Perbanyakan Cepat Klon-Klon Harapan Anyelir
Secara In Vitro dan Aklimatisasinya
Dok. Wuryan's Weblog
Ketersediaan benih bermutu merupakan
kendala utama dalam budidaya anyelir (Dianthus caryophillus). Sejauh
ini benih anyelir diperoleh dari tanaman induk yang digunakan secara berulang. Hal ini mengakibatkan rendahnya kualitas bunga yang
dihasilkan oleh para petani di sentra produksi.Penelitian ini dilakukan di
Balai Penelitian tanaman Hias selama tahun 2002 dengan tujuan untuk mendapatkan
bibit klon-klon harapan anyelir melalui perbanyakan in vitro. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan 5
ulangan.Perlakuan adalah 6 klon anyelir dengan satuan unit percobaan sebanyak 5
botol per klon. Untuk menginduksi percepatan pertumbuhan tunas aksiler,
setiap plantlet dipotong dengan 1 ruas batang dan segera ditanam kedalam media
MS + 5 um NAA + 10 um BA. Di
dalam media tersebut akan terjadi multiplikasi plantlet dalam waktu sekitar 30
hari setelah kultur. Potongan plantlet dengan satu ruas batang selanjutnya
ditanam kedalam media MS + 0.1 mg/l IAA untuk menginduksi perakaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan regenerasi
dari eksplan tunas apikal berbeda nyata antar klon anyelir. Klon 24.17 dan 21.22 memiliki kemampuan regenerasi yang
paling tinggi. Kendati demikian tingginya kemampuan regenerasi kedua
klon tersebut tidak diikuti oleh tingginya kemampuan pertumbuhan vegetatif. Selama pertumbuhan vegetatif klon-klon anyelir tidak
mengalami dominansi pertumbuhan tunas apikal terhadap pertumbuhan sistem
perakaran. Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan vegetatif
berlangsung secara simultan. Berdasarkan
hasil penelitian ini tampak bahwa aklimatisasi plantlet dari kultur in vitro
membutuhkan media yang spesifik untuk tiap kultivar anyelir. Pada media pasir, sistem perakaran plantlet tidak dapat
berkembang optimal akibat dari rendahnya ketersediaan hara dalam media. Media untuk aklimatisasi anyelir yang terbaik ialah yang
mengandung kuntan dan humus bambu.
Kata kunci: Dianthus caryophillus, bibit klon-klon anyelir, kultur in vitro, IAA, NAA, BA
ABSTRACT. Sanjaya,
L., M. Dewanti and E. Febrianty. 2004. Rapid propagation of promising
clones of carnation and their acclimatization.Availability
of prime quality cuttings is a major constrain in cultivation programme of
carnations (Dianthus caryophillus). Up till now farmers use cutting produced from repetition of
mother stock resulted in low quality of flower production. In this study plantlet of some carnation clones was propagated. A completely randomized design with 5 replications was used.The
treatment were 6 clones of carnations with experimental unit 5 bottles per
clones, each bottle contained 3 explants of internodes. To induce acceleration growth of auxiliary bud, medium of MS + 5
um NAA + 10 um BA was applied. In the
media, the explants would be regenerates very fast in the 30 days after
culture. The
results showed that regeneration potential of auxiliary shoot varied among the
tested clones. Clones
24.17 and 21.22 produced highers numbers of auxiliary buds compared to those
other clones.However, those highest regeneration potential was not followed by
the fastest apical growing of the plantlets. During
the vegetative growing period the roots grew extensively from which sufficient
nutrient were adsorbed to produced new auxiliary buds. Based upon the study known that each clone required specific
nutrition proven from different vegetative growing pattern of the plantlets. Media composed from mixture of burned rice husk and bamboo
compost was the best one for acclimatization.
Keywords: Dianthus
caryophillus, carnation, in vitro culture, IAA, NAA, BA
Anyelir (Dianthus
caryophilus) merupakan salah satu komoditas tanaman hias yang populer di
Indonesia. Sejalan
dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan perkembangan industri
pariwisata, permintaan akan bunga anyelir meningkat pesat. Sekitar sepuluh juta tangkai bunga setiap tahun diperdagangkan
di pasar domestik. Hal ini
merangsang para petani dan pengusaha bunga anyelir untuk berproduksi secara
maksimal. Popularitas
bunga anyelir berkaitan dengan keanekaragaman bentuk dan warna bunga, sehingga
dapat disusun menjadi rangkaian yang indah (Nainggolan, 1995).
Anyelir
umumnya dibudidayakan dalam skala komersial dengan menerapkan teknologi yang
bervariasi dari sistem tradisional hingga sistem modern. Prospek bisnis yang cerah menggugah investor untuk
menanamkan modal di bidang usahatani anyelir. Hal ini ditandai oleh peningkatan jumlah pengusaha baru
yang bergerak di bidang usahatani anyelir di berbagai sentra produksi di Jawa
Barat dan Jawa Timur. Kondisi demikian menciptakan lapangan kerja baru yang
sangat positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya (DBPH,
1999).
Salah
satu komponen input agribisnis anyelir yang paling penting adalah bibit. Hingga kini bibit anyelir yang dibudidayakan oleh para
petani dan pengusaha anyelir masih harus diimpor. Ketergantungan terhadap bibit impor kurang menguntungkan,
karena akan menguras devisa negara melalui pembayaran royalti ke negara lain. Selain itu para pengusaha bunga anyelir berhadapan dengan
masalah keterlambatan pengiriman bibit anyelir impor yang dapat mengganggu
keberlanjutan sistem produksi. Bibit
yang dikirim oleh produsen dari luar negeri seringkali tidak adaptif dan agak
rentan terhadap hama/penyakit di daerah tropik (Santika, 1996).
Upaya
penyediaan bibit anyelir untuk menunjang kesinambungan produksi di dalam negeri
perlu dilakukan. Salah satu di antaranya ialah melalui perbanyakan secara
in vitro. Beberapa orang peneliti di dalam dan luar negeri telah
melakukan penelitian tentang perbanyakan anyelir secara in vitro.Marwoto dkk.
(1999) menyatakan bahwa penggunaan media MS + 0.1 mg/l IAA dapat merangsang
inisiasi tunas aksiler sekaligus menginduksi pertumbuhan ruas batang dan rumpun
anyelir. Untuk meningkatkan laju pertumbuhan tunas aksiler secara
cepat dianjurkan menggunakan media MS yang ditambah dengan NAA dan BA
masing-masing dengan konsentrasi 2 mg/l dan 1 mg/l. Menurut De Jong (1995) regenerasi pucuk dapat diinduksi
dari potongan tunas apikal, batang dan petal.
Sejak
empat tahun yang lalu kegiatan pemuliaan anyelir telah dilakukan secara
intensif, hasilnya cukup menggembirakan. Tiga
dari 15 klon harapan yang ada telah dievaluasi oleh Tim Penilai dan Pelepasan
Varietas, Departemen Pertanian dan dinyatakan layak untuk dilepas. Dalam upaya mempercepat pelepasan varietas anyelir maka
dibutuhkan metode perbanyakan cepat untuk penyediaan benih pemulia sesuai
persyaratan pelepasan varietas.
Sejauh
ini perbanyakan anyelir secara in vitro dilakukan dengan bahan eksplan tunas
aksiler. Marwoto dkk. (1999) menyatakan bahwa media MS yang diberi
auksin dengan konsentrasi 0.1 – 0.5 mg/l sangat baik untuk perbanyakan anyelir
secara in vitro dari bahan tunas aksiler. Selain
tunas aksiler, bahan eksplan lainnya seperti petal, daun dan batang dapat pula
digunakan untuk materi perbanyakan (Pierik, 1987). Nakano et al.
(1994) menemukan bahwa penggunaan MS yang mengandung BA 5 – 10 μm dan NAA 5 μm
sangat efektif meregenerasikan pucuk dari eksplan petal. Namun di antara jenis sitokinin yang diuji ternyata
N-2-chloro-4-pyridyl-N’-phenylurea lebih efektif dibandingkan BA, kinetin dan
zeatin.
Regenerasi
dan pertumbuhan tunas aksiler sangat dipengaruhi oleh auksin dan sitokinin. Pengaruh rangsangan auksin terhadap jaringan ternyata
sangat spesifik. Rangsangan yang paling kuat terjadi pada sel-sel meristem
apikal batang dan koleoptil. Pada
konsentrasi tinggi, auksin lebih bersifat menghambat daripada merangsang
pertumbuhan. Pengaruh auksin terhadap perkembangan sel menunjukkan
adanya indikasi bahwa auksin dapat meningkatkan tekanan osmotik, meningkatkan
sintesis protein dan menambah permeabilitas sel terhadap air (Sriyanti dan
Wijayani, 1994). Sitokinin adalah kelompok senyawa organik yang
menyebabkan pembelahan sel yang dikenal dengan istilah proses sitokinensi. Wattimena (1992) juga menyatakan bahwa peran fisiologis
sitokinin selain mendorong pembelahan sel, juga mempengaruhi morfogenesis,
pertunasan, pembentukan kloroplas, pemecahan dormansi dan pembentukan stomata.
Di
dalam penelitian ini akan diamati produksi dan kualitas plantlet klon-klon
harapan anyelir dan media optimum untuk aklimatisasinya. Tujuan penelitian ini ialah mendapatkan bibit klon-klon
harapan anyelir melalui perbanyakan in vitro sebagai persyaratan pelepasan
varietas.
BAHAN DAN METODE
Penelitian
ini dilakukan di laboratorium Pemuliaan dan Kultur Jaringan Balai Penelitian Tanaman Hias pada bulan Januari sampai dengan
Desember 2002. Penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian tahun
sebelumnya.Media yang sesuai untuk perbanyakan anyelir secara in vitro telah
diperoleh pada penelitian sebelumnya. Pada
penelitian ini, alternatif media kultur terbaik diaplikasikan pada
klon-klon harapan anyelir untuk mendapatkan jumlah bibit yang memenuhi
persyaratan pelepasan varietas.
Bahan
yang digunakan adalah enam klon harapan anyelir hasil dari program hibridisasi
tahun 1998 – 1999. Dua ruas batang dari tiap klon anyelir disterilkan ke
dalam larutan ethanol 80% selama 30 detik dan NaOCl 2% selama 12 menit. Setelah itu eksplan ditanam dalam media MS tanpa zat
pengatur tumbuh. Setelah terjadi inisiasi tunas aksiler, maka eksplan
dipindahkan ke dalam media MS + 0.1 mg/l IAA. Media tersebut berfungsi untuk mempercepat pertumbuhan
tunas aksiler. Untuk menginduksi percepatan pertumbuhan tunas aksiler,
batang planlet dengan satu ruas batang segera ditanam ke dalam media MS + 5 μm NAA + 10 μm
BA. Di dalam media tersebut akan terjadi pelipatgandaan
jumlah plantlet dalam waktu sekitar 30 hari setelah tanam. Potongan plantlet
dengan satu ruas batang dipanen dan ditanam ke dalam media MS + 0,1 mg/l IAA
untuk pengakaran.Plantlet yang telah berakar kemudian diaklimatisasikan dan
dipelihara hingga menjadi tanaman dewasa, sebagai induk di rumah kaca. Dari tanaman induk tersebut akan dihasilkan stek pucuk
untuk kebutuhan produksi bunga.Aklimatisasi menggunakan campuran kuntan (arang
sekam) dan humus bambu dengan perbandingan 3 : 1. Sebelum digunakan, maka kuntan dan humus bambu terlebih
dahulu di sterilkan secara pasteurisasi selama 4 jam. Sehari sebelum tanam, pupuk dasar yang terdiri atas Urea,
TSP dan KCl masing-masing secara berurutan diaplikasikan dengan dosis 400 kg/ha
Urea, 350 kg/ha TSP, dan 350 kg/ha. Dua
minggu setelah tanam, plantlet yang tumbuh dipinching. Panen stek pertama dilakukan 3 minggu setelah pinching
dan panen stek berikutnya akan dilakukan dengan frekuensi 10 hari sekali.
Setelah
bahan plantlet 6 klon harapan anyelir telah memadai jumlahnya, maka plantlet
tersebut dikeluarkan dari botol. Agar
plantlet tidak stres setelah dikeluarkan dari botol, maka kondisi lingkungan
mikro di luar botol dibuat optimum, di antaranya bibit diletakkan di bawah
penaungan. Media tanam plantlet selama aklimatisasi terdiri atas 3
jenis yaitu pasir, campuran humus + kuntan, atau humus saja.
Pada
percobaan di laboratorium susunan perlakuan mengikuti rancangan acak lengkap
dengan 5 ulangan. Sebagai perlakuan adalah enam klon anyelir dengan satuan unit
percobaan sebanyak 5 botol per klon, setiap botol berisi 3 eksplan berupa
potongan ruas batang. Sedangkan pada percobaan aklimatisasi di rumah kaca,
susunan perlakuan mengikuti pola Faktorial dalam RAK. Sebagai faktor pertama adalah 6 klon anyelir dan faktor
ke dua adalah 3 jenis media aklimatisasi. Dengan
demikian terdapat 18 kombinasi perlakuan. Setiap kombinasi perlakuan terdiri
atas 50 plantlet yang diulang sebanyak 3 kali. Di dalam penelitian ini diamati
(1) inisiasi tunas aksiler, (2)
tinggi plantlet (cm) dan jumlah rumpun, (3) jumlah akar, (4) jumlah regeneran
dalam media regenerasi dan jumlah plantlet yang bertahan hidup selama
aklimatisasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Inisiasi
Tunas Aksiler
Data
tentang rataan inisiasi tunas aksiler dapat dilihat dalam Tabel 1.Hasil
analisis ragam menunjukkan bahwa respon klon terhadap media regenerasi tunas
aksiler berbeda nyata. Inisiasi tunas aksiler yang paling cepat ditemukan pada
klon 24.17 yaitu pada 5.35 hari setelah kultur. Secara statistik waktu inisiasi tunas aksiler pada klon
tersebut tidak berbeda nyata dengan klon 21.22 dan 24.11. Di antara klon yang diuji, klon 11.14 mengalami inisiasi
tunas aksiler yang paling lambat, yaitu pada 14.49 hari, dan secara statistik
dua klon lainnya yaitu 10.6 dan 11.27 dapat dikatakan sama lambatnya. Perbedaan
waktu inisiasi tunas aksiler antar klon berkaitan dengan kandungan auksin dan
sitokinin endogenus di dalam jaringan meristematis pada tiap klon. Klon yang memiliki kandungan auksin dan sitokinin
endogenus yang paling banyak maka mengalami inisiasi yang paling cepat (Pierik,
1987).Dengan induksi auksin endogenus dari dalam media kultur, eksplan klon
24.17 berinisiasi paling cepat dibandingkan dengan klon lainnya. Di dalam penelitian ini eksplan diambil dari organ
meristem apikal yang seragam, sehingga perbedaan waktu inisiasi tunas aksiler
yang terjadi antara klon disebabkan oleh kandungan hormonal didalam jaringan
meristematis tiap klon. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Nakano et al. (1994), waktu inisiasi tunas aksiler yang diperoleh
dari penelitian ini lebih cepat sekitar 3 hari.Dengan menggunakan klon tipe
standar Nakano et
al. (1994) mendapatkan waktu inisiasi tunas
aksiler tercepat pada 8 hari setelah tanam. Cuzzuol et al.
(2001). Menyarankan komposisi media in vitro anyelir untuk
pertumbuhan meristem sebagai berikut 4 g/l gelrite, 0.5 μg/l NAA, 0.05 μg/l
BAP dalam media MS. Media MS yang dimodifikasi anjuran Cuzzuol et al (2001) kiranya dapat diterapkan untuk klon-klon anyelir
yang lambat berinisiasi.
Tabel 1. Inisiasi
Tunas Aksiler Berbagai Klon Anyelir Dalam Media in Vitro / Initiation of
auxiliary Buds of Various Clones of Carnation
Nomor
/ Number
|
Klon
Anyelir / Clones of Carnation
|
Inisiasi
Tunas Aksiler Dalam Media MS + IAA 0.1 mg/l / Initiation of
Auxiliary Buds
(hari
setelah kultur)
|
1
2
3
4
5
6
|
24.11
10.6
24.17
21.22
11.27
11.14
|
9.61
abc*)
13.58
cd
5.35
a
7.70
ab
11.26
bcd
14.49
d
|
*) angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
menurut DMRT 5% / Means followed by the same letter are not significantly
difference according to DMRT at 5%.
Tinggi Plantlet dan
Jumlah Rumpun
Nilai rataan tinggi plantlet yang terbesar
diperoleh pada klon 24.17.Secara statistik nilai rataan tinggi plantlet pada
klon tersebut tidak berbeda nyata dengan semua klon, kecuali dengan klon 10.6
yang memiliki nilai rataan tinggi plantlet paling rendah. Nilai rataan tinggi plantlet dari seluruh klon yang diuji
berkisar antara 7.29-12.62 cm. Perbedaan
kecepatan pertumbuhan apikal dari tiap klon nyata dipengaruhi oleh berbagai
faktor di antaranya adalah responnya terhadap hara yang terkandung didalam
media tumbuh. Klon
24.17 mampu menyerap hara yang tersedia didalam medium kultur lebih baik dibandingkan klon lainnya. Hara yang terserap oleh plantlet digunakan untuk sintesis
berbagai senyawa organik yang pada gilirannya untuk membentuk organ vegetatif
(Bidwell, 1980). Selain hara, perbedaan tinggi plantlet juga berkaitan
dengan fungsi hormon endogenus didalam jaringan meristematik apikal. Plantlet yang mengandung hormon auksin dan sitokinin
dalam jumlah yang lebih banyak akan tumbuh lebih cepat dibandingkan plantlet
lainnya yang memiliki hormon endogenus lebih sedikit. Menurut Petru dan Landa (1974) kecepatan pertumbuhan
apikal dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jenis media, genotipe dan
kondisi lingkungan. Dari ketiga faktor tersebut, genotipe dianggap sebagai
faktor yang paling penting. Secara
alami inisaisi tunas aksiler terkait erat dengan kandungan zat pengatur tumbuh
endogenus didalam jaringan meristematis. Auksin
berperanan penting dalam pemanjangan dan pembesaran sel. Sedang sitokinin berpengaruh terhadap pembelahan sel. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Woodson (1991)
bahwa kemampuan regenerasi sel-sel pucuk adventif anyelir dipengaruhi oleh
kandungan auksin dan sitokinin didalam bahan eksplan.
Jumlah
rumpun yang terbanyak ditemukan pada klon 24.11, namun secara statistik tidak
berbeda nyata dengan semua klon yang digunakan, kecuali klon 10.6 dan 21.22. Dari enam klon yang digunakan ternyata klon 10.6
menghasilkan rumpun yang paling sedikit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dua
klon, yaitu klon 24.11 dan 11.14 berespon paling baik terhadap media kultur
yang digunakan. Selain menghasilkan jumlah rumpun yang lebih banyak, dua
klon tersebut memiliki keragaan tumbuh yang paling subur.Menurut Gasser dan
Fraley (1989) keragaan planlet merupakan hasil interaksi antara faktor genetik
dan lingkungan. Hara organik dan mineral yang terkandung dalam media
Murashige dan Skoog dapat diserap oleh dua klon tersebut yang selanjutnya
dimanfaatkan untuk sintesis organ vegetatif tanaman. Klon lainnya juga mampu memanfaatkan hara yang tersedia,
tetapi pemanfaatannya tidak seoptimal seperti pada klon 24.11 dan 11.14 (Lu et al, 1991). Beberapa
klon justru memperlihatkan gejala fitrifikasi yang diduga berkaitan dengan
kelebihan unsur nitrogen maupun sumber karbohidrat didalam media in vitro. Kemungkinan lain penyebab fitrifikasi adalah tingginya kelembaban
absolut udara di dalam botol kultur. Oleh
karena itu disarankan agar mencari penutup botol kultur yang tidak kedap udara
untuk menurunkan kelembaban nisbi udara di dalam botol kultur.
Tabel 2. Tinggi
Plantlet dan Jumlah Rumpun Berbagai Klon Anyelir Dalam Media Perbanyakan In
Vitro / Height
of Plantlet and Numbers of Tiller of Various Clones of Carnation in the In
Vitro Media of Propagation
Nomor
/Number
|
Klon
Anyelir / Clones of Carnation
|
Tinggi
Plantlet pada 30 Hari Setelah Kultur / Height of Plantlet 30 Days After
Culture (cm)
|
Jumlah
Rumpun pada 30 Hari Setelah Kultur / Numbers of Tillers 30 Days After Culture
|
1
2
3
4
5
6
|
24.11
10.6
24.17
21.22
11.27
11.14
|
10.37
ab*)
7.29
a
12.62
b
11.51
ab
9.18
ab
8.40
ab
|
15.63 c*)
7.97 a
12.04 abc
8.51 ab
10.62 abc
13.57 bc
|
*) lihat Tabel 1.
Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk
menekan vitrifikasi pada kultur in vitro anyelir, diantaranya melalui
pengaturan lingkungan mikro tanaman (Correl et
al., 2001a/b). Menurut
Dantas et al.
(2001), gejala fitrifikasi pada anyelir disebabkan oleh kondisi ventilasi
didalam botol kultur.Pada kondisi dengan
ventilasi yang baik (well ventilated condition) serapan amonium, nitrat, choride dan fosfat menjadi 5
kali lebih banyak daripada kondisi dengan ventilasi buruk (less ventilated cultures) didalam botol kultur.Tingginya serapan keempat unsur
tersebut bukan disebabkan oleh kondisi kemasaman medium kultur. Komposisi media MS yang mengandung 0.5 μg/l BA, 10.3 mM Amonium Nitrat, dan 12 mM Calsium Choride
dapat dianjurkan untuk multiplikasi tunas anyelir secara in vitro (Cuzzuol et al., 2001).
Jumlah
Akar Plantlet
Jumlah
akar ternyata beragam di antara klon anyelir yang digunakan. Hal ini diduga terkait dengan respon genetik. Klon 24.17 menghasilkan akar yang paling banyak diikuti
oleh klon 10.6 dan 21.22. Ketiga
klon tersebut menghasilkan akar dengan jumlah yang tidak berbeda nyata satu
dengan lainnya. Jumlah akar pada klon 21.22 tidak berbeda nyata dengan
klon 10.6.Sedang jumlah akar pada klon 24.11 tidak berbeda nyata dengan jumlah
akar pada klon 11.27 dan 11.14. Jumlah
akar yang paling rendah ditemukan pada klon 11.27, yaitu sebanyak 17.40 helai.
Data
dalam Tabel 3 ternyata selaras dengan data parameter pengamatan tinggi plantlet
dan waktu inisiasi tunas aksiler, yaitu klon yang menghasilkan akar terbanyak
memiliki postur paling tinggi dan inisiasi paling awal. Hasil penelitian ini
juga menunjukkan bahwa pertumbuhan vegetatif plantlet anyelir diduga memiliki
pola yang khas, dimana tidak terdapat dominansi ujung pertumbuhan apikal
terhadap ujung pertumbuhan perakaran. Dalam kondisi dimana daya dukung
lingkungan melimpah, seperti terjadi dalam kultur in vitro, eksistensi sistem
perakaran banyak dibutuhkan untuk penyerapan hara semaksimal mungkin. Semakin tinggi luas permukaan akar, semakin banyak hara
dapat diserap oleh plantlet. Dengan
demikian semakin cepat pertumbuhan vegetatif dapat dicapai oleh plantlet
tersebut (Nakano et al., 1994).
Tabel 3. Jumlah
Akar Plantlet Berbagai Klon Anyelir Dalam media Perbanyakan / Numbers of Roots
of Various Clones of Carnation in the Medium of In
Vitro Propagation
Nomor
/ Number
|
Klon
Anyelir / Clones of Carnation
|
Jumlah
Akar Plantlet / Numbers of Root of Plantlet
|
1
2
3
4
5
6
|
24.11
10.6
24.17
21.22
11.27
11.14
|
21.64
ab*)
30.71
cd
38.10
d
25.97
bcd
17.40
a
19.25
ab
|
*) lihat Tabel 1.
Jumlah
Regeneran Dalam Media Regenerasi
Jumlah
regeneran berbeda nyata antara klon anyelir pada setiap periode pengamatan. Perbedaan jumlah regeneran antar klon tersebut diduga
disebabkan oleh perbedaan respon genetik. Pada
klon-klon 21.22, 11.27,dan 11.14 kemampuan regenerasi cenderung lebih lemah
dibandingkan dengan klon 24.17, 10.6, dan 24.11. Klon anyelir 24.17
menghasilkan pucuk regeneran yang paling tinggi yaitu mencapai 27.68 regeneran
/plantlet, namun demikian jumlah pucuk regeneran di antara ketiga klon tersebut
tidak berbeda nya secara statistik. Klon 11.14 menghasilkan pucuk regeneran
dengan jumlah yang paling rendah dibandingkan dengan klon lainnya. Perbedaan jumlah pucuk regeneran pada klon tersebut
dengan jumlah pucuk regeneran pada klon yang menghasilkan pucuk regeneran
paling tinggi yaitu sekitar 17 tunas regeneran/plantlet.
Tabel 4. Jumlah
Regeneran Berbagai Klon Anyelir Dalam Media Regenerasi / Numbers of Regenerans
of Various Clones of Carnation in the Medium of Regeneration
Nomor
/ Number
|
Klon
Anyelir / Clones of Carnation
|
Jumlah Regeneran Dalam Media Regenerasi / Numbers of
Regenerans in Regeration Medium
|
1
2
3
4
5
6
|
24.11
10.6
24.17
21.22
11.27
11.14
|
23.71
bc*)
20.49
bc
27.68
c
17.53
b
19.10
b
10.20
a
|
*) lihat Tabel 1.
Menurut Nakano et
al. (1994) rendahnya kemampuan regeneran tunas apikal disebabkan
oleh adanya faktor penghambat. Salah
satu yang menjadi faktor penghambat adalah akumulasi etilen yang muncul dari
irisan eksplan. Luet al (1991)
menyatakan bahwa akumulasi etilen tersebut sebenarnya dapat diminimalkan dengan
cara memberikan sitokinin dari suatu produk bahan kimia dan konsentrasi yang
tepat. Dari
jenis sitokinin yang diuji, kelompok peneliti tersebut menemukan bahwa KT-30 dan
TDZ memberikan pengaruh yang paling baik terhadap penurunan kandungan etilen. Sementara itu Halmagyi et
al. (2003) melaporkan bahwa jumlah tanaman anyelir yang sehat
lebih banyak didapatkan dalam media MS dengan komposisi IAA 5 μM dan Zeatin 6
μM.Dalam media cair, terjadi fitrifikasi yang bukan disebabkan oleh
keseimbangan hormonal. Oleh
karena itu dianjurkan menggunakan IAA 5 μM dalam media cair dan 4 μM BA dalam
media padat.
Aklimatisasi Plantlet
Pada Berbagai Media
Data tentang persentase plantlet yang bertahan
hidup pada beberapa jenis media aklimatisasi disajikan dalam Tabel 5. Persentase plantlet bertahan hidup nyata dipengaruhi oleh
interaksi antara jenis media dan genotipe anyelir. Persentase plantlet bertahan hidup dalam media pasir antara
kultivar anyelir berbeda nyata. Klon
11.27 mengalami kematian selama aklimatisasi yang terbanyak. Sementara yang paling sedikit mengalami kematian, yaitu klon
24.17. Pada
media campuran antara kuntan dan humus bambu, klon 11.27 mengalami kematian
yang paling rendah, tetapi secara statistik tidak berbeda nyata dengan klon
10.6. Sementara jumlah klon
yang bertahan hidup sampai dengan akhir penelitian, yaitu klon 11.14. Perbedaan persentase pantlet bertahan hidup terjadi pada media
humus bambu tanpa kuntan.Rataan persentase plantlet bertahan hidup pada media
humus bambu dan pasir nyata lebih rendah dibandingkan pada media campuran
kuntan dan humus bambu.
Pada media campuran kuntan dan humus bambu,
jumlah plantlet yang bertahan hidup dari klon 21.22 nyata paling tinggi,
walaupun secara statistik tidak berbeda nyata dengan klon lainnya kecuali klon
24.17. Pada
media humus bambu, persentase plantlet bertahan hidup yang paling tinggi
ditemukan pada klon 21.22 Pada
media ini, persentase hidup plantlet yang paling kecil justru ditemukan pada
klon 24.17. Oleh
karena pada saat aklimatisasi tanaman mengalami transisi perubahan lingkungan
dari kondisi heterotrof menjadi autotrof, maka penangananya harus hati-hati. Penelitian pengaturan lingkungan selama aklimatisasi tanaman telah
dilakukan oleh banyak peneliti, di antaranya penggunaan reaktor kabut (Correl et al., 2001c).
Berdasarkan pada hasil penelitian ini tampak
bahwa aklimatisasi plantlet dari kultur in vitro membutuhkan media yang
spesifik untuk tiap kultivar anyelir. Pada
media pasir, sistem perakaran plantlet tidak dapat berkembang optimal akibat
dari rendahnya ketersediaan hara dalam media. Plantlet
yang ditanam dibawah kondisi tersebut terlihat mengalami stres secara
perlahan.Dalam hal ini pasir tidak menyediakan hara dalam jumlah yang cukup
untuk mendukung pertumbuhan plantlet. Sementara
pada media humus bambu, plantlet mendapat cukup hara tetapi sistem perakaran
gagal tumbuh secara ekstensif mengingat sifat dan ciri media yang mudah menjadi
padat ketika disiram air. Pemberian
kuntan tampaknya menjadi alternatif yang terbaik untuk memperbaiki drainase. Selain itu kuntan mampu menambah hara kalium yang dalam beberapa
kasus dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap stres lingkungan.
Tabel 5. Persentase
Plantlet Bertahan Hidup Setelah Melewati Masa Aklimatisasi pada Beberapa Jenis
Media / Percentage of Survival Plantlet After Acclimatization in the Several
Media
Klon
Anyelir / Clones of Carnation
|
Persentase
Plantlet Yang Bertahan Hidup / Percentage of Surviving Plantlet (%)
|
||
Pasir
/ Sand
|
Campuran
Kuntan & Humus Bambu / Mixture of Burned Rice Husk and Bamboo Compost
|
Humus
Bambu / Bamboo Compost
|
|
24.11
|
19.47
a
A
|
39.71
b*)
B
|
26.74
ab
A
|
10.6
|
23.09
ab
A
|
40.67
b
B
|
35.29
cd
B
|
24.17
|
31.60
cd
B
|
29.43
a
B
|
18.49
a
A
|
21.22
|
26.81
bc
A
|
38.41
b
B
|
40.42
d
B
|
11.27
|
17.35
a
A
|
40.52
b
B
|
29.05
b
A
|
11.14
|
36.66
d
B
|
21.80
a
A
|
31.98
bc
B
|
*) lihat Tabel 1.
KESIMPULAN
1. Kemampuan regenerasi dari eksplan tunas apikal
berbeda nyata antara klon anyelir. Klon 24.17 dan 24.11 memiliki kemampuan regenerasi yang
paling tinggi. Kendati demikian tingginya kemampuan regenerasi kedua
klon tersebut tidak diikuti oleh tingginya kemampuan pertumbuhan vegetatif.
2. Selama
pertumbuhan vegetatif klon-klon anyelir tidak mengalami dominansi pertumbuhan
tunas apikal terhadap pertumbuhan sistem perakaran. Hal ini mengindikasikan
bahwa pertumbuhan vegetatif berlangsung secara simultan.
3. Berdasarkan hasil penelitian ini tampak bahwa
aklimatisasi planlet dari kultur in vitro membutuhkan media yang spesifik untuk
tiap kultivar anyelir. Pada
media pasir, sistem perakaran planlet tidak dapat berkembang optimal akibat
dari rendahnya ketersediaan hara dalam media.
SARAN
Gejala fitrifikasi cenderung dominan pada
hampir semua plantlet anyelir semasa di dalam botol kultur. Sehingga kematian bibit menjadi tinggi selama proses
aklimatisasi. Oleh
karena itu disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan dalam upaya
mengurangi gejala fitrifikasi, di antaranya menggunakan penutup botol kultur
yang tidak kedap udara, seperti plastik wrap.
PUSTAKA
1. Bidwell, S.G.R. 1980. Organization
in Time. Plant
Physiology. Second
Edition. Macmillan Publishing Co. Inc. New York.
2. Correl, M.J., Y. Wu and
P.J. Weathers. 2001a. Controlling
Hyperhydration of Carnations (Dianthus
caryophyllus L.)
Grown in a Mist Reactor.Biotechnology &
Bioengineering. 74:307-314.
3. Correl, M.J., Y. Wu and
P.J. Weathers. 2001b. Effects
of Light CO2, and Humidity on Carnation Growth, Hyperhydration, and Cuticular
Wax Development in a Mist Reactor. In
Vitro Cellular and Developmental Biology-Plant. Biotechnology
& Bioengineering37:405-413.
4. Correl, M.J., Y. Wu and
P.J. Weathers. 2001c. One-step
Acclimatization of Planlets Using a Mist Reactor. Biotechnology
& Bioengineering. 73:253-258.
5. Cuzzuol, G.R.E., L.A.
Gallo, M. De. Almeida and O.J. Crocomo. 2001. Control of Carnation Vitrification In Vitro. 2001. Scientia agricola 52(3) Abstract.
6. Dantas, A.K., J.P.
Majada, B. Fernandez and M.J. Carial. 2001. Mineral
nutrition in carnation tissue cultures under different ventilation conditions. Kluwer Acad. Publ. Plant
Growth regulation 33(3) (Abstract).
7. Direktorat Bina Produksi
Hortikultura. 1999. Prospek industri benih hortikultura pada masa mendatang. Jakarta. Seminar
perbenihan hortikultura. Departemen
Pertanian, Jakarta, 27 hal.
8. De Jong, J. 1995. Selection for physiological Traits. In : J. Harding, F. Sing, J.M.N. Mol (eds). Genetics and breeding of ornamental species.Kluwer Academic
publishers Dordrect. 109 p.
9. Gasser, C.S. & R.T. Fraley. 1989. Genetically engineering plants for crop improvement. Science 244:1293-1299.
10. Halmagyi, A., T. Fodoipataki and J. Frink. 2003. Contributions
to the in Vitro Micropropagation of Carnation. Abstract.http://bioge.ubbcluj.ro/sonac/cboo_15.htm
11. Lu, G.Y, G. Nugent and T. W. Richardson, S.F. Chandler, R. Young
and M.J. Dailing. 1991. Agrobacterium-mediated
transformation of carnation. Bio Technology.
9:864-868.
12. Marwoto, B. R. Kurniati dan M. Dewanti. 1999. Perbanyakan
secara in vitro klon-klon anyelir. Kumpulan
laporan hasil penelitian tanaman hias. Proyek
APBN Balai Penelitian Tanaman Hias.
13. Nainggolan, K. 1995. Analisis
peluang bisnis hortikultura di Indonesia.Seminar Nasional
Perhorti. 20
September 14 p.
14. Nakano, M., Y. Hoshino and M. Mii. 1994. Adventitious shoot regeneration from cultured petal explants of
carnation. Plant Cell,
Tissue and Organ Culture. 36 : 15
– 19.
15. Petru, E., and Z. Landa. 1974. Organogenesis
in isolated carnation plant callus tissue cultivated in vitro. Biol Plant. 16:450-453.
16. Pierik, R.L.M. 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Martinus
Nijhoff Publisher. Dordrecht. 208
p.
17. Santika, A. 1996. arah
dan strategi penelitian tanaman hias untuk menunjang sistem usaha pertanian
berwawasan agribisnis.Seminar penelitian
tanaman hias. Balai Penelitian Tanaman Hias.Jakarta 20 maret 1996.
18. Sriyanti, D.P. dan
A. Wijayanti. 1994. Teknik
kultur jaringan tanaman. Kanisius. Yogyakarta.
19. Wattimena. G.A. 1992. Perluasan pemanfaatan bioteknologi dalam agribisnis. Dalam Wattimena (ed). Bioteknologi
Tanaman I. Pusat Antar Universitas IPB. 223 – 236 hal.
20. Woodson, W.R. 1991. biotechnology
of floricultural crops. Horsciense crops. Hortsciense 26:1029-1033.
SUMBER
: Sanjaya, l., M. Dewanti dan E. Febrianty. 2004.Perbanyakan Cepat
Klon-Klon Harapan Anyelir Secara In Vitro dan Aklimatisasinya. Prosiding
Seminar Nasional Florikultura, Bogor, 4-5 Agustus : 135 – 142
Tidak ada komentar:
Posting Komentar