Selasa, 07 April 2015

Artikel Tentang Pemimpin



Pemerintahan Ilahi

 (Oleh: Ust. Husein Al-Kaff)
Tulisan ini mencoba memberikan gambaran secara global dan ringkas tentang sistem pemerintahan dalam pandangan Islam. Saya kira gambaran ini penting mengingat mayoritas dari rakyat Indonesia adalah Muslim, agar mereka mengetahui bahwa Islam tidak buta terhadap masalah pemerintahan.
Manusia Makhluk Bersosial
Hidup bermasyarakat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat manusia. Sejak dahulu kala sampai saat ini dan seterusnya umat manusia selalu hidup bersama dan bergotong royong, karena kebutuhan-kebutuhan manusia tidak akan tercapai secara penuh kecuali dengan hidup bermasyarakat dan bergotong royong. Kemudian, kehidupan bermasyarakat tidak akan damai, aman dan harmonis tanpa adanya seperangkat peraturan atau undang-undang yang menjelaskan dan mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka, baik yang menyangkut urusan personal maupun komunal. Karena tanpa undang-undang akan terjadi kehidupan yang anarkhis, kacau balau, dan akan muncul hukum rimba.
Manusia sebagai individu – demi me-langsungkan hidupnya dan agar tetap survive – membutuhkan makan, minum dan hubungan seks; dan manusia sebagai elemen komunitasnya membutuhkan undang-undang kemasyarakatan agar hidup damai, aman dan harmonis sehingga kelangsungan hidupnya terjaga. Hal ini disebabkan setiap manusia mempunyai kepentingan, kecenderungan, dan kemauan yang beragam serta berbeda-beda sehingga tidak jarang terjadi benturan kepentingan, kecenderungan, dan kemauan. Jadi, kebutuhan manusia kepada makan, minum dan seks serta kebutuhannya kepada undang-undang kemasyarakatan mutlak adanya.
Oleh karena itu, pemerintahan sebagai pengatur atau pembuat undang-undang (legislatif) dan sekaligus sebagai pengontrol pelaksanaan undang-undang (yudikatif) menjadi kebutuhan umat manusia yang berikutnya. Imam ‘Ali a.s. berkata, “Penguasa (pemerintahan) yang zalim lebih baik dari anarkhi yang berlaku ” (Al-Ghurar wa Al-Durar 6/236). Ungkapan ini tidak bermaksud bahwa pemerintahan yang zalim itu bagus, tetapi bermaksud bahwa bagaimanapun juga masyarakat yang terpimpin, meski zalim, lebih bagus dari masyarakat yang tidak terpimpin.
Selain presiden di atas tadi, Islam sebagai agama yang komprehensif, tentu tidak tinggal diam dan pasti mempunyai solusi tentang pemerintahan, karena Islam menjanjikan kebahagian bagi umat manusia di dunia maupun di akhirat. Kebahagian di dunia tidak mungkin tercapai tanpa adanya seperangkat undang-undang kemasyarakatan yang rapih dan baik. Dan de facto ayat-ayat Alquran sarat dengan masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, pidana, perdata, perang, perdagangan dan lainnya yang jauh lebih banyak dari ajaran-ajaran yang berkenaan dengan masalah ritual-individual.
Demikian pula kitab-kitab hadis, hanya tiga atau empat bab darinya yang membahas persoalan ibadah kepada Allah dan akhlak. Adapun selebihnya berkaitan dengan masalah sosial, ekonomi, hak-hak manusia, managemen, dan politik (Lihat Al-Hukumah Al-Islamiyyah 9).
Meskipun secara langsung tidak didapati dalam teks-teks Islam (Alquran dan Hadis) sebuah perintah mendirikan pemerintahan Islam, tetapi sesuai dengan preseden kedua, maka ajaran-ajaran Islam tidak mungkin dapat dijalankan secara utuh tanpa pemerintahan. Imam Khomeini r.a., bapak Revolusi Islam, menjelaskan, “Adalah Rasulullah Saww. yang mengetahui seluruh instansi eksekutif dalam mengatur masyarakat Islam. Beliau di samping bertabligh dan menjelaskan hukum-hukum Islam, juga beliau memperhatikan pelaksanaannya sehingga beliau menciptakan pemerintahan Islam…”
Kemudian beliau menyebutkan beberapa alasan perlunya didirikan pemerintahan Islam. Pertama, ajaran-ajaran Islam mengan-dung berbagai undang-undang kemasyarakatan secara lengkap. Mengatur seluruh kebutuhan-kebutuhan manusia dari masalah pribadi, keluarga, pernikahan, tetangga, perang, politik, ekonomi, hubungan bilateral, pidana, perdata, industri, pertanian dan lainnya. Kedua, kalau kita perhatikan dengan saksama tentang esensi hukum-hukum syariat, maka akan kita dapatkan bahwa hukum-hukum tersebut tidak bisa dijalankan kecuali melalui kekuatan atau pemerintahan. Sebagai contoh masalah-masalah keuangan (seperti khumus, ghanimah, jizyah, kharaj) yang ditetapkan dalam Islam harus digunakan demi kepentingan negara dan masyarakat, atau masalah difa’ dan jihad (mempertahankan diri, harta dan tanah air), atau masalah-masalah pidana, diyat dan qishash (Al-Hukumah Al-Islamiyah 23 dan 27-33).
Filosofi dan Model Pemerintahan Ilahi
Ditegaskan oleh Islam bahwa tujuan dari kehidupan manusia adalah beribadah kepada Allah dan menurut Islam, manusia di dunia yang fana ini bergerak menuju Allah (kesempurnaan yang mutlak). Islam sebuah paket terpadu yang dikemas sedemikian rupa untuk membantu manusia agar dengan benar dan mudah sampai kepada Allah. Sehingga manusia sampai kepada Al-Haqq (Allah) dengan Al-Haqq (ajaran Allah). Oleh karena itu, pemerintahan tidak lebih dari fasilitas yang sangat berperan besar membantu manusia menuju tujuan tersebut.
Dalam pandangan Islam kedaulatan dan kekuasaan secara mutlak hanya milik Allah Swt. Selain sebagai Al-Khalik (Pencipta), Allah adalah Al Rabb (Pemelihara) dan Al-Hakim (Penguasa) atas seluruh alam raya. Allah sebagai sumber wujud segala sesuatu dan kepada-Nya segala sesuatu harus tunduk dan pasrah. Hal itu merupakan keyakinan yang paling prinsipil dalam Islam dan menjadi sebuah pandangan hidup kaum Muslimin (pandangan dunia Tau-hid). Prinsip ini biasa disebut dengan Tauhid (monoteis).
Doktrin tauhid dalam Islam tidak sekedar meyakini Kemahatunggalan dan Kemahaesaan Wujud Allah saja, tetapi Kemahatunggalan dan Kemahaesaan-Nya meliputi Ketuhanan-Nya (Ilahiyyah), ubudiyyah-Nya (Dzat yang berhak disembah dengan sendiri-Nya), fi’liyyah-Nya (perbuatan-Nya), shifatiyyah (sifat-Nya), dan tasyri’iyyah (yang mempunyai otoritas secara mutlak untuk membuat undang-undang, memerintah dan melarang).
Jadi pemerintahan Islam tidak sama dengan sistem pemerintahan yang kita kenal selama ini. Imam Khomeini ra. dalam bukunya Al-Hukumah Al-Islamiyah berkata, “Pemerintah-an Islam tidak sama dengan sistem-sistem pemerintahan yang ada sekarang ini. Sistem pemerintahan Islam bukanlah sistem pemerin-tahan absolut yang mana presiden bertindak sesuai dengan pendapatnya dan berbuat semaunya atas harta dan nyawa manusia.” Kemudian beliau melanjutkan, “Sistem pemerintahan Islam adalah pemerintahan konstitusional dengan pengertian para pemimpinnya terikat dengan undang-undang dan hukum yang termaktub dalam Alquran dan Sunnah. Oleh karena itu, pemerintahan Islam adalah pemerintahan konstitusional Ilahi (teokrasi)” (Al-Hukumah Al-Islamiyah 41-42).
Menarik bahwa dalam Alquran disebutkan salah satu asma’ Allah adalah Mawla’ atau Wali, yang diambil dari kata wilayah. Maksudnya adalah Allah yang memimpin dan mengatur segala urusan manusia baik di dunia ataupun di akhirat (Lihat Allamah Thabathaba’i Al-Mizan 6 hal. 13). Kekuasaan Allah tidak hanya berkaitan dengan alam raya (wilayah takwiniyyah) saja, tetapi meliputi kekuasaan atas hukum dan undang-undang yang mengatur urusan-urusan manusia (wilayah tasyri’iyyah).
Oleh karena kedaulatan dan kekuasaan yang mutlak ada pada Allah Swt., maka manusia sebagai ciptaan-Nya tidak mempunyai wewenang untuk berkuasa kecuali mendapatkan mandat dari-Nya dan dalam sistem pemerintahan Ilahi, Allah adalah pemimipin dan penguasa yang mutlak. Dia yang membuat undang-undang (legislatif ) dan yang memberikan keputusan (yudikatif). Sistem pemerintahan Islam lebih cenderung kepada sistem teokrasi. Islam tidak mengenal apa yang biasa disebut dengan kedaulatan rakyat, karena kedaulatan rakyat tidak selalu mencerminkan kebenaran. Kebenaran yang mutlak hanya ada pada Allah Swt. “Hukum hanya milik Allah. Ia memerintahkan agar kalian tidak menyembah kecuali kepada-Nya.” (QS Yusuf, 12 : 40).
Untuk sementara orang, pemerintahan Islam itu kejam dan menakutkan sehingga kalangan non-Muslim akan tertekan dan mendapatkan sikap yang diskriminatif dari pemerintahan Islam. Jelas anggapan ini tidak berdasar karena kalau kita amati bahwa Penguasa dan Pembuat undang-undang dalam pemerintahan Islam adalah Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Allah sendiri berfirman, “Tuhanmu telah menetapkan (mengharuskan) atas diri-Nya berbelas kasih ” (QS Al-An’am, 6: 54) dan sejarah juga membuktikan bagaimana sikap Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat Islam menghargai dan menghormati kaum non-Muslim.
Nabi Sebagai Mandataris Allah Swt
Dalam trilogi pandangan dunia tauhid (Islam), urutan kedua setelah kekuasaan dan kepemimpinan Allah adalah kepemimpinan para nabi as. Para nabi diangkat oleh Allah untuk memimpin umat manusia dan menegakkan keadilan. Mereka diberi oleh Allah otoritas untuk menentukan hukum dan undang-undang dan mereka juga harus ditaati. Pengangkatan nabi sebagai pemimpin semata-mata karena kehendak Allah, tanpa campur tangan kehendak selain-Nya, atau dengan kata lain, pengangkatannya tanpa musyawarah dengan siapapun.
Allah memandang ketaatan kepada Nabi sama dengan ketaatan kepada-Nya dan melanggar perintahnya berarti melanggar perintah-Nya. Berikut ini ayat-ayat yang menegaskan kewajiban mentaati Nabi Saww.:
Taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya” (QS Ali Imran, 3 : 32); “Dan tidaklah Kami utus seorang rasul melainkan agar ditaati dengan izin Allah ” (QS An-Nisa’, 4 : 64); “Apa yang dibawakan oleh Rasul maka ambillah dan apa yang dilarang olehnya maka hentikanlah ” (QS Al-Hasyr, 59 : 7); “Tidaklah pantas bagi seorang mukmin maupun mukminah, jika Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sebuah urusan, untuk memilih (keputusan yang lain) dari urusan-urusan mereka ” (QS Al-Ahzab, 33 : 36) dan ayat-ayat lainnya.
Dalam bukunya, Imamat wa Rahbary, dengan sangat menarik Syahid Murtadha Muthahhari ra. menjelaskan tentang tugas-tugas Nabi Saww. sebagai mandataris Allah Swt. Pertama, Nabi bertugas menyampaikan hukum dan undang-undang Allah sebagaimana yang tersurat dalam surat al Hasyr ayat 7. Kedua, Nabi bertugas sebagai pemberi keputusan (qadhi atau hakim). Maksudnya ketika terjadi suatu masalah di tengah kaum Muslimin, maka beliau yang mempunyai otoritas untuk memutuskannya. Allah berfirman, “Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sehingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim atas persengketaan yang terjadi di antara mereka dan mereka pun tidak merasa keberatan atas apa yang telah kamu putuskan serta mereka menyerahkannya (kepada kamu) ” (QS An-Nisa’, 4 : 65). Ketiga, Nabi sebagai pemimpin dan penguasa masyarakat Muslim (QS An-Nisa’, 4 : 59) (Imamat wa Rahbari 47-48).
Dengan keterangan di atas, dapat kita simpulkan bahwa dalam sistem pemerintahan Ilahi pemimpin tertinggi adalah Allah Swt. Sedangkan Nabi Saww. merupakan seorang yang dipercayai oleh Allah untuk memimpin umat manusia sehingga dengan demikian Nabi adalah pemimpin dan penguasa kedua setelah Allah. Sehubungan dengan ini, Imam Khomeini ra. berkata, “Pemerintahan dalam Islam berarti mengikuti undang-undang Islam. Sedangkan kekuasaan yang ada pada Nabi dan para pemimpin setelahnya merupakan kepanjangan dari Allah, karena Allah telah memerintahkan untuk mengikuti Nabi dan para pemimpin setelahnya. Maka tidak ada tempat bagi pendapat dan kemauan individu. Semuanya mengikuti undang-undang Allah Swt ” (Al-Hukumah Al-Islamiyyah 43).
Nabi Muhammad Saww. selaku pemimpin pemerintahan Islam dalam mengatur urusan-urusan kenegaraan, internal maupun eksternal, tidak menanganinya secara langsung sendirian, tetapi beliau mengangkat beberapa sahabat yang dapat membantu beliau. Misalnya, beliau mengangkat sejumlah sahabat untuk dijadikan sebagai juru tulis yang beliau suruh untuk menulis surat kepada para raja dan para tokoh yang ada di sekitar jazirah Arab, beliau juga mempunyai seorang yang dipercayai untuk menjaga rahasia-rahasia beliau, beliau juga terkadang mengangkat seseorang untuk memimpin pasukan perang dan lain sebagainya.
Namun perlu diketahui bahwa urusan-urusan administrasi negara waktu itu masih sangat sederhana karena wilayah kekuasaan Islam masih kecil dan jumlah masyarakat Islam masih sedikit sekali. Buku sejarah Islam telah banyak menceritakan tentang keadministrasian dan aktivitas-aktivitas pemerintahan Islam pada zaman Nabi maupun zaman para khalifah (untuk lebih jelas lagi, baca Al-Ahkam Al- Sulthaniyyah karya Syeikh Al-Mawardi atau Wilayah Al-Faqih karya Syeikh Al-Muntazhiri ).
Kepemimpinan Islam Pasca-Rasulullah Saww
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada keterangan yang lalu bahwa dalam sistem pemerintahan Ilahi, kekuasaan dan kedaulatan mutlak berada di tangan Allah Ta’ala, sebagai Pencipta dan Pemelihara jagat raya, dan segala sesuatu selain-Nya harus tunduk kepada-Nya, kemudian Ia memberikan mandat kepada Rasulullah Saww. sebagai kepercayaan-Nya, maka siapakah gerangan yang akan menjadi kepercayaan Allah setelah Rasulullah Saww. ?
Mengingat bahwa Islam sebagai agama yang global dan inter generasi dan diturunkan untuk seluruh umat manusia sampai hari kiamat, maka kepemimpinan dan pemerintahan Islam tidak terhenti dengan wafatnya Rasulullah Saww. Kepemimpinan Islam terus terbentang dan berlaku selagi manusia masih ada di atas permukaan bumi ini. Nah, sehubungan dengan ini, masalah khilafah digulirkan dan dibicarakan bahkan menjadi isu yang paling hangat sejak wafatnya Rasulullah Saww. sampai saat ini. Siapakah yang manjadi khalifah (pemimpin kaum muslimin pasca Rasulullah) ? Dan bagaimanakah proses pengangkatan khilafah Islamiyyah ?
Sudah tidak menjadi rahasia lagi, bahwa terdapat dua pandangan yang kontradiktif tentang masalah khilafaturrasul. Sebagian kaum muslimin berpendapat bahwa pengangkatan khalifah diserahkan kepada umat Islam (baca : masyarakat Islam ) dengan mengadakan voting atau syura’, sementara sebagian yang lain berpendapat bahwa pengangkatan khalifah adalah hak Allah bukan hak manusia.
Dalam bukunya, Makrifatullah, dengan sangat arif Ayatullah Makarim Syirazi menjelaskan duduk permasalahan khilafah. Menurutnya, sebenarnya perselisihan tidak akan muncul kalau kedua kubu itu mempunyai pemahaman yang sama tentang arti khalifah. Perselisihan timbul disebabkan kedua golongan tersebut memberikan makna yang berbeda tentang khalifah.
Menurut golongan pertama, khalifah bertugas sebagai pemimpin negara dan urusan dunia saja. Oleh karena itu, seorang khalifah tidak diharuskan seorang yang paling baik, paling takwa dan paling memahami urusan-urusan agama. Persyaratan menjadi khalifah cukup dengan kemampuannya memimpin pemerintahan (kafa’ah). Atas dasar makna ini, pengangkatan seorang khalifah cukup dengan syura’ atau menurut suara yang terbanyak, tidak harus ada intervensi dari syariat.
Sedangkan golongan kedua berpendapat bahwa jabatan khalifah sama dengan jabatan Rasululullah kecuali menerima wahyu. Oleh karena itu seorang khalifah mesti orang yang paling baik, paling takwa dan paling memahami agama Islam, dan tentunya mempunyai kafa’ah juga. Maka yang mengetahui manusia seperti itu tidak lain adalah Allah Ta’ala Sebagaimana Nabi diangkat oleh Allah demikian pula khalifah diangkat oleh-Nya melalui Rasul-Nya. Jadi kesepakatan akan terjadi di antara dua golongan itu jika mereka bersepakat dalam memaknai kata khalifah, (Lihat kitab Makrifatullah hal. 227-229).
Di sini tidak akan kami bahas perselisihan di antara dua golongan tersebut. Namun kami akan lebih menekankan pada fungsi seorang khalifah atau pemimpin kaum muslimin dengan mengacu kepada ajaran Islam yang komprehensif dan kepemimpinan Rasulullah Saww. (Bagi pembaca yang ingin mendapatkan penjelasan yang memadai tentang model kepemimpinan dalam Islam dipersilahkan membaca buku Suksesi karya Syahid Muhammad Baqir Shadr, yang cukup representatif membicarakan masalah kepemimpinan dalam Islam).
Sebagaimana telah diketahui bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap dan bahwa Nabi Muhammad Saww. selain menyampaikan wahyu dan tempat bertanya tentang masalah-masalah keagamaan (marja’iyyah diniyyah), juga beliau adalah pemimpin negara Islam. Maka tugas seorang khalifah, sesuai dengan arti dari khalifah, yaitu penggganti atau wakil, sama dengan tugas Nabi Saww. kecuali menerima wahyu.
Keterangan Tekstual Tentang Pemimpin Islam Pasca Rasulullah Saww
Dalam berbagai kitab hadis dikutip sebuah hadis yang cukup populer dengan redaksi yang berbeda namun maksudnya sama. Rasulullah Saww. bersabda, “Barangsiapa mati sementara dia tidak mengenal imam zamannya maka dia akan mati seperti matinya orang-orang jahiliyyah.” Hadis ini dengan jelas menekankan pentingnya masalah kepemimpinan sehingga seorang muslim yang tidak mengenal imam yang ada pada zamannya akan mati seperti orang-orang jahiliyyah. Sedemikian pentingnya masalah kepemimpinan dalam Islam sehingga tidak mungkin Rasulullah mengabaikankannya tanpa memberikan penjelasan kepada umat Islam tentang proses pengangkatannya dan kriteria-kriteria seorang pemimpin setelah beliau wafat.
Sebagian mufasir mengatakan bahwa ayat yang berbunyi “Wahai Rasul, sampaikankanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Jika tidak kamu lakukan maka kamu tidak menyampaikan risalahNya ‘ ( QS Al-Maidah, 5 : 67) merupakan perintah dari Allah agar Rasulullah menyampaikan wasiat terakhir tentang kepemimpinan (Lihat tafsir Al-Mizan dan tafsir Majma’ al Bayan berkenaan dengan ayat di atas).
Juga ayat yang berbunyi, “Wahai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan Ulil amri dari kalian ” (QS An-Nisa’, 4 : 59) merupakan perintah dari Allah untuk menaati para pemimpin setelah Rasulullah Saww. Kalau kita merujuk ke literatur-literatur hadis, maka akan kita dapatkan sejumlah riwayat dari Rasulullah tentang masalah khalifah atau pemimpin. Di antaranya adalah : “Agama ini akan tetap tegak sampai hari kiamat atau selama kalian dipimpin oleh dua belas khalifah. Semuanya dari Quraisy ” (Shahih Muslim jilid 6 halaman 4); “Islam akan senantiasa mulia sampai dengan dua belas khalifah ” (Shahih Bukhari jilid 8 halaman 105 dan 128) dan riwayat-riwayat lainnya yang tidak perlu kami sebutkan semuanya.
Dengan demikian, masalah dan model pemerintahan pasca-Rasulullah Saww. telah selesai dibicarakan, yaitu kekhilafahan. Dalam keterangan tekstual maupun sejarah tidak ada keterangan tentang pengangkatan pemimpin Ilahi atau khalifah melalui syura’. Syura’ biasanya dipraktikkan dalam masalah-masalah sosial yang duniawi, sedangkan khilafah dan kepemimpinan tidak hanya duniawi saja. Malah dalam beberapa hadis disebutkan juga pribadi-pribadi yang berhak menjadi pemimpin dan mereka telah diangkat oleh Rasulullah sendiri. Mereka itu adalah, ‘Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan, Al-Husain, ‘Ali Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir, Ja’far Ash-Shadiq, Musa Al-Kazhim, ‘Ali Ar-Ridha’, Muhammad Al-Jawad, ‘Ali Al- Hadi, Hasan Al-‘Askari dan Muhammad Al-Mahdi (salam sejahtera atas mereka semuanya). Mereka adalah khalifah-khalifah Nabi yang berjumlah dua belas dan hujjah-hujah Allah setelah Nabi Saww. Mereka mempunyai tugas yang sama dengan Nabi hanya saja mereka tidak mendapatkan wahyu atau membawa syariat baru.
Menarik untuk dicermati, bahwa pemerintahan Ilahi memberi kesan adanya kekuasaan yang turun temurun atau yang dalam istilah yang terkenal dewasa ini, nepotisme. Sebagian tokoh kita ada yang keberatan dengan sistem pemerintahan Ilahi karena alasan nepotisme dan otoriter, tidak mengenal syura’ dalam pengangkatan pemimpin.
Mengapa nepotisme ? Kata nepotisme bagi kaum demokrat berkonotasi negatif, yaitu pembagian jabatan-jabatan pemerintahan berdasarkan kekerabatan (Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia). Tetapi kesan nepotisme yang negatif itu tidak akan muncul dalam sistem pemerintahan Ilahi karena dalam pemerintahan Ilahi kekuasaan hanya milik Allah Swt., bukan milik rakyat atau bersama (seperti yang telah diuraikan pada bagian pertama dari tulisan ini). Dan sebenarnya keburukannya nepotisme itu karena tidak memberikan jabatan kepada orang-orang yang tidak mempunyai kelayakan, namun memberikannya kepada seseorang hanya karena pertimbangan keluarga. Tetapi lain halnya dengan sistem pemerintahan Ilahi, kekuasaan dan kepemimpinan diberikan kepada orang-orang yang menurut Allah dan Rasul-Nya mempunyai kelayakan (kafa’ah), meskipun mereka dari satu keluarga atau turun temurun. Oleh karena itu, Allah menjadikan keturunan Nabi Ibrahim as. sebagai nabi dan pemimpin, seperti Ismail, Ishak, Ya’kub dan Yusuf, karena Allah mempercayai mereka sebagai pemimpin umat manusia. Demikian pula para khalifah Nabi Muhammad Saww. diangkat atas pertimbangan yang sama, yakni mereka dipercayai untuk melanjutkan kepemimpinan Allah dan Rasul-Nya.
Berkenaan dengan ini, Alquran menjelaskan, “Aku hendak menjadikanmu pemimpin untuk manusia. Dia ( Ibrahim) berkata, ” Dan dari keturunanku ?” Allah menjawab “(ya, tetapi) janjiku (kepemimpinan) ini tidak diberikan kepada (keturunanmu) yang zalim.”(QS Al-Baqarah : 124) dan juga mengatakan, “Sesungguhnya Allah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran atas seluruh semesta alam raya. Sebagian dari mereka adalah keturunan dari sebagian yang lain “(QS Ali Imran : 33-34). Oleh karena itu, pemerintahan Ilahi tetap beranjak dari kekuasaan dan kepemimpinan Allah dan Allah pulalah yang akan menentukan siapa pemimpin kaum muslimin setelah Rasulullah Saww.
Kepemimpinan Para Ulama ( Wilayah Al-Faqih)
Islam sebagai agama yang universal dan lintas bangsa dan generasi sampai hari kiamat telah menjelaskan kepada kita estafet kepemimpinan setelah Rasulullah Saww. dan para khalifah. Penerima mata rantai kepemimpinan atau tongkat kepemimpinan mereka adalah para ulama. Ulama dalam Islam bukanlah pribadi yang hanya menguasai ilmu agama saja, tetapi lebih dari itu ia harus tampil sebagai pemimpin kaum muslimin yang harus memahami denyut dan detak jantung umat dengan baik dan peduli terhadap masalah-masalah sosial serta mampu mengatasinya, karena mereka, sebagaimana dalam beberapa hadis yang akan kami sebutkan, adalah pewaris para nabi. Dan dalam kenyataannya, sejarah dunia Islam terhiasi dengan perjuangan yang heroik para ulama dalam membela umat Islam dan melawan kezaliman, khususnya kolonial.
Berikut ini hadis-hadis tentang posisi ulama dalam Islam :
1. Dari Abu Abdillah dari Rasulullah Saww.: “Para fuqaha’ adalah kepercayaan para rasul selagi mereka tidak masuk ke dalam (urusan) dunia. ” Beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan masuk ke dunia ?” Beliau menjawab, “Mengikuti penguasa (sultan). Jika mereka mengerjakan itu, maka waspadailah mereka atas agama kalian. “(Al-Kafi jilid 1 halaman 38)
2. Rasulullah Saww. bersabda, “Para ulama adalah kepercayaan Allah untuk makhluk-Nya ” dan juga beliau bersabda, ” Ulama adalah kepercayaan umatku.” (Kanz Al-‘Ummal)
3. Rasulullah saww. bersabda, “Ulama adalah pemimpin dan orang-orang bertakwa adalah penghulu”, (Kanz Al-‘Ummal) dan hadis-hadis yang lain.
Dari hadis-hadis ini tampak jelas begitu pentingnya posisi ulama dalam Islam. Mereka selaku pewaris nabi mempunyai tugas dan tanggung jawab yang hampir sama, kalau tidak dikatakan, sama dengan nabi. Tugas yang paling penting adalah memimpin umat. Jadi dalam pemerintahan Islam kepemimpinan setelah Allah, rasul dan para khalifah adalah para ulama. Perlu dicatat, bahwa dalam pemerintahan Ilahi pemimpin tertinggi dan mutlak adalah Allah, sedangkan Nabi dan para khalifah hanyalah pelaksana saja. Demikian pula ulama tidak lain dari kepanjangan tugas Nabi dan para khalifahnya. Kepemimpinan ulama tidak berarti dia single fighter dalam mengurus seluruh urusan pemerintahan. Dia mesti dibantu oleh para pakar atau lembaga dalam berbagai bidang dan urusan pemerintahan. Dia hanya mengawasi dan membimbing para pejabat agar tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan agama. Agar kebijaksanaannya sebagai pemimpin tidak salah atau merugikan masyarakat, maka dia harus mengadakan musyawarah dengan dewan ahli (Llihat Wilayat Al-Faqih juz 1:12).
Sudah menjadi salah kaprah dewasa ini, gelar ulama diberikan kepada seseorang tanpa sebuah quality selective dalam keilmuannya, ketakwaannya dan ke-wara’-annya, sehingga amat dengan mudah dan dengan pengertian yang sangat longgar kata ulama disandang seseorang. Sungguh sangat dilematis, seseorang disebut ulama, padahal tidak memenuhi kriteria ulama, dituntut untuk berperan sebagai pengganti Nabi. Dan ini tidak jarang menjadi sebuah pelecehan terhadap posisi ulama yang sangat mulia dan terhormat.
Melihat kenyataan seperti itu, akhirnya posisi itu secara absurd diambil alih oleh selain ulama. Dalam urusan pemerintahan “Ulama” tidak lagi dapat diandalkan untuk memimpin sebuah negara dan sebagai pemilik otoritas tertinggi dalam pemerintahan. Walaupun terkadang suara ulama diambil dalam sebuah keputusan, itupun hanya sekedar bahan pertimbangan belaka. Keputusan akhir tetap oleh pihak yang berkuasa yang bukan ulama. Demikian pula dalam masalah keilmuan. Oleh karena kualitas keilmuan ulama untuk menjawab berbagai problema kehidupan minim sekali, maka tidak jarang dari selain ulama mengambil jalan pintas melalui beberapa referensi ilmu agama (ayat dan hadis) untuk mengambil keputusan sendiri dan menyatakan bahwa keputusannya itu adalah hukum dan ajaran Islam., dan juga ulama tidak lagi menjadi teladan dalam kehidupan pribadi dan sosialnya, sehingga umat mencari figur yang bukan ulama untuk dijadikan idola dan teladan.
Begitu pentingnya posisi ulama dalam pemerintahan Ilahi, maka Islam meletakkan beberapa kriteria ulama yang rabbani, yang mempunyai tugas yang mulia tersebut. Di antara kriteria-kriteria ulama itu ialah :
Pertama, takut kepada Allah Swt. : “Sesungguhnya yang takut kepada Allah hanyalah para ulama”.(QS Al-Fathir : 28). Allamah Al-Thabathaba’i dalam tafsirnya berkata, “Yang dimaksud dengan ulama adalah orang-orang yang mengenal Allah Swt. beserta asma’-Nya, sifat-sifat-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya dengan pengetahuan yang sempurna sehingga menenangkan hati mereka dan menghilangkan keraguan dari mereka serta akan tampak pengaruhnya dalam tindakan mereka yang nyata sehingga perbuatan mereka menjadi manifestasi ucapan mereka. Dan yang dimaksud dengan takut adalah takut yang sebenarnya yang diikuti dengan ke-khusyu’-an batin dan ketundukan lahir. ” (Tafsir Al-Mizan juz 17:43).
Kedua, memahami agama dengan baik dan mendalam. Allah Swt. berfirman, “Hendaknya sekelompok dari setiap golongan dari kalian pergi ber-tafaqquh dalam din dan lalu memberi peringatan kepada kaum mereka jika mereka kembali kepada (kaum mereka) supaya mereka berhati-hati.”(QS At-Taubah, 9: 122). Tafaqquh berarti memahami din secara mendalam. Dari akar kata yang sama, kata faqih yang berarti seorang yang mendalam dalam pengetahuan din (Lihat Al-Munjid). Yang dimaksud din adalah agama Islam yang komprehensif dalam mengatur semua aspek kehidupan manusia, termasuk sosial dan politik.
Ketiga, memperjuangkan agama, menjaga diri dari kemaksiatan dan dorongan hawa nafsu serta menaati agama dengan ketat. Dalam sebuah riwayat yang sampai kepada Imam Al-Mahdi (semoga Allah menyegerakan kehadirannya) disebutkan, “Barangsiapa dari para faqih terdapat faqih yang membela agamanya, menjaga dirinya, tidak mengikuti hawa nafsunya dan menaati Allah [atau Nabi dan Imam], maka bagi orang awam wajib mengikutinya. ” (Tahrir Al-Wasilah jilid 1:3 ).
Dari keterangan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kepemimpinan ulama (wilayah al-faqih) adalah kepanjangan dari kepemimpinan Allah, Rasul dan para khalifah.

Tidak ada komentar: