Shared publicly - Nov
6, 2013
JUDUL : Induksi Kalus
Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) Klon Sulawesi 1 (S1) Pada Medium MS Dengan
Kombinasi Hormon 2,4-D, Bap Dan Air Kelapa
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu jenis tanaman perkebunan yang terus mendapat perhatian untuk dikembangkan. Upaya pengembangan tanaman kakao disamping masih diarahkan pada peningkatan populasi (luas lahan) juga telah banyak diarahkan pada peningkatan jumlah produksi dan mutu hasil. Adapun aspek yang paling diperhatikan dalam usaha peningkatan jumlah produksi dan mutu hasil adalah penggunaan jenis-jenis kakao unggul dalam pembudidayaan tanaman kakao. Saat ini terdapat sejumlah jenis kakao unggul yang sering digunakan dalam budidaya kakao, antara lain jenis (klon) Sulawesi 1 (S1) dan Sulawesi 2 (S2) (Mertade, 2011).
Bibit kakao yang dapat menghasilkan tanaman yang sama baiknya dengan induk unggulnya sangat diperlukan. Salah satu alternatif adalah dengan memanfaatkan bibit asal organ vegetatif yang dihasilkan melalui teknik kultur jaringan dengan proses embriogenesis somatik. Teknik Kultur jaringan merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengisolasi bagian tanaman seperti sel, jaringan dan organ dalam medium aseptik sehingga bagian tanaman tersebut dapat beregenerasi membentuk tanaman lengkap kembali (Gunawan, 1992).
Adapun faktor penyebab rendahnya produktivitas kakao di Sulawesi Tengah antara lain adalah adanya serangan hama dan penyakit, penerapan teknologi budidaya yang belum optimal, kondisi tanaman yang sebagian telah tua dan penggunaan jenis (klon) tanaman yang memiliki potensi produksi rendah (Basri, 2010). Perbanyakan klon kakao Sulawesi secara konvensional saat ini belum dapat memenuhi ketersediaan bibit, baik kualitas maupun kuantitas. Melalui teknik kultur jaringan diharapkan kendala tersebut dapat diatasi sehingga diperoleh bahan tanaman dalam jumlah besar dengan kualitas baik dan dalam waktu yang relatif singkat.
Kultur jaringan merupakan suatu teknik mengembangbiakkan bagian tanaman (eksplan) di dalam media buatan yang steril. Kultur jaringan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu organogenesis dan embriogenesis. Induksi kalus merupakan tahapan awal pada embriogenesis secara tidak langsung. Kalus adalah kumpulan sel amorphous yang terjadi dari sel-sel jaringan yang membelah diri secara terus menerus. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kalus yang embrionik dari eksplan staminodia bunga kakao klon Sulawesi 1.
Zat pengatur tumbuh berperan penting dalam menentukan arah pertumbuhan suatu kultur. Setiap genotip mempunyai respon yang berbeda dalam penyerapan zat pengatur tumbuh dalam media dan mempunyai kandungan zat pengatur tumbuh endogen yang berbeda (Gunawan, 1992).
Zat pengatur tumbuh yang umum dan efektif digunakan untuk induksi kalus adalah 2,4-D (2,4-Dichlorophenoxyacetic acid). Penggunaan 2,4-D pada media kultur jaringan telah banyak dilaporkan. Hasil penelitian Avivi, dkk. (2010) dan Winarsih, dkk. (2002) menunjukkan penambahan 2,4-D pada media MS dapat menstimulasi pembentukan kalus dari eksplan staminodia bunga kakao klon Sca 6.
Di Indonesia, telah lama dikembangkan teknik kultur jaringan tanaman kakao dengan menggunakan beberapa organ dari kakao itu sendiri yang dijadikan sebagai eksplan seperti embrio dan stamen. Namun, bentuk kalus yang dihasilkan masih belum memuaskan. Informasi tentang studi terhadap induksi kalus masih belum cukup (Chaidamsri dkk, 1990).
Berdasarkan hal di atas maka dipandang perlu untuk melakukan penelitian mengenai induksi kalus khususnya kakao klon Sulawesi 1 (S1) menggunakan eksplan staminodia pada bunga kakao dengan kombinasi konsentrasi 2,4-D dan BAP pada medium MS dengan penambahan air kelapa 15%.
I.2. Rumusan Masalah
Berapakah konsentrasi hormon 2,4-D (asam dikloropenoksi asetat) dan BAP (benzylaminopurine) yang efektif dalam menginduksi kalus bunga tanaman kakao pada medium MS dengan penembahan air kelapa 15%.
I.3. Tujuan Penelitian
Mengetahui konsentrasi hormon 2,4-D (asam dikloropenoksi asetat) dan BAP (benzylaminopurine) yang efektif dalam menginduksi kalus bunga tanaman kakao pada medium MS dengan penembahan air kelapa 15%.
I.4. Manfaat Penelitian
Digunakan sebagai dasar ilmiah dalam perkembangbiakan secara in vitro tanaman kakao khususnya dalam tahap induksi dan perkembangan kalus.
I.5. Batasan Masalah
Penelitian mengenai teknik kultur jaringan tanaman kakao khususnya klon Sulawesi (S1) ini dibatasi pada tahap induksi kalus dari bunga kakao bagian staminodia menggunakan beberapa formulasi hormon 2,4-D dan BAP pada medium MS dengan penembahan air kelapa 15%.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kultur Jaringan Tanaman
Kultur jaringan pertama kali dilaksanakan oleh Haberlandt (1907-1909) yang didasari oleh teori Schwan dan Schleiden (1839) tetang sifat totipotensi sel tanaman. Dalam kultur jaringan, media tumbuh dan faktor lingkungan yang sesuai sangat diperlukan untuk menghasilkan kalus dan plantlet. Menurut Gunawan (1988), kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ, serta menumbuhkan dalam kondisi aseptik sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali. Awal dari kultur jaringan ini dilakukan untuk membuktikan teori totipotensi sel. Kemudian teknik kultur jaringan berkembang menjadi sarana penelitian di bidang fisiologi tanaman dan aspek-aspek biokimia tanaman. Dewasa ini, setelah mengalami perkembangan dan penyempurnaan, teknik kultur jaringan telah dipergunakan dalam industri tanaman.
Perbanyakan mikro merupakan contoh aspek yang menarik dari penerapan kultur jaringan, terutama untuk beberapa jenis tanaman yang biasa diperbanyak secara vegetatif. Tujuan pokok penerapan perbanyakan mikro, adalah produksi tanaman dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat.Terutama untuk varietas-varietas yang unggul yang baru dihasilkan. Selain untuk perbanyakan mikro, teknik kultur jaringan dapat diterapkan dalam pemuliaan tanaman untuk mempercepat tujuan dan membantu jika cara-cara konvensional menemui rintangan alamiah Pemuliaan tanaman melalui kultur jaringan bermanfaat dalam merangsang keragaman genetik dan mempertahankan kestabilan genetic (Gunawan, 1988).
Hendaryono dan Wijayani (1994), Kegunaan utama kultur jaringan adalah untuk mendapatkan tanaman baru dalam jumlah banyak dalam waktu yang relatif singkat, yang mempunyai sifat fisiologi dan morfologi sama dengan tanaman induknya. Mattjik (2005) menyatakan, dalam perbanyakan secara in vitro, yang terjadi adalah mutasi somatik. Sel yang bermutasi saat membelah akan membentuk sekumpulan sel yang berbeda dengan sel asalnya. Tanaman yang berasal dari sel-sel yang bermutasi akan membentuk tanaman yang mungkin merupakan klon baru yang berbeda dengan induknya.
Teknik perbanyakan secara kultur jaringan dapat dilakukan secara organogenesis dan embriogenesis. Organogenesis adalah proses terbentuknya organ seperti pucuk dan akar (Gunawan, 1988). Terdapat dua cara terjadinya organogenesis yaitu secara langsung atau tidak langsung. Organogenesis langsung terjadi tanpa terbentuknya kalus terlebih dahulu sedangkan organogenesis tidak langsung diawali dengan pembentukan kalus lalu muncul organ pada kalus. Kalus merupakan massa sel yang tidak terdiferensiasi seperti sel meristem (Acquaah, 2004).
2.2. Bahan Tanam
Bahan tanaman yang digunakan dalam inisiasi kultur jaringan dapat berupa ujung akar, pucuk aksilar, daun, bunga, buah muda, anther dan sebagainya. Bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan untuk inisiasi suatu kultur, disebut eksplan. Eksplan yang digunakan diusahakan harus aseptik melalui prosedur sterilisasi dengan berbagai bahan kimia (Gunawan, 1988).
Gunawan (1987) menyatakan bahwa tingkat kontaminasi permukaan setiap bahan tanaman berbeda-beda tergantung dari jenis tanaman, bagian tanaman yang digunakan, morfologi permukaan (misalnya berbulu atau tidak), lingkungan tumbuhnya (green house atau lapang), musim waktu mengambil (musim hujan atau kemarau), umur tanaman (seedling atau tanaman dewasa), dan kondisi tanamannya (sehat atau tidak).
2.3. Botani Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.)
Kakao merupakan tumbuhan tahunan (perennial) berbentuk pohon, di alam dapat mencapai ketinggian 10m. Meskipun demikian, dalam pembudidayaan tingginya dibuat tidak lebih dari 5m tetapi dengan tajuk menyamping yang meluas. Hal ini dilakukan untuk memperbanyak cabang produktif bunga kakao, sebagaimana anggota Sterculiaceae lainnya, tumbuh langsung dari batang (cauliflorous). Bunga sempurna berukuran kecil (diameter maksimum 3cm), tunggal, namun nampak terangkai karena sering sejumlah bunga muncul dari satu titik tunas. Penyerbukan bunga dilakukan oleh serangga (terutama lalat kecil (midge) Forcipomyia, semut bersayap, afid, dan beberapa lebah Trigona) yang biasanya terjadi pada malam hari. Bunga siap diserbuki dalam jangka waktu beberapa hari. Kakao secara umum adalah tumbuhan menyerbuk silang dan memiliki sistem inkompatibilitas-sendiri. Walaupun demikian, beberapa varietas kakao mampu melakukan penyerbukan sendiri dan menghasilkan jenis komoditi dengan nilai jual yang lebih tinggi (Susanto, 1994).
T. cacao memiliki banyak manfaat, tidak hanya sebagai komoditas penghasil devisa negara tetapi biji cacao juga merupakan satu-satunya bahan utama dalam pembuatan coklat. Selain itu kakao pun banyak digunakan sebagai bahan utama dalam beberapa produk kosmetik, industry farmasi dan lain sebagainya. Meskipun demikian, Agrobisnis kakao di Indonesia masih menghadapi berbagai masalah kompleks antara lain produktivitas kebun masih rendah akibat serangan hama penggerek buah kakao (PBK), mutu produk dan jumlah masih rendah serta masih belum optimalnya pengembangan produk kakao serta penyediaan jumlah bibit kakao yang unggul. Hal ini menjadi suatu tantangan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh perkebunan kakao sekaligus sebagai peluang untuk mengembangkan usaha dan meraih nilai tambah yang lebih besar dari agribisnis kakao (Silva dkk., 2009).
Menurut Susanto (1994) Klasifikasi ilmiah Tanaman Kakao adalah sebagai berikut :
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Malvales
Famili : Malvaceae(Sterculiaceae)
Genus : Theobroma
Spesies : Theobroma cacao L.
2.4. Kultur Jaringan Tanaman Kakao
Menurut Winarsih, (2009) sekitar satu minggu setelah dikulturkan pada media induksi, embryozigotik mulai membengkak, warnanya menjadi lebih putih dan bagian daun kotilnya menggulung. Seiring dengan membesarnya ukuran eksplan tersebut kalus mulai tumbuh pada permukaan hipokotil maupun daun kotil. Kendala yang dihadapi dalam kultur jaringan kakao selama ini adalah produksi fenol dan lendir yang berlebih dari eksplan vegetatif, sehingga menghambat proses regenerasi kalus (Ampomah, 1992 dalam Oetami 2009).
Hal serupa juga dikemukakan oleh Priyono (1995), bahwa kandungan fenolik yang tinggi pada eksplan pucuk mengakibatkan terhambatnya proses regenerasi eksplan. Pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur jaringan sangat dipengaruhi oleh keadaan jaringan tanaman yang digunakan sebagai eksplan. Selain faktor genetis eksplan yang telah disebutkan di atas, kondisi eksplan yang mempengaruhi keberhasilan kultur adalah jenis eksplan, ukuran, umur dan fase fisiologis jaringan yang digunakan sebagai eksplan (Erwin, 2009).
Menurut Erwin (2009), umur eksplan sangat berpengaruh terhadap kemampuan eksplan tersebut untuk tumbuh dan beregenerasi. Umumnya eksplan yang berasal dari jaringan tanaman yang masih muda (juvenil) lebih mudah tumbuh dan beregenerasi dibandingkan dengan jaringan yang telah terdiferensiasi lanjut. Jaringan muda umumnya memiliki sel-sel yang aktif membelah dengan dinding sel yang belum kompleks sehingga lebih mudah dimodifikasi dalam kultur dibandingkan jaringan tua. Oleh karena itu, inisiasi kultur biasanya dilakukan dengan menggunakan pucuk-pucuk muda, kuncup-kuncup muda, hipokotil, inflorescence yang belum dewasa, dan lain-lain.
Ukuran eksplan juga mempengaruhi keberhasilan kultur. Eksplan dengan ukuran kecil lebih mudah disterilisasi dan tidak membutuhkan ruang serta media yang banyak, namun kemampuannya untuk beregenerasi juga lebih kecil sehingga dibutuhkan media yang lebih kompleks untuk pertumbuhan dan regenerasinya. Sebaliknya semakin besar eksplan, maka semakin besar kemungkinannya untuk membawa penyakit dan makin sulit untuk diterilkan, membutuhkan ruang dan media kultur yang lebih banyak. Ukuran eskplan yang sesuai sangat tergantung dari jenis tanaman yang dikulturkan, teknik dan tujuan pengkulturannya (Erwin, 2009).
Selain organ bunga, eksplan yang dapat digunakan untuk embryogenesis somatik adalah embryiozigotik. Selama ini dengan menggunakan embryozigotik telah dihasilkan embriosomatik. Buah kakao yang digunakan sebagai eksplan adalah buah muda yang berumur 90-120 hari. Buah muda yang akan digunakan sebagai bahan tanam disterilisasi dengan menggunakan alkohol 70% selama 10 menit. Embryozigotik yang akan digunakan diisolasi dari bakal biji. Embrio yang dipilih adalah embrio yang berukuran 2-4 mm (Triastanto, 2005).
Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengkulturan suatu tanaman adalah lingkungan kultur. Lingkungan kultur merupakan hasil interaksi antara bahan tanaman, wadah kultur, dan lingkungan eksternal ruang kultur. Ruang kultur memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap suatu sistem kultur jaringan. Secara teoritis sejumlah faktor lingkungan yang berpengaruh pada perkembangan dan pertumbuhan kultur adalah suhu, cahaya, karbondioksida dan kelembaban (Zulkarnain, 2009).
Menurut Zulkarnain (2009) menyatakan bahwa suhu berpengaruh secara langsung terhadap perkembangan sel dan jaringan, pembentukan organ tanaman, dan berkaitan erat dengan perkembangan tanaman yang berada dibawah pengaruh enzim. Selain itu peranan suhu lebih kritis pada kultur in vitro dibandingkan dengan kultur in vivo. Hal itu disebabkan oleh sifat jaringan yang peka dan kurangnya mekanisme perlindungan terhadap jaringan tersebut. Suhu optimum untuk terjadinya morfogenesis tidak selalu sama untuk setiap spesies tanaman. Untuk dapat menginduksi kalus tanaman kakao klon Sca 6 membutuhkan suhu 20-240C (Winarsih dkk., 2002).
2.5. Media Tanam
Media tanam dalam kultur jaringan adalah tempat untuk tumbuhnya eksplan. Medium ini mengandung komposisi nutrisi yang berbeda. Beberapa macam medium tanam dalam kultur jaringan yang dikenal adalah medium Murashige dan skoog (MS), Gamborg (B5), Nitsch (N), dan Vacin and Went (VW) yang sering dipakai pada anggrek. Medium MS sering dipakai karena mengandung komposisi mineral yang ditambahkan terdiri atas unsur hara makro, hara mikro dan vitamin (Gunawan, 1988).
Medium tanam harus cukup kuat untuk mendukung eksplan, tetapi jika terlalu padat dapat menghalangi kontak yang baik antara medium dan jaringan. Terdapat dua bentuk fisik medium tanam yaitu medium cair dan medium padat. Medium padat dibuat dengan menambahkan bahan pemadat. Berbagai jenis bahan pemadat dapat digunakan pada medium kultur jaringan seperti agar komersial, agar bacto dan gelrite. Perbedaan berbagai jenis bahan tersebut didasarkan pada kemurniannnya (Gunawan, 1988).
Komposisi unsur makro dan mikro yang tepat akan memberikan respon terhadap keberhasilan kultur jaringan. Media kultur jaringan mengandung 95% air, unsur makro dan mikro, zat pengatur tumbuh, vitamin, dan gula (Beyl, 2005). Menurut Ammirato (1983) dalam Purnamaningsih (2002) bentuk nitrogen reduksi dan beberapa asam amino seperti glutamin dan kaesin hidrosilat sangat penting untuk inisiasi dan perkembangan embrio somatik. Inisiasi dan pendewasaan embrio somatik diperlukan keseimbangan yang tepat antara NH4+ dan NO3-. Konsentrasi NO3- yang terlalu tinggi akan meningkatkan pH media sehingga kalus tidak dapat membentuk embrio somatik.
Selain nitrogen, gula merupakan komponen organik yang harus diberikan ke dalam media kultur. Gula berfungsi disamping sebagai sumber karbon, juga untuk mempertahankan tekanan osmotik media (Purnamaningsih, 2002).
2.6. Zat Pengatur Tumbuh
Zat pengatur tumbuh tanaman adalah senyawa organik bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat dan dapat merubah proses fisiologi tumbuhan, zat pengatur tumbuh ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan dan organ. Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen, menentukan arah perkembangan suatu kultur (Gunawan, 1988).
Menurut Hendaryono dan Ari Wijayanti, 1994. Hormon dibedakan menjadi lima pembagian besar yaitu auksin, sitokinin, giberelin, asam absisat, dan etilen. Asam absisat ditemukan pada tahun 1950 dan merupakan zat penghambat pertumbuhan (inhibitor) dan etilen ialah berupa gas yang mudah menguap dan jika terbentuk karena pembakaran tidak sempurna dari batu bara atau minyak bumi dapat merusak tanaman. Etilen mempercepat pematangan kebanyakan buah-buahan. Etilen mempercepat proses penuaan pada organ tumbuhan, yaitu mempercepat gugurnya daun, bunga, buah.
Zat pengatur tumbuh golongan auksin terdiri dari Indol Asam Asetat (IAA), Indol Asam Butirat (IBA), Naftalen Asam Asetat (NAA) dan 2,4 Dicloro. Zat pengatur tumbuh golongan sitokinin terdiri dari Kinetin, Zeatin, Ribosil dan Benzil Amino Purin (BAP). Dalam pertumbuhan jaringan, sitokinin bersama-sama dengan auksin memberikan pengaruh interaksi terhadap diferensiasi jaringan. Komposisi auksin dan sitokinin dalam media kultur in vitro memberikan peranan penting dalam induksi dan regenerasi kalus menjadi tunas (Hendaryono dan Wijayanti, 1994).
Auksin digunakan secara luas dalam kultur jaringan untuk merangsang pertumbuhan kalus, suspensi sel dan organ. 2,4-Dicloro (2,4-D) merupakan auksin sintetik yang sering digunakan dalam kultur jaringan tanamann (Gunawan, 1988).
Menurut Gati dan Mariska (1992), 2,4-D efektif untuk memacu pembentukan kalus karena aktifitasnya yang kuat untuk memacu proses dediferensiasi sel, menekan organogenesis serta menjaga pertumbuhan kalus. Selain itu, hasil penelitian tentang pengaruh 2,4-D terhadap pembentukan dan pertumbuhan kalus Acalypha indica L. menunjukan bahwa keberadaan BAP dalam media juga mendukung pembentukan kalus (Rahayu dkk, 2002).
Benzil Aminopurin (BAP) sering digunakan karena BAP mempunyai efektifitas untuk perbanyakan tunas, mudah didapat dan harganya relatif murah (Sudarmadji, 2003). Menurut Hendaryono dan Wijayanti (1994) zat pengatur tumbuh sitokinin berperan dalam pembelahan sel dan morfogenesis, sedangkan auksin berperan dalam mengatur pertumbuhan dan pemanjangan sel, pembelahan sel, morfogenesis dan pengaturan pertumbuhan merupakan proses yang sangat penting dalam pembentukan kalus dan selanjutnya diikuti pembentukan tunas.
2.7. Air Kelapa
Air kelapa juga sering digunakan dalam kultur jaringan. Air kelapa merupakan persenyawaan yang kompleks yang komposisinya dapat berbeda dari sumber yang satu dengan yang lainnya. Pada tahun 1948, Caplin dan Steward memperoleh pertumbuhan kalus yang lebih baik pada media yang ditambahkna dengan air kelapa. Penelitian lebih mendalam, menemukan bahwa efek air kelapa menjadi lebih baik apabila dalam media juga diberikan auksin. Auksin tertentu dan air kelapa dapat bersifat sinergis (Gunawan. 1988).
Menurut Seswita (2010), mengemukakan bahwa penambahan air kelapa di dalam media inisiasi kalus sangat berpengaruh terhadap saat munculnya kalus dan jumlah presentasi kalus yang dihasilkan. Adanya komponen-komponen yang terkandung di dalam air kelapa dapat berinteraksi dengan hormone endogen yang dimiliki oleh setiap eksplan sehingga mampu merangsang pembelahan sel (Surachman, 2011).
Bahan-bahan yang terkandung dalam air kelapa antara lain asam amino, asam-asam organik, asam nukleat, purin, gula, gula alkohol, vitamin, mineral dan zat pengatur tumbuh berupa sitokinin (Gunawan, 1988). Air kelapa kaya akan potassium (kalium) hingga 17 %. Selain kaya mineral, air kelapa juga mengandung gula antara 1,7 samapai 2,6 % dan protein 0,07 hingga 0,55%. Mineral lainnya antara lain natrium (Na), kalsium (Ca), magnesium (Mg), ferum (Fe), Cuprum (Cu), fosfor (P) dan sulfur (S). Disamping kaya mineral, air kelapa juga mengandung berbagai macam vitamin seperti asam sitrat, asam nikotinat, asam pantotenal, asam folat, niacin, riboflavin dan thiamin. Terdapat pula 2 hormon alami yaitu auksin dan sitokinin sebagai pendukung pembelahan sel embrio kelapa.
Dalam air kelapa terkandung diphenil urea yang mempunyai aktifitas seperti sitokinin, yaitu memiliki aktifitas pembelahan sel. Sebab air kelapa adalah endosperma yang terbentuk setelah terjadi pembuahan (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Begitu pula pendapat Seswita (2010), Dalam air kelapa terdapat vitamin C, asam nikotianiat, asam folat, asam pantotenat, biotin, riboflavin. Komponen tersebut yang mendorong pertumbuhan kultur sehingga fungsi sitokinin sintetik dapat digantikan oleh air kelapa.
2.8. Kultur Kalus
Kalus adalah suatu kumpulan sel amorphous yang terjadi dari sel-sel jaringan yang membelah diri secara terus menerus. Dalam keadaan in vivo, kalus pada umumnya terbentuk pada bekas-bekas luka akibat serangan inveksi mikroorganisme, gigitan atau tusukan serangga dan nematoda. Dalam kultur in vitro, kalus dapat dihasilkan dari potongan organ yang steril, di dalam media yang mengandung auksin (Gunawan, 1988).
Kultur kalus bertujuan untuk memperoleh kalus dari eksplan yang diisolasi dan ditumbuhkan dalam lingkungan terkendali. Kalus dapat diinisiasi hampir dari semua bagian tanaman, tetapi organ yang berbeda menunjukkan kecepatan pembelahan sel yang berbeda pula. Bagian tanaman seperti embrio muda, hipokotil, kotiledon dan batang muda merupakan bagian yang mudah untuk didiferensiasi dan menghasilkan kalus (Gunawan, 1988).
Kultur sel kakao sebagai model sel untuk penelitian kakao sampai saat ini belum tersedia karena selama ini kebanyakan penelitian menggunakan kultur sel Aradopsis dan sel tembakau BY2 sebagai model sel. Oleh karena itu, diperlukan adanya bentuk sel kakao hasil kultur jaringan yang nantinya akan digunakan sebagai model sel dalam penelitian berbagai aspek molekuler dan seluler tanaman kakao. Selain itu, tujuan dari adanya kultur kalus adalah untuk mendapatkan produk yang berupa kalus dari suatu eksplan yang dapat ditumbuhkan secara terus menerus sehingga dapat dimanfaatkan dalam mempelajari metabolism dan diferensiasi sel, morfogenesis sel, variasi somaklonal, transformasi genetik serta produksi metabolit sekunder juga merupakan beberapa manfaat dari kultur kalus. Salah satu pemanfaatan dari kultur kalus tanaman kakao tentang metabolit sekunder dari tanaman tersebut yaitu penelitian tentang pengamatan perubahan lipid selama pematangan buah yang didasarkan pada proses yang terjadi pada kalus (Tsai dan Kinsella, 1981).
Penelitian kalus sudah banyak dilakukan umumnya menggunakan medium MS dengan berbagai konsentrasi ZPT golongan auksin yaitu 2,4-D dan golongan sitokinin yaitu BAP. Untuk induksi kalus tanaman kakao itu sendiri sebenarnya telah dilakukan. Akan tetapi, media tumbuh yang digunakan berbeda-beda. Media yang digunakan dalam pertumbuhan kalus kakao yaitu media MS dengan penambahan auksin dan sitokinin (Noor, 2003). Adapula yang hanya menggunakan media MS dengan penambahan zat pengatur tumbuh golongan auksin (Suwardana, 2010).
Struktur kalus dari berbagai varietas tanaman berbeda-beda, biasanya steruktur kalus menggambarkan daya regenerasinya membentuk tunas dan akar. Beberapa kalus ada yang mengalami pembentukan lignifikasi sehingga kalus tersebut mempunyai tekstur yang keras dan kompak. Namun ada kalus yang tumbuh terpisah-pisah menjadi fragmen-fragmen yang kecil, kalus yang demikian dikenal dengan kalus remah (friable). Warna kalus dapat bermacam-macam tergantung dari jenis sumber eksplan itu diambil seperti warna kekuning-kuningan, putih, hijau atau kuning kejingga-jinggaan (Fatmawati dkk., 2010).
Tipe kalus dapat dibedakan menjadi tiga macam antara lain, kompak (non friable), intermediet dan remah (friable) (Turhan, 2004). Kalus tipe kompak umumnya mempunyai pertumbuhan yang lambat, sulit untuk dipisahkan dan terlihat padat. Sedangkan tipe kalus yang intermediet mempunyai pertumbuhan yang lebih cepat (Fitriani, 2008). Menurut Widiarso (2010) kalus tipe intermediet merupakan massa kalus yang terdiri dari kelompok sel-sel yang sebagian kompak dan sebagian lainnya remah. Menurut Pierik (1987) menyatakan tipe pada kalus dapat bervariasi dari kompak hingga meremah, tergantung pada jenis tanaman yang digunakan, komposisi nutrien media, zat pengatur tumbuh dan kondisi lingkungan kultur.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah experimental dan deskriptif. Metode experimental digunakan untuk induksi kalus, sedangkan metode deksriptif digunakan untuk pengamatan data kalus hasil induksi.
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Setiap satu unit percobaan menggunakan 10 eksplan sehingga terdapat 120 eksplan. Perlakuannya adalah sebagai berikut :
KW1 = MS0 + 1ppm 2,4- D + 0,1ppm BAP + Air kelapa 15%
KW2 = MS0 + 1 ppm 2,4- D + 0,2ppm BAP + Air kelapa 15%
KW3 = MS0 + 2 ppm 2,4- D + 0,1ppm BAP + Air kelapa 15%
KW4 = MS0 + 2 ppm 2,4- D + 0,2ppm BAP + Air kelapa 15%
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2013 sampai Agustus di Laboratorium Kultur jaringan Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako Sulawesi Tengah. Eksplan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagian staminodia bunga kakao klon sulawesi 1 yang masih kuncup dan belum mekar
3.2. Alat dan Bahan
3.2.1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Lamina Air Flow Cabinet, lemari pendingin, oven, autoclave, neraca analitik, pipet ukur, handsprayer, pembakar bunsen, gagang pisau dan mata pisau, pinset, lap bersih, batang pengaduk, botol kultur, petridis, labu ukur, gelas ukur 10 ml, gelas kimia 1000 ml, gelas kimia 500 ml, corong, kertas saring, termometer, label, pipet tetes, hot plate dan stirer, stopwatch, botol kultur dan kamera.
3.2.2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu eksplan yang berupa staminodia bunga kakao (Theobroma cacao L.), agar-agar, gula, deterjen, fungisida (Dethine), bayclean, aquades steril, air, spritus, tissue, alkohol 70%, media MS, zat pengatur tumbuh 2,4-D, BAP dan air kelapa.
3.3. Metode Kerja Penelitian
3.3.1. Sterilisasi Alat
Sebelum alat digunakan harus disterilkan terlebih dahulu. Seperti alat gelas, kertas saring, sendok zat dan pinset disterilkan didalam autoclave dengan suhu 121oC dengan tekanan 17,5 psi selama 20 menit.
3.3.2. Sterilisasi Bahan
Aquades yang digunakan perlu disterilisasi sebelum menggunakannya, aquades disterilkan pada autoclave dengan suhu 121oC dengan tekanan 17,5 psi selama 20 menit.
3.3.3. Pembuatan Media Perlakuan
Media yang digunakan adalah media MS dengan penambahan zat pengatur tumbuh 2,4- D dan BAP dengan berbagai konsentrasi serta air kelapa.
Hal pertama yang dilakukan dalam pembuatan media yaitu menambahkan larutan stok A, B, C, D, E, F, Myo-Inositol, Vitamin C dan Vitamin MS sesuai dengan komposisi dari media MS (Lampiran 1) . Menambahkan Zat Pengatur Tumbuh sesuai dengan perlakuan dan kemudian media disterilkan selama 20 menit dengan menggunakan autoclave dengan suhu 118oC.
3.3.4. Persiapan eksplan dan sterilisasi eksplan
Eksplan yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari perkebunan rakyat palolo yaitu jenis T. cacao L. Klon S1. Bagian yang diambil adalah bunga dari kakao tersebut.
Eksplan yang digunakan terlebih dahulu di sterilkan dengan menggunakan deterjen selama 30 menit setelah itu dicuci dengan air hingga bersih, lalu disterilisasi kembali dengan menggunakan fungisida (Dhetine) selama 30 menit dan membilas dengan air steril sampai bersih.
3.3.5. Penanaman
Menyiapkan medium perlakuan dan bunga T. Cacao L. Kegiatan ini harus dilakukan di dalam Laminar Air Flow Cabinet (LAFT). Selanjutnya mensterilkan bunga kakao dengan bayclean dengan konsentrasi 5% selama 5 menit kemudian mencuci dengan air steril sebanyak 3-4 kali hingga bersih.
Meletakkan eksplan di atas cawan peti dan memisahkan bagian benang sari dan staminoda. Kemudian melakukan penanam bahan tanam yaitu staminodia pada media perlakuan yaitu W1, W2, W3 dan W4 dengan jumlah eksplan 10 potong tiap botol, setelah itu memberikan label dan memindahkannya pada rak kultur.
3.3.6. Pemeliharaan
Pemeliharaan eksplan dilakukan dengan menyimpan eksplan pada rak kultur dalam keadaan tertutup kain hitam (tampa menggunakan cahaya) dengan suhu 26-28 °C dan melakukan pengamatan setiap hari untuk melihat kondisi eksplan. Botol kultur yang terkontaminasi dipindahkan dari ruang kultur untuk mencegah penyebaran kontaminasi ke seluruh botol.
3.3.7. Parameter Pengamatan
Pengamatan dilakukan setiap hari dengan mengamati adanya perubahan dari eksplan hingga terbentuk kalus. Adapun Parameter Pengamatan yaitu :
3.3.7.1. Saat muncul kalus
Pengamatan dilakukan dengan cara mengamati perkembangan eksplan yang mulai penanaman hingga terbentuknya kalus. Pengamatan bertujuan untuk mengetahui kecepatan eksplan berkalus pada tiap-tiap perlakuan.
3.3.7.2. Persentase eksplan yang mengasilkan kalus (%)
Pengamatan dilakukan dengan cara menghitung jumlah eksplan yang membentuk kalus. Hal ini bertujuan untuk mengetahui berapa persen kalus yang mampu dibentuk oleh tiap-tiap perlakuan. Pengamatan dilakukan dari hari saat munculnya kalus hingga akhir pengamatan.
3.3.7.3. Morfologi kalus
Pengamatan dilakukan dengan cara mengamati secara visual bagian morfologi kalus yaitu melihat butiran-butiran kalus, warna kalus, struktur kalus yang terbentuk. Pengamatan dilakukan sejak munculnya kalus hingga akhir pengamatan.
3.3.7.4. Morfologi Klon Kakao (Theobroma cacao L.) Sulawesi 1
Pengamatan dilakukan dengan cara mengamati secara visual bagian morfologi T. cacao yaitu melihat warna buah, bentuk buah, bentuk batang serta bentuk morfologi daun.
3.4. Analisa Data
Analisis kualitatif pada penelitian ini meliputi data visual yang dianalisis dengan metode deskriptif, sedangkan data kuantitatif yang didapat dalam penelitian selanjutnya dianalisa dengan nilai sidik ragam dan apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan uji BNJ (beda nyata jujur).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
4.1.1. Saat Munculnya kalus
Saat munculnya kalus diamati berdasarkan kecepatan eksplan menunjukkan tanda-tanda membentuk kalus, dari mulai penanaman hingga terbentuknya kalus. Berdasarkan hasil yang diperoleh, respon pertumbuhan kalus tercepat yaitu pada media KW1 dengan rata-rata 12,67 hari setelah tanam. Sedangkan, eksplan yang memberikan respon paling lambat yaitu eksplan pada medium KW2 dengan rata-rata 20,33 hari setelah tanam.
Rata-rata hasil pengamatan saat muncul kalus (HST) disajikan pada gambar 4.1. Hasil sidik ragam diperoleh berbeda sangat nyata sehingga diuji lanjut dengan uji BNJ (Lampiran 2a dan 2b).
Hasil uji BNJ pada taraf 5% dan 1%, terlihat bahwa saat munculnya kalus menunjukkan perbedaan antara perlakuan. Hal ini ditandai dengan perlakuan KW1 dan KW2 berbeda nyata dengan KW3 dan KW4. (Lampiran 2c).
Gambar 4.1. Grafik hubungan antara medium perlakuan dengan saat munculnya kalus (HST). Semua perlakuan yang dicobakan dapat menginduksi kalus. Hasil yang diperoleh berbeda sangat nyata sehingga diuji lanjut dengan uji BNJ. Angka yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji BNJ 5% dan 1%. Nilai di atas grafik menunjukkan rata-rata hasil pengamatan saat muncul kalus dari empat perlakuan. Lambang (I) adalah standar deviasi.
KW1 : MS0 + 1 ppm 2,4- D + 0,1 ppm BAP + Air kelapa 15%
KW2 : MS0 + 1 ppm 2,4- D + 0,2 ppm BAP + Air kelapa 15%
KW3 : MS0 + 2 ppm 2,4- D + 0,1 ppm BAP + Air kelapa 15%
KW4 : MS0 + 2 ppm 2,4- D + 0,2 ppm BAP + Air kelapa 15%
4.1.2. Presentasi Eksplan yang Menghasilkan Kalus (%)
Rata-rata jumlah presentasi kalus tertinggi ditunjukkan pada perlakuan KW3 yaitu (100%) dan jumlah presentase kalus terendah ditunjukkan pada medium KW2 yaitu (96,33%). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa tiap perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap induksi kalus sehingga diuji lanjut dengan uji BNJ. Presentase eksplan yang menghasilkan kalus dapat dilihat pada Gambar 4.2. Analisis presentase eksplan yang berkalus disajikan pada Lampiran 5a dan sidik ragamnya Lampiran 3b.
Gambar 4.2. Grafik persentasi eksplan yang menghasilkan kalus.
Angka yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji BNJ 5%. Nilai di atas grafik menunjukkan rata-rata persentase eksplan yang menghasilkan kalus dari empat perlakuan dan lambang (I) adalah standar deviasi
KW1 : MS0 + 1 ppm 2,4- D + 0,1 ppm BAP + Air kelapa 15%
KW2 : MS0 + 1 ppm 2,4- D + 0,2 ppm BAP + Air kelapa 15%
KW3 : MS0 + 2 ppm 2,4- D + 0,1 ppm BAP + Air kelapa 15%
KW4 : MS0 + 2 ppm 2,4- D + 0,2 ppm BAP + Air kelapa 15%
4.1.3. Morfologi Kalus Pada Eksplan Theobroma cacao L.
Rata-rata kalus yang dihasilkan setiap eksplan berwarna putih dengan tekstur remah, intermediet dan kompak. Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa medium KW3 menghasilkan kalus yang lebih baik yaitu ditandai dengan munculnya kalus yang berwarna putih, bertipe remah dan intermediet serta menghasilkan kalus yang lebih banyak, massa kalus relatif lebih besar, seragam dan aktif membelah mulai 14 hari setelah kultur. Morfologi kalus pada eksplan T.cacao L. dapat dilihat pada tabel 4.1 dan gambar 4.3. Data perlakuan pada tabel lampiran 5.
Tabel 4.1. Morfologi Kalus Theobroma cacao L. pada berbagai perlakuan 8 minggu setelah tanam.
No.
Perlakuan
Morfologi Kalus
1
KW1
Berwarna putih kekuningan, putih coklat serta tekstur yang intermediet dan remah.
2
KW2
Berwarna putih kekuningan serta teksturnya yang remah dan intermediet.
3
KW3
Berwarna putih dan bertekstur remah dan intermediet.
4
KW4
Berwarna putih dan kekuningan serta tekstur yang remah dan kompak
Gambar 4.3. Morfologi kalus Theobroma cacao L. yang terbentuk dari tiap perlakuan yang dicobakan.
Keterangan:
KW1 : Berwarna putih kekuningan dan serta tekstur yang intermediet dan remah (tanda panah hitam).
KW2 : Berwarna putih kekuningan serta teksturnya yang remah dan intermediet (tanda panah hitam).
KW3 : Berwarna putih dan bertekstur remah dan intermediet (tanda panah hitam).
KW4 : Berwarna putih dan kekuningan serta tekstur yang remah dan kompak (tanda panah hitam).
4.1.4. Morfologi Klon Kakao Sulawesi 1
Morfologi klon kakao Sulawesi 1 diamati berdasarkan bentuk fisik klon yang ada. Adapun morfologi klon Sulawesi 1 antara lain batang berwarna hitam kecoklatan, bersisik halus dan tidak berbulu. Buah berwarna merah tua, ujung buah tumpul, dan jalur buah ± 12. Daun muda berwarna merah tua dan ujung daun runcing. Bunga berwarna maron bercampur putih tulang dan jangka waktu bunga mekar sekitar 17 hari. Potensi buah untuk klon Sulawesi 1 bisa mencapai 1,8 – 2,5 ton/ha pada tahun ke 5, nilai buah 23.
Morfologi bunga kakao klon Sulawesi 1 dapat dilihat pada lampiran 6 dan klon pembandingnya dapat di lihat pada lampiran 7.
4.1. Pembahasan
Perlakuan yang diuji dalam penelitian induksi kalus tanaman kakao ini yaitu medium dasar MS dengan penambahan 2,4-D,BAP dan Air kelapa. Media MS merupakan kombinasi antara zat-zat yang mengandung unsur hara makro, mikro dan sumber energi serta vitamin. Komposisi media MS dapat dilihat pada Tabel lampiran 1. Penambahan ZPT pada media kultur jaringan mempengaruhi laju pertumbuhan sel, jaringan dan organ tanaman. Penambahan ZPT 2,4-D merupakan auksin sintetik yang sering digunakan dalam kultur jaringan untuk proses induksi kalus. Namun keberadaan BAP dalam media juga mendukung pembentukan kalus (Rahayu dkk, 2002).
Pemakaian auksin (2,4-D) dan sitokinin (BAP) dalam konsentrasi tepat dapat mengatur arah dan kecepatan pertumbuhan jaringan karena ZPT 2,4-D merupakan auksin sintetik yang sering digunakan dalam kultur jaringan untuk proses induksi kalus karena bersifat stabil tidak mudah mengalami kerusakan oleh cahaya maupun pemanasan pada waktu sterilisasi dan merangsang pembelahan serta pembesaran sel pada eksplan sehingga dapat memacu pembentukan dan pertumbuhan kalus. BAP dalam media juga mendukung pembentukan kalus karena BAP merupakan hormon dari kelompok sitokinin yang dinilai lebih stabil, tidak mahal dan lebih efektif dibandingkan kinetin. Selain itu, beberapa jenis tanaman menghasilkan kalus yang lebih baik bila dikombinasikan dengan air kelapa karena adanya komponen-komponen yang terkandung di dalam air kelapa dapat berinteraksi dengan hormon endogen yang dimiliki oleh setiap eksplan sehingga mampu merangsang pembelahan sel.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa eksplan staminodia bunga kakao klon sulawesi 1 dapat diinduksi pada semua perlakuan yang dicobakan yaitu yang tumbuhkan pada medium MS dengan penambahan ZPT auksin, BAP dan air kelapa. Kalus merupakan kumpulan sel yang aktif membelah dan belum terdiferensiasi.
Eksplan staminodia bunga kakao yang mampu membentuk kalus rata-rata tumbuh pada kisaran hari ke 12-21 HST. Jika dibandingkan dengan penelitian-penelitian induksi kalus sebelumnya, laju pembentukkan kalus pada penelitian ini termasuk lambat, karna pada penelitian yang dilakukan oleh Ariati (2012), kalus embrio somatik kakao yang berasal dari eksplan embrio akan mulai terbentuk antara 6-7 hari setelah tanam. Hal ini dimungkinkan karakter eksplan yang digunakan berbeda sehingga mempengaruhi laju pertumbuhan kalus serta perbedaan kemampuan jaringan menyerap unsur hara dan zat pengatur tumbuh dalam media inisiasi. Selain itu, pengaruh dari perbedaan hormon endogen yang dimiliki oleh setiap eksplan. Gunawan (1992), menyatakan kondisi kultur, genotip tanaman, dan tipe eksplan akan memberikan respon yang berbeda terhadap sel, jaringan dan organ tanaman yang dikulturkan secara in vitro.
Pembentukan kalus kakao ini terbentuk pada permukaan eksplan yang ditandai dengan pembengkakan pada eksplan kemudian diikuti dengan terbentuknya kalus. Kalus terbentuk dari bagian pangkal eksplan yang yang dimulai dari bekas potongan eksplan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ulfa (2011), kalus akan muncul pada bagian luka irisan, dengan adanya irisan tersebut memudahkan 2,4-D berdifusi ke dalam jaringan tanaman, sehingga 2,4-D yang diberikan akan membantu auksin yang terkandung di dalam jaringan eksplan menstimulasi pembelahan sel terutama sel-sel yang berada di sekitar daerah yang luka.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dari empat perlakuan yang diujikan menunjukan bahwa kombinasi konsentrasi 2,4-D dan BAP pada medium MS dengan penambahan air kelapa 15% berpengaruh sangat nyata terhadap kecepatan pembentukan kalus kakao sehingga diuji lanjut dengan uji BNJ (Tebel Lampiran 2b). Hasil uji beda nyata jujur (BNJ) pada taraf 5% dan 1%, terlihat bahwa saat munculnya kalus menunjukkan perbedaan antara tiap perlakua (Tebel Lampiran 2b). Perbedaan ini dikarenakan kombinasi konsentrasi zat pengatur tumbuh yang diberikan pada medium MS, sehingga memberikan pengaruh dan respon tumbuh yang berbeda pula dalam kecepatan pembentukan kalus. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Gunawan (1992) bahwa kecepatan pembentukan dan pertumbuhan kalus dipengaruhi oleh kombinasi konsentrasi auksin (2,4-D) dan sitokinin (BAP) pada media.
Berdasarkan hasil pengamatan presentase kalus, rata-rata dari presentasi kalus tertinggi yaitu pada perlakuan KW3 dengan rata-rata (100%) (Gambar 2 dan lampiran 3a), hal ini dikarenakan zat pengatur tumbuh auksin (2,4-D) dan sitokinin (BAP) yang diberikan pada perbandingan yang tepat sehingga dapat mempercepat pembelahan sel dan meningkatkan pertumbuhan sel, sedangkan presentase kalus terendah yaitu pada perlakuan KW2 dengan rata-rata (96,33%). Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Urfiana (2013), melaporkan bahwa adanya perbedaan pemberian konsentrasi 2,4-D serta penambahan BAP dan Air kelapa akan memberikan respon yang berbeda pula pada pembentukan kalus. Perbandingan antara auksin dan sitokinin menentukan arah dan keberhasilan kultur jaringan (Dixon, 1985). Menurut George dan Sherrington (1984) mengemukakan bahwa auksin diperlukan dalam pembelahan sel dan adanya konsentrasi sitokinin yang tepat maka pembentukan kalus menjadi lebih cepat.
Berdasarkan hasil sidik ragam presentase eksplan yang berkalus dari empat perlakuan yang diujikan menunjukan bahwa kombinasi konsentrasi 2,4-D dan BAP pada medium MS dengan penambahan Air kelapa 15% berpengaruh sangat nyata terhadap kecepatan pembentukan kalus kakao sehingga diuji lanjut dengan uji BNJ (Lampiran 3b). Hasil uji beda nyata jujur (BNJ) pada taraf 5% dan 1% menunjukkan perbedaan dari empat perlakuan (Lampiran 3c), Hal ini kemungkinkan disebabkan perbedaan konsentrasi ZPT pada medium MS sehingga memberikan respon yang berbeda pula dalam pembentukan kalus. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Urfiana (2013), melaporkan bahwa pemberian perbedaan konsentrasi 2,4-D dan BAP serta Air kepala 15% pada medium MS memberikan respon pertumbuhan yang berbeda pada petumbuhan kalus kakao.
Pada pengamatan morfologi kalus yaitu meliputi pengamatan bentuk fisik kalus, warna dan tipe kalus dapat diketahui bahwa setiap perlakuan menghasilkan kalus yang berbeda-beda baik warna maupun tipe kalus yang dihasilkanya. Perlakuan yang menghasilkan kalus yang lebih baik yaitu pada perlakuan KW3 karena massa kalus yang dihasilkan pada perlakuan ini relatif lebih besar dan menghasilkan kalus yang bertipe remah dan intermediet, seragam dan aktif membelah. pada medium KW1 meskipun menghasilkan kalus yang bertipe remah dan intermediet namun massa kalus yang dihasilkan lebih kecil dan pertumbuhanya tidak seragam. Pada perlakuan KW4 meskipun massa kalusnya besar dan berwarna putih dengan tekstur yang remah dan kompak tetapi kalus pada medium ini warnannya lebih cepat berubah menjadi putih kecoklatan serta pertumbuhannya lambat. Sedangkan untuk perlakuan KW2 meskipun menghasilkan kalus dengan tipe yang remah dan intermediet tetapi massa kalus yang dihasilkan lebih kecil dan berwarna putih kuningan, pertumbuhannya lambat (gambar 4.3 dan tabel 4.1).
Rata-rata tipe kalus yang terbentuk tiap perlakuan yang dicobakan berwarna putih yang berlangsung ± 6 minggu. Selanjutnya rata-rata perubahan warna kalus mulai terjadi ± 7 minggu setelah pembentukkan kalus dari warna putih lama kelamaan menjadi putih kekuningan dan setelah minggu ke 8 kalus pada beberapa medium sudah memperlihatkan perubahan warna yaitu berubah menjadi warna putih kecoklatan (tabel lampiran 4).
Perubahan warna kalus tersebut menunjukkan adanya perubahan fase pertumbuhan pada sel dan daya regenerasi sel. Kalus yang berwarna putih menunjukkan sel-sel yang masih muda dan aktif membelah sedangkan kalus yang berwarna putih kekeuningan menunjukkan bahwa sel yang menuju fase pembelahan aktif dan sel yang berwarna putih kecoklatan menunjukan gejala penuaan sel. Sel-sel yang demikian memiliki aktifitas pembelahan sel yang rendah sehingga daya regenerasinya berkurang. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya yaitu penelitian Ariati (2012) dari eksplan embrio biji kakao menunjukkan warna kalus yang terbentuk mula-mula berwarna putih yang berlangsung ± 1 minggu, selanjutnya berubah warna ± 2 minggu menjadi warna kecoklatan lama kelamaan menjadi coklat dan penelitian yang dilakukan oleh Urfiana (2013) dari eksplan stamen dari bunga kakao klon Sulawesi 2 (S2) menunjukkan warna kalus yang terbentuk mula-mula kalus berwarna putih yang berlangsung ± 5 minggu, selanjutnya berubah warna ± 6 minggu menjadi warna kecoklatan.
Berdasarkan perbedaan tersebut maka dalam penelitian ini menggunakan eksplan staminodia dari bunga kakao klon Sulawesi 1 (S1) karena selain bertujuan untuk menghasilkan kalus yang lebih baik dari penelitian-penelitian sebelumnya yaitu menghasilkan kalus yang lebih jernih dan putih serta bertahan lama juga dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya karena kakao klon Sulawesi 1 (S1) merupakan kakao yang di anggap unggul di lapangan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa medium yang paling baik untuk pertumbuhan kalus staminodia bunga T. cacao klon Sulawesi 1 adalah medium KW3 karena menghasilkan kalus yang lebih baik yaitu ditandai dengan munculnya kalus yang berwarna putih, bertipe remah dan intermediet serta menghasilkan kalus yang lebih banyak, massa kalus relatif lebih besar, seragam dan aktif membelah mulai 14 hari setelah kultur. Walaupun dalam segi kuantitas parameter pengamatan saat muncul kalus yang lebih baik adalah KW1 akan tetapi kualitas kalus yang dihasilkan tidak baik, ditandai dengan massa kalus yang dihasilkan lebih kecil dan pertumbuhannya tidak seragam dalam satu media kultur.
Perbedaan kalus yang dihasilkan dari tiap eksplan ini menunjukkan bahwa setiap genotipe mempunyai kandungan zat pengatur tumbuh endogen yang berbeda dan perbedaan genetis antar klon (Priyono dkk., 2000). Perbedaan itu juga mungkin disebabkan karena adanya respon yang berbeda terhadap zat pengatur tumbuh yang ditambahkan. Menurut Gunawan (1992), kalus dapat diinisiasi dari hampir semua bagian tanaman, tetapi organ yang berbeda menunjukkan kecepatan pembelahan sel yang berbeda pula.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa semua perlakuan yang dicobakan mampu menginduksi kalus kakao staminodia bunga Theobroma cacao L. klon Sulawesi 1. Medium yang terbaik untuk pertumbuhan kalus staminodia bunga T. cacao klon Sulawesi 1 adalah medium MS + 2 ppm 2,4-D + 0,1 ppm BAP + (15%) Air kelapa (KW3) karena berdasarkan morfologi kalus dihasilkan cenderung berwarna putih, bertipe remah dan intermediet, massa kalus relatif lebih besar seragam dan aktif membelah mulai 12-14 hari setelah kultur. Rata-rata kalus yang terbentuk tiap perlakuan berwarna putih yang berlangsung ± 6 minggu hari setelah tanam.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, respon pertumbuhan kalus tercepat yaitu pada media KW1 dengan rata-rata 12,67 hari setelah tanam. Sedangkan, eksplan yang memberikan respon paling lambat yaitu eksplan pada medium KW2 dengan rata-rata 20,33 hari setelah penanaman dan rata-rata jumlah presentasi kalus tertinggi ditunjukkan pada perlakuan KW3 yaitu (100%) dan jumlah presentase kalus terendah ditunjukkan pada medium KW2 yaitu (96,33%).
5.2. Saran
Disarankan untuk penelitian selanjutnya menggunakan medium MS dengan penambahan 2 ppm 2,4-D + 0,1 ppm BAP + (15%) Air kelapa untuk pembentukkan kalus embrionik T. cacao L. dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang regenerasi kalus pada media tersebut.
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu jenis tanaman perkebunan yang terus mendapat perhatian untuk dikembangkan. Upaya pengembangan tanaman kakao disamping masih diarahkan pada peningkatan populasi (luas lahan) juga telah banyak diarahkan pada peningkatan jumlah produksi dan mutu hasil. Adapun aspek yang paling diperhatikan dalam usaha peningkatan jumlah produksi dan mutu hasil adalah penggunaan jenis-jenis kakao unggul dalam pembudidayaan tanaman kakao. Saat ini terdapat sejumlah jenis kakao unggul yang sering digunakan dalam budidaya kakao, antara lain jenis (klon) Sulawesi 1 (S1) dan Sulawesi 2 (S2) (Mertade, 2011).
Bibit kakao yang dapat menghasilkan tanaman yang sama baiknya dengan induk unggulnya sangat diperlukan. Salah satu alternatif adalah dengan memanfaatkan bibit asal organ vegetatif yang dihasilkan melalui teknik kultur jaringan dengan proses embriogenesis somatik. Teknik Kultur jaringan merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengisolasi bagian tanaman seperti sel, jaringan dan organ dalam medium aseptik sehingga bagian tanaman tersebut dapat beregenerasi membentuk tanaman lengkap kembali (Gunawan, 1992).
Adapun faktor penyebab rendahnya produktivitas kakao di Sulawesi Tengah antara lain adalah adanya serangan hama dan penyakit, penerapan teknologi budidaya yang belum optimal, kondisi tanaman yang sebagian telah tua dan penggunaan jenis (klon) tanaman yang memiliki potensi produksi rendah (Basri, 2010). Perbanyakan klon kakao Sulawesi secara konvensional saat ini belum dapat memenuhi ketersediaan bibit, baik kualitas maupun kuantitas. Melalui teknik kultur jaringan diharapkan kendala tersebut dapat diatasi sehingga diperoleh bahan tanaman dalam jumlah besar dengan kualitas baik dan dalam waktu yang relatif singkat.
Kultur jaringan merupakan suatu teknik mengembangbiakkan bagian tanaman (eksplan) di dalam media buatan yang steril. Kultur jaringan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu organogenesis dan embriogenesis. Induksi kalus merupakan tahapan awal pada embriogenesis secara tidak langsung. Kalus adalah kumpulan sel amorphous yang terjadi dari sel-sel jaringan yang membelah diri secara terus menerus. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kalus yang embrionik dari eksplan staminodia bunga kakao klon Sulawesi 1.
Zat pengatur tumbuh berperan penting dalam menentukan arah pertumbuhan suatu kultur. Setiap genotip mempunyai respon yang berbeda dalam penyerapan zat pengatur tumbuh dalam media dan mempunyai kandungan zat pengatur tumbuh endogen yang berbeda (Gunawan, 1992).
Zat pengatur tumbuh yang umum dan efektif digunakan untuk induksi kalus adalah 2,4-D (2,4-Dichlorophenoxyacetic acid). Penggunaan 2,4-D pada media kultur jaringan telah banyak dilaporkan. Hasil penelitian Avivi, dkk. (2010) dan Winarsih, dkk. (2002) menunjukkan penambahan 2,4-D pada media MS dapat menstimulasi pembentukan kalus dari eksplan staminodia bunga kakao klon Sca 6.
Di Indonesia, telah lama dikembangkan teknik kultur jaringan tanaman kakao dengan menggunakan beberapa organ dari kakao itu sendiri yang dijadikan sebagai eksplan seperti embrio dan stamen. Namun, bentuk kalus yang dihasilkan masih belum memuaskan. Informasi tentang studi terhadap induksi kalus masih belum cukup (Chaidamsri dkk, 1990).
Berdasarkan hal di atas maka dipandang perlu untuk melakukan penelitian mengenai induksi kalus khususnya kakao klon Sulawesi 1 (S1) menggunakan eksplan staminodia pada bunga kakao dengan kombinasi konsentrasi 2,4-D dan BAP pada medium MS dengan penambahan air kelapa 15%.
I.2. Rumusan Masalah
Berapakah konsentrasi hormon 2,4-D (asam dikloropenoksi asetat) dan BAP (benzylaminopurine) yang efektif dalam menginduksi kalus bunga tanaman kakao pada medium MS dengan penembahan air kelapa 15%.
I.3. Tujuan Penelitian
Mengetahui konsentrasi hormon 2,4-D (asam dikloropenoksi asetat) dan BAP (benzylaminopurine) yang efektif dalam menginduksi kalus bunga tanaman kakao pada medium MS dengan penembahan air kelapa 15%.
I.4. Manfaat Penelitian
Digunakan sebagai dasar ilmiah dalam perkembangbiakan secara in vitro tanaman kakao khususnya dalam tahap induksi dan perkembangan kalus.
I.5. Batasan Masalah
Penelitian mengenai teknik kultur jaringan tanaman kakao khususnya klon Sulawesi (S1) ini dibatasi pada tahap induksi kalus dari bunga kakao bagian staminodia menggunakan beberapa formulasi hormon 2,4-D dan BAP pada medium MS dengan penembahan air kelapa 15%.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kultur Jaringan Tanaman
Kultur jaringan pertama kali dilaksanakan oleh Haberlandt (1907-1909) yang didasari oleh teori Schwan dan Schleiden (1839) tetang sifat totipotensi sel tanaman. Dalam kultur jaringan, media tumbuh dan faktor lingkungan yang sesuai sangat diperlukan untuk menghasilkan kalus dan plantlet. Menurut Gunawan (1988), kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ, serta menumbuhkan dalam kondisi aseptik sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali. Awal dari kultur jaringan ini dilakukan untuk membuktikan teori totipotensi sel. Kemudian teknik kultur jaringan berkembang menjadi sarana penelitian di bidang fisiologi tanaman dan aspek-aspek biokimia tanaman. Dewasa ini, setelah mengalami perkembangan dan penyempurnaan, teknik kultur jaringan telah dipergunakan dalam industri tanaman.
Perbanyakan mikro merupakan contoh aspek yang menarik dari penerapan kultur jaringan, terutama untuk beberapa jenis tanaman yang biasa diperbanyak secara vegetatif. Tujuan pokok penerapan perbanyakan mikro, adalah produksi tanaman dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat.Terutama untuk varietas-varietas yang unggul yang baru dihasilkan. Selain untuk perbanyakan mikro, teknik kultur jaringan dapat diterapkan dalam pemuliaan tanaman untuk mempercepat tujuan dan membantu jika cara-cara konvensional menemui rintangan alamiah Pemuliaan tanaman melalui kultur jaringan bermanfaat dalam merangsang keragaman genetik dan mempertahankan kestabilan genetic (Gunawan, 1988).
Hendaryono dan Wijayani (1994), Kegunaan utama kultur jaringan adalah untuk mendapatkan tanaman baru dalam jumlah banyak dalam waktu yang relatif singkat, yang mempunyai sifat fisiologi dan morfologi sama dengan tanaman induknya. Mattjik (2005) menyatakan, dalam perbanyakan secara in vitro, yang terjadi adalah mutasi somatik. Sel yang bermutasi saat membelah akan membentuk sekumpulan sel yang berbeda dengan sel asalnya. Tanaman yang berasal dari sel-sel yang bermutasi akan membentuk tanaman yang mungkin merupakan klon baru yang berbeda dengan induknya.
Teknik perbanyakan secara kultur jaringan dapat dilakukan secara organogenesis dan embriogenesis. Organogenesis adalah proses terbentuknya organ seperti pucuk dan akar (Gunawan, 1988). Terdapat dua cara terjadinya organogenesis yaitu secara langsung atau tidak langsung. Organogenesis langsung terjadi tanpa terbentuknya kalus terlebih dahulu sedangkan organogenesis tidak langsung diawali dengan pembentukan kalus lalu muncul organ pada kalus. Kalus merupakan massa sel yang tidak terdiferensiasi seperti sel meristem (Acquaah, 2004).
2.2. Bahan Tanam
Bahan tanaman yang digunakan dalam inisiasi kultur jaringan dapat berupa ujung akar, pucuk aksilar, daun, bunga, buah muda, anther dan sebagainya. Bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan untuk inisiasi suatu kultur, disebut eksplan. Eksplan yang digunakan diusahakan harus aseptik melalui prosedur sterilisasi dengan berbagai bahan kimia (Gunawan, 1988).
Gunawan (1987) menyatakan bahwa tingkat kontaminasi permukaan setiap bahan tanaman berbeda-beda tergantung dari jenis tanaman, bagian tanaman yang digunakan, morfologi permukaan (misalnya berbulu atau tidak), lingkungan tumbuhnya (green house atau lapang), musim waktu mengambil (musim hujan atau kemarau), umur tanaman (seedling atau tanaman dewasa), dan kondisi tanamannya (sehat atau tidak).
2.3. Botani Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.)
Kakao merupakan tumbuhan tahunan (perennial) berbentuk pohon, di alam dapat mencapai ketinggian 10m. Meskipun demikian, dalam pembudidayaan tingginya dibuat tidak lebih dari 5m tetapi dengan tajuk menyamping yang meluas. Hal ini dilakukan untuk memperbanyak cabang produktif bunga kakao, sebagaimana anggota Sterculiaceae lainnya, tumbuh langsung dari batang (cauliflorous). Bunga sempurna berukuran kecil (diameter maksimum 3cm), tunggal, namun nampak terangkai karena sering sejumlah bunga muncul dari satu titik tunas. Penyerbukan bunga dilakukan oleh serangga (terutama lalat kecil (midge) Forcipomyia, semut bersayap, afid, dan beberapa lebah Trigona) yang biasanya terjadi pada malam hari. Bunga siap diserbuki dalam jangka waktu beberapa hari. Kakao secara umum adalah tumbuhan menyerbuk silang dan memiliki sistem inkompatibilitas-sendiri. Walaupun demikian, beberapa varietas kakao mampu melakukan penyerbukan sendiri dan menghasilkan jenis komoditi dengan nilai jual yang lebih tinggi (Susanto, 1994).
T. cacao memiliki banyak manfaat, tidak hanya sebagai komoditas penghasil devisa negara tetapi biji cacao juga merupakan satu-satunya bahan utama dalam pembuatan coklat. Selain itu kakao pun banyak digunakan sebagai bahan utama dalam beberapa produk kosmetik, industry farmasi dan lain sebagainya. Meskipun demikian, Agrobisnis kakao di Indonesia masih menghadapi berbagai masalah kompleks antara lain produktivitas kebun masih rendah akibat serangan hama penggerek buah kakao (PBK), mutu produk dan jumlah masih rendah serta masih belum optimalnya pengembangan produk kakao serta penyediaan jumlah bibit kakao yang unggul. Hal ini menjadi suatu tantangan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh perkebunan kakao sekaligus sebagai peluang untuk mengembangkan usaha dan meraih nilai tambah yang lebih besar dari agribisnis kakao (Silva dkk., 2009).
Menurut Susanto (1994) Klasifikasi ilmiah Tanaman Kakao adalah sebagai berikut :
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Malvales
Famili : Malvaceae(Sterculiaceae)
Genus : Theobroma
Spesies : Theobroma cacao L.
2.4. Kultur Jaringan Tanaman Kakao
Menurut Winarsih, (2009) sekitar satu minggu setelah dikulturkan pada media induksi, embryozigotik mulai membengkak, warnanya menjadi lebih putih dan bagian daun kotilnya menggulung. Seiring dengan membesarnya ukuran eksplan tersebut kalus mulai tumbuh pada permukaan hipokotil maupun daun kotil. Kendala yang dihadapi dalam kultur jaringan kakao selama ini adalah produksi fenol dan lendir yang berlebih dari eksplan vegetatif, sehingga menghambat proses regenerasi kalus (Ampomah, 1992 dalam Oetami 2009).
Hal serupa juga dikemukakan oleh Priyono (1995), bahwa kandungan fenolik yang tinggi pada eksplan pucuk mengakibatkan terhambatnya proses regenerasi eksplan. Pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur jaringan sangat dipengaruhi oleh keadaan jaringan tanaman yang digunakan sebagai eksplan. Selain faktor genetis eksplan yang telah disebutkan di atas, kondisi eksplan yang mempengaruhi keberhasilan kultur adalah jenis eksplan, ukuran, umur dan fase fisiologis jaringan yang digunakan sebagai eksplan (Erwin, 2009).
Menurut Erwin (2009), umur eksplan sangat berpengaruh terhadap kemampuan eksplan tersebut untuk tumbuh dan beregenerasi. Umumnya eksplan yang berasal dari jaringan tanaman yang masih muda (juvenil) lebih mudah tumbuh dan beregenerasi dibandingkan dengan jaringan yang telah terdiferensiasi lanjut. Jaringan muda umumnya memiliki sel-sel yang aktif membelah dengan dinding sel yang belum kompleks sehingga lebih mudah dimodifikasi dalam kultur dibandingkan jaringan tua. Oleh karena itu, inisiasi kultur biasanya dilakukan dengan menggunakan pucuk-pucuk muda, kuncup-kuncup muda, hipokotil, inflorescence yang belum dewasa, dan lain-lain.
Ukuran eksplan juga mempengaruhi keberhasilan kultur. Eksplan dengan ukuran kecil lebih mudah disterilisasi dan tidak membutuhkan ruang serta media yang banyak, namun kemampuannya untuk beregenerasi juga lebih kecil sehingga dibutuhkan media yang lebih kompleks untuk pertumbuhan dan regenerasinya. Sebaliknya semakin besar eksplan, maka semakin besar kemungkinannya untuk membawa penyakit dan makin sulit untuk diterilkan, membutuhkan ruang dan media kultur yang lebih banyak. Ukuran eskplan yang sesuai sangat tergantung dari jenis tanaman yang dikulturkan, teknik dan tujuan pengkulturannya (Erwin, 2009).
Selain organ bunga, eksplan yang dapat digunakan untuk embryogenesis somatik adalah embryiozigotik. Selama ini dengan menggunakan embryozigotik telah dihasilkan embriosomatik. Buah kakao yang digunakan sebagai eksplan adalah buah muda yang berumur 90-120 hari. Buah muda yang akan digunakan sebagai bahan tanam disterilisasi dengan menggunakan alkohol 70% selama 10 menit. Embryozigotik yang akan digunakan diisolasi dari bakal biji. Embrio yang dipilih adalah embrio yang berukuran 2-4 mm (Triastanto, 2005).
Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengkulturan suatu tanaman adalah lingkungan kultur. Lingkungan kultur merupakan hasil interaksi antara bahan tanaman, wadah kultur, dan lingkungan eksternal ruang kultur. Ruang kultur memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap suatu sistem kultur jaringan. Secara teoritis sejumlah faktor lingkungan yang berpengaruh pada perkembangan dan pertumbuhan kultur adalah suhu, cahaya, karbondioksida dan kelembaban (Zulkarnain, 2009).
Menurut Zulkarnain (2009) menyatakan bahwa suhu berpengaruh secara langsung terhadap perkembangan sel dan jaringan, pembentukan organ tanaman, dan berkaitan erat dengan perkembangan tanaman yang berada dibawah pengaruh enzim. Selain itu peranan suhu lebih kritis pada kultur in vitro dibandingkan dengan kultur in vivo. Hal itu disebabkan oleh sifat jaringan yang peka dan kurangnya mekanisme perlindungan terhadap jaringan tersebut. Suhu optimum untuk terjadinya morfogenesis tidak selalu sama untuk setiap spesies tanaman. Untuk dapat menginduksi kalus tanaman kakao klon Sca 6 membutuhkan suhu 20-240C (Winarsih dkk., 2002).
2.5. Media Tanam
Media tanam dalam kultur jaringan adalah tempat untuk tumbuhnya eksplan. Medium ini mengandung komposisi nutrisi yang berbeda. Beberapa macam medium tanam dalam kultur jaringan yang dikenal adalah medium Murashige dan skoog (MS), Gamborg (B5), Nitsch (N), dan Vacin and Went (VW) yang sering dipakai pada anggrek. Medium MS sering dipakai karena mengandung komposisi mineral yang ditambahkan terdiri atas unsur hara makro, hara mikro dan vitamin (Gunawan, 1988).
Medium tanam harus cukup kuat untuk mendukung eksplan, tetapi jika terlalu padat dapat menghalangi kontak yang baik antara medium dan jaringan. Terdapat dua bentuk fisik medium tanam yaitu medium cair dan medium padat. Medium padat dibuat dengan menambahkan bahan pemadat. Berbagai jenis bahan pemadat dapat digunakan pada medium kultur jaringan seperti agar komersial, agar bacto dan gelrite. Perbedaan berbagai jenis bahan tersebut didasarkan pada kemurniannnya (Gunawan, 1988).
Komposisi unsur makro dan mikro yang tepat akan memberikan respon terhadap keberhasilan kultur jaringan. Media kultur jaringan mengandung 95% air, unsur makro dan mikro, zat pengatur tumbuh, vitamin, dan gula (Beyl, 2005). Menurut Ammirato (1983) dalam Purnamaningsih (2002) bentuk nitrogen reduksi dan beberapa asam amino seperti glutamin dan kaesin hidrosilat sangat penting untuk inisiasi dan perkembangan embrio somatik. Inisiasi dan pendewasaan embrio somatik diperlukan keseimbangan yang tepat antara NH4+ dan NO3-. Konsentrasi NO3- yang terlalu tinggi akan meningkatkan pH media sehingga kalus tidak dapat membentuk embrio somatik.
Selain nitrogen, gula merupakan komponen organik yang harus diberikan ke dalam media kultur. Gula berfungsi disamping sebagai sumber karbon, juga untuk mempertahankan tekanan osmotik media (Purnamaningsih, 2002).
2.6. Zat Pengatur Tumbuh
Zat pengatur tumbuh tanaman adalah senyawa organik bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat dan dapat merubah proses fisiologi tumbuhan, zat pengatur tumbuh ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan dan organ. Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen, menentukan arah perkembangan suatu kultur (Gunawan, 1988).
Menurut Hendaryono dan Ari Wijayanti, 1994. Hormon dibedakan menjadi lima pembagian besar yaitu auksin, sitokinin, giberelin, asam absisat, dan etilen. Asam absisat ditemukan pada tahun 1950 dan merupakan zat penghambat pertumbuhan (inhibitor) dan etilen ialah berupa gas yang mudah menguap dan jika terbentuk karena pembakaran tidak sempurna dari batu bara atau minyak bumi dapat merusak tanaman. Etilen mempercepat pematangan kebanyakan buah-buahan. Etilen mempercepat proses penuaan pada organ tumbuhan, yaitu mempercepat gugurnya daun, bunga, buah.
Zat pengatur tumbuh golongan auksin terdiri dari Indol Asam Asetat (IAA), Indol Asam Butirat (IBA), Naftalen Asam Asetat (NAA) dan 2,4 Dicloro. Zat pengatur tumbuh golongan sitokinin terdiri dari Kinetin, Zeatin, Ribosil dan Benzil Amino Purin (BAP). Dalam pertumbuhan jaringan, sitokinin bersama-sama dengan auksin memberikan pengaruh interaksi terhadap diferensiasi jaringan. Komposisi auksin dan sitokinin dalam media kultur in vitro memberikan peranan penting dalam induksi dan regenerasi kalus menjadi tunas (Hendaryono dan Wijayanti, 1994).
Auksin digunakan secara luas dalam kultur jaringan untuk merangsang pertumbuhan kalus, suspensi sel dan organ. 2,4-Dicloro (2,4-D) merupakan auksin sintetik yang sering digunakan dalam kultur jaringan tanamann (Gunawan, 1988).
Menurut Gati dan Mariska (1992), 2,4-D efektif untuk memacu pembentukan kalus karena aktifitasnya yang kuat untuk memacu proses dediferensiasi sel, menekan organogenesis serta menjaga pertumbuhan kalus. Selain itu, hasil penelitian tentang pengaruh 2,4-D terhadap pembentukan dan pertumbuhan kalus Acalypha indica L. menunjukan bahwa keberadaan BAP dalam media juga mendukung pembentukan kalus (Rahayu dkk, 2002).
Benzil Aminopurin (BAP) sering digunakan karena BAP mempunyai efektifitas untuk perbanyakan tunas, mudah didapat dan harganya relatif murah (Sudarmadji, 2003). Menurut Hendaryono dan Wijayanti (1994) zat pengatur tumbuh sitokinin berperan dalam pembelahan sel dan morfogenesis, sedangkan auksin berperan dalam mengatur pertumbuhan dan pemanjangan sel, pembelahan sel, morfogenesis dan pengaturan pertumbuhan merupakan proses yang sangat penting dalam pembentukan kalus dan selanjutnya diikuti pembentukan tunas.
2.7. Air Kelapa
Air kelapa juga sering digunakan dalam kultur jaringan. Air kelapa merupakan persenyawaan yang kompleks yang komposisinya dapat berbeda dari sumber yang satu dengan yang lainnya. Pada tahun 1948, Caplin dan Steward memperoleh pertumbuhan kalus yang lebih baik pada media yang ditambahkna dengan air kelapa. Penelitian lebih mendalam, menemukan bahwa efek air kelapa menjadi lebih baik apabila dalam media juga diberikan auksin. Auksin tertentu dan air kelapa dapat bersifat sinergis (Gunawan. 1988).
Menurut Seswita (2010), mengemukakan bahwa penambahan air kelapa di dalam media inisiasi kalus sangat berpengaruh terhadap saat munculnya kalus dan jumlah presentasi kalus yang dihasilkan. Adanya komponen-komponen yang terkandung di dalam air kelapa dapat berinteraksi dengan hormone endogen yang dimiliki oleh setiap eksplan sehingga mampu merangsang pembelahan sel (Surachman, 2011).
Bahan-bahan yang terkandung dalam air kelapa antara lain asam amino, asam-asam organik, asam nukleat, purin, gula, gula alkohol, vitamin, mineral dan zat pengatur tumbuh berupa sitokinin (Gunawan, 1988). Air kelapa kaya akan potassium (kalium) hingga 17 %. Selain kaya mineral, air kelapa juga mengandung gula antara 1,7 samapai 2,6 % dan protein 0,07 hingga 0,55%. Mineral lainnya antara lain natrium (Na), kalsium (Ca), magnesium (Mg), ferum (Fe), Cuprum (Cu), fosfor (P) dan sulfur (S). Disamping kaya mineral, air kelapa juga mengandung berbagai macam vitamin seperti asam sitrat, asam nikotinat, asam pantotenal, asam folat, niacin, riboflavin dan thiamin. Terdapat pula 2 hormon alami yaitu auksin dan sitokinin sebagai pendukung pembelahan sel embrio kelapa.
Dalam air kelapa terkandung diphenil urea yang mempunyai aktifitas seperti sitokinin, yaitu memiliki aktifitas pembelahan sel. Sebab air kelapa adalah endosperma yang terbentuk setelah terjadi pembuahan (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Begitu pula pendapat Seswita (2010), Dalam air kelapa terdapat vitamin C, asam nikotianiat, asam folat, asam pantotenat, biotin, riboflavin. Komponen tersebut yang mendorong pertumbuhan kultur sehingga fungsi sitokinin sintetik dapat digantikan oleh air kelapa.
2.8. Kultur Kalus
Kalus adalah suatu kumpulan sel amorphous yang terjadi dari sel-sel jaringan yang membelah diri secara terus menerus. Dalam keadaan in vivo, kalus pada umumnya terbentuk pada bekas-bekas luka akibat serangan inveksi mikroorganisme, gigitan atau tusukan serangga dan nematoda. Dalam kultur in vitro, kalus dapat dihasilkan dari potongan organ yang steril, di dalam media yang mengandung auksin (Gunawan, 1988).
Kultur kalus bertujuan untuk memperoleh kalus dari eksplan yang diisolasi dan ditumbuhkan dalam lingkungan terkendali. Kalus dapat diinisiasi hampir dari semua bagian tanaman, tetapi organ yang berbeda menunjukkan kecepatan pembelahan sel yang berbeda pula. Bagian tanaman seperti embrio muda, hipokotil, kotiledon dan batang muda merupakan bagian yang mudah untuk didiferensiasi dan menghasilkan kalus (Gunawan, 1988).
Kultur sel kakao sebagai model sel untuk penelitian kakao sampai saat ini belum tersedia karena selama ini kebanyakan penelitian menggunakan kultur sel Aradopsis dan sel tembakau BY2 sebagai model sel. Oleh karena itu, diperlukan adanya bentuk sel kakao hasil kultur jaringan yang nantinya akan digunakan sebagai model sel dalam penelitian berbagai aspek molekuler dan seluler tanaman kakao. Selain itu, tujuan dari adanya kultur kalus adalah untuk mendapatkan produk yang berupa kalus dari suatu eksplan yang dapat ditumbuhkan secara terus menerus sehingga dapat dimanfaatkan dalam mempelajari metabolism dan diferensiasi sel, morfogenesis sel, variasi somaklonal, transformasi genetik serta produksi metabolit sekunder juga merupakan beberapa manfaat dari kultur kalus. Salah satu pemanfaatan dari kultur kalus tanaman kakao tentang metabolit sekunder dari tanaman tersebut yaitu penelitian tentang pengamatan perubahan lipid selama pematangan buah yang didasarkan pada proses yang terjadi pada kalus (Tsai dan Kinsella, 1981).
Penelitian kalus sudah banyak dilakukan umumnya menggunakan medium MS dengan berbagai konsentrasi ZPT golongan auksin yaitu 2,4-D dan golongan sitokinin yaitu BAP. Untuk induksi kalus tanaman kakao itu sendiri sebenarnya telah dilakukan. Akan tetapi, media tumbuh yang digunakan berbeda-beda. Media yang digunakan dalam pertumbuhan kalus kakao yaitu media MS dengan penambahan auksin dan sitokinin (Noor, 2003). Adapula yang hanya menggunakan media MS dengan penambahan zat pengatur tumbuh golongan auksin (Suwardana, 2010).
Struktur kalus dari berbagai varietas tanaman berbeda-beda, biasanya steruktur kalus menggambarkan daya regenerasinya membentuk tunas dan akar. Beberapa kalus ada yang mengalami pembentukan lignifikasi sehingga kalus tersebut mempunyai tekstur yang keras dan kompak. Namun ada kalus yang tumbuh terpisah-pisah menjadi fragmen-fragmen yang kecil, kalus yang demikian dikenal dengan kalus remah (friable). Warna kalus dapat bermacam-macam tergantung dari jenis sumber eksplan itu diambil seperti warna kekuning-kuningan, putih, hijau atau kuning kejingga-jinggaan (Fatmawati dkk., 2010).
Tipe kalus dapat dibedakan menjadi tiga macam antara lain, kompak (non friable), intermediet dan remah (friable) (Turhan, 2004). Kalus tipe kompak umumnya mempunyai pertumbuhan yang lambat, sulit untuk dipisahkan dan terlihat padat. Sedangkan tipe kalus yang intermediet mempunyai pertumbuhan yang lebih cepat (Fitriani, 2008). Menurut Widiarso (2010) kalus tipe intermediet merupakan massa kalus yang terdiri dari kelompok sel-sel yang sebagian kompak dan sebagian lainnya remah. Menurut Pierik (1987) menyatakan tipe pada kalus dapat bervariasi dari kompak hingga meremah, tergantung pada jenis tanaman yang digunakan, komposisi nutrien media, zat pengatur tumbuh dan kondisi lingkungan kultur.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah experimental dan deskriptif. Metode experimental digunakan untuk induksi kalus, sedangkan metode deksriptif digunakan untuk pengamatan data kalus hasil induksi.
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Setiap satu unit percobaan menggunakan 10 eksplan sehingga terdapat 120 eksplan. Perlakuannya adalah sebagai berikut :
KW1 = MS0 + 1ppm 2,4- D + 0,1ppm BAP + Air kelapa 15%
KW2 = MS0 + 1 ppm 2,4- D + 0,2ppm BAP + Air kelapa 15%
KW3 = MS0 + 2 ppm 2,4- D + 0,1ppm BAP + Air kelapa 15%
KW4 = MS0 + 2 ppm 2,4- D + 0,2ppm BAP + Air kelapa 15%
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2013 sampai Agustus di Laboratorium Kultur jaringan Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako Sulawesi Tengah. Eksplan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagian staminodia bunga kakao klon sulawesi 1 yang masih kuncup dan belum mekar
3.2. Alat dan Bahan
3.2.1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Lamina Air Flow Cabinet, lemari pendingin, oven, autoclave, neraca analitik, pipet ukur, handsprayer, pembakar bunsen, gagang pisau dan mata pisau, pinset, lap bersih, batang pengaduk, botol kultur, petridis, labu ukur, gelas ukur 10 ml, gelas kimia 1000 ml, gelas kimia 500 ml, corong, kertas saring, termometer, label, pipet tetes, hot plate dan stirer, stopwatch, botol kultur dan kamera.
3.2.2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu eksplan yang berupa staminodia bunga kakao (Theobroma cacao L.), agar-agar, gula, deterjen, fungisida (Dethine), bayclean, aquades steril, air, spritus, tissue, alkohol 70%, media MS, zat pengatur tumbuh 2,4-D, BAP dan air kelapa.
3.3. Metode Kerja Penelitian
3.3.1. Sterilisasi Alat
Sebelum alat digunakan harus disterilkan terlebih dahulu. Seperti alat gelas, kertas saring, sendok zat dan pinset disterilkan didalam autoclave dengan suhu 121oC dengan tekanan 17,5 psi selama 20 menit.
3.3.2. Sterilisasi Bahan
Aquades yang digunakan perlu disterilisasi sebelum menggunakannya, aquades disterilkan pada autoclave dengan suhu 121oC dengan tekanan 17,5 psi selama 20 menit.
3.3.3. Pembuatan Media Perlakuan
Media yang digunakan adalah media MS dengan penambahan zat pengatur tumbuh 2,4- D dan BAP dengan berbagai konsentrasi serta air kelapa.
Hal pertama yang dilakukan dalam pembuatan media yaitu menambahkan larutan stok A, B, C, D, E, F, Myo-Inositol, Vitamin C dan Vitamin MS sesuai dengan komposisi dari media MS (Lampiran 1) . Menambahkan Zat Pengatur Tumbuh sesuai dengan perlakuan dan kemudian media disterilkan selama 20 menit dengan menggunakan autoclave dengan suhu 118oC.
3.3.4. Persiapan eksplan dan sterilisasi eksplan
Eksplan yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari perkebunan rakyat palolo yaitu jenis T. cacao L. Klon S1. Bagian yang diambil adalah bunga dari kakao tersebut.
Eksplan yang digunakan terlebih dahulu di sterilkan dengan menggunakan deterjen selama 30 menit setelah itu dicuci dengan air hingga bersih, lalu disterilisasi kembali dengan menggunakan fungisida (Dhetine) selama 30 menit dan membilas dengan air steril sampai bersih.
3.3.5. Penanaman
Menyiapkan medium perlakuan dan bunga T. Cacao L. Kegiatan ini harus dilakukan di dalam Laminar Air Flow Cabinet (LAFT). Selanjutnya mensterilkan bunga kakao dengan bayclean dengan konsentrasi 5% selama 5 menit kemudian mencuci dengan air steril sebanyak 3-4 kali hingga bersih.
Meletakkan eksplan di atas cawan peti dan memisahkan bagian benang sari dan staminoda. Kemudian melakukan penanam bahan tanam yaitu staminodia pada media perlakuan yaitu W1, W2, W3 dan W4 dengan jumlah eksplan 10 potong tiap botol, setelah itu memberikan label dan memindahkannya pada rak kultur.
3.3.6. Pemeliharaan
Pemeliharaan eksplan dilakukan dengan menyimpan eksplan pada rak kultur dalam keadaan tertutup kain hitam (tampa menggunakan cahaya) dengan suhu 26-28 °C dan melakukan pengamatan setiap hari untuk melihat kondisi eksplan. Botol kultur yang terkontaminasi dipindahkan dari ruang kultur untuk mencegah penyebaran kontaminasi ke seluruh botol.
3.3.7. Parameter Pengamatan
Pengamatan dilakukan setiap hari dengan mengamati adanya perubahan dari eksplan hingga terbentuk kalus. Adapun Parameter Pengamatan yaitu :
3.3.7.1. Saat muncul kalus
Pengamatan dilakukan dengan cara mengamati perkembangan eksplan yang mulai penanaman hingga terbentuknya kalus. Pengamatan bertujuan untuk mengetahui kecepatan eksplan berkalus pada tiap-tiap perlakuan.
3.3.7.2. Persentase eksplan yang mengasilkan kalus (%)
Pengamatan dilakukan dengan cara menghitung jumlah eksplan yang membentuk kalus. Hal ini bertujuan untuk mengetahui berapa persen kalus yang mampu dibentuk oleh tiap-tiap perlakuan. Pengamatan dilakukan dari hari saat munculnya kalus hingga akhir pengamatan.
3.3.7.3. Morfologi kalus
Pengamatan dilakukan dengan cara mengamati secara visual bagian morfologi kalus yaitu melihat butiran-butiran kalus, warna kalus, struktur kalus yang terbentuk. Pengamatan dilakukan sejak munculnya kalus hingga akhir pengamatan.
3.3.7.4. Morfologi Klon Kakao (Theobroma cacao L.) Sulawesi 1
Pengamatan dilakukan dengan cara mengamati secara visual bagian morfologi T. cacao yaitu melihat warna buah, bentuk buah, bentuk batang serta bentuk morfologi daun.
3.4. Analisa Data
Analisis kualitatif pada penelitian ini meliputi data visual yang dianalisis dengan metode deskriptif, sedangkan data kuantitatif yang didapat dalam penelitian selanjutnya dianalisa dengan nilai sidik ragam dan apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan uji BNJ (beda nyata jujur).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
4.1.1. Saat Munculnya kalus
Saat munculnya kalus diamati berdasarkan kecepatan eksplan menunjukkan tanda-tanda membentuk kalus, dari mulai penanaman hingga terbentuknya kalus. Berdasarkan hasil yang diperoleh, respon pertumbuhan kalus tercepat yaitu pada media KW1 dengan rata-rata 12,67 hari setelah tanam. Sedangkan, eksplan yang memberikan respon paling lambat yaitu eksplan pada medium KW2 dengan rata-rata 20,33 hari setelah tanam.
Rata-rata hasil pengamatan saat muncul kalus (HST) disajikan pada gambar 4.1. Hasil sidik ragam diperoleh berbeda sangat nyata sehingga diuji lanjut dengan uji BNJ (Lampiran 2a dan 2b).
Hasil uji BNJ pada taraf 5% dan 1%, terlihat bahwa saat munculnya kalus menunjukkan perbedaan antara perlakuan. Hal ini ditandai dengan perlakuan KW1 dan KW2 berbeda nyata dengan KW3 dan KW4. (Lampiran 2c).
Gambar 4.1. Grafik hubungan antara medium perlakuan dengan saat munculnya kalus (HST). Semua perlakuan yang dicobakan dapat menginduksi kalus. Hasil yang diperoleh berbeda sangat nyata sehingga diuji lanjut dengan uji BNJ. Angka yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji BNJ 5% dan 1%. Nilai di atas grafik menunjukkan rata-rata hasil pengamatan saat muncul kalus dari empat perlakuan. Lambang (I) adalah standar deviasi.
KW1 : MS0 + 1 ppm 2,4- D + 0,1 ppm BAP + Air kelapa 15%
KW2 : MS0 + 1 ppm 2,4- D + 0,2 ppm BAP + Air kelapa 15%
KW3 : MS0 + 2 ppm 2,4- D + 0,1 ppm BAP + Air kelapa 15%
KW4 : MS0 + 2 ppm 2,4- D + 0,2 ppm BAP + Air kelapa 15%
4.1.2. Presentasi Eksplan yang Menghasilkan Kalus (%)
Rata-rata jumlah presentasi kalus tertinggi ditunjukkan pada perlakuan KW3 yaitu (100%) dan jumlah presentase kalus terendah ditunjukkan pada medium KW2 yaitu (96,33%). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa tiap perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap induksi kalus sehingga diuji lanjut dengan uji BNJ. Presentase eksplan yang menghasilkan kalus dapat dilihat pada Gambar 4.2. Analisis presentase eksplan yang berkalus disajikan pada Lampiran 5a dan sidik ragamnya Lampiran 3b.
Gambar 4.2. Grafik persentasi eksplan yang menghasilkan kalus.
Angka yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji BNJ 5%. Nilai di atas grafik menunjukkan rata-rata persentase eksplan yang menghasilkan kalus dari empat perlakuan dan lambang (I) adalah standar deviasi
KW1 : MS0 + 1 ppm 2,4- D + 0,1 ppm BAP + Air kelapa 15%
KW2 : MS0 + 1 ppm 2,4- D + 0,2 ppm BAP + Air kelapa 15%
KW3 : MS0 + 2 ppm 2,4- D + 0,1 ppm BAP + Air kelapa 15%
KW4 : MS0 + 2 ppm 2,4- D + 0,2 ppm BAP + Air kelapa 15%
4.1.3. Morfologi Kalus Pada Eksplan Theobroma cacao L.
Rata-rata kalus yang dihasilkan setiap eksplan berwarna putih dengan tekstur remah, intermediet dan kompak. Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa medium KW3 menghasilkan kalus yang lebih baik yaitu ditandai dengan munculnya kalus yang berwarna putih, bertipe remah dan intermediet serta menghasilkan kalus yang lebih banyak, massa kalus relatif lebih besar, seragam dan aktif membelah mulai 14 hari setelah kultur. Morfologi kalus pada eksplan T.cacao L. dapat dilihat pada tabel 4.1 dan gambar 4.3. Data perlakuan pada tabel lampiran 5.
Tabel 4.1. Morfologi Kalus Theobroma cacao L. pada berbagai perlakuan 8 minggu setelah tanam.
No.
Perlakuan
Morfologi Kalus
1
KW1
Berwarna putih kekuningan, putih coklat serta tekstur yang intermediet dan remah.
2
KW2
Berwarna putih kekuningan serta teksturnya yang remah dan intermediet.
3
KW3
Berwarna putih dan bertekstur remah dan intermediet.
4
KW4
Berwarna putih dan kekuningan serta tekstur yang remah dan kompak
Gambar 4.3. Morfologi kalus Theobroma cacao L. yang terbentuk dari tiap perlakuan yang dicobakan.
Keterangan:
KW1 : Berwarna putih kekuningan dan serta tekstur yang intermediet dan remah (tanda panah hitam).
KW2 : Berwarna putih kekuningan serta teksturnya yang remah dan intermediet (tanda panah hitam).
KW3 : Berwarna putih dan bertekstur remah dan intermediet (tanda panah hitam).
KW4 : Berwarna putih dan kekuningan serta tekstur yang remah dan kompak (tanda panah hitam).
4.1.4. Morfologi Klon Kakao Sulawesi 1
Morfologi klon kakao Sulawesi 1 diamati berdasarkan bentuk fisik klon yang ada. Adapun morfologi klon Sulawesi 1 antara lain batang berwarna hitam kecoklatan, bersisik halus dan tidak berbulu. Buah berwarna merah tua, ujung buah tumpul, dan jalur buah ± 12. Daun muda berwarna merah tua dan ujung daun runcing. Bunga berwarna maron bercampur putih tulang dan jangka waktu bunga mekar sekitar 17 hari. Potensi buah untuk klon Sulawesi 1 bisa mencapai 1,8 – 2,5 ton/ha pada tahun ke 5, nilai buah 23.
Morfologi bunga kakao klon Sulawesi 1 dapat dilihat pada lampiran 6 dan klon pembandingnya dapat di lihat pada lampiran 7.
4.1. Pembahasan
Perlakuan yang diuji dalam penelitian induksi kalus tanaman kakao ini yaitu medium dasar MS dengan penambahan 2,4-D,BAP dan Air kelapa. Media MS merupakan kombinasi antara zat-zat yang mengandung unsur hara makro, mikro dan sumber energi serta vitamin. Komposisi media MS dapat dilihat pada Tabel lampiran 1. Penambahan ZPT pada media kultur jaringan mempengaruhi laju pertumbuhan sel, jaringan dan organ tanaman. Penambahan ZPT 2,4-D merupakan auksin sintetik yang sering digunakan dalam kultur jaringan untuk proses induksi kalus. Namun keberadaan BAP dalam media juga mendukung pembentukan kalus (Rahayu dkk, 2002).
Pemakaian auksin (2,4-D) dan sitokinin (BAP) dalam konsentrasi tepat dapat mengatur arah dan kecepatan pertumbuhan jaringan karena ZPT 2,4-D merupakan auksin sintetik yang sering digunakan dalam kultur jaringan untuk proses induksi kalus karena bersifat stabil tidak mudah mengalami kerusakan oleh cahaya maupun pemanasan pada waktu sterilisasi dan merangsang pembelahan serta pembesaran sel pada eksplan sehingga dapat memacu pembentukan dan pertumbuhan kalus. BAP dalam media juga mendukung pembentukan kalus karena BAP merupakan hormon dari kelompok sitokinin yang dinilai lebih stabil, tidak mahal dan lebih efektif dibandingkan kinetin. Selain itu, beberapa jenis tanaman menghasilkan kalus yang lebih baik bila dikombinasikan dengan air kelapa karena adanya komponen-komponen yang terkandung di dalam air kelapa dapat berinteraksi dengan hormon endogen yang dimiliki oleh setiap eksplan sehingga mampu merangsang pembelahan sel.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa eksplan staminodia bunga kakao klon sulawesi 1 dapat diinduksi pada semua perlakuan yang dicobakan yaitu yang tumbuhkan pada medium MS dengan penambahan ZPT auksin, BAP dan air kelapa. Kalus merupakan kumpulan sel yang aktif membelah dan belum terdiferensiasi.
Eksplan staminodia bunga kakao yang mampu membentuk kalus rata-rata tumbuh pada kisaran hari ke 12-21 HST. Jika dibandingkan dengan penelitian-penelitian induksi kalus sebelumnya, laju pembentukkan kalus pada penelitian ini termasuk lambat, karna pada penelitian yang dilakukan oleh Ariati (2012), kalus embrio somatik kakao yang berasal dari eksplan embrio akan mulai terbentuk antara 6-7 hari setelah tanam. Hal ini dimungkinkan karakter eksplan yang digunakan berbeda sehingga mempengaruhi laju pertumbuhan kalus serta perbedaan kemampuan jaringan menyerap unsur hara dan zat pengatur tumbuh dalam media inisiasi. Selain itu, pengaruh dari perbedaan hormon endogen yang dimiliki oleh setiap eksplan. Gunawan (1992), menyatakan kondisi kultur, genotip tanaman, dan tipe eksplan akan memberikan respon yang berbeda terhadap sel, jaringan dan organ tanaman yang dikulturkan secara in vitro.
Pembentukan kalus kakao ini terbentuk pada permukaan eksplan yang ditandai dengan pembengkakan pada eksplan kemudian diikuti dengan terbentuknya kalus. Kalus terbentuk dari bagian pangkal eksplan yang yang dimulai dari bekas potongan eksplan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ulfa (2011), kalus akan muncul pada bagian luka irisan, dengan adanya irisan tersebut memudahkan 2,4-D berdifusi ke dalam jaringan tanaman, sehingga 2,4-D yang diberikan akan membantu auksin yang terkandung di dalam jaringan eksplan menstimulasi pembelahan sel terutama sel-sel yang berada di sekitar daerah yang luka.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dari empat perlakuan yang diujikan menunjukan bahwa kombinasi konsentrasi 2,4-D dan BAP pada medium MS dengan penambahan air kelapa 15% berpengaruh sangat nyata terhadap kecepatan pembentukan kalus kakao sehingga diuji lanjut dengan uji BNJ (Tebel Lampiran 2b). Hasil uji beda nyata jujur (BNJ) pada taraf 5% dan 1%, terlihat bahwa saat munculnya kalus menunjukkan perbedaan antara tiap perlakua (Tebel Lampiran 2b). Perbedaan ini dikarenakan kombinasi konsentrasi zat pengatur tumbuh yang diberikan pada medium MS, sehingga memberikan pengaruh dan respon tumbuh yang berbeda pula dalam kecepatan pembentukan kalus. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Gunawan (1992) bahwa kecepatan pembentukan dan pertumbuhan kalus dipengaruhi oleh kombinasi konsentrasi auksin (2,4-D) dan sitokinin (BAP) pada media.
Berdasarkan hasil pengamatan presentase kalus, rata-rata dari presentasi kalus tertinggi yaitu pada perlakuan KW3 dengan rata-rata (100%) (Gambar 2 dan lampiran 3a), hal ini dikarenakan zat pengatur tumbuh auksin (2,4-D) dan sitokinin (BAP) yang diberikan pada perbandingan yang tepat sehingga dapat mempercepat pembelahan sel dan meningkatkan pertumbuhan sel, sedangkan presentase kalus terendah yaitu pada perlakuan KW2 dengan rata-rata (96,33%). Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Urfiana (2013), melaporkan bahwa adanya perbedaan pemberian konsentrasi 2,4-D serta penambahan BAP dan Air kelapa akan memberikan respon yang berbeda pula pada pembentukan kalus. Perbandingan antara auksin dan sitokinin menentukan arah dan keberhasilan kultur jaringan (Dixon, 1985). Menurut George dan Sherrington (1984) mengemukakan bahwa auksin diperlukan dalam pembelahan sel dan adanya konsentrasi sitokinin yang tepat maka pembentukan kalus menjadi lebih cepat.
Berdasarkan hasil sidik ragam presentase eksplan yang berkalus dari empat perlakuan yang diujikan menunjukan bahwa kombinasi konsentrasi 2,4-D dan BAP pada medium MS dengan penambahan Air kelapa 15% berpengaruh sangat nyata terhadap kecepatan pembentukan kalus kakao sehingga diuji lanjut dengan uji BNJ (Lampiran 3b). Hasil uji beda nyata jujur (BNJ) pada taraf 5% dan 1% menunjukkan perbedaan dari empat perlakuan (Lampiran 3c), Hal ini kemungkinkan disebabkan perbedaan konsentrasi ZPT pada medium MS sehingga memberikan respon yang berbeda pula dalam pembentukan kalus. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Urfiana (2013), melaporkan bahwa pemberian perbedaan konsentrasi 2,4-D dan BAP serta Air kepala 15% pada medium MS memberikan respon pertumbuhan yang berbeda pada petumbuhan kalus kakao.
Pada pengamatan morfologi kalus yaitu meliputi pengamatan bentuk fisik kalus, warna dan tipe kalus dapat diketahui bahwa setiap perlakuan menghasilkan kalus yang berbeda-beda baik warna maupun tipe kalus yang dihasilkanya. Perlakuan yang menghasilkan kalus yang lebih baik yaitu pada perlakuan KW3 karena massa kalus yang dihasilkan pada perlakuan ini relatif lebih besar dan menghasilkan kalus yang bertipe remah dan intermediet, seragam dan aktif membelah. pada medium KW1 meskipun menghasilkan kalus yang bertipe remah dan intermediet namun massa kalus yang dihasilkan lebih kecil dan pertumbuhanya tidak seragam. Pada perlakuan KW4 meskipun massa kalusnya besar dan berwarna putih dengan tekstur yang remah dan kompak tetapi kalus pada medium ini warnannya lebih cepat berubah menjadi putih kecoklatan serta pertumbuhannya lambat. Sedangkan untuk perlakuan KW2 meskipun menghasilkan kalus dengan tipe yang remah dan intermediet tetapi massa kalus yang dihasilkan lebih kecil dan berwarna putih kuningan, pertumbuhannya lambat (gambar 4.3 dan tabel 4.1).
Rata-rata tipe kalus yang terbentuk tiap perlakuan yang dicobakan berwarna putih yang berlangsung ± 6 minggu. Selanjutnya rata-rata perubahan warna kalus mulai terjadi ± 7 minggu setelah pembentukkan kalus dari warna putih lama kelamaan menjadi putih kekuningan dan setelah minggu ke 8 kalus pada beberapa medium sudah memperlihatkan perubahan warna yaitu berubah menjadi warna putih kecoklatan (tabel lampiran 4).
Perubahan warna kalus tersebut menunjukkan adanya perubahan fase pertumbuhan pada sel dan daya regenerasi sel. Kalus yang berwarna putih menunjukkan sel-sel yang masih muda dan aktif membelah sedangkan kalus yang berwarna putih kekeuningan menunjukkan bahwa sel yang menuju fase pembelahan aktif dan sel yang berwarna putih kecoklatan menunjukan gejala penuaan sel. Sel-sel yang demikian memiliki aktifitas pembelahan sel yang rendah sehingga daya regenerasinya berkurang. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya yaitu penelitian Ariati (2012) dari eksplan embrio biji kakao menunjukkan warna kalus yang terbentuk mula-mula berwarna putih yang berlangsung ± 1 minggu, selanjutnya berubah warna ± 2 minggu menjadi warna kecoklatan lama kelamaan menjadi coklat dan penelitian yang dilakukan oleh Urfiana (2013) dari eksplan stamen dari bunga kakao klon Sulawesi 2 (S2) menunjukkan warna kalus yang terbentuk mula-mula kalus berwarna putih yang berlangsung ± 5 minggu, selanjutnya berubah warna ± 6 minggu menjadi warna kecoklatan.
Berdasarkan perbedaan tersebut maka dalam penelitian ini menggunakan eksplan staminodia dari bunga kakao klon Sulawesi 1 (S1) karena selain bertujuan untuk menghasilkan kalus yang lebih baik dari penelitian-penelitian sebelumnya yaitu menghasilkan kalus yang lebih jernih dan putih serta bertahan lama juga dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya karena kakao klon Sulawesi 1 (S1) merupakan kakao yang di anggap unggul di lapangan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa medium yang paling baik untuk pertumbuhan kalus staminodia bunga T. cacao klon Sulawesi 1 adalah medium KW3 karena menghasilkan kalus yang lebih baik yaitu ditandai dengan munculnya kalus yang berwarna putih, bertipe remah dan intermediet serta menghasilkan kalus yang lebih banyak, massa kalus relatif lebih besar, seragam dan aktif membelah mulai 14 hari setelah kultur. Walaupun dalam segi kuantitas parameter pengamatan saat muncul kalus yang lebih baik adalah KW1 akan tetapi kualitas kalus yang dihasilkan tidak baik, ditandai dengan massa kalus yang dihasilkan lebih kecil dan pertumbuhannya tidak seragam dalam satu media kultur.
Perbedaan kalus yang dihasilkan dari tiap eksplan ini menunjukkan bahwa setiap genotipe mempunyai kandungan zat pengatur tumbuh endogen yang berbeda dan perbedaan genetis antar klon (Priyono dkk., 2000). Perbedaan itu juga mungkin disebabkan karena adanya respon yang berbeda terhadap zat pengatur tumbuh yang ditambahkan. Menurut Gunawan (1992), kalus dapat diinisiasi dari hampir semua bagian tanaman, tetapi organ yang berbeda menunjukkan kecepatan pembelahan sel yang berbeda pula.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa semua perlakuan yang dicobakan mampu menginduksi kalus kakao staminodia bunga Theobroma cacao L. klon Sulawesi 1. Medium yang terbaik untuk pertumbuhan kalus staminodia bunga T. cacao klon Sulawesi 1 adalah medium MS + 2 ppm 2,4-D + 0,1 ppm BAP + (15%) Air kelapa (KW3) karena berdasarkan morfologi kalus dihasilkan cenderung berwarna putih, bertipe remah dan intermediet, massa kalus relatif lebih besar seragam dan aktif membelah mulai 12-14 hari setelah kultur. Rata-rata kalus yang terbentuk tiap perlakuan berwarna putih yang berlangsung ± 6 minggu hari setelah tanam.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, respon pertumbuhan kalus tercepat yaitu pada media KW1 dengan rata-rata 12,67 hari setelah tanam. Sedangkan, eksplan yang memberikan respon paling lambat yaitu eksplan pada medium KW2 dengan rata-rata 20,33 hari setelah penanaman dan rata-rata jumlah presentasi kalus tertinggi ditunjukkan pada perlakuan KW3 yaitu (100%) dan jumlah presentase kalus terendah ditunjukkan pada medium KW2 yaitu (96,33%).
5.2. Saran
Disarankan untuk penelitian selanjutnya menggunakan medium MS dengan penambahan 2 ppm 2,4-D + 0,1 ppm BAP + (15%) Air kelapa untuk pembentukkan kalus embrionik T. cacao L. dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang regenerasi kalus pada media tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar