Selasa, 07 April 2015

Penanganan rawan pangan



penanganan rawan pangan

PROBLEMATIK PANGAN DI DAERAH

1. Pengertian Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan sebagian terjemahan istilah food security, ketahanan pangan diberikan pengertian sebagai suatu kondisi ketersediaan pangan cukup bagi setiap orang pada setiap saat dan setiap individu mempunyai akses untuk memperolehnya baik secara fisik maupun ekonomi. Dalam pengertian ini ketahanan pangan dikaitkan dengan 3 (tiga) faktor utama yaitu :
a.    Kecukupan (ketersediaan) pangan
b.    Stabilitas ekonomi pangan
c.    Akses fisik maupun ekonomi bagi individu untuk mendapatkan pangan

Indonesia menerima konsep ketahanan pangan, yang dilegitimasi pada Undang-undang pangan Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan Undang-Undang ini ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemeintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Indonesia memasukkan mutu, keamanan, dan keragaman sebagai kondisi yang harus terpenuhi dalam pemenuhan kebutuhan pangan penduduk secara cukup, merata dan terjangkau.
Kondisi Ketahanan Pangan yang diperlukan juga mencakup persyaratan bagi kehidupan sehat. Definisi Ketahanan pangan sebagai termuat dalam Undang-undang RI Nomor 7 Tahun 1996 adalah sebagai berikut :

“Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata dan terjangkau”.

Dari definisi diatas dapat dilihat bahwa swasembada merupakan bagian dari ketahanan pangan. Meskipun demikian, pengertian ketahanan pangan dan swasembada secara konsep dapat dibedakan. Kembali lagi ke pengertian ketahanan pangan yang konsepsinya tidak mempersoalkan asal sumber pangan, apakah dari dalam negeri atau impor. Ketahanan pangan merupakan sebagian dari ketahanan pangan. Meskipun demikian, pengertian ketahanan pangan dan swasembada secara konsep dapat dibedakan. Kembali lagi ke pengertian ketahanan pangan yang konsepsinya tidak mempersoalkan asal sumber pangan, apakah dari dalam negeri atau impor. Ketahanan pangan merupakan konsep yang komplek dan terkait dengan mata rantai sistem pangan dan gizi mulai dari distribusi, produksi, konsumsi dan status gizi.
Konsep ketahanan pangan (food security) dapat diterapkan untuk menyatakan ketahanan pangan pada beberapa tingkatan : 1. global, 2. nasional, 3. regional dan 4. tingkat rumah tangga di tingkat rumah tangga dan individu.

Ketahanan pangan rumah tangga didefinisikan dalam beberapa alternatif rumusan :

a. Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan anggota rumah tangga dalam jumlah, mutu dan beragam sesuai budaya setempat dari waktu ke waktu agar hidup sehat.
b. Kemampuan rumah tangga untuk mencukupi pangan anggotanya dari produk sendiri dan atau membeli dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat.
c. Kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar hidup sehat (Usep Sobar Sudrajat, 2004).

Ketahanan pangan minimal harus dua unsur pokok, yaitu ketersediaan dan aksebelitas masyarakat terhadap pangan (Bustanul Arifin, 2004). Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan :

a.         Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan atau pembuatan makanan dan minuman.
b.         Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.
c.         Sistem pangan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengaturan, pembinaan, dan atau pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi pangan dan peredaran pangan sampai dengan siap dikonsumsi manusia.
d.         Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran kimia, biologis dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.
e.         Mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi, dan standart perdagangan terhadap bahan makanan, makanan dan minuman.
f.          Gizi pangan adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam pangan yang terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral serta turunnya yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia.
g.         Kemasan pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi atau membungkus pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan pangan maupun yang tidak.
h.         Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup.

2. Penyediaan Pangan
Penyediaan pangan tentunya dapat ditempuh melalui :
a.         Produksi sendiri, dengan cara mengalokasikan sumber daya alam (SDA), manajemen dan pengembangan sumber daya manusia (SDM), serta aplikasi dan penguasaan teknologi yang optimal.
b.         Import dari negara lain, dengan menjaga perolehan devisa yang memadai disektor perekonomian untuk menjaga neraca keseimbangan luar negeri.

Ketahanan pangan atau aksesibilitas setiap individu terhadap bahan pangan dapat dijaga dan ditingkatkan melalui pemberdayaan sistem pasar serta mekanisme pemasaran yang efektif dan efisien, yang juga dapat disempurnakan dan kebijakan tata niaga, atau distribusi pangan dari sentral produksi sampai ketangan konsumen. Akses individu dapat juga ditopang dengan oleh intervensi kebijakan harga yang memadai, menguntungkan dan memuaskan berbagai pihak yang terlibat. Intervensi pemerintah dalam hal distribusi pangan pokok masih nampak relevan, terutama untuk melindungi produsen terhadap anjloknya harga produk pada musim panen, dan untuk melindungi konsumen dari melambungnya harga kebutuhan pokok pada musim tanam atau musim paceklik (Bustanul Arifin, 2004).

3. Pengembangan Ketahan Pangan Khususnya di Tingkat Rumah Tangga
Pengembangan ketahanan pangan khususnya di tingkat rumah tangga, mempunyai prespektif pembangunan yang sangat mendasar karena :
a.         Akses pangan dan gizi seimbang bagi seluruh rakyat sebagai pemenuhan kebutuhan dasar pangan merupakan hak yang paling asasi bagi manusia
b.         Proses pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas sangat di pengaruhi oleh keberhasilan untuk memenuhi kecukupan pangan dan nutrisi
c.         Ketahanan pangan merupakan unsur trategis dalam pembangunan ekonomi dan ketahan tangan (BKP, 2006).

4. Ketahanan Pangan Terdiri dari Berbagai Elemen :
a.         Ketersediaan pangan
b. Aksesibilitas yang menggambarkan kemampuan untuk menguasai pangan yang cukup
c.         Keamanan yang dapat diartikan sebagai stabilitas (menunjukkan pada kerentanan internal seperti penurunan produksi) dan keandalan (menunjukkan pada kerentanan eksternal seperti flukuasi perdagangan internasional).
d. Keberlanjutan merupakan kontinuitas dari akses dan ketersediaan pangan yang ditunjukkan oleh keberlanjutan usaha tani (Ali Khomsan dkk, 2004).

5. Situasi Ketahanan Pangan di Indonesia
Ketahanan pangan dan gizi menghendaki pasokan dan harga pangan yang stabil, merata dan berkelanjutan, serta kemampuan rumah tangga untuk memperoleh pangan yang cukup, serta mengelolanya dengan baik agar setiap anggotanya memperoleh gizi yang cukup dari hari ke hari (Suryana, 2004).

Sejak kritis multidimensi tahun 1997, kemampuan Indonesia untuk memenuhi sendiri kebutuhan pangan bagi penduduk terus menurun. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi bangsa Indonesia yang jumlahnya lebih dari 210 juta jiwa, Indonesia harus mengimpor bahan pangan seperti beras 2 juta ton, jagung lebih dari 1 juta ton, kedelai lebih dari 1 juta ton, kacang tanah lebih dari 0,8 juta ton, gula pasir 1,6 juta ton, ternak hidup setara 82 ribu ton, daging 39 ribu ton, susu dan produknya 99 ribu ton per tahun.
Selama kurun waktu 1997-2001, produktivitas padi menurun 0,38% per tahun, juga beberapa komuditas pangan, pada periode ini juga terjadi pertumbuhan permintaan pangan yang terus meningkat dan tidak diikut peningkatan produksi, bahkan ada peningkatan kecenderungan penurunan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kebutuhan pangan tidak mampu dipenuhi dari produksi nasional. Sebagai akibatnya, kebutuhan pangan harus dipenuhi dari impor. Hal ini merupakan kondisi yang tidak baik karena impor menguras banyak devisa serta tidak strategis bagi kepentingan ketahanan pangan nasional dalam jangka panjang (BKP, 2006). Kesenjangan antara ketersediaan dan konsumsi ini merupakan indikasi lemahnya daya akses rumah tangga terhadap pangan. Disisi penyediaan pangan, walaupun saat ini volumenya mencukupi, namun saat ini Indonesia menghadapi tantangan yang cukup serius yaitu laju percepatan konsumsi, terutama didorong oleh pertumbuhan penduduk yang lebih cepat dibadingkan laju pertumbuhan produksi. (BKP, 2006).

6. Ketahanan Pangan di Tingkat Rumah Tangga
Ketahanan pangan ditingkat rumah tangga sangat berkaitan dengan faktor kemiskinan. Ketahanan pangan terutama ditentukan oleh nilai ekonomis beras, sebab beras merupakan komoditas paling penting di Indonesia, terutama bagi kelompok sosial ekonomi rendah. Dengan demikian tingkat harga beras merupakan determinan utama kemiskinan di tingkat rumah tangga. Kebijakan tentang harga beras merupakan dilema bagi masyarakat baik produsen maupun konsumen. Harga beras yang tinggi akan merugikan kelompok masyarakat yang murni sebagai konsumenn seperti masyarakat perkotaan, sedangkan harga beras yang rendah akan merugikan masyarakat petani di pedesaan sebagai produsen beras (Timer, 2004).
Ketahanan pangan di tingkat rumah tangga juga dipengaruhi oleh ketahanan pangan di tingkat nasional dan regional, namun tanpa disertai dengan distribusi dan aksesibilitas rumah tangga terhadap pangan, maka tidak akan tercapai ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Oleh karena itu kompleknya permasalahan dan faktor yang mempengaruhi, maka sampai saat ini belum ada cara yang paling sempurna untuk menilai dan menerangkan semua aspek yang berkaitan dengan ketahanan pangan.
Ketahanan pangan sangat ditentukan oleh faktor ketersediaan pangan. Ketahanan pangan sangat ditentukan oleh faktor ketersediaan pangan, akses dan utilisasinya terutama pada kelompok rentan (Valientes, 2004). Ketersediaan pangan ditingkat rumah tangga merupakan faktor langsung yang mempengaruhi ketahanan pangan ditingkat rumah tangga. Ketersediaan pangan lebih mengacu pada simpanan bahan pangan (food storage) dan ketersediaan pangan pokok (staple food) di rumah kemarin (BKP, 2006).

7. Indikator Ketahanan Pangan
Maxwell dan Frankenberger (1992) menyatakan bahwa pencapaian ketahanan pangan dapat diukur dari berbagai indikator. Indikator tersebut dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu indikator proses dan indikator dampak. Indikator proses menggambarkan situasi pangan yang ditujukan oleh ketersediaan dan akses pangan, sedangkan indikator dampak meliputi indikator langsung maupun tak langsung.
Indikator ketersediaan pangan berkaitan dengan produksi pertanian, iklim, akses terhadap sumber daya alam, praktek pengelolaan lahan, pengembangan institusi, pasar, konflik regional, dan kerusuhan sosial. Indikator akses pangan meliputi antara lain sumber pendapatan, akses terhadap kredit modal. Indikator akses pangan juga meliputi strategi rumah tangga untuk memenuhi kekurangan pangan. Strategi tersebut dikenal sebagai koping ability indikator. Indikator dampak secara langsung adalah konsumsi dan frekuensi pangan. Indikator dampak tak langsung meliputi penyimpanan pangan dan status gizi (Ali Khomsan dkk, 2004).



Kerawanan Pangan


Istilah “Rawan pangan” (food insecurity) merupakan kondisi kebalikan dari ketahanan pangan (food security). Istilah ini sering diperhalus dengan istilah “terjadingan penurunan ketahanan pangan”, meskipun pada dasarnya pengertian sama. Ada dua jenis kondisi rawan pangan, yaitu yang bersifat kronis (chronical food insecurity) dan bersifat sementara (transitory food insecurity).
Rawan pangan kronis merupakan kondisi kurang pangan (untuk tingkat rumah tangga berarti kepemilikan pangan lebih sedikit dari pada kebutuhan dan untuk tingkat individu konsumsi pangan lebih rendah dari pada kebutuhan biologis) yang terjadi sepanjang waktu. Sedangkan pengertian rawan pangan akut atau transitory mencangkup rawan pangan musiman. Rawan pangan ini terjadi karena adanya kejutan yang sangat membatasi kepemilikan pangan oleh rumah tangga, terutama mereka yang berada di pedesaan. Bagi rumah tangga diperkotaan rawan pangan tersebut disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja dan pengangguran.

Pengertian Rawan Pangan

Rawan pangan didefinisikan sebagai suatu kondisi ketidakmampuan untuk memperoleh pangan yang cukup dan sesuai utnuk hidup sehat dan beraktivitas dengan baik utnuk sementara waktu dalam jangka panjang. Kondisi ini dapat saja sedang terjadi atau berpotensi untuk terjadi (Kompas, 2004). Rawan pangan juga didefinisikan kondisi didalamnya tidak hanya mengandung unsur yang berhubungan dengan state of poverty saja seperti masalah kelangkaan sumber daya alam, kekurangan, modal, miskin motivasi, dan sifat malas yang disebabkan ketidakmampuan mereka mencukupi konsumsi pangan. Namun juga mengandung unsur yang bersifat dinamin yang berkaitan dengan proses bagaimana pangan yang diperlukan didistribusikan dan dapat diperoleh setiap individu/rumah tangga melalui proses pertukaran guna mempengaruhi kebutuhan pangannya.

Ketersediaan pangan secara makro tidak menjamin tersedianya pangan di
tingkat mikro. Produksi yang hanya
terjadi di wilayah-wilayah tertentu pada waktu-waktu tertentu menyebabkan
terjadinya konsentrasi ketersediaan di daerah-daerah produksi dan pada
masa-masa panen. Pola konsumsi yang
relatif sama pada antar-individu, antar-waktu dan antar-daerah mengakibatkan
adanya masa-masa defisit dan lokasi-lokasi defisit pangan. Sehingga, mekanisme
mekanisme pasar dan distribusi pangan antar lokasi dan antar waktu dengan
mengandalkan stok akan berpengaruh pada kesetimbangan antara ketersediaan dan
konsumsi serta pada harga yang terjadi di pasar. Faktor harga sangat terkait dengan daya beli
rumah tangga terhadap pangan. Sehingga,
meskipun komoditas pangan tersedia di pasar namun jika harganya tinggi
sementara daya beli rumah tangga rendah akan menyebabkan rumah tangga tidak
bisa mengaksesnya. Kondisi ini memicu
timbulnya kerawanan pangan.

Penduduk rawan pangan adalah mereka yang tingkat konsumsi energinya
rata-rata 71-89 % dari kecukupan energi normal.
Sementara penduduk dikatakan sangat rawan pangan jika hanya mengkonsumsi
energi kurang dari 70% dari kecukupan energi normal.

Banyaknya penduduk rawan pangan masih terjadi di semua propnsi dengan
besaran yang berbeda. Berdasarkan data
SUSENAS yang tertuang dalam Nutrition Map
of Indonesia 2006, proporsi penduduk rawan pangan di semua propinsi masih
di atas 10% kecuali di propinsi Sumbar, Bali dan NTB. Jumlah anak balita dengan status gizi buruk
dan gizi kurang di daerah rawan pangan juga masih tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa ketahanan
pangan di tingkat nasional atau wilayah tidak selalu berarti bahwa tingkat
ketahanan pangan di rumah tangga dan individu juga terpenuhi. Masalah-masalah distribusi dan mekanisme
pasar yang berpengaruh pada harga, daya beli rumahtangga yang berkaitan dengan
kemiskinan dan pendapatan rumah tangga, dan tingkat pengetahuan tentang pangan
dan gizi sangat berpengaruh pada konsumsi dan kecukupan pangan dan gizi rumah
tangga.

Penyebab Rawan Pangan

Kerawanan terjadi mana kala rumah tangga, masyarakat atau daerah tertentu mengalami ketidak cukupan pangan untuk memenuhi standart kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan para individu anggota. Ada tiga hal penting yang mempengaruhi tingkat rawan pangan, yaitu :
a.         Kemampuan penyediaan pangan kepada individu/rumah;
b.         Kemampuan individu / rumah tangga untuk mendapatkan dan pangan;
c.         Proses distribusi dan pertukaran pangan yang tersedia dengan sumber daya yang dimiliki oleh individu/rumah tangga.

Ketiga hal tersebut, pada kondisi rawan pangan yang akut atau kronis dapat muncul secara stimultan dan bersifat relatif permanen. Sedang pada kasus rawan pangan yang musiman dan sementara, faktor yang berpengaruh kemungkinan hanya salah satu atau dua faktor saja yang sifatnya tidak permanen. Permasalahan rawan pangan yang muncul bukan persoalan produksi pangan semata. Kerawanan pangan merupakan masalah multidimensional, bukan hanya urusan produksi saja. Dari berbagai indikator itu, maka kerawanan pangan mencakup masalah pendidikan, tenaga kerja, kesehatan, kebutuhan dan prasarana fisik. Kerawanan pangan di Indonesia diakui masih mengakibatkan impor pangan semakin meningkat.

Kondisi Rawan Pangan di Tingkat Rumah Tangga

Kondisi rawan pangan ditingkat rumah tangga dapat dikategorikan tingkat empat, yaitu :
a.         Tidak rawan pangan (food secure);
b.         Rawan pangan tanpa terjadi kelaparan (food insecure without hunger);
c.         Rawan pangan dan terjadi kelaparan tingkat sedang (food insecure with hunger moderate);
d.         Rawan pangan dan terjadi kelaparan tingkat berat (food insecure with hunger severe)


Indikator Rawan Pangan

Tanda-tanda rawan pangan yang erat kaitannya dengan usaha individu/rumah tangga untuk mengatasi kerawanan pangan (Sapuan, 2001).
a. Tanda-tanda pada kelompok pertama, berhubungan dengan gejala kekurangan produksi dan cadangan pangan suatu tempat yaitu :
1.         Terjadinya eksplosi hama dan penyakit pada tanaman;
2.         Terjadi bencana alam berupa kekeringan, banjir, gempa bumi, gunung meletus, dan sebagainya;
3.         Terjadi kegagalan tanaman pangan makanan pokok; dan
4.         Terjadinya penurunan persediaan bahan pangan setempat.

b. Sedangkan tanda-tanda rawan pangan kedua yang terkait akibat rawan pangan, yaitu : kurang gizi dan gangguan kesehatan meliputi ;
1.         Bentuk tubuh individu kurus;
2.         Ada penderita kurang kalori protein (KKP) atau kurang makanan (KM);
3.         Terjadinya peningkatan jumlah orang sakit yang dicatat di Balai Kesehatan Puskesmas;
4.         Peningkatan kematian bayi dan balita; dan
5.         Peningkatan angka kelahiran dengan angka berat badan dibawah standar

c. Tanda-tanda yang ketiga yang erat hubungannya dengan masalah sosial ekonomi dalam usaha individu atau rumah tangga untuk mengatasi masalah rawan pangan yang meliputi;
1.         Bahan pangan yang kurang biasa dikonsumsi seperti gadung yang sudah mulai makan sebagian masyarakat;
2.         Peningkatan jumlah masyarakat yang menggadaikan aset;
3.         Peningkatan penjualan ternak, peralatan produksi (bajak dan sebagainya);
4.         Meningkatkan kriminalitas.

Indikator yang digunakan untuk menilai adanya masalah rawan pangan di daerah pedesaan dengan tipe masyarakat agraris seharusnya dibedakan dengan faktor yang digunakan untuk daerah perkotaan. Indikator yang digunakan dalam Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) oleh Departement Kesehatan terdiri dari 3 (tiga) variabel yaitu presentase penduduk miskin, presentase balita gizi buruk dan luas kerusakan tanaman pangan (Depkes RI, 1999). Indikator ini lebih tepat jika ditempatkan untuk daerah agraris. Untuk daerah perkotaan perlu indikator lain yang lebih peka.


Upaya Penanggulangan Rawan Pangan    


Akhir-akhir ini masalah busung lapar melanda anak-anak di bawah usia lima tahun (balita) di beberapa propinsi di Indonesia. Salah satu harian nasional (pada tanggal 28 Mei 2005) memperkirakan 8 persen balita Indonesia menderita masalah tersebut. Jika angka ini benar, artinya terdapat sekitar 1,7 juta balita yang menderita kasus busung lapar. Suatu jumlah yang besar, yang seyogianya tidak dipandang sebagai masalah jangka pendek semata. Satu generasi ke depan, masalah tersebut dapat berubah bentuk menjadi masalah lainnya, yaitu angkatan kerja yang brainless atau tidak pintar, yang berjumlah sekitar satu juta orang (bila 60 persen di antara penderita busung lapar tersebut survive hingga menjadi angkatan kerja). Tentunya hal ini dapat memberikan dampak negatif terhadap perekonomian lokal, di tempat-tempat terjadinya masalah busung lapar dan gizi buruk tersebut. Singkat kata, masalah tersebut adalah masalah kritikal yang harus ditangani secara serius.

Sesungguhnya busung lapar, sebagai salah satu perwujudan ‘rawan pangan’, bukanlah masalah baru. Masalah ini sering berulang, terutama pada saat-saat gagal panen yang sering disebabkan oleh kekeringan, di daerah-daerah yang tergolong miskin. Pertanyaannya ialah mengapa masalah itu terjadi sampai berulang-ulang? Tidak dapatkah kita mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian yang lalu? Jika dapat, sudah benarkah pemahaman kita terhadap pelajaran tersebut? Atau sederhananya, sudah cukup seriuskah kita menangani masalah tersebut?
Artikel ini tidak bermaksud menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, melainkan menekankan pada beberapa aspek yang penulis pandang penting diperhatikan (lagi). Pertama, masalah rawan pangan—apalagi gizi buruk dan busung lapar—hendaknya tidak dilihat sebagai persoalan kekurang-tersediaan pangan semata. Secara makro pada tataran nasional, ketersediaan pangan enerji mencapai 3098 kkal/kapita/hari dan ketersediaan pangan protein 74,5 gram/kapita/hari untuk kondisi tahun 2003. Angka-angka ini melampaui tingkat rekomendasi yang masing-masing sebesar 2550 kkal/kapita/hari dan 55 gram/kapita/hari. Jika dipersempit kepada beras, sejak tahun 2000 produksi beras Indonesia telah melebihi konsumsi beras nasional. Pada tahun 2000an, di tingkat nasional, produksi beras berkisar antara 32 hingga 33 juta ton, sedangkan konsumsinya 30 hingga 31 juta ton. Dengan demikian, bila pada tataran mikro ada rakyat yang busung lapar atau kekurangan pangan, tentu lebih disebabkan oleh masalah distribusi bahan pangan tersebut serta dayabeli rakyat tersebut yang rendah.
Tentunya ini tidak berarti bahwa upaya peningkatan produksi beras menjadi tidak penting. Peningkatan produksi beras, yang akhir-akhir ini cenderung stagnant, tetap penting. Dengan laju pertumbuhan penduduk sekitar 1,4 persen pertahun, dan masih tingginya tingkat konsumsi beras perkapita serta belum terdiversifikasi secara memadainya konsumsi pangan, produksi gabah dan beras masih perlu ditingkatkan. Mencermati Gambar 1, areal panen akhir-akhir ini sebenarnya cenderung meningkat, namun yield atau produktivitas gabah per hektar cenderung menurun. Produksi beras diperkirakan akan meningkat jika yield tersebut dapat ditingkatkan, katakanlah mencapai 4,8-5,0 ton gabah/hektar. Ini dapat dicapai bila faktor-faktor produksi komersial, terutama pupuk, digunakan pada tingkatan yang optimal, yang pada gilirannya tentunya membutuhkan air irigasi. Pengembangan irigasi skala kecil, semisal irigasi pompa, diperkirakan akan cukup membantu. Irigasi semacam ini hanya membutuhkan teknologi sederhana, sehingga pembuatan dan pemeliharaannya dapat dilakukan oleh industri kecil-menengah di kawasan perdesaan. Ini dapat menambah kegiatan off farm rakyat pedesaan.


Akses Masyarakat terhadap Bahan Pangan

Akses masyarakat terhadap bahan pangan setidaknya sama pentingnya dengan ketersediaan bahan pangan itu sendiri. Katakanlah produksi beras dapat ditingkatkan secara signifikan, tidak ada jaminan bahwa seluruh lapisan masyarakat mampu mengakses bahan pangan tersebut secara memadai. Salah satu komponen penting dari akses ini adalah jaringan distribusi bahan pangan. Kelancaran distribusi pangan bergantung pada kecukupan prasarana dan sarana transportasi yang diperlukan, pergudangan, serta pasar dalam arti market place. Dari komponen ini kiranya tidak sulit untuk memprakirakan bahwa daerah atau kawasan dengan prasarana dan sarana minim cenderung memiliki peluang (probability) terkena busung lapar atau setidaknya rawan pangan yang lebih besar dibandingkan kawasan dengan prasarana dan sarana yang memadai. Perhatian secara khusus hendaknya diberikan kepada kawasan seperti itu.
Terlepas dari bentuk kelembagaannya yang telah menjadi Perum, Bulog pada dasarnya masih potensial digunakan untuk memperlancar distribusi bahan pangan terutama beras. Prasarana yang dimiliki lembaga ini, misalnya gudang, dan pengalaman operasinya selama ini tentu merupakan aset penting untuk membantu kelancaran distribusi bahan pangan ke berbagai kawasan. Dengan pengawasan yang lebih efektif, antara lain yaitu yang dilakukan sendiri oleh masyarakat, diharapkan program seperti raskin (beras untuk orang miskin) dapat dilaksanakan secara lebih efisien (bebas ‘kebocoran’), tepat jumlah, tepat sasaran (tidak hanya untuk urban poor namun juga untuk orang miskin di kawasan pedesaan), dan tepat waktu. Perlu digarisbawahi bahwa ketiga hal terakhir sangat membutuhkan koordinasi lintas instansi.
Walaupun jaringan distribusi cukup memadai, bahan pangan yang tersedia tidak akan dapat diakses jika rakyat tidak memiliki dayabeli. Bagi masyarakat yang tergolong poorest of the poor, Rp 1000 per kilogram raskin pun seringkali tidak terjangkau. Padahal bagi kelompok masyarakat ini, beras merupakan komponen utama dalam konsumsinya. Terlihat pada Gambar 2 bahwa bagi kelompok rumahtangga dengan pendapatan 20 persen terendah (quintile pertama, Q1), rata-rata pengeluaran atau konsumsinya terhadap beras mencapai pangsa 22 persen dari total pengeluaran rumahtangganya. Pangsa tersebut bagi kelompok yang sama di kawasan pedesaan bahkan mencapai 27 persen. Sementara itu, bagi kelompok rumahtangga berpendapatan 20 persen tertinggi (Q5), secara rata-rata pengeluarannya untuk beras hanyalah 6 persen dari total pengeluaran. Dengan kata lain, ‘peranan’ beras dalam konsumsi kelompok masyarakat termiskin secara rata-rata sekitar empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok terkaya.
Berkurangnya konsumsi beras kelompok rumah tangga termiskin akan berpengaruh signifikan pada tingkat kesejahteraan mereka, yang biasanya diukur dengan besaran pengeluaran rumahtangga. Agar ini tidak terjadi, pendapatan riil (yaitu pendapatan nominal dibagi dengan tingkat harga umum) dari kelompok rumahtangga ini haruslah ditingkatkan. Yang terjadi akhir-akhir ini ialah laju inflasi cenderung makin tinggi, sehingga jika kelompok rumahtangga tersebut memiliki pendapatan nominal yang tetap—kalau tidak menurun, berarti pendapatan riil mereka mengalami penurunan. Akibatnya, konsumsi mereka terhadap beras (dan kemungkinan juga terhadap berbagai komoditas lain) mengalami penurunan. Perlu diteliti secara cermat, seberapa besarkah kontribusi dayabeli masyarakat, akses terhadap pangan ditilik dari sudut pandang jaringan distribusinya, ketersediaan bahan pangan dan faktor-faktor lainnya (seperti tingkat pengetahuan ibu rumahtangga tentang gizi dan kesehatan) terhadap terjadinya busung lapar dan gizi buruk.

Diversifikasi konsumsi perlu didorong lebih lanjut. Tingginya ketergantungan rumahtangga dalam hal konsumsi terhadap beras secara perlahan-lahan perlu dikurangi mengingat kecenderungan stagnasi produksi beras dan penurunan yield usahatani padi. Data Susenas BPS tahun 2002 menunjukkan bahwa rata-rata pangsa pengeluaran rumahtangga terhadap pangan serealia selain beras hanya sekitar 0,5 persen dari total pengeluaran rumah tangga. Di kawasan pedesaan, pangsa ini sebesar 0,8 persen, sedangkan di kawasan perkotaan hanya 0,3 persen. Upaya untuk meningkatkan diversifikasi konsumsi tentunya membutuhkan ‘pendidikan masal’, yang antara lain dapat ditempuh dengan pendidikan dari sejak sekolah dasar hingga kampanye terhadap konsumsi pangan pokok alternatif.


Peta Kerawanan Pangan Kecamatan


Badan Ketahana Pangan Propinsi Jawa Timur telah melakukan pemetaan kerawanan pangan tingkat kecamatan di seluruh Kabupaten di Jawa Timur pada tahun 2006. Pemetaan kerawanan pangan tersebut menggunakan indikator FIA (Food Security Atlas). Menurut FIA, Indikator Ketahanan Pangan terdiri dari:
1.            Ketersediaan Pangan
2.            Akses Pangan
3.            Kesehatan dan Gizi
4.            Kerawanan Pangan

1. KETERSEDIAAN PANGAN
Ketersediaan pangan diperoleh dari produksi pangan serealia di suatu wilayah serta kondisi netto ekspor dan impor yang diperoleh melalui berbagai jalur. Ketersediaan Pangan menggunakan proporsi konsumsi normatif terhadap ketersediaan netto padi dan jagung yang layak dikonsumsi manusia.

2. AKSES TERHADAP PANGAN DAN PENDAPATAN
Indikator-indikator yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah:
a.         Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan (data estimasi dari BPS)
b.         Persentase kepala rumah tangga yang bekerja kurang dari 15 jam per minggu
c.         Persentase kepala rumah tangga yang tidak tamat pendidikan dasar
d.         Persentase rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas listrik
e.         Panjang jalan per kilometer persegi

3. PEMANFAATAN/PENYERAPAN PANGAN
Pemanfaatan/penyerapan pangan meliputi infrastruktur kesehatan dan akibat yang ditimbulkan (outcome) dilihat dari aspek nutrisi dan kesehatan. Selain ke dua indikator ini, data Perempuan Buta Huruf dimasukkan di sini, yang secara global diakui sebagai indikator yang menjelaskan proporsi yang signifikan dari tingkat malnutrisi pada anak

1.            % Rumah tangga yang tinggal lebih dari 5 km dari fasilitas kesehatan
2.            Populasi per dokter yang disesuaikan dengan kepadatan penduduk
3.            % Anak yang tidak diimunisasi secara lengkap (4 jenis imunisasi
4.            % Rumah tangga tanpa akses ke air bersih
5.            Angka harapan hidup waktu lahir
6.            % Anak dengan berat badan di bawah standar
7.            Tingkat kematian Bayi (IMR)
8.            % Perempuan buta huruf

4. KERENTANAN PANGAN
Dimensi ini mencerminkan kondisi rawan pangan sementara (transient) dan resiko yang disebabkan oleh faktor lingkungan, yang mengancam kelangsungan kondisi tahan pangan baik pada jangka pendek maupun jangka panjang.
Indikator yang digunakan adalah fluktuasi curah hujan, persentase penutupan hutan terhadap luas total wilayah, persentase lahan yang rusak terhadap luas total wilayah, dan persentase luas panen tanaman padi yang rusak akibat kekeringan, banjir, longsor dan hama (daerah puso).
1.            Persentase daerah hutan (PDH)
2.            Persentase daerah puso (PDP)
3.            Daerah rawan longsor & banjir (DLB)
4.            Penyimpangan curah hujan (DCH)


KERENTANAN TERHADAP KERAWANAN PANGAN SEMENTARA

Kerentanan terhadap bencana alam dan gangguan mendadak lainnya dapat mempengaruhi ketahanan pangan suatu wilayah baik sementara ataupun dalam jangka waktu panjang. Ketidak-mampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan secara sementara dikenal sebagai kerawanan pangan sementara (transient food insecurity).
Bencana alam atau teknologi yang terjadi tiba-tiba, bencana yang terjadi secara bertahap, perubahan harga atau goncangan terhadap pasar, epidemic penyakit, konflik sosial dapat menyebabkan terjadinya kerawanan pangan sementara. Kerawanan pangan sementara dapat berpengaruh terhadap sebagian atau semua dimensi ketahanan pangan seperti ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan penyerapan pangan.
Kerawanan pangan sementara dapat juga dibagi menjadi dua sub-kategori: menurut siklus, di mana terdapat suatu pola yang berulang terhadap kondisi rawan pangan, misalnya, "musim paceklik" yang terjadi dalam periode sebelum panen, dan sementara, yang merupakan hasil dari suatu gangguan mendadak dari luar pada jangka pendek seperti kekeringan atau banjir.
Konflik sipil juga termasuk dalam kategori goncangan sementara walaupun dampak negatifnya terhadap ketahanan pangan yang disebabkan oleh konflik dapat berlanjut untuk jangka waktu yang lama. Dengan kata lain, kerawanan pangan sementara dapat mempengaruhi orang-orang yang berada pada kondisi rawan pangan kronis dan juga orang-orang yang terjamin pangannya pada keadaan normal.
Faktor lingkungan dan kemampuan masyarakat untuk mengatasi goncangan sangat menentukan apakah suatu negara atau wilayah dapat mempertahankan ketahanan pangan secara berkelanjutan. Tinjauan ketahanan pangan dan gizi dari sudut pandang lingkungan hidup meliputi perhatian terhadap pengelolaan tanah, konservasi dan pengelolaan air, konservasi anekaragam hayati, peningkatan teknologi pra-panen, pelestarian lingkungan hidup dan pengelolaan hutan.
Deforestasi hutan melalui eksploitasi sumber daya alam, fluktuasi curah hujan, persentase daerah "puso"dan persentase daerah yang terkena banjir dan tanah longsor, merupakan beberapa indikator yang digunakan dalam bab ini untuk menjelaskan kerawanan pangan sementara di Indonesia.



KREDIT KETAHANAN PANGAN: Alternatif Mengatasi Rawan Pangan

Pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia untuk mempertahankan hidup dan kehidupan. Pembangunan ketahanan pangan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan, bertujuan untuk mewujudkan ketersediaan pangan bagi seluruh rumah tangga, dalam jumlah yang cukup, mutu, dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata serta terjangkau oleh setiap individu.
Istilah “ketahanan pangan(food security) oleh Irawan (2001), didefinisikan sebagai akses dari semua penduduk di suatu negara/wilayah untuk memenuhi konsumsi kebutuhan dasar makanan yang cukup, yang dibutuhkan untuk bisa hidup secara layak (aktif dan sehat). Dalam hal ini, elemen terpenting dari ketahanan pangan yaitu ketersediaan pangan dan kemampuan untuk memperoleh kebutuhan makanan yang paling esensi.
Sebaliknya “kerawanan pangan(food insecurity) diartikan sebagai kurangnya akses untuk kebutuhan makanan yang memadai. Secara konseptual, terdapat dua jenis kerawanan pangan, yaitu kronis dan sementara (chronic and transitory food insecurity) (Irawan, 2001). Kerawanan pangan kronik (Chronic Food Insecurity) merupakan situasi ketika sekelompok penduduk mengalami ketidakmampuan atas kebutuhan dasar gizi (minimum dietary needs) secara terus menerus yang umumnya disebabkan oleh ketidakmampuan untuk memperoleh kebutuhan pokok makanan. Insiden kerawanan pangan kronis ini mempengaruhi rumah tangga-rumah tangga yang secara “konsisten” mempengaruhi kemampuan yang sangat terbatas baik untuk membeli kebutuhan pangan yang cukup maupun untuk memproduksinya sendiri. Sementara itu, kerawanan pangan sementara (Transitory Food Insecurity) merupakan penurunan atau gangguan yang mendadak – namun bersifat sementara – pada akses penduduk/rumah tangga-rumah tangga terhadap kebutuhan pangan yang cukup. Situasi seperti ini biasanya berkaitan dengan komoditi makanan pokok, produksi pangan dan rata-rata tingkat pendapatan rumah tangga. Dalam kondisi yang terburuk kerawanan pangan bisa menjurus ke bencana kelaparan.
Pada umumnya peristiwa kerawanan pangan ini dialami oleh para penduduk yang bertempat tinggal pada daerah-daerah kering atau daerah yang miskin sumberdaya alam, daerah dengan iklim yang cenderung memberikan batasan bagi perkembangan sektor pertaniannya.
Daerah dengan iklim seperti ini dapat ditemukan di Kabupaten Kupang, Propinsi Nusa Tenggara Timur, sehingga pola ketahanan pangan masyarakat di Kabupaten Kupang disesuaikan dengan kondisi alam yang ada baik itu iklim, topografi maupun kondisi tanahnya.
Secara umum Kabupaten Kupang tergolong dalam iklim semi-arid (lahan kering) yang menyebabkan vegetasi yang tumbuh di Kabupaten Kupang relatif terbatas sehingga memunculkan ekosistem yang unik serupa dengan ekosistem di lingkungan semi-arid atau ekosistem lahan kering.
Kondisi ekosistem ini pula menyebabkan Kabupaten Kupang memiliki pola ketahanan pangan yang unik, sebagai bentuk adaptasi penduduknya terhadap lingkungan fisik yang cenderung memberikan pembatas bagi usaha-usaha pertaniannya.
Menurut Adiyoga dan Erni (2003), dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan pangan, masyarakat di Kabupaten Kupang memiliki tiga penyangga ketersediaan pangan, yaitu :
1. Usaha tani ladang (jagung, ketela pohon, dan kacang-kacangan). Produksi usaha tani ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (pada dasarnya pola hidup masyarakatnya berorientasi pada kebutuhan hidup sehari-hari dan tidak berorientasi pada pasar).
2. Bila penyangga pertama runtuh (seperti karena ada paceklik) maka mereka masih memiliki penyangga kedua yaitu ternak besar (terutama sapi, kerbau, dan kuda). Mereka masih mampu menjual ternaknya untuk memperoleh kebutuhan pangan.
3. Bila penyanggah kedua ini tidak berhasil maka masyarakat masih memiliki peyanggah ketiga, yaitu tanaman pangan yang tersedia di hutan (non budidaya–liar) seperti: ubi hutan – berbentuk bulat sebesar kelereng dan berwarna hitam, talas liar, dan lain-lain.

Terlepas dari pola ketahanan pangan tradisional masyarakat, salah satu kecamatan di Kabupaten Kupang yang ditetapkan sebagai sentra produksi padi bagi masyarakatnya, selain Kecamatan Kupang Tengah, yaitu Kecamatan Kupang Timur. Selain padi sawah, Kecamatan Kupang Timur juga memproduksi padi ladang, komoditas yang tidak terdapat di Kecamatan Kupang Tengah. Namun kedua kecamatan ini juga memproduksi ubi kayu sebagai komoditas unggulan lainnya.

Di sisi lain, menurut data ketahanan pangan Dinas Pertanian 2005, perkembangan dari sektor pertanian untuk komoditas padi di Kecamatan Kupang Timur mengalami penurunan produktivitas, khususnya dari musim tanam 2003/2004 ke 2004/2005 sebesar 54,67 % sehingga daerah ini termasuk dalam kategori resiko tinggi dalam urusan pangan1. Kondisi tersebut sangat dilematis, di satu sisi kecamatan ini sebagai sentra produksi padi, sementara itu di sisi lain termasuk daerah yang beresiko tinggi dalam urusan pangan.
Resiko tinggi yang dimaksud adalah apabila total skor yang diperoleh dari skor luas tanam, luas puso, luas panen, dan produktivitas berkisar antara 13-16, sedangkan untuk resiko sedang dan resiko rendah masing- masing berkisar antara 9-12 dan kurang dari 9 (< 9).

Dalam upaya mengembangkan usaha tani masyarakat, modal menjadi salah satu elemen penting untuk diperhatikan. Modal yang dapat dijadikan pembiayaan usaha tani ini dapat diperoleh dari berbagai program kredit pertanian. Selama ini, program kredit usaha tani, khususnya padi dan palawija, telah mengalami beberapa kali perubahan kebijakan. Setelah terjadinya tunggakan yang tinggi pada kredit Bimas/Inmas akibat puso pada tahun 1970-an dan awal 1980-an, pada tahun 1985 pemerintah mengeluarkan program Kredit Usaha Tani (KUT) yang menggunakan pendekatan kelompok. Seperti halnya kredit Bimas/Inmas, KUT pun mengalami kemacetan dengan total tunggakan sekitar 23 % dari realisasi kredit Rp 1,184 triliun yang disalurkan hingga musim tanam 1997/1998. Meskipun demikian, sejak tahun 1998 pemerintah mengubah KUT dengan sistem baru dan plafon ditingkatkan secara drastis, yaitu lebih dari 13 kali lipat menjadi Rp 8,4 triliun. Bank tidak lagi menjadi executing agent tetapi hanya sebagai channeling agent. Fungsi executing agent digantikan oleh Departemen Koperasi dan PKM (Pengusaha Kecil dan Menengah) yang melibatkan koperasi dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dalam pelaksanaannya.




PENANGANAN DAERAH RAWAN PANGAN

Rawan pangan adalah kondisi suatu wilayah/daerah, masyarakat atau rumah tangga yang tidak menpunyai akses secara fisik (ketersediaan) dan ekonomi (daya beli) untuk memperoleh pangan yang cukup dalam jumlah, mutu, beragam dan aman untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan.

Mengacu kepada konsep ketahanan pangan dalam UU No. 7 tahun 1996 tentang pangan yaitu :
a.   Tidak adanya kasus secara fisik maupun ekonomi bagi individu/rumah tangga untuk memperoleh pangan yang cukup.
b.   Tidak terpenuhinya pangan secara cukup dalam jumlah, mutu, beragam, aman dan terjangkau.
c.   Tidak tercukupnya pangan untuk kehidupan yang produktif individu/rumah tangga.

Rawan pangan terdiri dari :

Rawan pangan Kronis
Suatu keadaan rawan pangan berkelanjutan yang terjadi sepanjang waktu, disebabkan karena keterbatasan Sumber Daya Alam (SDA) dan keterbatasan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam mengakses pangan dan gizi. 

Rawan Pangan Transien
Suatu keadaan rawan pangan yang bersifat mendadak dan sementara yang disebabkan oleh kejadian berbagai musibah yang tidak dapat diduga sebelumnya, seperti: bencana alam (gempa bumi, gunung meletus, banjir bandang, tsunami) dan konflik sosial.



Urgensi Penanganan rawan Pangan
 
Jika kita amati beberapa pemberitaan di media massa, masih didapati beberapa  keluarga yang mengalami kerawanan pangan dan gizi buruk. Karena itu perlu  dilakukan intervensi, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, untuk  menanganinya. 
Urgensi penanganan kerawanan pangan dan gizi buruk merupakan hal yang sangat  serius untuk dilakukan, karena berdasarkan peta kerawanan pangan yang  diterbitkan Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian bersama World Food  Program masih terdapat 100 kabupaten di Tanah Air yang rawan pangan dan  memerlukan penanganan secara komprehensif. 
Kondisi kerawanan pangan bisa dibedakan menjadi kerawanan pangan kronis dan  transien. Kerawanan pangan dapat dikatakan kronis, jika terjadi berkelanjutan  sepanjang waktu, karena keterbatasan kemampuan SDM, sumber daya alam dan sumber  daya kelembagaan, sehingga menyebabkan kondisi masyarakat menjadi miskin.  Untuk mengetahui apakah suatu masyarakat dalam kondisi rawan pangan kronis  dapat dilihat dari 10 indikator yang tercakup dalam tiga aspek. 
Pertama, aspek  ketersediaan pangan dengan indikator konsumsi normatif per kapita terhadap  rasio ketersediaan bersih padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar. 
Ke dua, aspek akses pangan dan matapencaharian, dengan indikator; persentase  penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan; persentase desa tidak memiliki  akses penghubung yang memadai, dan persentase penduduk tanpa akses listrik. 
Ke tiga aspek kesehatan dan gizi dengan indikator angka harapan hidup saat  lahir, berat badan balita dibawah standar; perempuan buta huruf; angka kematian  bayi; penduduk tanpa akses ke air bersih dan dan persentase penduduk yang  tinggal lebih dari 5 km dari puskesmas. 
 
Sedangkan kerawanan pangan transien adalah keadaan kerawanan pangan disebabkan  kondisi tidak terduga karena datangnya berbagai musibah, bencana alam,  kerusuhan, musim yang menyimpang dan keadaan lain yang bersifat mendadak.  Untuk mengetahui apakah suatu daerah mengalami kerawanan pangan transien dapat  dilihat dari empat indikator, yaitu (1) persentase daerah tak berhutan, (2)  daerah puso, (3) daerah rawan longsor dan banjir serta (4)  fluktuasi/penyimpangan curah hujan. 
 
Terjadinya kerawanan pangan, baik kronis maupun transien, harus secepatnya  mendapat perhatian dan bantuan pemerintah. Jika tidak segera ditangani dengan  baik, dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap masyarakat yang  mengalaminya. Misalnya, terjadi penurunan tingkat kesehatan, kelaparan, gizi  buruk sampai kematian. 
 
Melihat masih adanya kerawanan pangan di Tanah Air, untuk mencegah dan  menanggulanginya perlu strategi yang tepat dan komprehensif. Beberapa hal yang  dapat dilakukan antara lain adalah, pertama, pemerintah daerah harus mempunyai  komitmen yang tinggi dalam membangun ketahanan pangan. 
 
Jika sebagian masyarakat dalam satu wilayah terjadi kerawanan pangan dan gizi  buruk, bisa dikatakan daerah tersebut belum berhasil membangun ketahanan  pangannya. Karena itu, agar pembangunan ketahanan pangan di daerah bisa  terlaksana dengan baik, komitmen yang tinggi saja belum cukup, tetapi harus  diikuti dan didukung dengan kelembagaan yang mantap dan bisa bersinergi dengan  pemangku kepentingan di bidang pangan lainnya, serta tersedianya dana untuk  mengoperasionalkan kegiatan yang sudah dirancang. 
 
Ke dua, revitalisasi kelembagaan sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG) dan  kelembagaan masyarakat lainnya. Hal tersebut sangat penting dilakukan, karena  SKPG merupakan suatu sistem pendeteksian secara dini dalam pengelolaan  informasi tentang situasi pangan dan gizi yang berjalan terus menerus. Hal ini  harus menjadi tugas utama pemerintah daerah. 
Informasi yang dihasilkan sangat penting sebagai dasar dalam perencanaan,  penentuan kebijakan, koordinasi pelaksanaan program dan kegiatan  penang-gulangan kerawanan pangan dan gizi. 
Kelembagaan lain yang tidak kalah pentingnya untuk direvitalisasi adalah pusat  kesehatan masyarakat, kegiatan posyandu dan sebagainya yang peranannya dalam  memberikan pelayanan kesehatan sangat dekat dengan masyarakat, terutama bagi  wanita hamil, ibu-ibu menyusui dan balita. Kegiatan pemberian makanan tambahan  anak sekolah (PMTAS) pun perlu terus dilakukan, terutama terhadap anak-anak  sekolah dasar dan pra sekolah. 
Ke tiga, pemberdayaan masyarakat. Kelembagaan nonformal yang tumbuh dan  berkembang dengan baik sampai di pedesaan seperti kelompok wanita (pemberdayaan  kesejahteraan keluarga, kelompok wanita tani dan lainnya) sangat penting  dilibatkan dalam memperbaiki tingkat kesehatan dan gizi masyarakat/keluarga.  Karena itu, kegiatan-kegiatan seperti pemanfaatan lahan pekarangan dengan  pertanian terpadu, tanaman obat, sayur-sayuran dan buah-buahan perlu terus  dikembangkan. Dengan begitu dapat meningkatkan pendapatan dan ekonomi rumah  tangga. 
 
Hal yang tidak kalah penting dalam pemberdayaan masyarakat ini adalah  pentingnya tokoh-tokoh masyarakat dan pemuka agama untuk dilibatkan dalam  pemantapan ketahanan pangan rumah tangga. Melalui ceramah yang ditujukan  terutama kepada bapak-bapak diharapkan pemahaman tentang pangan dan gizi  masyarakat akan meningkat, sehingga anak-anak yang masih dalam proses  pertumbuhan dan ibu-ibu hamil atau menyusui mendapat prioritas dalam  mengonsumsi makanan yang lebih beragam dan bergizi seimbang. 
 
Ke empat, pembangunan lumbung pangan desa. Untuk menjaga agar ketersediaan  pangan di suatu wilayah dapat selalu terjamin kecukupan pangannya, pemerintah  daerah harus berperan aktif menginisiasi dan memfasilitasi pembangunan lumbung  pangan desa, beserta kelembagaan dan manajemennya. 
Keberadaan lumbung-lumbung desa ini sangat penting dan strategis nilainya, terutama di saat membantu para petani dan keluarganya menghadapi masa-masa  paceklik, di mana harga bahan pangan cenderung selalu meningkat. 
Melalui berbagai upaya di atas, diharapkan pembangunan ketahanan pangan di  setiap wilayah akan semakin mantap. Dengan demikian berbagai masalah pangan,  seperti kerawanan pangan dan gizi buruk, dapat di atasi dengan baik.


Tidak ada komentar: