaan dengan syarat-syarat formal suatu akta otentik dipenuhi atau tidak
2) Kekuatan bukti formal yakni berkenaan dengan soal kebenaran peristiwa yang disebutkan dalam akta otentik
3) Kekuatan bukti material yakni berkenaan dengan kebenaran isi akta otentik.
2. Akta tidak otentik (di bawah tangan)
Akta tidak otentik atau akta di bawah tangan adalah segala tulisan yang memang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tetapi tidak dibuat di hadapan atau oleh pejabat yang berwenang untuk itu dan bentuknya pun tidaklah terikat kepada bentuk tertentu.
Misalnya: Surat jual beli tanah, yang dibuat oleh kedua bela pihak, sekalipun di atas kartu segel dan ditandatangani oleh ketua RT, ketua RW, lurah/kepala desa, tidak bisa disebut akta otentik karena pejabat berwenang membuat akta tanah yang disebut PPAT, hanyalah notaris dan camat.
  1. Alat bukti saksi
Kata sandi jika dilihat dari pengertian terminologi berarti orang yang mempertunjukkan, memperlihatkan, sebagai bukti. Sedangkan menurut istilah syara’ ialah orang yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri.
Jadi saksi yang dimaksud dalam hal ini adalah manusia hidup. Sedangkan menurut Sayid Sabiq dalam kitab sunnah bahwa yang dimaksud dengan saksi itu adalah memberitahukan seseorang tentang apa yang disaksikan dan dilihatnya. Maknanya ialah pemberitahuan seseorang tentang apa yang dia ketahui dengan sebenarnya.
Bila dimaksudkan bahwa saksi adalah orang yang betul-betul sebagai saksi karena menyaksikan sendiri suatu perkara maka dinilai bahwa kesaksian tersebut adalah merupakan salah satu bukti dalam hukum pembuktian.
Kebanyakan ahli hukum Islam (Fuqaha) menyamakan kesaksian itu dengan bayyinah, apabila saksi disamakan dengan bayyinah maka itu berarti pembuktian di muka hakim hanya dimungkinkan dengan saksi saja.
Dasar hukum daripada alat bukti saksi dapat dilihat dalam Q.S. al Baqarah (2): 282
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَاأَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى وَلا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا
Terjemahnya :
“…Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil…”
Dalam dalam Q.S. an Nisah (4) 135 yaitu :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّه
Terjemahnya :
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah…”
Kesaksian hanya wajib ditunaikan jika saksi mampu menunaikannya tanpa adanya bahaya yang menimpanya baik dibadannya, kehormatannya, hartanya, ataupun keluarganya, berdasarkan firman Allah swt dalam Q.S. al Baqarah (2) 282 yaitu:
وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلا شَهِيدٌ
Terjemahnya :
“….Janganlah penulis dan saksi itu mendapat kesulitan …”
Kesimpulannya bahwa setiap saksi yang memberikan kesaksiannya di depan hakim hendaknya memperoleh jaminan keamanan baik jiwa, harta dan kehormatannya. Karena setiap kesaksian dipandang wajib bagi setiap orang yang memiliki pengetahuan akan perkara yang ia ketahui secara pasti tentang kebenaran tersebut.
Sehingga dengan adanya kesaksian dari saksi tersebut diharapkan akan terungkapnya suatu kebenaran diantara pihak-pihak yang berperkara dengan sebab itulah maka berdosa hukumnya bagi orang yang memenuhi syarat untuk menjadi saksi menolak untuk tidak memberikan kesaksiannya, berdasarkan firman Allah swt di dalam Al-Qur’an Q.S. al Baqarah (2) 283 yaitu :
وَلا تَـكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ ءَاثِمٌ قَلْبُـهُ وَاللَّهُ بـِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Terjemahnya :
“…dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tentang kedudukan saksi dalam hukum pembuktian yaitu sebagai alat bukti, diantara alat bukti lainnya yang dapat diajukan oleh pihak-pihak yang berperkara. Namun dalam berbagai alasan demi untuk membuktikan suatu kebenaran antara pihak-pihak yang berperkara, hingga adanya saksi sebagai alat bukti yang diajukan oleh pihak-pihak yang berperkara, tidak begitu saja diterima sebelum saksi yang diajukan kemuka pengadilan memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh hukum pembuktian. Dan dalam hal ini yakni hukum pembuktian yang dianut oleh peradilan khususnya Peradilan Agama yang merupakan pembahasan utama dalam hal ini, dalam kaitannya dengan eksistensi saksi non muslim di mata hukum Islam.
Untuk memberitahukan kesaksian yang dapat diterima serta dapat di jadikan pembuktian kuat wajib memenuhi syarat-syarat tertentu yaitu :
a) Beragam Islam
Saksi dalam hal ini haruslah beragama Islam karena syarat para fuqaha menetapkan, bahwa dalam kesaksian ini yang dapat diterima bagi kesaksian seseorang haruslah beragama Islam.
b) Baliqh
Saksi yang belum mencapai usia baliqh tidak dapat dijadikan sebagai saksi, terlebih memberikan kesaksian.
c) Berakal
Persaksian dari pada saksi dapat dijadikan saksi sebagai pembuktian dalam Peradilan Agama jika saksi memiliki akal dan jiwa yang sehat sebagai salah satu syarat yang harus dimiliki oleh saksi dalam suatu persaksian.
d) Merdeka
Merdeka ialah saksi dalam memberikan kesaksian harus termasuk orang yang merdeka yaitu tidak sebagai budak atau orang yang tidak memiliki kebebasan hidup seperti manusia lainnya.
e) Adil
Sifat keadilan dari saksi dalam memberikan kesaksian sangatlah menentukan dalam penilaian hakim karenanya sifat adil dalam hal ini ialah menjauhi perbuatan dosa, baik hati, menjaga kehormatan diri, dan bukan musuh atau lawan dari pihak yang berperkara.
Syarat-syarat saksi yang dikemukakan di atas adalah merupakan syarat-syarat yang diperpegangi oleh peradilan agama, namun ada beberapa tambahan syarat seperti yang dikemukakan oleh Sayyid Sabiq dalam fiqh sunnahnya, dengan dua syarat tambahannya yaitu mampu berbicara tidak bisa, dan bukan sanak famili atau keluarga terdekat salah satunya.
Persyaratan yang harus dimiliki oleh saksi atau beberapa orang saksi seperti yang telah diuraikan di atas merupakan syarat mutlak yang mesti ada pada saksi, walaupun dalam beberapa hal sebagaimana yang dimaksud oleh Sayyid Sabiq harus tidak bisu dan khusus yang diatur oleh Peradilan Agama dalam perkara perdata.
Syarat-syarat saksi yang diuraikan di atas adalah merupakan syarat yang dikenakan pada seorang saksi sebelum memberikan kesaksian, karena saksi dalam hal ini merupakan orang yang menyaksikan suatu peristiwa hukum yang sekaligus sebagai syarat hukum dalam membuktikan kebenaran yang terdapat pada salah satu pihak yang mengajukan perkaranya di muka sidang, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa syarat-syarat tersebut adalah merupakan ketentuan khusus yang dianjurkan oleh hukum pad seorang saksi.
Lima syarat yang dikemukakan di atas ditambah dengan dua syarat oleh Sayyid Sabiq yaitu beragama Islam, baligh, berakal, merdeka adil tidak bisu dan bukan keluarga dekat dari pihak-pihak yang berperkara adalah merupakan ketentuan yang wajib dimiliki oleh seorang saksi.
Pada prinsipnya, setiap orang dapat menjadi saksi. Namun demikian, untuk memelihara obyektifitas saksi dan kejujurannya, ada orang tertentu oleh Undang-undang tidak dapat diperkenankan menjadi saksi sebagai dasar untuk memutus perkara, karena adanya hubungan tertentu dengan para pihak, atau karena keadaan tertentu orang tidak boleh di dengar sebagai saksi adalah :
  1. Keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang sah
  2. Istri atau suami dari salah satu pihak meskipun sudah ada perceraian
  3. Anak yang tidak diketahui benar umurnya sudah 15 tahun
  4. Orang gila, meskipun ia kadang-kadang mempunyai ingatan yang terang.
Sejalan dengan maksud di atas, nabi saw telah memperingatkan agar tidak mengangkat saksi orang pengkhianat, orang yang memiliki rasa dengki terhadap saudaranya, dan pembantu terhadap tuannya. Nabi bersabda :
لاتجوز شهادة خائن، ولاخائـنـة، ولاذى غمـر على اخيه ولا تجوز شهادة القانع لا هل البيت (رواه احمد و ابو دود)
Artinya :
Tidak boleh diterima kesaksian seorang pengkhianat laki-laki dan tidak pula pengkhianat perempuan, orang yang memiliki perasaan dengki terhadap saudaranya, dan tidak diterima kesaksiannya seorang pembantu atas tuannya.

13133
Pada waktu Rosulullah SAW dating ke
madinah pertama kali, orang-orang penduduk asli biasa menyewakan kebunnya dalam
waktu satu, dua atau tiga tahun. Oleh sebab itu rosul bersabda:”Barang siapa menyewakan (mengutangkan)
sesuatu hendaklah dengan timbangan atau ukuran yang tertentu dan dalam jangka
waktu yang tertentu pula”
sehubungan dengan itu allah swt menurunkan ayat
282 sebagai perintah apabila mereka utang piutang maupun muamalah dalam jangka
waktu tertentu hendaklah ditulis perjanjian dan mendatangkan saksi. Hal mana
untuk menjaga terjdinya sengketa pada waktu-waktu yang akan dating. (Hr. Bukhori dari Sofyan Bin Uyainah dari Ibnu
Abi Najih dari Abdillah bin Katsir dari Minhal dari ibnu Abbas).
(A Mudjab
Mahali.1989:136) D. Tuntutan-tuntutan
atau bimbingan yang dapat diambil dari Surat Al-Baqarah 282

            Untuk memperoleh kenikmatan hidup
dan manfaat dari harta dapat ditempuh jalan yang haram akan tetapi allah
menetapkan jalan yang halal yaitu pinjam meminjam dan utang piutang tanpa
bunga.

1. Apabila terjadi transaksi jual beli atau pinjaman
hendaknya jelas dikemukakan syarat-syarat pembayarannya termasuk waktu
pembayarannya.

2. Hendaknya ditulis
dan diperkuat oleh dua orang saksi.

3. Penulis dan saksi hendaklah bersifat adil dan
dapat dipercaya sehingga tidak terjadi kecurangan.

4. Bagi yang
tidak mampu menutarakan keinginannya dapat meminta wali.

5. Saksi teridi dari dua laki-laki atau satu
laki-laki dan dua perempuan. (Q Shaleh Dkk, 1990:105

Tidak ada komentar: