Senin, 01 Juni 2015

Perbanyakan Cepat Klon-Klon Harapan Anyelir Secara In Vitro dan Aklimatisasinya




Perbanyakan Cepat Klon-Klon Harapan Anyelir Secara In Vitro dan Aklimatisasinya
January 23, 2009 by wuryan
Dok. Wuryan's Weblog
Ketersediaan benih bermutu merupakan kendala utama dalam budidaya anyelir (Dianthus caryophillus). Sejauh ini benih anyelir diperoleh dari tanaman induk yang digunakan secara berulang. Hal ini mengakibatkan rendahnya kualitas bunga yang dihasilkan oleh para petani di sentra produksi.Penelitian ini dilakukan di Balai Penelitian tanaman Hias selama tahun 2002 dengan tujuan untuk mendapatkan bibit klon-klon harapan anyelir melalui perbanyakan in vitro. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan 5 ulangan.Perlakuan adalah 6 klon anyelir dengan satuan unit percobaan sebanyak 5 botol per klon. Untuk menginduksi percepatan pertumbuhan tunas aksiler, setiap plantlet dipotong dengan 1 ruas batang dan segera ditanam kedalam media MS + 5 um NAA + 10 um BA. Di dalam media tersebut akan terjadi multiplikasi plantlet dalam waktu sekitar 30 hari setelah kultur. Potongan plantlet dengan satu ruas batang selanjutnya ditanam kedalam media MS + 0.1 mg/l IAA untuk menginduksi perakaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan regenerasi dari eksplan tunas apikal berbeda nyata antar klon anyelir. Klon 24.17 dan 21.22 memiliki kemampuan regenerasi yang paling tinggi. Kendati demikian tingginya kemampuan regenerasi kedua klon tersebut tidak diikuti oleh tingginya kemampuan pertumbuhan vegetatif. Selama pertumbuhan vegetatif klon-klon anyelir tidak mengalami dominansi pertumbuhan tunas apikal terhadap pertumbuhan sistem perakaran. Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan vegetatif berlangsung secara simultan. Berdasarkan hasil penelitian ini tampak bahwa aklimatisasi plantlet dari kultur in vitro membutuhkan media yang spesifik untuk tiap kultivar anyelir. Pada media pasir, sistem perakaran plantlet tidak dapat berkembang optimal akibat dari rendahnya ketersediaan hara dalam media. Media untuk aklimatisasi anyelir yang terbaik ialah yang mengandung kuntan dan humus bambu.
Kata kunci: Dianthus caryophillus, bibit klon-klon anyelir, kultur in vitro, IAA, NAA, BA
ABSTRACT. Sanjaya, L., M. Dewanti and E. Febrianty. 2004. Rapid propagation of promising clones of carnation and their acclimatization.Availability of prime quality cuttings is a major constrain in cultivation programme of carnations (Dianthus caryophillus). Up till now farmers use cutting produced from repetition of mother stock resulted in low quality of flower production. In this study plantlet of some carnation clones was propagated. A completely randomized design with 5 replications was used.The treatment were 6 clones of carnations with experimental unit 5 bottles per clones, each bottle contained 3 explants of internodes. To induce acceleration growth of auxiliary bud, medium of MS + 5 um NAA + 10 um BA was applied. In the media, the explants would be regenerates very fast in the 30 days after culture. The results showed that regeneration potential of auxiliary shoot varied among the tested clones. Clones 24.17 and 21.22 produced highers numbers of auxiliary buds compared to those other clones.However, those highest regeneration potential was not followed by the fastest apical growing of the plantlets. During the vegetative growing period the roots grew extensively from which sufficient nutrient were adsorbed to produced new auxiliary buds. Based upon the study known that each clone required specific nutrition proven from different vegetative growing pattern of the plantlets. Media composed from mixture of burned rice husk and bamboo compost was the best one for acclimatization.
Keywords: Dianthus caryophillus, carnation, in vitro culture, IAA, NAA, BA
Anyelir (Dianthus caryophilus) merupakan salah satu komoditas tanaman hias yang populer di Indonesia. Sejalan dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan perkembangan industri pariwisata, permintaan akan bunga anyelir meningkat pesat. Sekitar sepuluh juta tangkai bunga setiap tahun diperdagangkan di pasar domestik. Hal ini merangsang para petani dan pengusaha bunga anyelir untuk berproduksi secara maksimal. Popularitas bunga anyelir berkaitan dengan keanekaragaman bentuk dan warna bunga, sehingga dapat disusun menjadi rangkaian yang indah (Nainggolan, 1995).
Anyelir umumnya dibudidayakan dalam skala komersial dengan menerapkan teknologi yang bervariasi dari sistem tradisional hingga sistem modern. Prospek bisnis yang cerah menggugah investor untuk menanamkan modal di bidang usahatani anyelir. Hal ini ditandai oleh peningkatan jumlah pengusaha baru yang bergerak di bidang usahatani anyelir di berbagai sentra produksi di Jawa Barat dan Jawa Timur. Kondisi demikian menciptakan lapangan kerja baru yang sangat positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya (DBPH, 1999).
Salah satu komponen input agribisnis anyelir yang paling penting adalah bibit. Hingga kini bibit anyelir yang dibudidayakan oleh para petani dan pengusaha anyelir masih harus diimpor. Ketergantungan terhadap bibit impor kurang menguntungkan, karena akan menguras devisa negara melalui pembayaran royalti ke negara lain. Selain itu para pengusaha bunga anyelir berhadapan dengan masalah keterlambatan pengiriman bibit anyelir impor yang dapat mengganggu keberlanjutan sistem produksi. Bibit yang dikirim oleh produsen dari luar negeri seringkali tidak adaptif dan agak rentan terhadap hama/penyakit di daerah tropik (Santika, 1996).
Upaya penyediaan bibit anyelir untuk menunjang kesinambungan produksi di dalam negeri perlu dilakukan. Salah satu di antaranya ialah melalui perbanyakan secara in vitro. Beberapa orang peneliti di dalam dan luar negeri telah melakukan penelitian tentang perbanyakan anyelir secara in vitro.Marwoto dkk. (1999) menyatakan bahwa penggunaan media MS + 0.1 mg/l IAA dapat merangsang inisiasi tunas aksiler sekaligus menginduksi pertumbuhan ruas batang dan rumpun anyelir. Untuk meningkatkan laju pertumbuhan tunas aksiler secara cepat dianjurkan menggunakan media MS yang ditambah dengan NAA dan BA masing-masing dengan konsentrasi 2 mg/l dan 1 mg/l. Menurut De Jong (1995) regenerasi pucuk dapat diinduksi dari potongan tunas apikal, batang dan petal.
Sejak empat tahun yang lalu kegiatan pemuliaan anyelir telah dilakukan secara intensif, hasilnya cukup menggembirakan. Tiga dari 15 klon harapan yang ada telah dievaluasi oleh Tim Penilai dan Pelepasan Varietas, Departemen Pertanian dan dinyatakan layak untuk dilepas. Dalam upaya mempercepat pelepasan varietas anyelir maka dibutuhkan metode perbanyakan cepat untuk penyediaan benih pemulia sesuai persyaratan pelepasan varietas.
Sejauh ini perbanyakan anyelir secara in vitro dilakukan dengan bahan eksplan tunas aksiler. Marwoto dkk. (1999) menyatakan bahwa media MS yang diberi auksin dengan konsentrasi 0.1 – 0.5 mg/l sangat baik untuk perbanyakan anyelir secara in vitro dari bahan tunas aksiler. Selain tunas aksiler, bahan eksplan lainnya seperti petal, daun dan batang dapat pula digunakan untuk materi perbanyakan (Pierik, 1987). Nakano et al. (1994) menemukan bahwa penggunaan MS yang mengandung BA 5 – 10 Î¼m dan NAA 5 Î¼m sangat efektif meregenerasikan pucuk dari eksplan petal. Namun di antara jenis sitokinin yang diuji ternyata N-2-chloro-4-pyridyl-N’-phenylurea lebih efektif dibandingkan BA, kinetin dan zeatin.
Regenerasi dan pertumbuhan tunas aksiler sangat dipengaruhi oleh auksin dan sitokinin. Pengaruh rangsangan auksin terhadap jaringan ternyata sangat spesifik. Rangsangan yang paling kuat terjadi pada sel-sel meristem apikal batang dan koleoptil. Pada konsentrasi tinggi, auksin lebih bersifat menghambat daripada merangsang pertumbuhan. Pengaruh auksin terhadap perkembangan sel menunjukkan adanya indikasi bahwa auksin dapat meningkatkan tekanan osmotik, meningkatkan sintesis protein dan menambah permeabilitas sel terhadap air (Sriyanti dan Wijayani, 1994). Sitokinin adalah kelompok senyawa organik yang menyebabkan pembelahan sel yang dikenal dengan istilah proses sitokinensi. Wattimena (1992) juga menyatakan bahwa peran fisiologis sitokinin selain mendorong pembelahan sel, juga mempengaruhi morfogenesis, pertunasan, pembentukan kloroplas, pemecahan dormansi dan pembentukan stomata.
Di dalam penelitian ini akan diamati produksi dan kualitas plantlet klon-klon harapan anyelir dan media optimum untuk aklimatisasinya. Tujuan penelitian ini ialah mendapatkan bibit klon-klon harapan anyelir melalui perbanyakan in vitro sebagai persyaratan pelepasan varietas.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan di laboratorium Pemuliaan dan Kultur Jaringan Balai Penelitian Tanaman Hias pada bulan Januari sampai dengan Desember 2002. Penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian tahun sebelumnya.Media yang sesuai untuk perbanyakan anyelir secara in vitro telah diperoleh pada penelitian sebelumnya. Pada penelitian ini, alternatif media kultur terbaik diaplikasikan pada klon-klon harapan anyelir untuk mendapatkan jumlah bibit yang memenuhi persyaratan pelepasan varietas.
Bahan yang digunakan adalah enam klon harapan anyelir hasil dari program hibridisasi tahun 1998 – 1999. Dua ruas batang dari tiap klon anyelir disterilkan ke dalam larutan ethanol 80% selama 30 detik dan NaOCl 2% selama 12 menit. Setelah itu eksplan ditanam dalam media MS tanpa zat pengatur tumbuh. Setelah terjadi inisiasi tunas aksiler, maka eksplan dipindahkan ke dalam media MS + 0.1 mg/l IAA. Media tersebut berfungsi untuk mempercepat pertumbuhan tunas aksiler. Untuk menginduksi percepatan pertumbuhan tunas aksiler, batang planlet dengan satu ruas batang segera ditanam ke dalam media MS + 5 Î¼m NAA + 10 Î¼m BA. Di dalam media tersebut akan terjadi pelipatgandaan jumlah plantlet dalam waktu sekitar 30 hari setelah tanam. Potongan plantlet dengan satu ruas batang dipanen dan ditanam ke dalam media MS + 0,1 mg/l IAA untuk pengakaran.Plantlet yang telah berakar kemudian diaklimatisasikan dan dipelihara hingga menjadi tanaman dewasa, sebagai induk di rumah kaca. Dari tanaman induk tersebut akan dihasilkan stek pucuk untuk kebutuhan produksi bunga.Aklimatisasi menggunakan campuran kuntan (arang sekam) dan humus bambu dengan perbandingan 3 : 1. Sebelum digunakan, maka kuntan dan humus bambu terlebih dahulu di sterilkan secara pasteurisasi selama 4 jam. Sehari sebelum tanam, pupuk dasar yang terdiri atas Urea, TSP dan KCl masing-masing secara berurutan diaplikasikan dengan dosis 400 kg/ha Urea, 350 kg/ha TSP, dan 350 kg/ha. Dua minggu setelah tanam, plantlet yang tumbuh dipinching. Panen stek pertama dilakukan 3 minggu setelah pinching dan panen stek berikutnya akan dilakukan dengan frekuensi 10 hari sekali.
Setelah bahan plantlet 6 klon harapan anyelir telah memadai jumlahnya, maka plantlet tersebut dikeluarkan dari botol. Agar plantlet tidak stres setelah dikeluarkan dari botol, maka kondisi lingkungan mikro di luar botol dibuat optimum, di antaranya bibit diletakkan di bawah penaungan. Media tanam plantlet selama aklimatisasi terdiri atas 3 jenis yaitu pasir, campuran humus + kuntan, atau humus saja.
Pada percobaan di laboratorium susunan perlakuan mengikuti rancangan acak lengkap dengan 5 ulangan. Sebagai perlakuan adalah enam klon anyelir dengan satuan unit percobaan sebanyak 5 botol per klon, setiap botol berisi 3 eksplan berupa potongan ruas batang. Sedangkan pada percobaan aklimatisasi di rumah kaca, susunan perlakuan mengikuti pola Faktorial dalam RAK. Sebagai faktor pertama adalah 6 klon anyelir dan faktor ke dua adalah 3 jenis media aklimatisasi. Dengan demikian terdapat 18 kombinasi perlakuan. Setiap kombinasi perlakuan terdiri atas 50 plantlet yang diulang sebanyak 3 kali. Di dalam penelitian ini diamati (1) inisiasi tunas aksiler, (2) tinggi plantlet (cm) dan jumlah rumpun, (3) jumlah akar, (4) jumlah regeneran dalam media regenerasi dan jumlah plantlet yang bertahan hidup selama aklimatisasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Inisiasi Tunas Aksiler
Data tentang rataan inisiasi tunas aksiler dapat dilihat dalam Tabel 1.Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa respon klon terhadap media regenerasi tunas aksiler berbeda nyata. Inisiasi tunas aksiler yang paling cepat ditemukan pada klon 24.17 yaitu pada 5.35 hari setelah kultur. Secara statistik waktu inisiasi tunas aksiler pada klon tersebut tidak berbeda nyata dengan klon 21.22 dan 24.11. Di antara klon yang diuji, klon 11.14 mengalami inisiasi tunas aksiler yang paling lambat, yaitu pada 14.49 hari, dan secara statistik dua klon lainnya yaitu 10.6 dan 11.27 dapat dikatakan sama lambatnya. Perbedaan waktu inisiasi tunas aksiler antar klon berkaitan dengan kandungan auksin dan sitokinin endogenus di dalam jaringan meristematis pada tiap klon. Klon yang memiliki kandungan auksin dan sitokinin endogenus yang paling banyak maka mengalami inisiasi yang paling cepat (Pierik, 1987).Dengan induksi auksin endogenus dari dalam media kultur, eksplan klon 24.17 berinisiasi paling cepat dibandingkan dengan klon lainnya. Di dalam penelitian ini eksplan diambil dari organ meristem apikal yang seragam, sehingga perbedaan waktu inisiasi tunas aksiler yang terjadi antara klon disebabkan oleh kandungan hormonal didalam jaringan meristematis tiap klon. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Nakano et al. (1994), waktu inisiasi tunas aksiler yang diperoleh dari penelitian ini lebih cepat sekitar 3 hari.Dengan menggunakan klon tipe standar Nakano et al. (1994) mendapatkan waktu inisiasi tunas aksiler tercepat pada 8 hari setelah tanam. Cuzzuol et al. (2001). Menyarankan komposisi media in vitro anyelir untuk pertumbuhan meristem sebagai berikut 4 g/l gelrite, 0.5 Î¼g/l NAA, 0.05 Î¼g/l BAP dalam media MS. Media MS yang dimodifikasi anjuran Cuzzuol et al (2001) kiranya dapat diterapkan untuk klon-klon anyelir yang lambat berinisiasi.
Tabel 1. Inisiasi Tunas Aksiler Berbagai Klon Anyelir Dalam Media in Vitro / Initiation of auxiliary Buds of Various Clones of Carnation
Nomor / Number
Klon Anyelir / Clones of Carnation
Inisiasi Tunas Aksiler Dalam Media MS + IAA 0.1 mg/l / Initiation of Auxiliary Buds
(hari setelah kultur)
1
2
3
4
5
6
24.11
10.6
24.17
21.22
11.27
11.14
9.61 abc*)
13.58 cd
5.35 a
7.70 ab
11.26 bcd
14.49 d
*) angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut DMRT 5% / Means followed by the same letter are not significantly difference according to DMRT at 5%.
Tinggi Plantlet dan Jumlah Rumpun
Nilai rataan tinggi plantlet yang terbesar diperoleh pada klon 24.17.Secara statistik nilai rataan tinggi plantlet pada klon tersebut tidak berbeda nyata dengan semua klon, kecuali dengan klon 10.6 yang memiliki nilai rataan tinggi plantlet paling rendah. Nilai rataan tinggi plantlet dari seluruh klon yang diuji berkisar antara 7.29-12.62 cm. Perbedaan kecepatan pertumbuhan apikal dari tiap klon nyata dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya adalah responnya terhadap hara yang terkandung didalam media tumbuh. Klon 24.17 mampu menyerap hara yang tersedia didalam medium kultur lebih baik dibandingkan klon lainnya. Hara yang terserap oleh plantlet digunakan untuk sintesis berbagai senyawa organik yang pada gilirannya untuk membentuk organ vegetatif (Bidwell, 1980). Selain hara, perbedaan tinggi plantlet juga berkaitan dengan fungsi hormon endogenus didalam jaringan meristematik apikal. Plantlet yang mengandung hormon auksin dan sitokinin dalam jumlah yang lebih banyak akan tumbuh lebih cepat dibandingkan plantlet lainnya yang memiliki hormon endogenus lebih sedikit. Menurut Petru dan Landa (1974) kecepatan pertumbuhan apikal dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jenis media, genotipe dan kondisi lingkungan. Dari ketiga faktor tersebut, genotipe dianggap sebagai faktor yang paling penting. Secara alami inisaisi tunas aksiler terkait erat dengan kandungan zat pengatur tumbuh endogenus didalam jaringan meristematis. Auksin berperanan penting dalam pemanjangan dan pembesaran sel. Sedang sitokinin berpengaruh terhadap pembelahan sel. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Woodson (1991) bahwa kemampuan regenerasi sel-sel pucuk adventif anyelir dipengaruhi oleh kandungan auksin dan sitokinin didalam bahan eksplan.
Jumlah rumpun yang terbanyak ditemukan pada klon 24.11, namun secara statistik tidak berbeda nyata dengan semua klon yang digunakan, kecuali klon 10.6 dan 21.22. Dari enam klon yang digunakan ternyata klon 10.6 menghasilkan rumpun yang paling sedikit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dua klon, yaitu klon 24.11 dan 11.14 berespon paling baik terhadap media kultur yang digunakan. Selain menghasilkan jumlah rumpun yang lebih banyak, dua klon tersebut memiliki keragaan tumbuh yang paling subur.Menurut Gasser dan Fraley (1989) keragaan planlet merupakan hasil interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Hara organik dan mineral yang terkandung dalam media Murashige dan Skoog dapat diserap oleh dua klon tersebut yang selanjutnya dimanfaatkan untuk sintesis organ vegetatif tanaman. Klon lainnya juga mampu memanfaatkan hara yang tersedia, tetapi pemanfaatannya tidak seoptimal seperti pada klon 24.11 dan 11.14 (Lu et al, 1991). Beberapa klon justru memperlihatkan gejala fitrifikasi yang diduga berkaitan dengan kelebihan unsur nitrogen maupun sumber karbohidrat didalam media in vitro. Kemungkinan lain penyebab fitrifikasi adalah tingginya kelembaban absolut udara di dalam botol kultur. Oleh karena itu disarankan agar mencari penutup botol kultur yang tidak kedap udara untuk menurunkan kelembaban nisbi udara di dalam botol kultur.
Tabel 2. Tinggi Plantlet dan Jumlah Rumpun Berbagai Klon Anyelir Dalam Media Perbanyakan In Vitro / Height of Plantlet and Numbers of Tiller of Various Clones of Carnation in the In Vitro Media of Propagation
Nomor /Number
Klon Anyelir / Clones of Carnation
Tinggi Plantlet pada 30 Hari Setelah Kultur / Height of Plantlet 30 Days After Culture (cm)
Jumlah Rumpun pada 30 Hari Setelah Kultur / Numbers of Tillers 30 Days After Culture
1
2
3
4
5
6
24.11
10.6
24.17
21.22
11.27
11.14
10.37 ab*)
7.29 a
12.62 b
11.51 ab
9.18 ab
8.40 ab
15.63 c*)
7.97 a
12.04 abc
8.51 ab
10.62 abc
13.57 bc
*) lihat Tabel 1.
Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk menekan vitrifikasi pada kultur in vitro anyelir, diantaranya melalui pengaturan lingkungan mikro tanaman (Correl et al., 2001a/b). Menurut Dantas et al. (2001), gejala fitrifikasi pada anyelir disebabkan oleh kondisi ventilasi didalam botol kultur.Pada kondisi dengan ventilasi yang baik (well ventilated condition) serapan amonium, nitrat, choride dan fosfat menjadi 5 kali lebih banyak daripada kondisi dengan ventilasi buruk (less ventilated cultures) didalam botol kultur.Tingginya serapan keempat unsur tersebut bukan disebabkan oleh kondisi kemasaman medium kultur. Komposisi media MS yang mengandung 0.5 Î¼g/l BA, 10.3 mM Amonium Nitrat, dan 12 mM Calsium Choride dapat dianjurkan untuk multiplikasi tunas anyelir secara in vitro (Cuzzuol et al., 2001).
Jumlah Akar Plantlet
Jumlah akar ternyata beragam di antara klon anyelir yang digunakan. Hal ini diduga terkait dengan respon genetik. Klon 24.17 menghasilkan akar yang paling banyak diikuti oleh klon 10.6 dan 21.22. Ketiga klon tersebut menghasilkan akar dengan jumlah yang tidak berbeda nyata satu dengan lainnya. Jumlah akar pada klon 21.22 tidak berbeda nyata dengan klon 10.6.Sedang jumlah akar pada klon 24.11 tidak berbeda nyata dengan jumlah akar pada klon 11.27 dan 11.14. Jumlah akar yang paling rendah ditemukan pada klon 11.27, yaitu sebanyak 17.40 helai.
Data dalam Tabel 3 ternyata selaras dengan data parameter pengamatan tinggi plantlet dan waktu inisiasi tunas aksiler, yaitu klon yang menghasilkan akar terbanyak memiliki postur paling tinggi dan inisiasi paling awal. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa pertumbuhan vegetatif plantlet anyelir diduga memiliki pola yang khas, dimana tidak terdapat dominansi ujung pertumbuhan apikal terhadap ujung pertumbuhan perakaran. Dalam kondisi dimana daya dukung lingkungan melimpah, seperti terjadi dalam kultur in vitro, eksistensi sistem perakaran banyak dibutuhkan untuk penyerapan hara semaksimal mungkin. Semakin tinggi luas permukaan akar, semakin banyak hara dapat diserap oleh plantlet. Dengan demikian semakin cepat pertumbuhan vegetatif dapat dicapai oleh plantlet tersebut (Nakano et al., 1994).
Tabel 3. Jumlah Akar Plantlet Berbagai Klon Anyelir Dalam media Perbanyakan / Numbers of Roots of Various Clones of Carnation in the Medium of In Vitro Propagation
Nomor / Number
Klon Anyelir / Clones of Carnation
Jumlah Akar Plantlet / Numbers of Root of Plantlet
1
2
3
4
5
6
24.11
10.6
24.17
21.22
11.27
11.14
21.64 ab*)
30.71 cd
38.10 d
25.97 bcd
17.40 a
19.25 ab
*) lihat Tabel 1.
Jumlah Regeneran Dalam Media Regenerasi
Jumlah regeneran berbeda nyata antara klon anyelir pada setiap periode pengamatan. Perbedaan jumlah regeneran antar klon tersebut diduga disebabkan oleh perbedaan respon genetik. Pada klon-klon 21.22, 11.27,dan 11.14 kemampuan regenerasi cenderung lebih lemah dibandingkan dengan klon 24.17, 10.6, dan 24.11. Klon anyelir 24.17 menghasilkan pucuk regeneran yang paling tinggi yaitu mencapai 27.68 regeneran /plantlet, namun demikian jumlah pucuk regeneran di antara ketiga klon tersebut tidak berbeda nya secara statistik. Klon 11.14 menghasilkan pucuk regeneran dengan jumlah yang paling rendah dibandingkan dengan klon lainnya. Perbedaan jumlah pucuk regeneran pada klon tersebut dengan jumlah pucuk regeneran pada klon yang menghasilkan pucuk regeneran paling tinggi yaitu sekitar 17 tunas regeneran/plantlet.
Tabel 4. Jumlah Regeneran Berbagai Klon Anyelir Dalam Media Regenerasi / Numbers of Regenerans of Various Clones of Carnation in the Medium of Regeneration
Nomor / Number
Klon Anyelir / Clones of Carnation
Jumlah Regeneran Dalam Media Regenerasi / Numbers of Regenerans in Regeration Medium
1
2
3
4
5
6
24.11
10.6
24.17
21.22
11.27
11.14
23.71 bc*)
20.49 bc
27.68 c
17.53 b
19.10 b
10.20 a
*) lihat Tabel 1.
Menurut Nakano et al. (1994) rendahnya kemampuan regeneran tunas apikal disebabkan oleh adanya faktor penghambat. Salah satu yang menjadi faktor penghambat adalah akumulasi etilen yang muncul dari irisan eksplan. Luet al (1991) menyatakan bahwa akumulasi etilen tersebut sebenarnya dapat diminimalkan dengan cara memberikan sitokinin dari suatu produk bahan kimia dan konsentrasi yang tepat. Dari jenis sitokinin yang diuji, kelompok peneliti tersebut menemukan bahwa KT-30 dan TDZ memberikan pengaruh yang paling baik terhadap penurunan kandungan etilen. Sementara itu Halmagyi et al. (2003) melaporkan bahwa jumlah tanaman anyelir yang sehat lebih banyak didapatkan dalam media MS dengan komposisi IAA 5 μM dan Zeatin 6 μM.Dalam media cair, terjadi fitrifikasi yang bukan disebabkan oleh keseimbangan hormonal. Oleh karena itu dianjurkan menggunakan IAA 5 μM dalam media cair dan 4 μM BA dalam media padat.
Aklimatisasi Plantlet Pada Berbagai Media
Data tentang persentase plantlet yang bertahan hidup pada beberapa jenis media aklimatisasi disajikan dalam Tabel 5. Persentase plantlet bertahan hidup nyata dipengaruhi oleh interaksi antara jenis media dan genotipe anyelir. Persentase plantlet bertahan hidup dalam media pasir antara kultivar anyelir berbeda nyata. Klon 11.27 mengalami kematian selama aklimatisasi yang terbanyak. Sementara yang paling sedikit mengalami kematian, yaitu klon 24.17. Pada media campuran antara kuntan dan humus bambu, klon 11.27 mengalami kematian yang paling rendah, tetapi secara statistik tidak berbeda nyata dengan klon 10.6. Sementara jumlah klon yang bertahan hidup sampai dengan akhir penelitian, yaitu klon 11.14. Perbedaan persentase pantlet bertahan hidup terjadi pada media humus bambu tanpa kuntan.Rataan persentase plantlet bertahan hidup pada media humus bambu dan pasir nyata lebih rendah dibandingkan pada media campuran kuntan dan humus bambu.
Pada media campuran kuntan dan humus bambu, jumlah plantlet yang bertahan hidup dari klon 21.22 nyata paling tinggi, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata dengan klon lainnya kecuali klon 24.17. Pada media humus bambu, persentase plantlet bertahan hidup yang paling tinggi ditemukan pada klon 21.22 Pada media ini, persentase hidup plantlet yang paling kecil justru ditemukan pada klon 24.17. Oleh karena pada saat aklimatisasi tanaman mengalami transisi perubahan lingkungan dari kondisi heterotrof menjadi autotrof, maka penangananya harus hati-hati. Penelitian pengaturan lingkungan selama aklimatisasi tanaman telah dilakukan oleh banyak peneliti, di antaranya penggunaan reaktor kabut (Correl et al., 2001c).
Berdasarkan pada hasil penelitian ini tampak bahwa aklimatisasi plantlet dari kultur in vitro membutuhkan media yang spesifik untuk tiap kultivar anyelir. Pada media pasir, sistem perakaran plantlet tidak dapat berkembang optimal akibat dari rendahnya ketersediaan hara dalam media. Plantlet yang ditanam dibawah kondisi tersebut terlihat mengalami stres secara perlahan.Dalam hal ini pasir tidak menyediakan hara dalam jumlah yang cukup untuk mendukung pertumbuhan plantlet. Sementara pada media humus bambu, plantlet mendapat cukup hara tetapi sistem perakaran gagal tumbuh secara ekstensif mengingat sifat dan ciri media yang mudah menjadi padat ketika disiram air. Pemberian kuntan tampaknya menjadi alternatif yang terbaik untuk memperbaiki drainase. Selain itu kuntan mampu menambah hara kalium yang dalam beberapa kasus dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap stres lingkungan.
Tabel 5. Persentase Plantlet Bertahan Hidup Setelah Melewati Masa Aklimatisasi pada Beberapa Jenis Media / Percentage of Survival Plantlet After Acclimatization in the Several Media
Klon Anyelir / Clones of Carnation
Persentase Plantlet Yang Bertahan Hidup / Percentage of Surviving Plantlet (%)
Pasir / Sand
Campuran Kuntan & Humus Bambu / Mixture of Burned Rice Husk and Bamboo Compost
Humus Bambu / Bamboo Compost
24.11
19.47 a
A
39.71 b*)
B
26.74 ab
A
10.6
23.09 ab
A
40.67 b
B
35.29 cd
B
24.17
31.60 cd
B
29.43 a
B
18.49 a
A
21.22
26.81 bc
A
38.41 b
B
40.42 d
B
11.27
17.35 a
A
40.52 b
B
29.05 b
A
11.14
36.66 d
B
21.80 a
A
31.98 bc
B
*) lihat Tabel 1.
KESIMPULAN
1. Kemampuan regenerasi dari eksplan tunas apikal berbeda nyata antara klon anyelir. Klon 24.17 dan 24.11 memiliki kemampuan regenerasi yang paling tinggi. Kendati demikian tingginya kemampuan regenerasi kedua klon tersebut tidak diikuti oleh tingginya kemampuan pertumbuhan vegetatif.
2. Selama pertumbuhan vegetatif klon-klon anyelir tidak mengalami dominansi pertumbuhan tunas apikal terhadap pertumbuhan sistem perakaran. Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan vegetatif berlangsung secara simultan.
3. Berdasarkan hasil penelitian ini tampak bahwa aklimatisasi planlet dari kultur in vitro membutuhkan media yang spesifik untuk tiap kultivar anyelir. Pada media pasir, sistem perakaran planlet tidak dapat berkembang optimal akibat dari rendahnya ketersediaan hara dalam media.
SARAN
Gejala fitrifikasi cenderung dominan pada hampir semua plantlet anyelir semasa di dalam botol kultur. Sehingga kematian bibit menjadi tinggi selama proses aklimatisasi. Oleh karena itu disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan dalam upaya mengurangi gejala fitrifikasi, di antaranya menggunakan penutup botol kultur yang tidak kedap udara, seperti plastik wrap.
PUSTAKA
1. Bidwell, S.G.R. 1980. Organization in Time. Plant Physiology. Second Edition. Macmillan Publishing Co. Inc. New York.
2. Correl, M.J., Y. Wu and P.J. Weathers. 2001a. Controlling Hyperhydration of Carnations (Dianthus caryophyllus L.) Grown in a Mist Reactor.Biotechnology & Bioengineering. 74:307-314.
3. Correl, M.J., Y. Wu and P.J. Weathers. 2001b. Effects of Light CO2, and Humidity on Carnation Growth, Hyperhydration, and Cuticular Wax Development in a Mist Reactor. In Vitro Cellular and Developmental Biology-Plant. Biotechnology & Bioengineering37:405-413.
4. Correl, M.J., Y. Wu and P.J. Weathers. 2001c. One-step Acclimatization of Planlets Using a Mist Reactor. Biotechnology & Bioengineering. 73:253-258.
5. Cuzzuol, G.R.E., L.A. Gallo, M. De. Almeida and O.J. Crocomo. 2001. Control of Carnation Vitrification In Vitro. 2001. Scientia agricola 52(3) Abstract.
6. Dantas, A.K., J.P. Majada, B. Fernandez and M.J. Carial. 2001. Mineral nutrition in carnation tissue cultures under different ventilation conditions. Kluwer Acad. Publ. Plant Growth regulation 33(3) (Abstract).
7. Direktorat Bina Produksi Hortikultura. 1999. Prospek industri benih hortikultura pada masa mendatang. Jakarta. Seminar perbenihan hortikultura. Departemen Pertanian, Jakarta, 27 hal.
8. De Jong, J. 1995. Selection for physiological Traits. In : J. Harding, F. Sing, J.M.N. Mol (eds). Genetics and breeding of ornamental species.Kluwer Academic publishers Dordrect. 109 p.
9. Gasser, C.S. & R.T. Fraley. 1989. Genetically engineering plants for crop improvement. Science 244:1293-1299.
10. Halmagyi, A., T. Fodoipataki and J. Frink. 2003. Contributions to the in Vitro Micropropagation of Carnation. Abstract.http://bioge.ubbcluj.ro/sonac/cboo_15.htm
11. Lu, G.Y, G. Nugent and T. W. Richardson, S.F. Chandler, R. Young and M.J. Dailing. 1991. Agrobacterium-mediated transformation of carnation. Bio Technology. 9:864-868.
12. Marwoto, B. R. Kurniati dan M. Dewanti. 1999. Perbanyakan secara in vitro klon-klon anyelir. Kumpulan laporan hasil penelitian tanaman hias. Proyek APBN Balai Penelitian Tanaman Hias.
13. Nainggolan, K. 1995. Analisis peluang bisnis hortikultura di Indonesia.Seminar Nasional Perhorti. 20 September 14 p.
14. Nakano, M., Y. Hoshino and M. Mii. 1994. Adventitious shoot regeneration from cultured petal explants of carnation. Plant Cell, Tissue and Organ Culture. 36 : 15 – 19.
15. Petru, E., and Z. Landa. 1974. Organogenesis in isolated carnation plant callus tissue cultivated in vitro. Biol Plant. 16:450-453.
16. Pierik, R.L.M. 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhoff Publisher. Dordrecht. 208 p.
17. Santika, A. 1996. arah dan strategi penelitian tanaman hias untuk menunjang sistem usaha pertanian berwawasan agribisnis.Seminar penelitian tanaman hias. Balai Penelitian Tanaman Hias.Jakarta 20 maret 1996.
18. Sriyanti, D.P. dan A. Wijayanti. 1994. Teknik kultur jaringan tanaman. Kanisius. Yogyakarta.
19. Wattimena. G.A. 1992. Perluasan pemanfaatan bioteknologi dalam agribisnis. Dalam Wattimena (ed). Bioteknologi Tanaman I. Pusat Antar Universitas IPB. 223 – 236 hal.
20. Woodson, W.R. 1991. biotechnology of floricultural crops. Horsciense crops. Hortsciense 26:1029-1033.
SUMBER : Sanjaya, l., M. Dewanti dan E. Febrianty. 2004.Perbanyakan Cepat Klon-Klon Harapan Anyelir Secara In Vitro dan Aklimatisasinya. Prosiding Seminar Nasional Florikultura, Bogor, 4-5 Agustus : 135 – 142

Tidak ada komentar: