Pemerintahan Ilahi
(Oleh:
Ust. Husein Al-Kaff)
Tulisan ini mencoba memberikan gambaran secara global dan
ringkas tentang sistem pemerintahan dalam pandangan Islam. Saya kira gambaran
ini penting mengingat mayoritas dari rakyat Indonesia adalah Muslim, agar mereka
mengetahui bahwa Islam tidak buta terhadap masalah pemerintahan.
Manusia Makhluk Bersosial
Hidup bermasyarakat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan umat manusia. Sejak dahulu kala sampai saat ini dan seterusnya umat
manusia selalu hidup bersama dan bergotong royong, karena kebutuhan-kebutuhan
manusia tidak akan tercapai secara penuh kecuali dengan hidup bermasyarakat dan
bergotong royong. Kemudian, kehidupan bermasyarakat tidak akan damai, aman dan
harmonis tanpa adanya seperangkat peraturan atau undang-undang yang menjelaskan
dan mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka, baik yang menyangkut
urusan personal maupun komunal. Karena tanpa undang-undang akan terjadi
kehidupan yang anarkhis, kacau balau, dan akan muncul hukum rimba.
Manusia sebagai individu – demi me-langsungkan hidupnya dan agar
tetap survive – membutuhkan
makan, minum dan hubungan seks; dan manusia sebagai elemen komunitasnya
membutuhkan undang-undang kemasyarakatan agar hidup damai, aman dan harmonis
sehingga kelangsungan hidupnya terjaga. Hal ini disebabkan setiap manusia
mempunyai kepentingan, kecenderungan, dan kemauan yang beragam serta
berbeda-beda sehingga tidak jarang terjadi benturan kepentingan, kecenderungan,
dan kemauan. Jadi, kebutuhan manusia kepada makan, minum dan seks serta
kebutuhannya kepada undang-undang kemasyarakatan mutlak adanya.
Oleh karena itu, pemerintahan sebagai pengatur atau pembuat
undang-undang (legislatif)
dan sekaligus sebagai pengontrol pelaksanaan undang-undang (yudikatif) menjadi
kebutuhan umat manusia yang berikutnya. Imam ‘Ali a.s. berkata, “Penguasa
(pemerintahan) yang zalim lebih baik dari anarkhi yang berlaku ” (Al-Ghurar wa Al-Durar
6/236). Ungkapan ini tidak bermaksud bahwa pemerintahan yang zalim itu bagus,
tetapi bermaksud bahwa bagaimanapun juga masyarakat yang terpimpin, meski
zalim, lebih bagus dari masyarakat yang tidak terpimpin.
Selain presiden di atas tadi, Islam sebagai agama yang
komprehensif, tentu tidak tinggal diam dan pasti mempunyai solusi tentang
pemerintahan, karena Islam menjanjikan kebahagian bagi umat manusia di dunia
maupun di akhirat. Kebahagian di dunia tidak mungkin tercapai tanpa adanya
seperangkat undang-undang kemasyarakatan yang rapih dan baik. Dan de facto ayat-ayat
Alquran sarat dengan masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, pidana, perdata,
perang, perdagangan dan lainnya yang jauh lebih banyak dari ajaran-ajaran yang
berkenaan dengan masalah ritual-individual.
Demikian pula kitab-kitab hadis, hanya tiga atau empat bab
darinya yang membahas persoalan ibadah kepada Allah dan akhlak. Adapun
selebihnya berkaitan dengan masalah sosial, ekonomi, hak-hak manusia,
managemen, dan politik (Lihat Al-Hukumah
Al-Islamiyyah 9).
Meskipun secara langsung tidak didapati dalam teks-teks Islam
(Alquran dan Hadis) sebuah perintah mendirikan pemerintahan Islam, tetapi
sesuai dengan preseden kedua, maka ajaran-ajaran Islam tidak mungkin dapat
dijalankan secara utuh tanpa pemerintahan. Imam Khomeini r.a., bapak Revolusi
Islam, menjelaskan, “Adalah Rasulullah Saww. yang mengetahui seluruh instansi
eksekutif dalam mengatur masyarakat Islam. Beliau di samping bertabligh dan
menjelaskan hukum-hukum Islam, juga beliau memperhatikan pelaksanaannya
sehingga beliau menciptakan pemerintahan Islam…”
Kemudian beliau menyebutkan beberapa alasan perlunya didirikan
pemerintahan Islam. Pertama,
ajaran-ajaran Islam mengan-dung berbagai undang-undang kemasyarakatan secara
lengkap. Mengatur seluruh kebutuhan-kebutuhan manusia dari masalah pribadi,
keluarga, pernikahan, tetangga, perang, politik, ekonomi, hubungan bilateral,
pidana, perdata, industri, pertanian dan lainnya. Kedua, kalau kita perhatikan dengan saksama
tentang esensi hukum-hukum syariat, maka akan kita dapatkan bahwa hukum-hukum
tersebut tidak bisa dijalankan kecuali melalui kekuatan atau pemerintahan.
Sebagai contoh masalah-masalah keuangan (seperti khumus, ghanimah,
jizyah, kharaj) yang ditetapkan
dalam Islam harus digunakan demi kepentingan negara dan masyarakat, atau
masalah difa’
dan jihad (mempertahankan diri, harta dan tanah air), atau masalah-masalah
pidana, diyat
dan qishash (Al-Hukumah Al-Islamiyah
23 dan 27-33).
Filosofi dan Model Pemerintahan Ilahi
Ditegaskan oleh Islam bahwa tujuan dari kehidupan manusia adalah
beribadah kepada Allah dan menurut Islam, manusia di dunia yang fana ini
bergerak menuju Allah (kesempurnaan yang mutlak). Islam sebuah paket terpadu
yang dikemas sedemikian rupa untuk membantu manusia agar dengan benar dan mudah
sampai kepada Allah. Sehingga manusia sampai kepada Al-Haqq (Allah) dengan Al-Haqq (ajaran Allah).
Oleh karena itu, pemerintahan tidak lebih dari fasilitas yang sangat berperan
besar membantu manusia menuju tujuan tersebut.
Dalam pandangan Islam kedaulatan dan kekuasaan secara mutlak
hanya milik Allah Swt. Selain sebagai Al-Khalik
(Pencipta), Allah adalah Al
Rabb (Pemelihara) dan Al-Hakim
(Penguasa) atas seluruh alam raya. Allah sebagai sumber wujud segala sesuatu dan
kepada-Nya segala sesuatu harus tunduk dan pasrah. Hal itu merupakan keyakinan
yang paling prinsipil dalam Islam dan menjadi sebuah pandangan hidup kaum
Muslimin (pandangan dunia Tau-hid). Prinsip ini biasa disebut dengan Tauhid (monoteis).
Doktrin tauhid dalam Islam tidak sekedar meyakini
Kemahatunggalan dan Kemahaesaan Wujud Allah saja, tetapi Kemahatunggalan dan
Kemahaesaan-Nya meliputi Ketuhanan-Nya (Ilahiyyah),
ubudiyyah-Nya
(Dzat yang berhak disembah dengan sendiri-Nya), fi’liyyah-Nya (perbuatan-Nya), shifatiyyah (sifat-Nya),
dan tasyri’iyyah
(yang mempunyai otoritas secara mutlak untuk membuat undang-undang, memerintah
dan melarang).
Jadi pemerintahan Islam tidak sama dengan sistem pemerintahan
yang kita kenal selama ini. Imam Khomeini ra. dalam bukunya Al-Hukumah Al-Islamiyah
berkata, “Pemerintah-an Islam tidak sama dengan sistem-sistem pemerintahan yang
ada sekarang ini. Sistem pemerintahan Islam bukanlah sistem pemerin-tahan
absolut yang mana presiden bertindak sesuai dengan pendapatnya dan berbuat
semaunya atas harta dan nyawa manusia.” Kemudian beliau melanjutkan, “Sistem
pemerintahan Islam adalah pemerintahan konstitusional dengan pengertian para
pemimpinnya terikat dengan undang-undang dan hukum yang termaktub dalam Alquran
dan Sunnah. Oleh karena itu, pemerintahan Islam adalah pemerintahan
konstitusional Ilahi (teokrasi)”
(Al-Hukumah Al-Islamiyah
41-42).
Menarik bahwa dalam Alquran disebutkan salah satu asma’ Allah adalah Mawla’ atau Wali, yang diambil dari
kata wilayah.
Maksudnya adalah Allah yang memimpin dan mengatur segala urusan manusia baik di
dunia ataupun di akhirat (Lihat Allamah Thabathaba’i Al-Mizan 6 hal. 13). Kekuasaan Allah tidak
hanya berkaitan dengan alam raya (wilayah
takwiniyyah) saja, tetapi meliputi kekuasaan atas hukum dan
undang-undang yang mengatur urusan-urusan manusia (wilayah tasyri’iyyah).
Oleh karena kedaulatan dan kekuasaan yang mutlak ada pada Allah
Swt., maka manusia sebagai ciptaan-Nya tidak mempunyai wewenang untuk berkuasa
kecuali mendapatkan mandat dari-Nya dan dalam sistem pemerintahan Ilahi, Allah
adalah pemimipin dan penguasa yang mutlak. Dia yang membuat undang-undang
(legislatif ) dan yang memberikan keputusan (yudikatif). Sistem pemerintahan
Islam lebih cenderung kepada sistem teokrasi.
Islam tidak mengenal apa yang biasa disebut dengan kedaulatan rakyat, karena
kedaulatan rakyat tidak selalu mencerminkan kebenaran. Kebenaran yang mutlak
hanya ada pada Allah Swt. “Hukum
hanya milik Allah. Ia memerintahkan agar kalian tidak menyembah kecuali
kepada-Nya.” (QS Yusuf, 12 : 40).
Untuk sementara orang, pemerintahan Islam itu kejam dan
menakutkan sehingga kalangan non-Muslim akan tertekan dan mendapatkan sikap
yang diskriminatif dari pemerintahan Islam. Jelas anggapan ini tidak berdasar
karena kalau kita amati bahwa Penguasa dan Pembuat undang-undang dalam
pemerintahan Islam adalah Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Allah sendiri berfirman, “Tuhanmu
telah menetapkan (mengharuskan) atas diri-Nya berbelas kasih ” (QS
Al-An’am, 6: 54) dan sejarah juga membuktikan bagaimana sikap Nabi Muhammad
sebagai pemimpin umat Islam menghargai dan menghormati kaum non-Muslim.
Nabi Sebagai Mandataris Allah Swt
Dalam trilogi pandangan
dunia tauhid (Islam), urutan kedua setelah kekuasaan dan
kepemimpinan Allah adalah kepemimpinan para nabi as. Para
nabi diangkat oleh Allah untuk memimpin umat manusia dan menegakkan keadilan.
Mereka diberi oleh Allah otoritas untuk menentukan hukum dan undang-undang dan
mereka juga harus ditaati. Pengangkatan nabi sebagai pemimpin semata-mata
karena kehendak Allah, tanpa campur tangan kehendak selain-Nya, atau dengan
kata lain, pengangkatannya tanpa musyawarah dengan siapapun.
Allah memandang ketaatan kepada Nabi sama dengan ketaatan
kepada-Nya dan melanggar perintahnya berarti melanggar perintah-Nya. Berikut
ini ayat-ayat yang menegaskan kewajiban mentaati Nabi Saww.:
“Taatlah
kepada Allah dan Rasul-Nya” (QS Ali Imran, 3 : 32); “Dan tidaklah Kami utus seorang rasul
melainkan agar ditaati dengan izin Allah ” (QS An-Nisa’, 4 : 64); “Apa yang dibawakan oleh Rasul maka
ambillah dan apa yang dilarang olehnya maka hentikanlah ” (QS
Al-Hasyr, 59 : 7); “Tidaklah
pantas bagi seorang mukmin maupun mukminah, jika Allah dan Rasul-Nya telah
memutuskan sebuah urusan, untuk memilih (keputusan yang lain) dari
urusan-urusan mereka ” (QS Al-Ahzab, 33 : 36) dan ayat-ayat
lainnya.
Dalam bukunya, Imamat
wa Rahbary, dengan sangat menarik Syahid Murtadha Muthahhari ra.
menjelaskan tentang tugas-tugas Nabi Saww. sebagai mandataris Allah Swt. Pertama, Nabi bertugas
menyampaikan hukum dan undang-undang Allah sebagaimana yang tersurat dalam surat al Hasyr ayat 7. Kedua, Nabi bertugas
sebagai pemberi keputusan (qadhi
atau hakim).
Maksudnya ketika terjadi suatu masalah di tengah kaum Muslimin, maka beliau
yang mempunyai otoritas untuk memutuskannya. Allah berfirman, “Maka demi Tuhanmu, mereka tidak
beriman sehingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim atas persengketaan yang
terjadi di antara mereka dan mereka pun tidak merasa keberatan atas apa yang
telah kamu putuskan serta mereka menyerahkannya (kepada kamu) ” (QS
An-Nisa’, 4 : 65). Ketiga,
Nabi sebagai pemimpin dan penguasa masyarakat Muslim (QS An-Nisa’, 4 : 59) (Imamat wa Rahbari 47-48).
Dengan keterangan di atas, dapat kita simpulkan bahwa dalam
sistem pemerintahan Ilahi pemimpin tertinggi adalah Allah Swt. Sedangkan Nabi
Saww. merupakan seorang yang dipercayai oleh Allah untuk memimpin umat manusia
sehingga dengan demikian Nabi adalah pemimpin dan penguasa kedua setelah Allah.
Sehubungan dengan ini, Imam Khomeini ra. berkata, “Pemerintahan dalam Islam
berarti mengikuti undang-undang Islam. Sedangkan kekuasaan yang ada pada Nabi
dan para pemimpin setelahnya merupakan kepanjangan dari Allah, karena Allah
telah memerintahkan untuk mengikuti Nabi dan para pemimpin setelahnya. Maka
tidak ada tempat bagi pendapat dan kemauan individu. Semuanya mengikuti
undang-undang Allah Swt ” (Al-Hukumah
Al-Islamiyyah 43).
Nabi Muhammad Saww. selaku pemimpin pemerintahan Islam dalam
mengatur urusan-urusan kenegaraan, internal maupun eksternal, tidak
menanganinya secara langsung sendirian, tetapi beliau mengangkat beberapa
sahabat yang dapat membantu beliau. Misalnya, beliau mengangkat sejumlah
sahabat untuk dijadikan sebagai juru tulis yang beliau suruh untuk menulis
surat kepada para raja dan para tokoh yang ada di sekitar jazirah Arab, beliau
juga mempunyai seorang yang dipercayai untuk menjaga rahasia-rahasia beliau,
beliau juga terkadang mengangkat seseorang untuk memimpin pasukan perang dan
lain sebagainya.
Namun perlu diketahui bahwa urusan-urusan administrasi negara
waktu itu masih sangat sederhana karena wilayah kekuasaan Islam masih kecil dan
jumlah masyarakat Islam masih sedikit sekali. Buku sejarah Islam telah banyak
menceritakan tentang keadministrasian dan aktivitas-aktivitas pemerintahan
Islam pada zaman Nabi maupun zaman para khalifah (untuk lebih jelas lagi, baca Al-Ahkam Al- Sulthaniyyah
karya Syeikh Al-Mawardi atau Wilayah
Al-Faqih karya Syeikh Al-Muntazhiri ).
Kepemimpinan Islam Pasca-Rasulullah Saww
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada keterangan yang lalu
bahwa dalam sistem pemerintahan Ilahi, kekuasaan dan kedaulatan mutlak berada
di tangan Allah Ta’ala, sebagai Pencipta dan Pemelihara jagat raya, dan segala
sesuatu selain-Nya harus tunduk kepada-Nya, kemudian Ia memberikan mandat
kepada Rasulullah Saww. sebagai kepercayaan-Nya, maka siapakah gerangan yang
akan menjadi kepercayaan Allah setelah Rasulullah Saww. ?
Mengingat bahwa Islam sebagai agama yang global dan inter generasi dan diturunkan untuk seluruh umat manusia sampai hari kiamat, maka kepemimpinan dan pemerintahan Islam tidak terhenti dengan wafatnya Rasulullah Saww. Kepemimpinan Islam terus terbentang dan berlaku selagi manusia masih ada di atas permukaan bumi ini. Nah, sehubungan dengan ini, masalah khilafah digulirkan dan dibicarakan bahkan menjadi isu yang paling hangat sejak wafatnya Rasulullah Saww. sampai saat ini. Siapakah yang manjadi khalifah (pemimpin kaum muslimin pasca Rasulullah) ? Dan bagaimanakah proses pengangkatan khilafah Islamiyyah ?
Sudah tidak menjadi rahasia lagi, bahwa terdapat dua pandangan yang kontradiktif tentang masalah khilafaturrasul. Sebagian kaum muslimin berpendapat bahwa pengangkatan khalifah diserahkan kepada umat Islam (baca : masyarakat Islam ) dengan mengadakan voting atau syura’, sementara sebagian yang lain berpendapat bahwa pengangkatan khalifah adalah hak Allah bukan hak manusia.
Dalam bukunya, Makrifatullah, dengan sangat arif Ayatullah Makarim Syirazi menjelaskan duduk permasalahan khilafah. Menurutnya, sebenarnya perselisihan tidak akan muncul kalau kedua kubu itu mempunyai pemahaman yang sama tentang arti khalifah. Perselisihan timbul disebabkan kedua golongan tersebut memberikan makna yang berbeda tentang khalifah.
Menurut golongan pertama, khalifah bertugas sebagai pemimpin negara dan urusan dunia saja. Oleh karena itu, seorang khalifah tidak diharuskan seorang yang paling baik, paling takwa dan paling memahami urusan-urusan agama. Persyaratan menjadi khalifah cukup dengan kemampuannya memimpin pemerintahan (kafa’ah). Atas dasar makna ini, pengangkatan seorang khalifah cukup dengan syura’ atau menurut suara yang terbanyak, tidak harus ada intervensi dari syariat.
Sedangkan golongan kedua berpendapat bahwa jabatan khalifah sama dengan jabatan Rasululullah kecuali menerima wahyu. Oleh karena itu seorang khalifah mesti orang yang paling baik, paling takwa dan paling memahami agama Islam, dan tentunya mempunyai kafa’ah juga. Maka yang mengetahui manusia seperti itu tidak lain adalah Allah Ta’ala Sebagaimana Nabi diangkat oleh Allah demikian pula khalifah diangkat oleh-Nya melalui Rasul-Nya. Jadi kesepakatan akan terjadi di antara dua golongan itu jika mereka bersepakat dalam memaknai kata khalifah, (Lihat kitab Makrifatullah hal. 227-229).
Di sini tidak akan kami bahas perselisihan di antara dua golongan tersebut. Namun kami akan lebih menekankan pada fungsi seorang khalifah atau pemimpin kaum muslimin dengan mengacu kepada ajaran Islam yang komprehensif dan kepemimpinan Rasulullah Saww. (Bagi pembaca yang ingin mendapatkan penjelasan yang memadai tentang model kepemimpinan dalam Islam dipersilahkan membaca buku Suksesi karya Syahid Muhammad Baqir Shadr, yang cukup representatif membicarakan masalah kepemimpinan dalam Islam).
Sebagaimana telah diketahui bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap dan bahwa Nabi Muhammad Saww. selain menyampaikan wahyu dan tempat bertanya tentang masalah-masalah keagamaan (marja’iyyah diniyyah), juga beliau adalah pemimpin negara Islam. Maka tugas seorang khalifah, sesuai dengan arti dari khalifah, yaitu penggganti atau wakil, sama dengan tugas Nabi Saww. kecuali menerima wahyu.
Keterangan Tekstual Tentang Pemimpin Islam Pasca Rasulullah SawwMengingat bahwa Islam sebagai agama yang global dan inter generasi dan diturunkan untuk seluruh umat manusia sampai hari kiamat, maka kepemimpinan dan pemerintahan Islam tidak terhenti dengan wafatnya Rasulullah Saww. Kepemimpinan Islam terus terbentang dan berlaku selagi manusia masih ada di atas permukaan bumi ini. Nah, sehubungan dengan ini, masalah khilafah digulirkan dan dibicarakan bahkan menjadi isu yang paling hangat sejak wafatnya Rasulullah Saww. sampai saat ini. Siapakah yang manjadi khalifah (pemimpin kaum muslimin pasca Rasulullah) ? Dan bagaimanakah proses pengangkatan khilafah Islamiyyah ?
Sudah tidak menjadi rahasia lagi, bahwa terdapat dua pandangan yang kontradiktif tentang masalah khilafaturrasul. Sebagian kaum muslimin berpendapat bahwa pengangkatan khalifah diserahkan kepada umat Islam (baca : masyarakat Islam ) dengan mengadakan voting atau syura’, sementara sebagian yang lain berpendapat bahwa pengangkatan khalifah adalah hak Allah bukan hak manusia.
Dalam bukunya, Makrifatullah, dengan sangat arif Ayatullah Makarim Syirazi menjelaskan duduk permasalahan khilafah. Menurutnya, sebenarnya perselisihan tidak akan muncul kalau kedua kubu itu mempunyai pemahaman yang sama tentang arti khalifah. Perselisihan timbul disebabkan kedua golongan tersebut memberikan makna yang berbeda tentang khalifah.
Menurut golongan pertama, khalifah bertugas sebagai pemimpin negara dan urusan dunia saja. Oleh karena itu, seorang khalifah tidak diharuskan seorang yang paling baik, paling takwa dan paling memahami urusan-urusan agama. Persyaratan menjadi khalifah cukup dengan kemampuannya memimpin pemerintahan (kafa’ah). Atas dasar makna ini, pengangkatan seorang khalifah cukup dengan syura’ atau menurut suara yang terbanyak, tidak harus ada intervensi dari syariat.
Sedangkan golongan kedua berpendapat bahwa jabatan khalifah sama dengan jabatan Rasululullah kecuali menerima wahyu. Oleh karena itu seorang khalifah mesti orang yang paling baik, paling takwa dan paling memahami agama Islam, dan tentunya mempunyai kafa’ah juga. Maka yang mengetahui manusia seperti itu tidak lain adalah Allah Ta’ala Sebagaimana Nabi diangkat oleh Allah demikian pula khalifah diangkat oleh-Nya melalui Rasul-Nya. Jadi kesepakatan akan terjadi di antara dua golongan itu jika mereka bersepakat dalam memaknai kata khalifah, (Lihat kitab Makrifatullah hal. 227-229).
Di sini tidak akan kami bahas perselisihan di antara dua golongan tersebut. Namun kami akan lebih menekankan pada fungsi seorang khalifah atau pemimpin kaum muslimin dengan mengacu kepada ajaran Islam yang komprehensif dan kepemimpinan Rasulullah Saww. (Bagi pembaca yang ingin mendapatkan penjelasan yang memadai tentang model kepemimpinan dalam Islam dipersilahkan membaca buku Suksesi karya Syahid Muhammad Baqir Shadr, yang cukup representatif membicarakan masalah kepemimpinan dalam Islam).
Sebagaimana telah diketahui bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap dan bahwa Nabi Muhammad Saww. selain menyampaikan wahyu dan tempat bertanya tentang masalah-masalah keagamaan (marja’iyyah diniyyah), juga beliau adalah pemimpin negara Islam. Maka tugas seorang khalifah, sesuai dengan arti dari khalifah, yaitu penggganti atau wakil, sama dengan tugas Nabi Saww. kecuali menerima wahyu.
Dalam berbagai kitab hadis dikutip sebuah hadis yang cukup
populer dengan redaksi yang berbeda namun maksudnya sama. Rasulullah Saww.
bersabda, “Barangsiapa mati sementara dia tidak mengenal imam zamannya maka dia
akan mati seperti matinya orang-orang jahiliyyah.” Hadis ini dengan jelas
menekankan pentingnya masalah kepemimpinan sehingga seorang muslim yang tidak
mengenal imam yang ada pada zamannya akan mati seperti orang-orang jahiliyyah.
Sedemikian pentingnya masalah kepemimpinan dalam Islam sehingga tidak mungkin
Rasulullah mengabaikankannya tanpa memberikan penjelasan kepada umat Islam
tentang proses pengangkatannya dan kriteria-kriteria seorang pemimpin setelah
beliau wafat.
Sebagian mufasir mengatakan bahwa ayat yang berbunyi “Wahai Rasul, sampaikankanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Jika tidak kamu lakukan maka kamu tidak menyampaikan risalahNya ‘ ( QS Al-Maidah, 5 : 67) merupakan perintah dari Allah agar Rasulullah menyampaikan wasiat terakhir tentang kepemimpinan (Lihat tafsir Al-Mizan dan tafsir Majma’ al Bayan berkenaan dengan ayat di atas).
Juga ayat yang berbunyi, “Wahai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan Ulil amri dari kalian ” (QS An-Nisa’, 4 : 59) merupakan perintah dari Allah untuk menaati para pemimpin setelah Rasulullah Saww. Kalau kita merujuk ke literatur-literatur hadis, maka akan kita dapatkan sejumlah riwayat dari Rasulullah tentang masalah khalifah atau pemimpin. Di antaranya adalah : “Agama ini akan tetap tegak sampai hari kiamat atau selama kalian dipimpin oleh dua belas khalifah. Semuanya dari Quraisy ” (Shahih Muslim jilid 6 halaman 4); “Islam akan senantiasa mulia sampai dengan dua belas khalifah ” (Shahih Bukhari jilid 8 halaman 105 dan 128) dan riwayat-riwayat lainnya yang tidak perlu kami sebutkan semuanya.
Dengan demikian, masalah dan model pemerintahan pasca-Rasulullah Saww. telah selesai dibicarakan, yaitu kekhilafahan. Dalam keterangan tekstual maupun sejarah tidak ada keterangan tentang pengangkatan pemimpin Ilahi atau khalifah melalui syura’. Syura’ biasanya dipraktikkan dalam masalah-masalah sosial yang duniawi, sedangkan khilafah dan kepemimpinan tidak hanya duniawi saja. Malah dalam beberapa hadis disebutkan juga pribadi-pribadi yang berhak menjadi pemimpin dan mereka telah diangkat oleh Rasulullah sendiri. Mereka itu adalah, ‘Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan, Al-Husain, ‘Ali Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir, Ja’far Ash-Shadiq, Musa Al-Kazhim, ‘Ali Ar-Ridha’, Muhammad Al-Jawad, ‘Ali Al- Hadi, Hasan Al-‘Askari dan Muhammad Al-Mahdi (salam sejahtera atas mereka semuanya). Mereka adalah khalifah-khalifah Nabi yang berjumlah dua belas dan hujjah-hujah Allah setelah Nabi Saww. Mereka mempunyai tugas yang sama dengan Nabi hanya saja mereka tidak mendapatkan wahyu atau membawa syariat baru.
Menarik untuk dicermati, bahwa pemerintahan Ilahi memberi kesan adanya kekuasaan yang turun temurun atau yang dalam istilah yang terkenal dewasa ini, nepotisme. Sebagian tokoh kita ada yang keberatan dengan sistem pemerintahan Ilahi karena alasan nepotisme dan otoriter, tidak mengenal syura’ dalam pengangkatan pemimpin.
Mengapa nepotisme ? Kata nepotisme bagi kaum demokrat berkonotasi negatif, yaitu pembagian jabatan-jabatan pemerintahan berdasarkan kekerabatan (Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia). Tetapi kesan nepotisme yang negatif itu tidak akan muncul dalam sistem pemerintahan Ilahi karena dalam pemerintahan Ilahi kekuasaan hanya milik Allah Swt., bukan milik rakyat atau bersama (seperti yang telah diuraikan pada bagian pertama dari tulisan ini). Dan sebenarnya keburukannya nepotisme itu karena tidak memberikan jabatan kepada orang-orang yang tidak mempunyai kelayakan, namun memberikannya kepada seseorang hanya karena pertimbangan keluarga. Tetapi lain halnya dengan sistem pemerintahan Ilahi, kekuasaan dan kepemimpinan diberikan kepada orang-orang yang menurut Allah dan Rasul-Nya mempunyai kelayakan (kafa’ah), meskipun mereka dari satu keluarga atau turun temurun. Oleh karena itu, Allah menjadikan keturunan Nabi Ibrahim as. sebagai nabi dan pemimpin, seperti Ismail, Ishak, Ya’kub dan Yusuf, karena Allah mempercayai mereka sebagai pemimpin umat manusia. Demikian pula para khalifah Nabi Muhammad Saww. diangkat atas pertimbangan yang sama, yakni mereka dipercayai untuk melanjutkan kepemimpinan Allah dan Rasul-Nya.
Berkenaan dengan ini, Alquran menjelaskan, “Aku hendak menjadikanmu pemimpin untuk manusia. Dia ( Ibrahim) berkata, ” Dan dari keturunanku ?” Allah menjawab “(ya, tetapi) janjiku (kepemimpinan) ini tidak diberikan kepada (keturunanmu) yang zalim.”(QS Al-Baqarah : 124) dan juga mengatakan, “Sesungguhnya Allah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran atas seluruh semesta alam raya. Sebagian dari mereka adalah keturunan dari sebagian yang lain “(QS Ali Imran : 33-34). Oleh karena itu, pemerintahan Ilahi tetap beranjak dari kekuasaan dan kepemimpinan Allah dan Allah pulalah yang akan menentukan siapa pemimpin kaum muslimin setelah Rasulullah Saww.
Sebagian mufasir mengatakan bahwa ayat yang berbunyi “Wahai Rasul, sampaikankanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Jika tidak kamu lakukan maka kamu tidak menyampaikan risalahNya ‘ ( QS Al-Maidah, 5 : 67) merupakan perintah dari Allah agar Rasulullah menyampaikan wasiat terakhir tentang kepemimpinan (Lihat tafsir Al-Mizan dan tafsir Majma’ al Bayan berkenaan dengan ayat di atas).
Juga ayat yang berbunyi, “Wahai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan Ulil amri dari kalian ” (QS An-Nisa’, 4 : 59) merupakan perintah dari Allah untuk menaati para pemimpin setelah Rasulullah Saww. Kalau kita merujuk ke literatur-literatur hadis, maka akan kita dapatkan sejumlah riwayat dari Rasulullah tentang masalah khalifah atau pemimpin. Di antaranya adalah : “Agama ini akan tetap tegak sampai hari kiamat atau selama kalian dipimpin oleh dua belas khalifah. Semuanya dari Quraisy ” (Shahih Muslim jilid 6 halaman 4); “Islam akan senantiasa mulia sampai dengan dua belas khalifah ” (Shahih Bukhari jilid 8 halaman 105 dan 128) dan riwayat-riwayat lainnya yang tidak perlu kami sebutkan semuanya.
Dengan demikian, masalah dan model pemerintahan pasca-Rasulullah Saww. telah selesai dibicarakan, yaitu kekhilafahan. Dalam keterangan tekstual maupun sejarah tidak ada keterangan tentang pengangkatan pemimpin Ilahi atau khalifah melalui syura’. Syura’ biasanya dipraktikkan dalam masalah-masalah sosial yang duniawi, sedangkan khilafah dan kepemimpinan tidak hanya duniawi saja. Malah dalam beberapa hadis disebutkan juga pribadi-pribadi yang berhak menjadi pemimpin dan mereka telah diangkat oleh Rasulullah sendiri. Mereka itu adalah, ‘Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan, Al-Husain, ‘Ali Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir, Ja’far Ash-Shadiq, Musa Al-Kazhim, ‘Ali Ar-Ridha’, Muhammad Al-Jawad, ‘Ali Al- Hadi, Hasan Al-‘Askari dan Muhammad Al-Mahdi (salam sejahtera atas mereka semuanya). Mereka adalah khalifah-khalifah Nabi yang berjumlah dua belas dan hujjah-hujah Allah setelah Nabi Saww. Mereka mempunyai tugas yang sama dengan Nabi hanya saja mereka tidak mendapatkan wahyu atau membawa syariat baru.
Menarik untuk dicermati, bahwa pemerintahan Ilahi memberi kesan adanya kekuasaan yang turun temurun atau yang dalam istilah yang terkenal dewasa ini, nepotisme. Sebagian tokoh kita ada yang keberatan dengan sistem pemerintahan Ilahi karena alasan nepotisme dan otoriter, tidak mengenal syura’ dalam pengangkatan pemimpin.
Mengapa nepotisme ? Kata nepotisme bagi kaum demokrat berkonotasi negatif, yaitu pembagian jabatan-jabatan pemerintahan berdasarkan kekerabatan (Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia). Tetapi kesan nepotisme yang negatif itu tidak akan muncul dalam sistem pemerintahan Ilahi karena dalam pemerintahan Ilahi kekuasaan hanya milik Allah Swt., bukan milik rakyat atau bersama (seperti yang telah diuraikan pada bagian pertama dari tulisan ini). Dan sebenarnya keburukannya nepotisme itu karena tidak memberikan jabatan kepada orang-orang yang tidak mempunyai kelayakan, namun memberikannya kepada seseorang hanya karena pertimbangan keluarga. Tetapi lain halnya dengan sistem pemerintahan Ilahi, kekuasaan dan kepemimpinan diberikan kepada orang-orang yang menurut Allah dan Rasul-Nya mempunyai kelayakan (kafa’ah), meskipun mereka dari satu keluarga atau turun temurun. Oleh karena itu, Allah menjadikan keturunan Nabi Ibrahim as. sebagai nabi dan pemimpin, seperti Ismail, Ishak, Ya’kub dan Yusuf, karena Allah mempercayai mereka sebagai pemimpin umat manusia. Demikian pula para khalifah Nabi Muhammad Saww. diangkat atas pertimbangan yang sama, yakni mereka dipercayai untuk melanjutkan kepemimpinan Allah dan Rasul-Nya.
Berkenaan dengan ini, Alquran menjelaskan, “Aku hendak menjadikanmu pemimpin untuk manusia. Dia ( Ibrahim) berkata, ” Dan dari keturunanku ?” Allah menjawab “(ya, tetapi) janjiku (kepemimpinan) ini tidak diberikan kepada (keturunanmu) yang zalim.”(QS Al-Baqarah : 124) dan juga mengatakan, “Sesungguhnya Allah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran atas seluruh semesta alam raya. Sebagian dari mereka adalah keturunan dari sebagian yang lain “(QS Ali Imran : 33-34). Oleh karena itu, pemerintahan Ilahi tetap beranjak dari kekuasaan dan kepemimpinan Allah dan Allah pulalah yang akan menentukan siapa pemimpin kaum muslimin setelah Rasulullah Saww.
Kepemimpinan Para Ulama ( Wilayah Al-Faqih)
Islam sebagai agama yang universal dan lintas bangsa dan
generasi sampai hari kiamat telah menjelaskan kepada kita estafet kepemimpinan
setelah Rasulullah Saww. dan para khalifah. Penerima mata rantai kepemimpinan
atau tongkat kepemimpinan mereka adalah para ulama. Ulama dalam Islam bukanlah
pribadi yang hanya menguasai ilmu agama saja, tetapi lebih dari itu ia harus
tampil sebagai pemimpin kaum muslimin yang harus memahami denyut dan detak
jantung umat dengan baik dan peduli terhadap masalah-masalah sosial serta mampu
mengatasinya, karena mereka, sebagaimana dalam beberapa hadis yang akan kami
sebutkan, adalah pewaris para nabi. Dan dalam kenyataannya, sejarah dunia Islam
terhiasi dengan perjuangan yang heroik para ulama dalam membela umat Islam dan
melawan kezaliman, khususnya kolonial.
Berikut ini hadis-hadis tentang posisi ulama dalam Islam :
1. Dari Abu Abdillah dari Rasulullah Saww.: “Para fuqaha’ adalah kepercayaan para rasul selagi mereka tidak masuk ke dalam (urusan) dunia. ” Beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan masuk ke dunia ?” Beliau menjawab, “Mengikuti penguasa (sultan). Jika mereka mengerjakan itu, maka waspadailah mereka atas agama kalian. “(Al-Kafi jilid 1 halaman 38)
2. Rasulullah Saww. bersabda, “Para ulama adalah kepercayaan Allah untuk makhluk-Nya ” dan juga beliau bersabda, ” Ulama adalah kepercayaan umatku.” (Kanz Al-‘Ummal)
3. Rasulullah saww. bersabda, “Ulama adalah pemimpin dan orang-orang bertakwa adalah penghulu”, (Kanz Al-‘Ummal) dan hadis-hadis yang lain.
Dari hadis-hadis ini tampak jelas begitu pentingnya posisi ulama dalam Islam. Mereka selaku pewaris nabi mempunyai tugas dan tanggung jawab yang hampir sama, kalau tidak dikatakan, sama dengan nabi. Tugas yang paling penting adalah memimpin umat. Jadi dalam pemerintahan Islam kepemimpinan setelah Allah, rasul dan para khalifah adalah para ulama. Perlu dicatat, bahwa dalam pemerintahan Ilahi pemimpin tertinggi dan mutlak adalah Allah, sedangkan Nabi dan para khalifah hanyalah pelaksana saja. Demikian pula ulama tidak lain dari kepanjangan tugas Nabi dan para khalifahnya. Kepemimpinan ulama tidak berarti dia single fighter dalam mengurus seluruh urusan pemerintahan. Dia mesti dibantu oleh para pakar atau lembaga dalam berbagai bidang dan urusan pemerintahan. Dia hanya mengawasi dan membimbing para pejabat agar tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan agama. Agar kebijaksanaannya sebagai pemimpin tidak salah atau merugikan masyarakat, maka dia harus mengadakan musyawarah dengan dewan ahli (Llihat Wilayat Al-Faqih juz 1:12).
Sudah menjadi salah kaprah dewasa ini, gelar ulama diberikan kepada seseorang tanpa sebuah quality selective dalam keilmuannya, ketakwaannya dan ke-wara’-annya, sehingga amat dengan mudah dan dengan pengertian yang sangat longgar kata ulama disandang seseorang. Sungguh sangat dilematis, seseorang disebut ulama, padahal tidak memenuhi kriteria ulama, dituntut untuk berperan sebagai pengganti Nabi. Dan ini tidak jarang menjadi sebuah pelecehan terhadap posisi ulama yang sangat mulia dan terhormat.
Melihat kenyataan seperti itu, akhirnya posisi itu secara absurd diambil alih oleh selain ulama. Dalam urusan pemerintahan “Ulama” tidak lagi dapat diandalkan untuk memimpin sebuah negara dan sebagai pemilik otoritas tertinggi dalam pemerintahan. Walaupun terkadang suara ulama diambil dalam sebuah keputusan, itupun hanya sekedar bahan pertimbangan belaka. Keputusan akhir tetap oleh pihak yang berkuasa yang bukan ulama. Demikian pula dalam masalah keilmuan. Oleh karena kualitas keilmuan ulama untuk menjawab berbagai problema kehidupan minim sekali, maka tidak jarang dari selain ulama mengambil jalan pintas melalui beberapa referensi ilmu agama (ayat dan hadis) untuk mengambil keputusan sendiri dan menyatakan bahwa keputusannya itu adalah hukum dan ajaran Islam., dan juga ulama tidak lagi menjadi teladan dalam kehidupan pribadi dan sosialnya, sehingga umat mencari figur yang bukan ulama untuk dijadikan idola dan teladan.
Begitu pentingnya posisi ulama dalam pemerintahan Ilahi, maka Islam meletakkan beberapa kriteria ulama yang rabbani, yang mempunyai tugas yang mulia tersebut. Di antara kriteria-kriteria ulama itu ialah :
Pertama, takut kepada Allah Swt. : “Sesungguhnya yang takut kepada Allah hanyalah para ulama”.(QS Al-Fathir : 28). Allamah Al-Thabathaba’i dalam tafsirnya berkata, “Yang dimaksud dengan ulama adalah orang-orang yang mengenal Allah Swt. beserta asma’-Nya, sifat-sifat-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya dengan pengetahuan yang sempurna sehingga menenangkan hati mereka dan menghilangkan keraguan dari mereka serta akan tampak pengaruhnya dalam tindakan mereka yang nyata sehingga perbuatan mereka menjadi manifestasi ucapan mereka. Dan yang dimaksud dengan takut adalah takut yang sebenarnya yang diikuti dengan ke-khusyu’-an batin dan ketundukan lahir. ” (Tafsir Al-Mizan juz 17:43).
Kedua, memahami agama dengan baik dan mendalam. Allah Swt. berfirman, “Hendaknya sekelompok dari setiap golongan dari kalian pergi ber-tafaqquh dalam din dan lalu memberi peringatan kepada kaum mereka jika mereka kembali kepada (kaum mereka) supaya mereka berhati-hati.”(QS At-Taubah, 9: 122). Tafaqquh berarti memahami din secara mendalam. Dari akar kata yang sama, kata faqih yang berarti seorang yang mendalam dalam pengetahuan din (Lihat Al-Munjid). Yang dimaksud din adalah agama Islam yang komprehensif dalam mengatur semua aspek kehidupan manusia, termasuk sosial dan politik.
Ketiga, memperjuangkan agama, menjaga diri dari kemaksiatan dan dorongan hawa nafsu serta menaati agama dengan ketat. Dalam sebuah riwayat yang sampai kepada Imam Al-Mahdi (semoga Allah menyegerakan kehadirannya) disebutkan, “Barangsiapa dari para faqih terdapat faqih yang membela agamanya, menjaga dirinya, tidak mengikuti hawa nafsunya dan menaati Allah [atau Nabi dan Imam], maka bagi orang awam wajib mengikutinya. ” (Tahrir Al-Wasilah jilid 1:3 ).
Dari keterangan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kepemimpinan ulama (wilayah al-faqih) adalah kepanjangan dari kepemimpinan Allah, Rasul dan para khalifah.
Berikut ini hadis-hadis tentang posisi ulama dalam Islam :
1. Dari Abu Abdillah dari Rasulullah Saww.: “Para fuqaha’ adalah kepercayaan para rasul selagi mereka tidak masuk ke dalam (urusan) dunia. ” Beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan masuk ke dunia ?” Beliau menjawab, “Mengikuti penguasa (sultan). Jika mereka mengerjakan itu, maka waspadailah mereka atas agama kalian. “(Al-Kafi jilid 1 halaman 38)
2. Rasulullah Saww. bersabda, “Para ulama adalah kepercayaan Allah untuk makhluk-Nya ” dan juga beliau bersabda, ” Ulama adalah kepercayaan umatku.” (Kanz Al-‘Ummal)
3. Rasulullah saww. bersabda, “Ulama adalah pemimpin dan orang-orang bertakwa adalah penghulu”, (Kanz Al-‘Ummal) dan hadis-hadis yang lain.
Dari hadis-hadis ini tampak jelas begitu pentingnya posisi ulama dalam Islam. Mereka selaku pewaris nabi mempunyai tugas dan tanggung jawab yang hampir sama, kalau tidak dikatakan, sama dengan nabi. Tugas yang paling penting adalah memimpin umat. Jadi dalam pemerintahan Islam kepemimpinan setelah Allah, rasul dan para khalifah adalah para ulama. Perlu dicatat, bahwa dalam pemerintahan Ilahi pemimpin tertinggi dan mutlak adalah Allah, sedangkan Nabi dan para khalifah hanyalah pelaksana saja. Demikian pula ulama tidak lain dari kepanjangan tugas Nabi dan para khalifahnya. Kepemimpinan ulama tidak berarti dia single fighter dalam mengurus seluruh urusan pemerintahan. Dia mesti dibantu oleh para pakar atau lembaga dalam berbagai bidang dan urusan pemerintahan. Dia hanya mengawasi dan membimbing para pejabat agar tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan agama. Agar kebijaksanaannya sebagai pemimpin tidak salah atau merugikan masyarakat, maka dia harus mengadakan musyawarah dengan dewan ahli (Llihat Wilayat Al-Faqih juz 1:12).
Sudah menjadi salah kaprah dewasa ini, gelar ulama diberikan kepada seseorang tanpa sebuah quality selective dalam keilmuannya, ketakwaannya dan ke-wara’-annya, sehingga amat dengan mudah dan dengan pengertian yang sangat longgar kata ulama disandang seseorang. Sungguh sangat dilematis, seseorang disebut ulama, padahal tidak memenuhi kriteria ulama, dituntut untuk berperan sebagai pengganti Nabi. Dan ini tidak jarang menjadi sebuah pelecehan terhadap posisi ulama yang sangat mulia dan terhormat.
Melihat kenyataan seperti itu, akhirnya posisi itu secara absurd diambil alih oleh selain ulama. Dalam urusan pemerintahan “Ulama” tidak lagi dapat diandalkan untuk memimpin sebuah negara dan sebagai pemilik otoritas tertinggi dalam pemerintahan. Walaupun terkadang suara ulama diambil dalam sebuah keputusan, itupun hanya sekedar bahan pertimbangan belaka. Keputusan akhir tetap oleh pihak yang berkuasa yang bukan ulama. Demikian pula dalam masalah keilmuan. Oleh karena kualitas keilmuan ulama untuk menjawab berbagai problema kehidupan minim sekali, maka tidak jarang dari selain ulama mengambil jalan pintas melalui beberapa referensi ilmu agama (ayat dan hadis) untuk mengambil keputusan sendiri dan menyatakan bahwa keputusannya itu adalah hukum dan ajaran Islam., dan juga ulama tidak lagi menjadi teladan dalam kehidupan pribadi dan sosialnya, sehingga umat mencari figur yang bukan ulama untuk dijadikan idola dan teladan.
Begitu pentingnya posisi ulama dalam pemerintahan Ilahi, maka Islam meletakkan beberapa kriteria ulama yang rabbani, yang mempunyai tugas yang mulia tersebut. Di antara kriteria-kriteria ulama itu ialah :
Pertama, takut kepada Allah Swt. : “Sesungguhnya yang takut kepada Allah hanyalah para ulama”.(QS Al-Fathir : 28). Allamah Al-Thabathaba’i dalam tafsirnya berkata, “Yang dimaksud dengan ulama adalah orang-orang yang mengenal Allah Swt. beserta asma’-Nya, sifat-sifat-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya dengan pengetahuan yang sempurna sehingga menenangkan hati mereka dan menghilangkan keraguan dari mereka serta akan tampak pengaruhnya dalam tindakan mereka yang nyata sehingga perbuatan mereka menjadi manifestasi ucapan mereka. Dan yang dimaksud dengan takut adalah takut yang sebenarnya yang diikuti dengan ke-khusyu’-an batin dan ketundukan lahir. ” (Tafsir Al-Mizan juz 17:43).
Kedua, memahami agama dengan baik dan mendalam. Allah Swt. berfirman, “Hendaknya sekelompok dari setiap golongan dari kalian pergi ber-tafaqquh dalam din dan lalu memberi peringatan kepada kaum mereka jika mereka kembali kepada (kaum mereka) supaya mereka berhati-hati.”(QS At-Taubah, 9: 122). Tafaqquh berarti memahami din secara mendalam. Dari akar kata yang sama, kata faqih yang berarti seorang yang mendalam dalam pengetahuan din (Lihat Al-Munjid). Yang dimaksud din adalah agama Islam yang komprehensif dalam mengatur semua aspek kehidupan manusia, termasuk sosial dan politik.
Ketiga, memperjuangkan agama, menjaga diri dari kemaksiatan dan dorongan hawa nafsu serta menaati agama dengan ketat. Dalam sebuah riwayat yang sampai kepada Imam Al-Mahdi (semoga Allah menyegerakan kehadirannya) disebutkan, “Barangsiapa dari para faqih terdapat faqih yang membela agamanya, menjaga dirinya, tidak mengikuti hawa nafsunya dan menaati Allah [atau Nabi dan Imam], maka bagi orang awam wajib mengikutinya. ” (Tahrir Al-Wasilah jilid 1:3 ).
Dari keterangan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kepemimpinan ulama (wilayah al-faqih) adalah kepanjangan dari kepemimpinan Allah, Rasul dan para khalifah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar