EKOSISTEM DAN SISTEM
WILAYAH
Diabstraksikan dan dirangkum oleh:
Prof Dr Ir Soemarno MS
Bahan kajian MK. Dinamika Pengembangan Wilayah
PM pslp-ppsub 2011
EKOLOGI
Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dengan lingkungannya dan yang lainnya. Berasal
dari kata Yunani oikos ("habitat") dan logos ("ilmu"). Ekologi
diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun
interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya. Dalam ekologi, kita
mempelajari makhluk hidup sebagai kesatuan atau sistem dengan lingkungannya.
Pembahasan ekologi tidak lepas dari
pembahasan ekosistem dengan berbagai komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktor biotik antara lain suhu, air, kelembapan,
cahaya, dan topografi, sedangkan faktor biotik adalah makhluk hidup yang
terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba. Ekologi juga berhubungan
erat dengan tingkatan-tingkatan organisasi makhluk hidup, yaitu populasi,
komunitas, dan ekosistem yang saling mempengaruhi dan merupakan suatu sistem
yang menunjukkan kesatuan.
Ekologi, biologi dan ilmu kehidupan lainnya
saling melengkapi dengan zoologi dan botani yang menggambarkan hal
bahwa ekologi mencoba memperkirakan, dan ekonomi energi yang menggambarkan
kebanyakan rantai makanan manusia dan tingkat tropik.
Ekowilayah bumi dan riset perubahan iklim
ialah dua wilayah di mana ekolog (orang yang mempelajari ekologi) kini
berfokus.
Ekologi dalam politik
Ekologi
menimbulkan banyak filsafat yang amat kuat dan
pergerakan politik – termasuk gerakan konservasi, kesehatan, lingkungan,dan ekologi yang kita kenal sekarang. Saat semuanya digabungkan dengan
gerakan perdamaian dan Enam Asas, disebut gerakan hijau. Umumnya, mengambil kesehatan ekosistem
yang pertama pada daftar moral manusia dan prioritas politik, seperti jalan
buat mencapai kesehatan manusia dan keharmonisan sosial, dan ekonomi yang lebih
baik.
Orang yang menguasai pemahaman dan kepercayaan-kepercayaan
seperti itu disebut ”ekolog politik”. Beberapa penganut paham ini telah mengorganisasikan
dirinya ke dalam ”Kelompok Hijau”, namun ada juga ” ekolog politik” dalam suatu
partai politik (misalnya di Eropa). Seringkali mereka menggunakan argumen
ekologis untuk membuat kebijakan, khususnya kebijakan hutan dan energi.
Ekologi dalam ekonomi
1. Lynn Margulis menyatakan
bahwa studi ekonomi bagaimana manusia membuat kehidupan. Studi ekologi
bagaimana tiap binatang lainnya membuat kehidupan.
2.
Mike Nickerson mengatakan
bahwa "ekonomi tiga perlima ekologi" sejak ekosistem menciptakan
sumber dan membuang sampah, yang mana ekonomi menganggap dilakukan
"untuk bebas".
Ekonomi
ekologi dan teori perkembangan manusia mencoba memisahkan pertanyaan ekonomi
dengan lainnya, namun susah. Banyak orang berpikir ekonomi baru saja menjadi
bagian ekologi, dan ekonomi tidak boleh mengabaikan ekologi. "Modal
alam" ialah contoh teori yang menggabungkan dua hal itu.
Ekologi Antropologis
Ada
kalanya ekologi disandingkan dengan antropologi, sebab keduanya menggunakan banyak
metode buat mempelajari satu hal yang yang kita tak bisa tinggal tanpa itu.
Antropologi ialah tentang bagaimana tubuh dan pikiran kita are dipengaruhi
lingkungan kita, ekologi ialah tentang bagaimana lingkungan kita dipengaruhi
tubuh dan pikiran kita.
Beberapa
orang berpikir mereka hanya seorang ilmuwan, namun paradigma mekanistik bersikeras
meletakkan subyek manusia dalam kontrol objek ekologi — masalah subyek-obyek.
Namun dalam psikologi evolusioner atau psikoneuroimunologi misalnya
jelas jika kemampuan manusia dan tantangan ekonomi berkembang bersama. Dengan
baik ditetapkan Antoine de Saint-Exupery: "Bumi mengajarkan kita lebih
banyak tentang diri kita daripada seluruh buku. Karena itu menolak kita. Manusia
menemukan dirinya sendiri saat ia membandingkan dirinya terhadap
hambatan."
EKOSISTEM
Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal
balik antara makhluk hidup dengan
lingkungannya. Ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh
dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi.
An ecosystem is a biological environment
consisting of all the organisms living in a
particular area, as well as all the nonliving (abiotic), physical components of
the environment with which the organisms interact, such as air, soil, water and
sunlight (http://en.wikipedia.org/wiki/Ecosystem).
The entire array of organisms
inhabiting a particular ecosystem is called a community. The number of species making up such
a community may vary from a myriad to a single species. In a typical ecosystem,
plants
and other photosynthetic organisms are the producers that provide the food. Ecosystems
can be permanent or temporary. Ecosystems usually form a number of food webs
. Ecosystems are functional units consisting of living things in a given area,
non-living chemical and physical factors of their environment, linked together
through nutrient cycle and energy flow.
Central to the ecosystem concept is the
idea that living organisms interact with every other
element in their local environment. Eugene Odum,
a founder of ecology,
stated: "Any unit that includes all of the organisms (ie: the
"community") in a given area interacting with the physical
environment so that a flow of energy leads to clearly defined trophic
structure, biotic diversity, and material cycles (i.e.: exchange of materials
between living and nonliving parts) within the system is an ecosystem (Odum,
E.P. (1971) Fundamentals of ecology, third edition, Saunders New York).
Ecosystem management is
a process that aims to conserve major ecological services and restore natural
resources while meeting the socioeconomic, political and cultural needs of
current and future generations (Brussard Peter F, Reed Michael J and
Tracy C Richard 1998 Ecosystem Management: What is it really? Landscape and
Urban Planning 40: 9-20).
The principal objective of ecosystem management is the
efficient maintenance, and ethical use of natural resources (Szaro,
R., Sexton, W.T., and Malone C.R. 1998. The emergence of ecosystem management
as a tool for meeting people’s needs and sustaining ecosystems. Landscape and
Urban Planning 40: 1-7).
Ecosystem management acknowledges that the interrelation of
socio-cultural, economic and ecological systems is paramount to understanding
the circumstances that affect environmental goals and outcomes (Lackey,
R.T. 1998. Seven pillars of ecosystem management. Landscape and Urban Planning
40: 21-30).
It is a multifaceted and holistic approach which requires a
significant change in how the natural and human environments are identified.
Several approaches to effective ecosystem management engage conservation
efforts at both a local or landscape level and involves: adaptive management,
natural resource management, strategic management, and command and control
management.
---------------
Ilmu
yang mempelajari ekosistem disebut ekologi. Ekologi berasal dari dua kata dalam
bahasa Yunani, yaitu oikos dan logos.
Oikos artinya rumah atau tempat tinggal, dan logos artinya ilmu. Istilah
ekologi pertama kali dikemukakan oleh Ernst Haeckel (1834
- 1914). Ekologi
merupakan cabang ilmu yang masih relatif baru, yang baru muncul pada tahun
70-an. Akan tetapi, ekologi mempunyai pengaruh yang besar terhadap cabang
biologinya. Ekologi mempelajari bagaimana makhluk hidup dapat mempertahankan
kehidupannya dengan mengadakan hubungan atarmakhluk hidup dan dengan benda tak
hidup di dalam tempat hidupnya atau lingkungannya.
Para ahli ekologi mempelajari hal berikut:
1. Perpindahan energi dan materi dari
makhluk hidup yang satu ke makhluk hidup yang lain ke dalam lingkungannya dan
faktor-faktor yang menyebabkannya.
2. Perubahan populasi atau spesies pada
waktu yang berbeda dalam faktor-faktor yang menyebabkannya
3. Terjadi hubungan antarspesies
(interaksi antarspesies) makhluk hidup dan hubungan antara makhluk hidup dengan
lingkungannya.
Komponen-komponen pembentuk ekosistem
adalah: Komponen biotik dan Komponen abiotik
Kedua komponen tersebut berada pada suatu tempat dan
berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur. Misalnya, pada suatu
ekosistem akuarium, ekosistem ini terdiri dari ikan, tumbuhan air, plankton yang terapung di air sebagai komponen
biotik, sedangkan yang termasuk komponen abiotik adalah air, pasir, batu, mineral dan oksigen yang terlarut dalam air.
Ekosistem merupakan suatu interaksi yang kompleks dan memiliki penyusun yang beragam. Di bumi ada bermacam-macam ekosistem.
1. Susunan Ekosistem
Berdasarkan
susunan dan fungsinya, suatu ekosistem tersusun atas komponen sebagai berikut.
a. Komponen autotrof
(Auto
= sendiri dan trophikos = menyediakan makan).
Autotrof adalah organisme yang mampu menyediakan/mensintesis makanan sendiri yang berupa bahan organik dari bahan anorganik dengan bantuan energi seperti matahari dan kimia. Komponen autotrof berfungsi sebagai produsen, contohnya tumbuh-tumbuhan hijau.
Autotrof adalah organisme yang mampu menyediakan/mensintesis makanan sendiri yang berupa bahan organik dari bahan anorganik dengan bantuan energi seperti matahari dan kimia. Komponen autotrof berfungsi sebagai produsen, contohnya tumbuh-tumbuhan hijau.
b. Komponen
heterotrof (Heteros = berbeda, trophikos = makanan).
Heterotrof merupakan organisme yang memanfaatkan bahan-bahan organik sebagai makanannya dan bahan tersebut disediakan oleh organisme lain. Yang tergolong heterotrof adalah manusia, hewan, jamur, dan mikroba.
Heterotrof merupakan organisme yang memanfaatkan bahan-bahan organik sebagai makanannya dan bahan tersebut disediakan oleh organisme lain. Yang tergolong heterotrof adalah manusia, hewan, jamur, dan mikroba.
c. Bahan
tak hidup (abiotik). Bahan tak hidup yaitu komponen fisik dan
kimia yang terdiri dari tanah, air, udara, sinar matahari. Bahan tak hidup merupakan medium atau substrat
tempat berlangsungnya kehidupan, atau lingkungan tempat hidup.
d. Pengurai (dekomposer)
Pengurai adalah organisme
heterotrof yang menguraikan bahan organik yang berasal dari organisme mati
(bahan organik kompleks). Organisme pengurai menyerap sebagian hasil penguraian
tersebut dan melepaskan bahan-bahan yang sederhana yang dapat digunakan kembali
oleh produsen. Termasuk pengurai ini adalah bakteri dan jamur.
Ekosistem: Sebuah analisis
Tingkat
organisasi yang lebih tinggi dari komunitas adalah ekosistem. Di sini tidak
hanya mencakup serangkain spesiesw tumbuhan saja, tetapi juga segala macam
bentuk materi yang melakukan siklus dalam system itu, dan energi yang menjadi
sumber kekuatan bagi ekosistem. Sinar matahari merupakan sumber energi dalam sebuah
ekosistem, yang oleh tumbuhan dapat diubah menajdi energi kimia melalui proses
fotosintesis. Pembentukan jaringan hidup selanjutnya tentu saja bergantung pula
pada kemampuan tumbuhan menyerap pelbagai bahan mineral dari dalam tanah, yang
seterusnya diolah dalam proses metabolisme. Beberapa bagian jaringan hidup yang
dibentuk, seperti daun, buah, biji dan umbi, dapat dimakan oleh herbivore. Dan
kemudian hewan itu menjadi mangsa karnivora yang lebih besar. Akhirnya, semua
jaringan hidup, baik dari hewan maupun tumbuhan akan mati, jatuh ke tanah
sebagai sampah , dan menjadi bahan makanan bagi anekaragam mikroba tanah.
Sampah tumbuhan dan hewan ini diubah oleh mikroba tanah melalui proses
pembusukan menjadi humus, serta diuraiakn menjadi bahan mineral proses
mineralisasi. Jadi dalam tanah itu dapat juga dijumpai dua jenis mikroba, yaitu
mikroba prmbusuk dan mikroba pengurai. Berdasarkan uraian yang singkat di atas itu
tampak dalam sebuah ekosistem terdapat rantai makanan.
Pada rantai makanan, mahluk dalam ekosistem dikulpulkan menjadi beberapa kelompok, yang masing-masing mempunyai jarak transfer makanan tertentu dari sumber energi yang masuk ekosistem. Tumbuhan yang dapat membentuk bahan organic dari meineral dan energi matahari dengan proses fotosistensis merupakan komponen produsen dalam ekosistem. Mahluk yang menggunakan bahan organic yang telah dibentuk oleh produsen, merupakan komponen konsumen dalam ekosisitem. Mahluk yang menggunakan bahan organic yang telah dibentuk oleh produsen, merupakan komponen dalam ekosistem. Masing-masing kelompok mahluk yang mempunyai jarak transfer makanan tertentu dari sumber energi, menempati suatu isngkatan trofik tertentu. Tingkat trofik berupa tumbuhan, tingkat trofik 2 hewan herbivore, tingakat trofik 3 hewan karnivora kecil, dan seterusnnya. Dalam ekosistem biasanya tingkatan trofik tidak lebih dari 5. konsep rantai makanan sangat praktis unutk membahas aliran dalam energi ekosistem. Tetapi yang biasanya terjadi dalam ekosistem sebetulnya adalah hubungan saling makan yang lebih kompleks. Kalau hubungan saling makan tadi disusun secara lebih lengkap. Akan didapatkan jarring makanan. Kalau biomasa dari setiap tingkatan trofik dinyatakn dalam perbandingan luas, disusun mulai dari tumbhuan di tempat paling bawah, dan tingkatan trofik yang lebih tinggi di atasnya, akan tetapi terbenutklah sebuah piramida trofik (disebut juga piramida makanan).
Pada rantai makanan, mahluk dalam ekosistem dikulpulkan menjadi beberapa kelompok, yang masing-masing mempunyai jarak transfer makanan tertentu dari sumber energi yang masuk ekosistem. Tumbuhan yang dapat membentuk bahan organic dari meineral dan energi matahari dengan proses fotosistensis merupakan komponen produsen dalam ekosistem. Mahluk yang menggunakan bahan organic yang telah dibentuk oleh produsen, merupakan komponen konsumen dalam ekosisitem. Mahluk yang menggunakan bahan organic yang telah dibentuk oleh produsen, merupakan komponen dalam ekosistem. Masing-masing kelompok mahluk yang mempunyai jarak transfer makanan tertentu dari sumber energi, menempati suatu isngkatan trofik tertentu. Tingkat trofik berupa tumbuhan, tingkat trofik 2 hewan herbivore, tingakat trofik 3 hewan karnivora kecil, dan seterusnnya. Dalam ekosistem biasanya tingkatan trofik tidak lebih dari 5. konsep rantai makanan sangat praktis unutk membahas aliran dalam energi ekosistem. Tetapi yang biasanya terjadi dalam ekosistem sebetulnya adalah hubungan saling makan yang lebih kompleks. Kalau hubungan saling makan tadi disusun secara lebih lengkap. Akan didapatkan jarring makanan. Kalau biomasa dari setiap tingkatan trofik dinyatakn dalam perbandingan luas, disusun mulai dari tumbhuan di tempat paling bawah, dan tingkatan trofik yang lebih tinggi di atasnya, akan tetapi terbenutklah sebuah piramida trofik (disebut juga piramida makanan).
Perhatikan bahwa liaran energi tidak berupa
siklus, sedangkan mineral beredar merupakan siklus. Energi matahri yang idubah
menjadi energi kimia oleh tumbuhan berklorofil digunakan untuk membentuk
jarungan hidup, atau ikatan kimia kompleks, seperti karbihidrat, lemak, dan
protein. Hasil ini dalam ekologi dinyatakan dengan unit produksi fotositensis
kotor ( gross photosynthetic production) per luas tertentu. Meskipun demikian,
hanya sebgaian jaringan biomassa; yang lain melepaskan diri, sebagian lagi tak
tereliminasi, dan sisanya hilang dalam proses pernafasan. Efisisensi prodiksi
(production efficiency) pada setiap tingkat makanan dinyatakan dengan derajat
produksi biomassa tersebut pada suatu tingkat dibagi oleh derajat produksi
biomassa pada tingkat yang dimakannya.
Derajat produlsi (produkvitas) dalam
ekosistem dinyatkan dalam satuan; berat (biasanya berat kering), atau kalori
karena berat mahluk kering kalau idbakar menghasilkan panas; per satuan (m2
unutk unit kecil, ha atau km2 unutk unit besar) per satuan waktu (hari atau
tahun).
Dalam kegunaan praktis, derajat produksi
sering diukur dalam kalori per meter persegi per tahun. Seperti dalam ilmu
fisika, kimia dan ilmu lainnya, seorang yang mempelajri ilmu leingkungan akan
sering berhubungan dengan pengertian kadar, sepat perubahan jumlah (rate change
in number). Misalnya perubahan N sehubungan dengan waktu, dimana dapat
menyatakan jumlah penduduk dunia , taua penduduk Indonesia, ataupun jumlah
hewan yang terdapat di suatu sawah.
Dari serangkaian uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa dalam kehidupan di muka bumi (biosfer) ini, mahluk hidup
tidak darat berdiri sendiri, tergantung satu dengan yang lainnya dan lingkungan
abiotik. Dalam ekosistem menjadi aliran energi dan siklus materi diubah dari
bentuk senyawa satu bentuk senyawa lin dan hakikatnya tidak ada materi yang
hilang dalam ekosistem bahakn di alam semesta ini. Energi pada massa purba
tertangkap oleh tumbuhan berhijau daun dan tumbuhan itu (tumbuhan paku besar)
terkubur jutaan tahun menjadi batu bara yang kini digali manusia untuk sumber
energi pabrik dan lainnya. Minyak bumi sebgaia sumber energi juga terjadi dari
hewan bersel tunggal (protozoa) yang mendapat energi dari matahari, karena
hewan itu makan tumbuhan berhijau daun yang bersel tunggal.
Apabila suatu ekosistem terganggu, di mana
siklus materi dan transfer energi terpotong, maka komponen dalam ekosistem,
termasuk manusia akan terganggu pula sampai keseimbangan baru tercapai. Dalam
mencapai keseimbangan baru itu kadang-kadang suatu populasi terpaksa
tersingkirkan dari ekosistem atau dengan kata lain mungkin punah.
Ekosistem secra rinci dibedakan atas
ekosistem darat dan ekosistem air, selanjutnya ekosistem air tawar, misalnya;
ekosistem danau, sungai hulu; ekosistem air payau mislanya; muara sungai,
tambak; ekosistem air asin, misalnya; laut.
Dalam rangka penyusunan kebijakan dan
strategik pengelolaan lingkungan perlu memahami konsep dasar ekologi. Lebih
spesifik lagi setelah kita dapat memahami konsep ekologi dapat digunakan untuk
melakukan identifikasi karakteristik ekologi melalui penelusuran proses
ekologi. Proses ekologi dalam suatu wilayah ekosistem dapat diidentifikasi melalui
hubungan antara komponen lingkungan biofisik dan komponen lingkungan
sosial-budaya, seperti digambarkan secara ringkas pada Gambar 1.
Komponen Lingkungan Komponen Lingkungan
Biofisik _______ Sosial-Budaya
(Natural ecosystem) (Socio
ecosystem)
Konsep dasar dan pola pemikiran ekologi
sebagai dasar pemecahan masalah lingkungan mengubah paradigma paham
antrophosentrisme ke paham ekosentrisme. Proses ekologi manusia
(antrophoekosentrisme) yang tergolong dalan socio-ecosystem terkait dengan
kondisi biofisiknya dapat diamati dalam setiap satuan ekosistem bentanglahan.
Dalam hubungan antar unsur-unsur yang terkandung dalam sistem sosial (human
ecology) maupun dalam sistem alam (natural ecosystem) terdapat beberapa proses
yang terjadi sebagai berikut:
(1) Hubungan saling keterkaitan (inter-relationships)
Unsur-unsur yang terkandung, baik dalam
sistem sosial maupun dalam sistem alami saling berinteraksi satu sama lain
masing-masing membentuk subsistemsubsistem kecil dalam skala lokalitas yang
saling mempengaruhi (simbiotik maupun parasitik). Subsistem yang mempunyai
sifat dinamika tinggi (mobile) juga berinteraksi dengan subsistem dari
ekosistem lain melalui proses aliran energi dan materi (flora, fauna) dan
melalui tukar-menukar ataupun perkawinan (antar manusia)
(2) Hubungan saling ketergantungan (independency)
Hubungan tersebut tidak hanya terbatas
pada saling keterkaitan, namun juga saling ketergantungan antar subsistem, dan
bukan yang mempunyai sifat dinamika tinggi, subsistem yang tidak banyak
bergerak pun mempunyai hubungan saling ketergantungan. Keberadaan subsistem air dengan
kualitas tertentu sangat dibutuhkan oleh subsistem-subsistem lain ( pertumbuhan
biota, proses biogeokimia).
(3) Aliran energi, materi, dan informasi
Hasil pengelolaan sumberdaya ekosistem
menghasilkan materi dan energi yang akhirnya kembali lagi ke manusia sebagai
hasil pemanenan. Hasil peningkatan budaya untuk memperbaiki sistem pengelolaan
lingkungan meningkatkan informasi begitu terus sistem peningkatan budaya
sehingga terbentuk aliran informasi (perbaikan budaya sistem usahatani).
(4) Proses Seleksi dan Adaptasi
Manusia dalam menghadapi kondisi
lingkungan sejak zaman dulu hingga sekarang bersifat dinamik mengikuti kemajuan
budaya dan teknologi yang dikuasai. Pada awalnya manusia sangat tergantung pada
kondisi fisik lingkungannya (deterministik), kemudian mampu mengadakan seleksi
atau mencoba dengan cara adaptasi (probabilitas/posibilitas), akhirnya kenal
dengan pendekatan sistem/ekosistem, mereka mengkombinasikan menjadi pendekatan
”sistemik, adaptif, dan dinamik”.
Ditinjau dari substansinya dalam satu
kesatuan ekosistem bentanglahan (lokalitas) terdapat tiga komponen pembentuk
permasalahan lingkungan yang saling interaksi dan saling negasi. Sebagai input
ekosistem bentang lahan yang mengandung: (1) sumberdaya alam (SDA) yang
menempati (2) kawasan budidaya dan non-budidaya, akibat exploitasi lingkungan
hidup tergantung pada (3) kualitas manusia (SDM) menyebabkan penurunan
(degradasi) kualitas lingkungan. Terjadinya penurunan/degradasi kualitas
lingkungan adalah akibat exploitasi lingkungan hidup yang menyimpang
(malpraktek) melegalkan upaya pemanfaatan lahan yang sebenarnya merupakan
kawasan yang harus dilindungi atau pun ruang terbuka hijau. Meluasnya lahan
kritis, miskin dan terlantar, lahan miring dan tebing sungai longsor, banjir
yang melanda di permukiman dan perumahan, kekeringan di bagian hulu, pencemaran
dan kontaminasi air tanah, merosotnya kesehatan dan sanitasi lingkungan. Dampak
dari malpraktek tersebut meluas menimpa kembali kehidupan manusia dan akhirnya
dapat menurunkan kualitas sumberdaya manusia .
Lahan Kritis/Terlantar,
Longsor lahan, Banjir
Kekeringan, Tercemar
(Dampak Malpraktek)
Kawasan Sumberdaya
Alam,
Budidaya, Non-Budidaya Sumberdaya Manusia
(Carrying Capacity) (Resources Potential)
Gambar 2. Komponen utama dalam
Pengelolaan Ekosistem.
Ketiga komponen pembentuk lingkungan
tidak terpisah, namun membentuk satu kesatuan lokalitas dalam suatu ekosistem
bentanglahan, sumberdaya alam potensial dan kawasan budidaya dan non-budidaya
merupakan input alam (given), sumberdaya manusia potensial tergantung pada
tingkat penguasaan tekno-budaya (cultural ecology), dampak exploitasi
lingkungan akibat penyalahgunaan praktek pemanfaatan lahan (malpraktek).
Manusia sesuai kodratnya diberikan
kelebihan ilmu pengetahuan yang secara alami (instinctive) dapat muncul dengan
sendirinya tergantung kepada kepekaan dalam menanggapi atau pun membaca
fenomena alam dan kemudian menerjemahkan ke dalam dunia nyata (real world)
sebagai tindakan nyata manusia. Manusia selalu diuji kepekaannya dalam
menanggapi tanda-tanda alam, untuk itu manusia selalu meningkatkan kemampuan
budaya, mulai dari budaya yang hanya sekedar untuk mempertahankan hidup
(survival) hingga budaya untuk membuat rekayasa menciptakan lingkungan hidup
yang nyaman, sejahtera, dan berkelanjutan (sustainable).
Manusia dalam setiap memanfaatkan
sumberdaya alam (SDA) pada dasarnya dengan kemampuan teknologi yang dikuasainya
dalam implementasinya lebih mementingkan aspek ekonomi (mencari keuntungan
sebesar-besarnya) daripada kepentingan ekologi (prinsip kelestarian). Kegiatan
ekonomi menjadi tumpuhan dalam setiap manajemen sumberdaya alam agar sesuai dengan
investasi yang ditanamkan dan waktu serta ruang yang disediakan terbatas.
Manusia (SDM) memilih Sumberdaya alam
(SDA) dengan bantuan teknologi penginderaan Jauh (PJ) dan melalui pengolahan
sistem informasi geografis (SIG/GIS) dalam setiap pengelolaan SDA dan
Lingkungan Hidup (LH) untuk kegiatan ekonomi. Keterkaitan antar sub-komponen
tersebut dapat saling interaksi yang menguntungkan dan dapat pula saling negasi
yang merugikan.
Lingkungan
Lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik
yang mencakup keadaan sumber daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora dan fauna
yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang
meliputi ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan lingkungan
fisik tersebut.
Lingkungan
terdiri dari komponen abiotik dan biotik.
Komponen abiotik adalah segala yang tidak bernyawa seperti tanah, udara, air,
iklim, kelembaban, cahaya, bunyi. Sedangkan komponen biotik adalah segala
sesuatu yang bernyawa seperti tumbuhan, hewan, manusia dan mikro-organisme
(virus dan bakteri). Ilmu yang mempelajari lingkungan adalah ilmu lingkungan atau ekologi. Ilmu lingkungan adalah cabang dari ilmu
biologi.
Konsep lingkungan di Indonesia
Lingkungan,
di Indonesia sering juga disebut "lingkungan hidup". Misalnya dalam Undang-Undang no. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, definisi
Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan
makhluk hidup, termasuk manusia, dan perilakunya, yang mempengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
SISTEM WILAYAH
Wilayah adalah sebuah daerah yang dikuasai atau
menjadi teritorial dari sebuah kedaulatan. Pada masa lampau, seringkali sebuah
wilayah dikelilingi oleh batas-batas kondisi fisik alam, misalnya sungai,
gunung, atau laut. Sedangkan setelah masa kolonialisme, batas-batas tersebut dibuat oleh
negara yang menduduki daerah tersebut, dan berikutnya dengan adanya negara
bangsa, istilah yang lebih umum digunakan adalah batas nasional.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Wilayah).
Dengan menggunakan pendekatan regional, maka wilayah dibedakan menjadi :
1.
Wilayah Formal. Merupakan suatu wilayah yang dicirikan berdasarkan keseragaman atau
homogenitas tertentu. Oleh karena itu, wilayah formal sering pula disebut
wilayah seragam (uniform region). Homogenitas dari wilayah formal dapat
ditinjau berdasarkan kriteria fisik atau alam ataupun kriteria sosial budaya.
Wilayah formal berdasarkan kriteria fisik didasarkan pada kesamaan topografi,
jenis batuan, iklim dan vegetasi. Misalnya wilayah
pegunungan kapur (karst), wilayah beriklim dingin, dan wilayah
vegetasi mangrove. Adapun wilayah formal berdasarkan
kriteria sosial budaya seperti wilayah suku Asmat,
wilayah industri tekstil, wilayah Kesultanan Yogyakarta,
dan wilayah pertanian sawah basah.
2.
Wilayah Fungsional. Merupakan suatu wilayah yang di dalamnya terdapat
banyak hal yang diatur oleh beberapa pusat kegiatan yang satu sama lain saling
berhubungan misalnya kota terdapat berbagai pusat kegiatan mulai dari CBD,
perkantoran, pasar dan seterusnya yang satu sama lain
dihubungkan dengan jaringan jalan raya. Wilayah fungsional lebih bersifat dinamis dibandingkan dengan wilayah
formal.
“Ruang” adalah wadah kehidupan manusia
beserta sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya meliputi bumi, air dan
ruang angkasa sebagai satu kesatuan. Konsep ruang mempunyai beberapa unsur,
yaitu: (1) jarak, (2) lokasi, (3) bentuk, dan (4) ukuran. Konsep ruang sangat
berkaitan erat dengan waktu, karena pemanfaatan bumi dan segala kekayaannya
membutuhkan organisasi/pengaturan ruang dan waktu. Unsur-unsur tersebut di atas
secara bersama-sama menyusun unit tata ruang yang disebut wilayah.
Wilayah dapat didefinisikan sebagai suatu unit
geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung
secara internal dalam dimensi ruang yang merupakan wadah bagi kegiatan-kegiatan
sosial ekonomi yang memiliki keterbatasan serta kesempatan ekonomi yang tidak
sama.
Konsep-konsep wilayah klasik, yang
mendefinisikan wilayah sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik
dimana komponen-komponen dari wilayah tersebut satu sama lain saling
berinteraksi secara fungsional;
1) Wilayah homogen, yaitu
wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan
pada wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak
dominan bisa bersifat heterogen. Pada umumnya wilayah homogen sangat
dipengaruhi oleh potensi sumberdaya alam dan permasalahan spesifik yang
seragam. Dengan demikian konsep wilayah homogen sangat bermanfaat dalam
penentuan sektor basis perekonomian wilayah sesuai dengan potensi/daya dukung
utama yang ada dan pengembangan pola kebijakan yang tepat sesuai dengan
permasalahan masing masing wilayah;
2) Wilayah nodal, menekankan
perbedaan dua komponen-komponen wilayah yang terpisah berdasarkan fungsinya.
konsep wilayah nodal diumpamakan sebagai suatu ”sel hidup” yang mempunyai inti
dan plasma. Inti adalah pusat-pusat pelayanan/pemukiman, sedangkan plasma
adalah daerah belakang ( hinterland );
3) Wilayah sebagai sistem,
dilandasi atas pemikiran bahwa komponen-komponen di suatu wilayah memiliki
keterkaitan dan ketergantungan satu sama lain dan tidak terpisahkan;
4) Wilayah perencanaan adalah
wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan terdapatnya sifat-sifat tertentu
pada wilayah baik akibat sifat alamiah maupun non alamiah sehingga perlu
perencanaan secara integral;
5) Wilayah
administratif-politis, berdasarkan pada suatu kenyataan bahwa wilayah berada
dalam satu kesatuan politis yang umumnya dipimpin oleh suatu sistem birokrasi
atau sistem kelembagaan dengan otonomi tertentu. wilayah yang dipilih
tergantung dari jenis analisis dan tujuan perencanaannya. Sering pula wilayah
administratif ini sebagai wilayah otonomi. Artinya suatu wilayah yang mempunyai
suatu otoritas melakukan keputusan dan kebijaksanaan sendiri-sendiri dalam
pengelolaan sumberdaya-sumberdaya di dalamnya.
Daerah, dalam konteks pembagian administratif di Indonesia, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Daerah terdiri atas Provinsi, Kabupaten, atau Kota.
Sedangkan kecamatan, desa,
dan kelurahan tidaklah dianggap sebagai suatu Daerah
(daerah otonom). Daerah dipimpin oleh Kepala Daerah (gubernur/bupati/ walikota), dan memiliki Pemerintahan Daerah
serta Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
PENGEMBANGAN WILAYAH
Kegiatan pengembangan wilayah adalah
suatu kegiatan yang memiliki dua sifat yaitu sifat akademis dan sifat
birokratis dalam mengelola wilayah. Sifat akademis biasanya menggunakan istilah
“seyogyanya” dan sifat terapan biasanya menggunakan istilah “seharusnya”.
Dengan demikian, pendekatan geografi, dalam tulisan ini, dapat digunakan
dan dapat pula tidak digunakan dalam kegiatan pengembangan wilayah
tergantung kemauan politis pemegang kekuasaan. Suatu pendekatan yang sudah
dipilih dan diputuskan oleh pengambil keputusan politis maka “harus”
dilaksanakan oleh para pelaksana di lapangan dan “tidak boleh” menggunakan yang
lain.
Regional science is a field of the social sciences concerned with analytical
approaches to problems that are specifically urban, rural,
or regional. Topics in regional science include, but are not limited to location theory or spatial economics, location
modeling, transportation, migration analysis, land use and urban development, interindustry analysis,
environmental and ecological analysis, resource
management, urban and regional policy analysis, geographical
information systems, and spatial data
analysis. In the broadest sense, any social science analysis that
has a spatial dimension is embraced by regional scientists.
(http://en.wikipedia.org/wiki/Regional_science).
Regional development is the provision of aid
and other assistance to regions which are less economically
developed. Regional development may be domestic or international in
nature. The implications and scope of regional development may therefore vary
in accordance with the definition of a region, and how the region and its
boundaries are perceived internally and externally
(http://en.wikipedia.org/wiki/Regional_development).
Konsepsi
pembangunan wilayah pada dasarnya adalah pembangunan proyek proyek berdasarkan
hasil analisa data spasial (Sandy dalam Kartono, 1989), sehingga ketersediaan
peta menjadi mutlak diperlukan. Karena keseluruhan proyek berada di tingkat
kabupaten/kota maka pemerintah kabupaten/kota mutlak perlu menyiapkan peta peta
fakta wilayah dalam tema tema yang lengkap. Dalam lingkup pekerjaan inilah
antara lain dituntut peran aktif kajian-kajian para ahli geografi.
Pewilayahan data
spasial untuk menetapkan proyek pembangunan disebut wilayah subyektif, sedang
wilayah yang ditetapkan untuk suatu bidang kehidupan sebagai tujuan pembangunan
(penetapan wilayah pembangunan) disebut wilayah obyektif. Implementasi wilayah
pembangunan pada umumnya tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Produk akhir dari analisis
data spasial disebut “wilayah geografik” sedang cakupan ruang muka bumi yang
dianalisis disebut “area/geomer/daerah”.
Pada saat ini
semakin dapat dirasakan bahwa perkembangan suatu daerah tertentu tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh daerah sekitarnya mulai dari daerah tetangga sampai
daerah yang lebih jauh jaraknya bahkan pengaruh dari bagian bumi lainnya.
Dampak globalisasi telah membuktikan hal itu. Oleh karena itu, wilayah sebagai
system spasial dalam lingkup kegiatan pengembangan wilayah merupakan subsistem
spasial dalam lingkup yang lebih luas. Sebuah kabupaten/kota, dalam kegiatan
pengembangan wilayah, di samping menganalisis data spasial kabupaten/kota yang
bersangkutan, juga perlu memperhatikan paling tidak bagaimana
perkembangan daerah sekitarnya (interregional
planning). Sebuah kabupaten/kota tidak dapat hidup sendiri dan oleh karena
itu perlu mengadakan kerja sama dengan daerah tetangganya.
Sebagaimana telah
diuraikan sebelumnya, suatu proyek pembangunan daerah dilaksanakan pada tingkat
kabupaten/kota sebagai unit terrendah dalam hirarki pembangunan. Proyek terkait
dengan jenisnya dan dananya. Setelah jenis dan dananya disediakan maka tahap
berikutnya adalah menetapkan di bagian mana dari daerah kabupaten/kota proyek
tersebut akan dilaksanakan. Ada beberapa cara untuk menetapkan proyek
pembangunan. Cara penetapan proyek biasanya dilakukan, pada tahap awal, melalui
suatu kajian akademis antara lain berdasarkan pendekatan geografi, pendekatan
ekonomi dan lainnya.
Pendekatan
geografi dilakukan melalui tahapan penetapan masalah, pengumpulan data dan
analisis data mulai dari kegiatan penyaringan, pengelompokan, klasifikasi data,
kegiatan pengwilayahan, korelasi dan analogi. Oleh karena adanya keragaman
berbagai masalah yang dihadapi masyarakat, berdasarkan kemampuan keuangan
pemerintah dan skala waktu pelaksanaan, disusun skala prioritas proyek.
Hasil korelasi
secara spasial (tumpang tindih atau overlay peta wilayah) dapat ditunjukan
masalah apa sebagai prioritas proyek dan di mana lokasi proyek tersebut
dilaksanakan. Dalam pelaksanaanya, pendekatan geografi tidaklah sesederhana
itu.
Beberapa cara lain
untuk menetapkan proyek pembangunan dapat disebutkan antara lain dengan
menerapkan teori Economic Base, Multiplier Effect yang berkaitan dengan teori
input-output dan penerapan teori lokasi, (Location
Theory), teori pusat (Central Place
Theory) dan penerapan teori Kutub Pengembanngan (Growth Pole Theory). .
1. Teori Lokasi. Paling tidak ada
tiga hal yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan lokasi proyek
pembangunan yaitu (1) pengeluaran terrendah (2) jangkauan pemasaran dan (3)
keuntungan tertinggi.
2. Teory Pusat Pelayanan. Pola ideal yang diharapkan
terbentuk, asumsi homogin dalam hal bentuk medan, kualitas tanah dan tingkat
ekonomi penduduk serta budayanya, Christaller menyajikan bentuk pola pelayanan
seperti jejaring segi enam (hexagonal).
Bentuk pola
pelayanan hexagonal ini secara teoritis mampu memperoleh optimasi dalam hal
efisiensi transportasi, pemasaran dan administrasi.
3. Teori Kutub Pertumbuhan. Berbeda dengan
Christaller yang berlatar belakang ahli Geografi, teori Kutub Pertumbuhan
diprakarsai dan dikembangankan oleh para ahli ekonomi. Teori ini melahirkan
konsep ekonomi seperti konsep Industri Penggerak (leading industry), konsep Polarisasi dan konsep penularan (trickle atau spread effect).
Beberapa kelemahan
penerapan cara di atas dalam penetapan kegiatan pembangunan dihadapkan pada faktor
politis pengambil kebijakan di tingkat kabupaten/kota, faktor ketersediaan dana
dan ketersediaan lahan tempat dilaksanakannya kegiatan. Pada akhirnya dapat
disimpulkan bahwa pendekatan kewilayahan menjadi faktor kunci dalam kegiatan
penetapan proyek pembangunan berdasarkan penetapan prioritas secara tepat.
Location theory is concerned with the geographic location of
economic activity; it has become an integral part of economic
geography, regional science,
and spatial
economics. Location theory addresses the questions of what economic
activities are located where and why. Location theory rests on the assumption that agents act in their
own self interest. Thus firms choose locations that maximize their profits and
individuals choose locations that maximize their utility.
(http://en.wikipedia.org/wiki/Location_theory).
Central place theory is a geographical
theory that seeks to explain the number, size and location of human settlements
in an urban system. The theory was created by
the German
geographer Walter Christaller, who asserted that
settlements simply functioned as 'central places' providing services to
surrounding areas (Goodall, B. 1987. The
Penguin Dictionary of Human Geography. London: Penguin).
(http://en.wikipedia.org/wiki/Central_place_theory)
Pengembangan wilayah merupakan program
menyeluruh dan terpadu dari semua kegiatan dengan memperhitungkan sumberdaya
yang ada dan memberikan kontribusi kepada pembangunan suatu wilayah. Konsep pengembangan wilayah
adalah suatu upaya dalam mewujudkan keterpaduan penggunaan sumberdaya dengan
penyeimbangan dan penyerasian pembangunan antar daerah, antar sektor serta
antar pelaku pembangunan dalam mewujudkan tujuan pembangunan daerah.
Menurut Undang-undang No. 24 tahun 1992
tentang Penataan Ruang, definisi kawasan adalah Wilayah dengan fungsi utama
lindung atau budi daya.
Konsep kawasan adalah wilayah yang berbasis
pada keberagaman fisik dan ekonomi tetapi memiliki hubungan erat dan saling
mendukung satu sama lain secara fungsional demi mempercepat pertumbuhan ekonomi
daerah dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dalam kaitan ini, kawasan didefinisikan
sebagai kawasan yang mempunyai fungsi tertentu, dimana kegiatan ekonominya,
sektor dan produk unggulannya, mempunyai potensi mendorong pertumbuhan ekonomi
wilayah sekitarnya. Kawasan ini secara sendiri-sendiri maupun
secara bersama membentuk suatu klaster.
Pembangunan kawasan adalah usaha untuk mengembangkan
dan meningkatkan hubungan kesalingtergantungan dan interaksi atara sistem
ekonomi (economic system), masyarakat
(social system), dan lingkungan hidup
beserta sumberdaya alamnya (ecosystem).
§ Membangun masyarakat
pedesaan, beserta sarana dan prasarana yang mendukungnya;
§ Mencapai pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan;
§ Mengurangi tingkat
kemiskinan melalui peningkatan pendapatan masyarakat;
§ Mendorong pemerataan
pertumbuhan dengan mengurangi disparitas antar daerah;
§ Meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia dan konservasi sumberdaya alam demi kesinambungan
pembangunan daerah.
§ Mendorong pemanfaatan ruang
desa yang efisien dan berkelanjutan.
Konsep pengembangan wilayah bermula dari
konsep atau teori lokasi yang bermula dari Von Thunen, yang intinya adalah
konsentrasi aktivitas ekonomi akan terjadi pada lokasi tertentu karena adanya
proses economies of scale . Walaupun teori Von Thunen tersebut adalah teori
berkaitan dengan sewa tanah, akan tetapi teori itu relevan untuk menjelaskan
aktivitas ekonomi dalam suatu lokasi atau wilayah tertentu. Aktivitas ekonomi
yang terjadi pada suatu lokasi ini kemudian akan diikuti berkembangnya berbagai
fasilitas dan prasarana lain yang mendukung aktivitas ekonomi, dan kemudian
aktivitas tersebut akan dapat menarik aktivitas-aktivitas daerah sekitarnya. Oleh
karena itu, lokasi ini akan menjadi pusat pertumbuhan dalam wilayah tersebut ( growth pole theory ).
Growth pole theory, as originally
formulated, assumes that growth does not appear everywhere at the same time,
but it manifests itself in “points” or “poles” of growth (Perroux, 1950; 1955).
With variable intensities, the growth spreads by different channels and
eventually affects the economy as a whole (Vanneste, 1971). It is widely argued
that Perroux’s initial concept of growth pole denoted an individual plant; one
that occupied an abstract economic space, rather than a specific geographical
space such as a city or region (Vanneste, 1971; Monsted, 1974; Mitchell-Weaver,
1991). In his latter writings, as Vanneste (1971) points out, Perroux refined
his concept of growth pole as a dynamic unity in a defined environment. The
unit is simple or complex: (a) a firm, or (b) group of firms not
institutionalized, or (c) group of firms institutionalized, such as private and
semi-public undertakings.
Based on these features of the
growth pole concept, other authors associated a functional attribute to the
concept. They postulated that a growth pole is formed when an industry, through
the flow of goods and incomes which it is able to generate, stimulates the
development and growth of other industries related to it (technical
polarization); or determines the prosperity of the tertiary sector by means of
the incomes it generates (income polarization); or stimulates an increase of
the regional economy by causing a progressive concentration of new activities
(psychological and geographical polarization). To the extent that the growth
pole concept has a functional character, Vanneste (1971) argues that it would
be wrong to neglect the spatial aspect and the geographical implications of the
concept.
If the growth pole has a local
geographical base, then it is safe to assume that it can induce external
economies in local firms. This means that growth is induced not only through
direct trading between firms located in the same geographic area, but also
through a structural change in the region. In that sense, Monsted (1974)
asserts that local trade and business, which are not even directly associated
with the growth pole will experience high demand induced by better resources
and wages in the region. Bhandari (2006) thinks that the geographical aspects
of growth poles are now considered to be the most important facet of growth
pole theory.
The growth pole concept involves
an enormous confusion of ideas, which makes it extremely difficult to put
forward a clear definition of it. The Geography Dictionary (2004) defines
growth poles as follows:
“A point of economic growth.
Growth poles are usually urban locations, benefiting from agglomeration
economies, and should interact with surrounding areas, spreading prosperity
from the core to the periphery”.
Pengembangan keunggulan suatu wilayah pada
dasarnya merupakan implementasi atas penguatan daya saing atau keunggulan
kompetitif suatu daerah. Konsep keunggulan daya saing sendiri mulanya
dikembangkan untuk model industri dan dikembangkan oleh Porter (1986), yang
dikenal dengan Model Berlian.
Model
berlian menjelaskan daya saing internasional sebuah negara atau wilayah. Model
ini disebut ”diamond” karena digambarkan sebentuk kotak berbentuk berlian yang
sususnannya berisi sejumlah faktor yang menentukan daya saing suatu wilayah
atau negara.
Menurut
model “diamond of advantage” dari
Porter (1990), suatu kawasan secara alamiah akan mengembangkan keunggulan
kompetitif berdasarkan kemampuan inovasi dari perusahan-perusahan yang ada di
dalamnya dan vitalitas ekonomi suatu wilayah merupakan hasil langsung dari
persaingan industri yang ada di kawasan tersebut.
The diamond model is
an economical model developed by Michael Porter in his book The Competitive
Advantage of Nations (1990), where he published his theory of why
particular industries become competitive in particular locations (Traill, B. dan Eamonn Pitts. 1998). Afterwards, this
model has been expanded by other scholars. The approach looks at clusters of industries, where
the competitiveness of one company is related to the performance of other
companies and other factors tied together in the value-added chain, in
customer-client relation, or in a local or regional contexts. The Porter
analysis was made in two steps (Porter, 1990). First, clusters of successful
industries have been mapped in 10 important trading nations. In the second, the
history of competition in particular industries is examined to clarify the
dynamic process by which competitive advantage was created. The second step in
Porter's analysis deals with the dynamic process by which competitive advantage
is created. The basic method in these studies is historical analysis. The phenomena
that are analysed are classified into six broad factors incorporated into the
Porter diamond (Porter, 1990), which has become a key tool for the analysis of
competitiveness:
1.
Factor
conditions
are human resources, physical resources, knowledge resources, capital resources
and infrastructure. Specialized resources are often specific for an industry
and important for its competitiveness. Specific resources can be created to
compensate for factor disadvantages.
2.
Demand
conditions
in the home market can help companies create a competitive advantage, when
sophisticated home market buyers pressure firms to innovate faster and to
create more advanced products than those of competitors.
3.
Related
and supporting industries
can produce inputs which are important for innovation and internationalization.
These industries provide cost-effective inputs, but they also participate in
the upgrading process, thus stimulating other companies in the chain to
innovate.
4.
Firm
strategy, structure and rivalry constitute the fourth determinant of
competitiveness. The way in which companies are created, set goals and are
managed is important for success. But the presence of intense rivalry in the
home base is also important; it creates pressure to innovate in order to
upgrade competitiveness.
5.
Government can influence each of the above four
determinants of competitiveness. Clearly government can influence the supply
conditions of key production factors, demand conditions in the home market, and
competition between firms. Government interventions can occur at local,
regional, national or supranational level.
6.
Chance events are occurrences that are
outside of control of a firm. They are important because they create
discontinuities in which some gain competitive positions and some lose.
The Porter thesis is that these factors
interact with each other to create conditions where innovation and improved
competitiveness occurs.
The Porter diamond (Porter, 1990)
KONSEP ECO-REGION
An ecoregion (ecological
region), sometimes called a bioregion, is an ecologically and geographically defined area
that is smaller than an ecozone and larger than an ecosystem.
Ecoregions cover relatively
large areas of land or water, and contain characteristic, geographically
distinct assemblages of natural communities
and species. The biodiversity of flora, fauna
and ecosystems that characterise an ecoregion tends
to be distinct from that of other ecoregions. In theory, biodiversity or
conservation ecoregions are relatively large areas of land or water where the
probability of encounter of different species and communities at any given
point remain relatively constant, within an acceptable range of variation
(largely undefined at this point).
Three caveats are
appropriate for all biogeographic mapping approaches
(http://en.wikipedia.org/wiki/Ecoregion):
- Firstly, no single biogeographic framework is optimal for all taxa. Ecoregions reflect the best compromise for as many taxa as possible.
- Secondly, ecoregion boundaries rarely form abrupt edges; rather, ecotones and mosaic habitats bound them.
- Thirdly, most ecoregions contain habitats that differ from their assigned biome.
Ecoregions defined
Biodiversity is not spread evenly
across the Earth but follows complex patterns determined by climate, geology
and the evolutionary history of the planet. These patterns are called
"ecoregions". WWF defines an ecoregion as a "large unit of land or water containing a geographically distinct
assemblage of species, natural communities, and environmental conditions".
The boundaries of an ecoregion are not
fixed and sharp, but rather encompass an area within which important ecological
and evolutionary processes most strongly interact. The Global ecoregions
recognize the fact that, whilst tropical forests and coral reefs harbour the
most biodiversity and are the traditional targets of conservation
organizations, unique manifestations of nature are found in temperate and
boreal regions, in deserts and mountain chains, which occur nowhere else on
Earth and which risk being lost forever if they are not conserved. (http://wwf.panda.org/about_our_earth/ecoregions/about/what_is_an_ecoregion/).
DAFTAR PUSTAKA
Beatley, T.
2000. Urban Ecocycle Balancing: Towards Closed–Loop Cities. In Green
Urbanism, Learning from European Cities, Washington, DC, Island Press.
Bhandari, L.
2006. Clusters Initiatives and Growth
Poles: Correcting Coordination Failures. Indicus
Analytics, November 2006.
Boyden, S, dan
J. Celecia. 1981. The Ecology of
Megalopolis. The UNESCO Courier.
Boyden, S,
Millar, S, Newcombe, K, dan B. O’Neill. 1981. The Ecology of a City and its People: The Case of Hong Kong,
Canberra, Australian National University Press.
Brandon, C dan
R. Ramankutty. 1993. Toward an Environmental Strategy for Asia. World
Bank Discussion Paper 224, Washington, D.C., World Bank.
Chapin F.S. III, Matson, P.A., dan H.A. Mooney. 2003. Principles of terrestrial ecosystem ecology.
Springer-Verlag, New York, N.Y.
Defries, R.S., J.A. Foley dan G.P. Asner. 2004. Land-use
choices: balancing human needs and ecosystem function. in: Frontiers in ecology and environmental
science. 2:249-257.
Douglas, I.
1981. The City as Ecosystem. Progress in Physical Geography, Vol. 5,
no. 3, pp 315–367.
Douglas, I.
1983. The Urban Environment,
London, Edward Arnold.
Ehrenfeld, J.G. dan L.A.Toth. 1997. Restoration ecology
and the ecosystem perspective. In: Restoration Ecology 5:307-317.
Fitzpatrick, K,
dan M. LaGory. 2000. Unhealthy Places:
The Ecology of Risk in the Urban Landscape, New York, Routledge.
Folke, C,
Jansson, A, Larsson, J, dan R.Costanza. 1997. Ecosystem
Appropriation of Cities. Ambio Vol. 26, no.3, pp 167–172.
Friedmann,
J. 1956. Locational aspects of economic
development. Land Economics,
vol. 32: 213-227.
Gilbert, O. L.
1989. The Ecology of Urban Habitats, New York, Chapman and Hall.
Grove, J M, dan
W.R. Burch. 1997. A Social Ecology Approach and Application of Urban Ecosystem and Landscape Analyses: A Case Study of
Baltimore, Maryland. Urban Ecosystems, no. 1, pp 259–275.
Hough, M. 1990.
Formed by Natural Process: A Definition of a Green City. In D. Gordon (ed.), Green Cities: Ecologically Sound Approaches
to Urban Space, Montreal, Black Rose Books.
Isard, Walter. 1956. Location and Space-Economy: A General Theory
Relating to Industrial Location, Market Areas, Land Use, Trade and Urban
Structure Cambridge, Massachusetts: The MIT Press.
Isard, Walter. 1975. Introduction to Regional Science. New
York: Prentice Hall, p. 6.
Latiff, A dan M.
Omar (eds.) 1983. Proceedings of
Regional Seminar on Development of Techniques for Analysis
of Tropical Cities on an Ecosystem
Basis, Bangi, Universiti Kebangsaan Malaysia.
Low, N.,
B.Gleeson, I. Elander dan R. Lidskog (eds.) 2000. Consuming Cities: The Urban Environment in the Global Economy After the
Rio Declaration, London, Routledge.
McDonnell, M.J.
dan S.T.A. Pickett. 1991. Comparative Analysis
of Ecosystems Along Gradients of Urbanization: Opportunities and Limitations. In
J J Cole, G M Lovett, and S E G Findlay (eds), Comparative Analyses of Ecosystems: Patterns, Mechanisms and Theories,
New York, Springer–Verlag.
McGranahan, G., J.Songsore
dan M. Kjellen. 1996. Sustainability, Poverty and Urban Environmental
Transitions. In David Satterthwaite (ed), Sustainability, the Environment and Urbanization, London:
Earthscan Publications.
McMichael, A J.
2000. The Urban Environment and Health
in a World of Increasing Globalization: Issues for Developing Countries. Bulletin
of the World Health Organization, Vol.78, no. 9, pp 1117–1126.
Monsted, M.
1974. François Perroux’s Theory of
“Growth Pole” and “Development Pole”: A Critique. Antipode, vol. 6, Issue 2: 106-113, July 1974.
Odum, E.P. 1969. The strategy of ecosystem development. Science 164:262-270.
Odum, H.T. 1971. Environment,
Power, and Society. Wiley-Interscience New York, N.Y.
Olson, J.S. 1963. Energy storage and the balance of
producers and decomposers in ecological systems. Ecology 44:322-331.
Perroux, F.
1950. Economic space: theory and
applications. Quarterly Journal of
Economics, Vol. 64: 90-97.
Pickett, S.T.A.,
W.R.Burch, Jr., T.W.Foresman, J.M.Grove, dan R. Rowntree. 1997. A Conceptual Framework for the Study of
Human Ecosystems. Urban Ecosystems no. 1, pp 185–199.
Porter, M.E.
(ed.). 1986. Competition in Global
Industries. Harvard Business School Press, Boston, 1986.
Porter, M.E.
1979. How Competitive Forces Shape Strategy. Harvard Business Review,
March/April 1979.
Porter, M.E.
1980. Competitive Strategy. Free Press, New York, 1980.
Porter, M.E.
1985. Competitive Advantage. Free Press, New York, 1985.
Porter, M.E.
1987. From Competitive Advantage to Corporate Strategy. Harvard Business Review, May/June 1987, pp
43-59.
Porter, M.E.
1990. The competitive advantage of nations. New York: Free Press.
Porter, M.E.
1991. Towards a Dynamic Theory of Strategy. Strategic Management Journal, 12 (Winter
Special Issue), pp. 95-117.
Porter, M.E.
2008. The Five Competitive Forces That Shape Strategy. Harvard Business Review, January 2008, pp.
79-93.
Porter, M.E. dan
M.R. Kramer. 2006. Strategy and Society: The Link Between Competitive Advantage
and Corporate Social Responsibility. Harvard Business Review, December 2006, pp.
78-92.
Traill,
B. dan Eamonn Pitts. 1998. Competitiveness
in the Food Industry. Springer. pp. 301. http://books.google.com/books?id=-g_iw4ocyAgC&printsec=frontcover#PPA17,M1.
Vanneste, O.
1971. The Growth Pole Concept and the
Regional Economic Policy: with an Example of Application to the Westflemish
Economy. College of Europe, Postgraduate Institute of European Studies,
Belgium.
Vasishth, A dan
D.C. Slone. 2002. Returning to Ecology:
An Ecosystems Approach to Understanding the City. In Dear, M. J. (ed) Chicago to LA: Making Sense of Urban Theory,
Thousand Oaks, Sage Publications.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar