KATA PENGANTAR
Sebagai pedoman bagi manusia, Al-Quran mengandung
ajaran tentang kehidupan manusia yaitu manusia sebagai hamba dan manusia
sebagai wakil Allah SWT. di bumi (khalifah). Keluasan kandungan
Al-Quran tersebut menjadi bukti terhadap firman Allah SWT., artinya :” Kitab
itu (Al-Quran) adalah tidak ada keraguan, dan menjadi pedoman bagi
orang yang bertakwa[1]”. (QS. Al-Baqarah : 2).
Ciri-ciri orang yang bertakwa di antaranya adalah
mendayagunakan “akal” untuk meneliti isi Al-Quran. Usaha tersebut dilakukan
atas dasar melaksanakan perintah Allah SWT. serta untuk meningkatkan pengamalan
Al-Quran dalam kehidupan.
Berdasarkan paradigma tersebut, termotivasi
penulis untuk mengkaji firman Allah SWT. ayat 282 dari surat Al-Baqarah yang mengatur tentang utang
piutang.
Kajian ini dilakukan sebagai sebuah jawaban
terhadap pertanyaan – pertanyaan sebagai berikut : 1). Kenapa Allah SWT.
memerintahkan pencatatan dan kesaksian dalam transaksi utang piutang?; 2).
Kenapa kesaksian dua wanita di mata Allah SWT. sama dengan satu lelaki?; 3).
Dan sejauhmana dampak manajemen utang piutang tersebut terhadap kehidupan
manusia?.
Dalam kajian ini penafsiran Ibnu Katsir penulis
jadikan sebagai dasar dalam memahami maksud ayat. Kemudian ayat tersebut
penulis bahas secara mendalam melalui pendekatan ilmu sosiologi, psykologi,
akuntansi dan fiqih.
Wallahu a’lam.
Darussalam, Banda Aceh
19 Rabiul Akhir 1433 H. / 29 Maret 2011 M.
Al Furqan
I. Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk Allah SWT. mempunyai
peran ganda yaitu sebagai hamba dan sebagai khalifah di bumi. Peran ganda
tersebut jika dikelola dengan benar berdasarkan ketentuan Allah SWT., kehidupan
manusia akan menjadi baik (dunia – akhirat) karena ihwal kehidupan manusia
sangat ditentukan dari ketaatan mereka kepada Allah SWT.
Aristatoles filosof Yunani (384 - 322 SM.)
menyampaikan teori tentang manusia. Manusia adalah “Zoon Politikon” yaitu
makhluk sosial yang hanya menyukai hidup bergolongan, atau sedikitnya mencari
teman untuk hidup bersama, lebih suka daripada hidup menyendiri[2]. Pertemanan
tersebut dalam sosiologi diistilahkan sebagai relasi sosial (social
relation). Sedangkan dalam fiqih dinamakan dengan muamalah.
Relasi atau interaksi sosial sebagai sebuah
kebutuhan manusia, maka ketersediaan pedoman (worldview) untuk menjaga
kebutuhan tersebut adalah sebuah keniscayaan. Untuk kepentingan itu, manusia
membuat peraturan – peraturan berdasarkan keyakinan dan budaya mereka
masing-masing.
Manusia yang benar, menjadikan Al – Quran dan
Hadis sebagai pedoman dalam mewujudkan keharmonisan
ber-muamalah. Kedua sumber tersebut
berisikan tentang aqidah dan syari’ah yang kemudian syari’ah
itu sendiri terdiri dari ibadah dan muamalah.
Aqidah berkaitan dengan persoalan
keimanan dan keyakinan manusia terhadap eksistensi Allah SWT. Ibadah
berkaitan dengan pengabdian manusia sebagai hamba kepada Allah SWT. Sedangkan muamalah
merupakan ajaran yang berkaitan dengan interaksi manusia dengan yang lain dalam
memenuhi kebutuhan masing-masing[3].
Konsep muamalah yang terkandung dalam
Al-Quran dan Hadis adalah seluruh tindakan manusia tidak bisa melepaskan diri
dari nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, mengutamakan kemaslahatan umum,
kesamaan hak dan kewajiban serta melarang berbuat curang dan melarang
berperilaku tidak bermoral di antara satu dengan yang lain[4]. Peraturan muamalah
seperti itu salah satunya terdapat dalam ayat 282 dari surat Al-Baqarah yang mengatur tentang hutang
piutang.
Untuk mengetahui bagaimana peraturan hutang
piutang dari ayat tersebut dan sejauhmana dampak aturan itu terhadap kehidupan
manusia sebagai makhluk sosial, dalam kajian ini penulis akan menafsirkan ayat
282 dari surat
Al-Baqarah secara mendalam.
Dalam memahami maksud ayat tersebut, tafsir Ibnu
Katsir penulis jadikan sebagai referensi primer. Sedangkan untuk
mengetahui sejauhmana dampak manajemen tersebut terhadap kehidupan manusia,
buku-buku tentang sosiologi, psykologi, fiqih dan akuntansi penulis posisikan
juga sebagai referensi utama.Jika referensi yang diperlukan tidak penulis dapati,
maka penulis akan menguraikan secara inferential. Wallahu a’lam.
II. Pokok Bahasan
Untuk kepentingan kajian
tentang konsepsi ber-muamalah yang tertuang dalam Al-Quran dalam
tulisan singkat ini akan penulis tafsirkan QS. Al – Baqarah ayat 282 yang berisikan
tentang manajemen utang piutang.
Dalam penafsiran ini, penulis menafsirkan ayat
tersebut tidak hanya merujuk kepada penafsiran yang sudah ada, dalam hal ini
tafsir Ibnu Katsir. Akan tetapi untuk memahami lebih dalam ayat
dimaksud, penulis menafsirkan dengan melibatkan disiplin ilmu pengetahuan
sosiologi, psykologi, akuntansi dan fiqih. Dengan pendekatan interdisipliner
ini diharapkan, sisi positif bagi manusia dari manajemen utang piutang yang
tersurat dalam Al-Quran bisa dibuktikan secara ilmiah.
Ayat 282 Al-Quran surat Al – Baqarah, artinya adalah
sebagai berikut :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan (apa yang ditulis itu), dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikit pun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah
akalnya atau (lemah keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mendiktekan, maka
hendaklah walinya mendiktekan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang
saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tak ada dua orang laki-laki,
maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi
itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu
jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu
membayarnya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu,
(tulislah muamalahmu itu) kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu
jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. Dan persaksikanlah jika kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada
Allah, Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.[5]
III. Asbab An-Nuzul
Ulama sepakat, bahwa ayat-ayat Al-Quran yang
turun tidak semuanya memiliki asbab an-nuzul. Berdasarkan kesepakatan ulama
tersebut, pengertian asbab an-nuzul adalah sebab-sebab (peristiwa) yang
melatari turun ayat-ayat Al-Quran.
Pengertian tersebut di atas penulis pahami dari
pengertian asbab an-nuzul yang didefinisikan oleh kalangan ulama baik
al-Zarqani[6], Manna Al-Qaththan[7] serta Dr.M.Quraisy Syihab[8].
Istilah “SEBAB” di sini, tidak sama pengertiannya
dengan istilah “SEBAB” yang dikenal dalam hukum kausalitas. Karena adanya asbab
an-nuzul untuk ayat-ayat tertentu lebih bersifat penampakan hubungan
kebijaksanaan antara Allah SWT. sebagai pemberi petunjuk dengan manusia yang
diberi petunjuk.
Mengetahui asbab an-nuzul dalam menafsirkan ayat-ayat
Al-Quran akan membantu para mufassir dalam memahami maksud dari sebuah ayat
Al-Quran. Pandangan demikian maskipun redaksi yang berbeda dinyatakan juga oleh
al-Syatibi, al-Wahidi, Ibn Daqiq al-Id, Ibn Taymiyah, al-Sayuti[9].
Sebagai contoh manfaat dari mengetahui asbab
an-nuzul adalah menghilangkan kemusykilan dalam memahami terhadap maksud ayat.
Kesukaran dalam memahami maksud ayat pernah dialami oleh Marwan bin Hakam
tentang kemusykilan Marwan dalam memahami ayat 188 QS. Ali-Imran yang artinya :
“ Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang yang gembira dengan apa
yang telah mereka kerjakan dan mereka suka dipuji atas perbuatan yang tidak
mereka lakukan, jangan sekali-kali kamu mengira bahwa mereka akan lolos dari
azab. Mereka akan mendapat azab yang pedih”[10].
Kesukaran Marwan dari ayat itu adalah bagaimana
mungkin orang yang bergembira dengan apa yang telah diperbuatnya dan senang
dipuji atas apa yang tidak diperbuatnya, lalu disiksa oleh Allah?.
Akan tetapi ketika Marwan mengetahui asbab an-nuzul
ayat tersebut melalui Ibn ‘Abbas, kesukaran Marwan tersebut terjawab. Asbab
an-nuzul ayat dimaksud adalah berkaitan dengan pertanyaan Rasulullah SAW.
kepada orang-orang Yahudi dan mereka tidak menjawab pertanyaan Rasulullah SAW.
bahkan mereka menceritakan apa yang tidak ditanyakan Rasulullah SAW.
Mereka mengira bahwa tindakan mereka itu menimbulkan respek Rasulullah SAW.
(marah) kepada mereka sehingga mereka merasa gembira dengan sikap tersebut.
Kesepakatan ulama sebagaimana tersebut di atas
bahwa tidak semua ayat dalam Al-Quran memiliki asbab an-nuzul salah satunya
terbukti dengan ayat 282 yang tersurat dalam QS. Al-Baqarah. Ayat
tersebut turun bukan dilatari dari suatu peristiwa sebagaimana pengertian asbab
an-nuzul itu sendiri.
Tapi bila dipahami bahwa Al-Quran turun sebagai
hidayah dan berisi pesan-pesan moral, maka setiap ayat yang turun tidak kosong
dari asbab an-nuzul. Begitu juga halnya dengan ayat 282 dalam QS. Al-Baqarah. Wallahu
a’lam.
IV. Manajemen Utang Piutang (QS.
Al-Baqarah Ayat 282) :
Sebuah
Konsep Sosial (muamalah) Dalam Islam
Manusia dalam hidup dan kehidupannya tidak dapat
melepaskan diri dari hidup berkelompok yang demikian sudah terlihat semenjak
manusia itu lahir. Pakar sosiologi Ellwood menyatakan; kehidupan sosial harus
dipandang sebagai satuan tabiat kejiwaan yang lebih tinggi dan lebih sesuai
yang telah tumbuh dari satuan biologi[11].
Unsur-unsur keharusan biologi manusia untuk hidup
dan berkehidupan sosial dapat diketahui dari berbagai macam pendekatan di antaranya
ialah; kebutuhan untuk perlindungan; kebutuhan untuk makan; kebutuhan
untuk berkembang biak; dan kebutuhan untuk bermasyarakat[12].
Memenuhi kebutuhan tersebut, manusia dengan
segenap potensi yang ada berupaya memperoleh kebutuhan mereka berdasarkan
kemampuan masing-masing. Hal demikian teridentifikasi dari hasil usaha manusia
yang variatif dan berimplikasi kepada tingkatan sosial mereka.
Tingkatan sosial yang terjadi dalam kehidupan
manusia akan menyebabkan kebaikan bagi mereka jika satu dengan yang lain saling
mengisi dan tidak saling menzalimi. Konsep sosial seperti itulah yang diatur
dalam Al-Quran untuk terjaga keharmonisan sosial sebagai kebutuhan dasar bagi
umat manusia.
Perbedaan tingkatan sosial manusia antara lain
adalah terjadi dalam aspek perekonomian. Perbedaan itulah yang melatari
perbuatan utang piutang kerap terjadi dalam kehidupan manusia. Al-Quran sebagai
pedoman umat Islam menjelaskan secara rinci tentang perbuatan tersebut yaitu
pada ayat 282 dari surat
Al-Baqarah.
Mengawali ayat tersebut, Allah SWT. berfirman
yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya”.
Dalam penafsiran ini, tadaayantum diartikan
dengan muamalah karena utang piutang merupakan perbuatan sosial
manusia yang di dalamnya terlibat debitor (pemberi utang) dan
kreditor (orang yang berutang).
Ayat tersebut, Allah SWT. menuntun hamba-Nya yang
mukmin, jika mereka bermuamalah hutang piutang hendaknya ditulis supaya jelas
jumlahnya, waktunya, dan memudahkan untuk persaksian.
Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa ayat tersebut
diturunkan berkenaan dengan hutang piutang yang terjamin, jelas masanya dan
telah dihalalkan oleh Allah SWT. Beliau juga mengatakan, ketika Rasulullah SAW.
sampai di kota Madinah dijumpai di sana orang biasa
meminjamkan buah untuk setahun, dua tahun atau tiga tahun, maka Rasulullah SAW.
bersabda, artinya : “ Barangsiapa meminjamkan harus meminjamkan dengan
takaran yang tertentu, timbangan yang tertentu dan masa yang tertentu.
(HR. Bukhari – Muslim)[13].
Pada akhir ayat di atas “hendaklah kamu
menuliskannya”, Ibnu Katsir memahami perintah menulis di sini hanya
merupakan petunjuk ke jalan yang baik dan terjaminnya keselamatan yang
diharapkan, bukan perintah wajib. Ibnu Juraij berkata, “pada mulanya perintah
menulis itu wajib, kemudian kewajiban itu di-nasakh dengan ayat 283
QS. Al-Baqarah artinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang
penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). Akan tetapi jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu
menunaikan amanatnya (hutangnya)”. Di akhir ayat tersebut nyata bahwa tidak
ada tulis menulis lanjut Ibnu Juraij[14].
Menuliskan utang piutang sebagai manajemen sosial
manusia berdasarkan ayat di atas dalam bentuk “anjuran” dan bukan sebuah
“kewajiban” adalah sebuah petunjuk yang melegitimasikan bahwa dalam
diri manusia mempunyai dua kecenderungan yang berbeda yaitu baik (taqwa)
dan buruk (fujur).
Hal tersebut sebagaimana firman Allah SWT. dalam
Al – Quran surat
Asy-Syamsu ayat 8-10 yang artinya : “ Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa
manusia sifat fujur dan takwa. Sungguh bahagia orang yang mensucikan jiwanya,
dan sungguh celaka orang yang mengotori jiwanya”.
Kecenderungan yang baik mendorong manusia untuk
berperilaku yang normatif. Sedangkan yang buruk menjadikan perilaku manusia
berdasarkan hawa nafsu (impulsif). Dengan demikian, kehidupan manusia
senantiasa dihadapkan pada situasi konflik antara benar-salah dan baik-buruk.
Untuk menyelesaikan konflik tersebut, Allah SWT. memberikan kebebasan kepada
manusia untuk memilih (free choice) dan impact bagi
manusia adalah berdasarkan pilihan manusia sendiri.
Manusia sebagai makhluk yang memiliki dua
kecenderungan yang berbeda dalam diri menyebabkan kehidupan sosial mereka tidak
luput dari kecemasan dan ancaman. Kondisi tersebut berimplikasi terhadap
kepribadian manusia, dan dalam ilmu psykologi, kepribadian tersebut dijelaskan
secara detail oleh Kally dengan memperkenalkan konsep anxiety (cemas)
dan threat (ancaman).
Kally melaporkan bahwa anxiety dan threat
merupakan keadaan yang kritis bagi organisme. Oleh karena itu individu
senantiasa berusaha melindungi diri dari anxiety dengan berbagai cara.
Anxiety bukan akibat dari konstruk yang tidak sah (invalidated),
tetapi merupakan akibat dari tidak dimiliki oleh manusia sebuah konstruk yang
cocok dengan situasi yang dihadapi.
Sedangkan threat mempunyai daerah
pecabangan yang luas, manakala individu melakukan aktivitas yang baru, dia akan
mengalami kebingungan (confusion) dan ancaman, kebingungan ini
memungkinkan dapat mengarahkan kepada hal-hal baru, tetapi juga mungkin akan
menjadi ancaman bagi individu. Seseorang akan mengalami threat,
manakala dia menyadari bahwa sistem konstruk yang ada secara drastis
dipengaruhi oleh apa yang dihadapi[15].
Di samping anxiety dan threat,
Kelly juga mengemukakan teori tentang psychopathology. Psychopathology ini
meliputi konsep - konsep aggression, hostility, dan guilt. Menurut
Kelly, aggression itu melibatkan elaborasi yang aktif bidang persepsi
seseorang. Aggression ini memiliki dua kutub yang ekstrim, yaitu kutub
inisiatif (penuh daya) dan kutub yang kaku (inertia). Lawan dari
aggression adalah hostility yaitu seseorang mencoba untuk
membuat orang lain berbuat dengan cara yang sesuai dengan harapan dia.
Sedangkan guilt perasaan bersalah pada diri sendiri seseorang sehingga
tidak mengherankan bagi kita ada peristiwa bunuh diri yang terjadi dalam
kehidupan manusia[16].
Berdasarkan kecenderungan jiwa manusia
sebagaimana yang tertuang dalam QS. Asy-Syamsu ayat 8-10 dan telah dibuktikan
secara ilmiah melalui ilmu psykologi manusia. Maka perintah Allah SWT. kepada
manusia untuk mencatat utang piutang merupakan sebuah konsep yang terbaik untuk
keutuhan kehidupan sosial manusia sendiri. Dengan konsep demikianlah kenyamanan
(prudential) manusia terwujud.
Kendatipun pencatatan utang piutang bukan sebuah
kewajiban, akan tetapi dalam keadaan tertentu, pencatatan tersebut menjadi
wajib apalagi berkaitan dengan kepentingan manusia secara umum (maslahah
‘ammah). Karena hukum Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan.
Hal demikian didasarkan kepada kaidah ushul fiqh,
“al-Maslahatul ‘ammah muqaddimatun minal maslahatil syakhsiyah (kepentingan
umum lebih diutamakan daripada kepentingan pribadi)”.
Pencatatan utang piutang sebagai sebuah konsep
yang dibutuhkan oleh manusia juga diperkuat oleh keberadaan ilmu akuntansi
sebagai sebuah pengetahuan yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Ilmu tersebut
berkonsentrasi tentang proses mengenali, mengukur dan mengkomunikasikan
informasi ekonomi untuk memperoleh pertimbangan dan keputusan yang tepat oleh
pemakai informasi yang bersangkutan. Kemudian output-output dari pengetahuan
tersebut diintegrasikan menjadi sebuah definisi akuntansi secara luas[17].
Ayat selanjutnya Allah SWT. berfirman, artinya : “
Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya
dengan benar. Dan janganlah penulis enggan (menolak) menuliskannya sebagaimana
Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis.
Maksud dari firman tersebut, Ibnu Katsir
menjelaskan bahwa Allah SWT. mengajarkan supaya antara orang yang berhutang dan
yang mengutang ada pencatat, yaitu seorang yang adil, jujur dan tidak memiliki
kepentingan, hanya semata-mata memberikan tenaga yang dibutuhkan oleh saudara
sesama muslim.
Sedangkan orang yang dimintakan bantuan untuk
menuliskan transaksi tersebut adalah sebuah kewajiban untuk ditunaikan menurut
Ibnu Katsir. Hal demikian terpahami dari hadis Rasulullah SAW. yang artinya: “Sesungguhnya
setengah daripada sedaqah adalah membantu pekerjaan orang yang tidak mampu
dikerjakan”.
Dalam hadis yang lain, artinya : “Barangsiapa
yang menyembunyikan ilmu yang diketahuinya, akan dikendalikan di hari kiamat
dengan kendali api neraka”[18].
Dalam dunia akuntansi, pengajaran Allah SWT.
tersebut telah diterapkan secara utuh. Sebagai sebuah disiplin ilmu,
mengaplikasikan sebuah metode atau konsep adalah berangkat dari proses-proses
eksperimen ilmiah. Begitu juga dengan akuntansi sebagai sebuah ilmu.
Hasil dari sebuah penelitian, pakar akuntansi
Marcus Aurelius melaporkan bahwa, karakter ideal para akuntan adalah, “Seseorang
hendaknya berkepribadian jujur; bukan diperintahkan jujur”[19]. Pandangan
Marcus tersebut menjadi nyata bahwa ajaran Al-Quran sangat memahami konsep
sosial berdasarkan kebutuhan manusia.
Para akuntan
dalam menjalankan profesi memiliki kode etik yang dinamakan dengan “kode etika
profesi (code of professional ethic) yang disusun oleh organisasi
profesi Certified Public Accountant (CPA) dan AICPA.
Seorang CPA mempunyai kewajiban untuk memberikan
pelayanan dengan penuh tanggungjawab dan kejujuran bukan hanya bagi kliennya,
tetapi juga kepada teman sejawat dan masyarakat secara umum. Tujuan kode etik
tersebut untuk menanamkan kepercayaan terhadap mutu jasa yang diberikan oleh
profesi akuntan publik.
Kode tersebut menetapkan standar minimum
pelaksanaan yang diterima umum; namun seringkali dituntut hal yang melebihi
ketentuan yang secara hukum sudah dapat diterima. Misalnya, kode etika profesi
AICP melarang penggunaan iklan palsu yang menyesatkan dan menipu.
Seorang CPA yang melanggar kode etika dikenakan
tindakan disiplin. AICPA dan CPA memiliki wewenang memberhentikan seorang
pelanggar kode etik dari keanggotaan organisasi[20].
Masih dalam ayat yang sama, Allah melanjutkan
firman yang artinya: “ Dan hendaklah orang yang berhutang itu
mendiktekan (apa yang ditulis), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya”.
Firman Allah SWT. di atas bermaksud bahwa dalam
proses pencatatan utang, data – data tersebut bersumber dari pihak pengutang
bukan dari pemberi hutang. Karena posisi orang yang berhutang adalah pihak yang
lemah dibandingkan dengan pemberi utang. Kendati pun demikian, Allah tetap
memperingatkan orang yang berhutang untuk bertakwa kepada-Nya, jangan sampai
mengurangi atau merugikan pihak pemberi utang dan jangan menyembunyikan apa pun
dalam perjanjian tersebut.
Firman Allah SWT. di atas mengingatkan kita
kepada diskripsi Kelly tentang psychopathology manusia yang
cenderungan menerapkan konsep hostility yaitu seseorang mencoba untuk
membuat orang lain berbuat dengan cara yang sesuai dengan harapan dia. Dan
dalam firman Allah SWT. di atas memberikan sinyal tentang eksistensi hostility
dalam diri manusia yaitu dengan melindungi pihak yang berhutang dari tekanan (pressure)
pemberi hutang dengan cara menjadikan data-data pengutang sebagai data primer
dalam transaksi hutang piutang. Dan begitu juga untuk melindungi pemberi hutang
dari pressure pengutang yaitu Allah SWT. mewajibkan kepada pengutang
untuk memelihara komitmen berdasarkan perjanjian yang telah dibuat.
Dan firman Allah SWT., artinya : “Jika
orang yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau
dia sendiri tidak mampu mendiktekan, maka hendaklah walinya mendiktekan dengan
jujur”.
Firman Allah SWT. sangat jelas kepada kita bahwa jika
yang berhutang itu orang bodoh atau tidak sempurna akal, maka keterlibatan wali
pengutang untuk menuliskan hutang tersebut adalah sebuah kewajiban dalam sebuah
transaksi hutang piutang.
Masih dalam ayat yang sama Allah berfirman,
artinya: “ Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang
laki di antaramu. Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang
laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya
jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya”.
Ibnu Katsir menerangkan maksud firman Allah SWT.
di atas dengan hadis yang bersumber (sanad) dari Abu Hurairah r.a.
Rasulullah bersabda, artinya: “Wahai para wanita, bersedekahlah kalian dan
perbanyaklah meminta ampunan (istighfar) karena aku melihat kebanyakan ahli
neraka adalah wanita. Salah seorang wanita bertanya, mengapa wanita banyak
menghuni neraka ya Rasulullah?, Rasul menjawab, karena banyak mengomel dan
memungkiri budi suami. Aku tidak melihat orang yang kurang akal dan agamanya
yang dapat mengalahkan orang yang sempurna akal selain kalian. Ditanya, apakah
kekurangan akal dan agama kami?, jawab Rasul, adapun kurang
akal, maka terbukti dalam kesaksian dua wanita sama dengan satu lelaki,
dan pada hari-hari tertentu tidak melaksanakan salat dan tidak puasa, maka ini
termasuk kurang agamanya”. (HR. Muslim)[21].
Hadis di atas merupakan sebuah jawaban yang
digunakan oleh Ibnu Katsir terhadap pertanyaan, kenapa kesaksian dua wanita
sama dengan satu lelaki?.
Menurut penulis, jika hanya berpegang kepada
hadis tersebut, maka jawaban dari pertanyaan itu belum terjawab. Karena hadis
itu justru menjadikan ayat di atas sebagai referensi Rasulullah SAW. dalam
menjawab pertanyaan kalangan sahabat wanita bahwa akal perempuan tidak sekuat
dengan akal laki-laki.
Untuk menguak misteri Ilahi itu, penulis merujuk
kepada hasil penelitian terbaru di Universitas Purdue Amerika Serikat bahwa
wanita memiliki kebutuhan lebih besar untuk disentuh dibandingkan pria. Hal ini
disebabkan karena, secara anatomi, wanita memiliki lebih banyak ujung syaraf di
setiap inci kulit dibandingkan pria.
Perbedaan kebutuhan sentuhan pada pria dan wanita
itu dapat juga diteliti dari sikap masyarakat. Sudah menjadi tradisi dalam
masyarakat, wanita sudah memperkenalkan bahasa cinta yang diekspresikan melalui
fisik mereka semenjak masih kecil. Hal demikian terlihat dari kebiasaan anak
perempuan, sebelum ayah ke kantor, anak perempuan meminta kepada ayahnya untuk
dicium pipi dan memeluknya. Ketika jalan – jalan, anak perempuan otomatis menggandeng
ayahnya. Saat beranjak remaja, perempuan lebih leluasa memeluk, memegang tangan
atau mencium pipi kawan sesama wanita.
Kesimpulan dari riset tersebut memperkuat
terhadap teori fungsionalisme[22] bahwa, struktur anatomi manusia mempengaruhi
kepada psykologi manusia itu sendiri.
Berdasarkan fakta ilmiah di atas serta dikaitkan
kepada teori fungsionalisme, kasih sayang dan kelembutan (feminim)
lebih dominan pada wanita dibanding pria (masculin) disebabkan karena
kulit wanita lebih banyak memiliki ujung syaraf di setiap inci kulit
dibandingkan dengan lelaki.
Oleh sebab itu, sifat pengasih, rasa iba dan
lembut pada wanita terbentuk karena kebutuhan kulit mereka untuk disentuh lebih
besar. Sifat – sifat tersebut merupakan sebuah karunia Allah SWT. bagi wanita
(given).
Berdasarkan karunia inilah Allah SWT. menilai
bahwa kesaksian dua wanita sebanding dengan kesaksian satu lelaki. Karena
kesaksian adalah perbuatan hukum yang sarat dengan godaan, tekanan dan ancaman.
Ini adalah sebuah bukti akan keadilan Allah SWT. kepada hamba-Nya.
Saksi – saksi yang dihadirkan dalam transaksi
utang piutang adalah para saksi yang disetujui oleh kedua belah pihak, pemberi
hutang dan orang yang berhutang. Berdasarkan kalimat itu bermakna bahwa, saksi
disyaratkan harus adil dan jujur.
Firman Allah SWT. yang artinya: “Janganlah
saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil”.
Tentang firman Allah SWT. ini, Zaid bin Khalid
mengatakan, Rasulullah SAW. bersabda, artinya: “ Sukakah aku beritakan
kepadamu sebaik-baik saksi, ialah yang memberikan kesaksiannya sebelum diminta”.
(HR. Bukhari – Muslim).
Berdasarkan hadis di atas, kriteria saksi yang
jujur adalah saksi yang menerangkan apa yang ia ketahui, dan menyampaikan apa
yang diketahui ketika diperlukan dalam menyelesaikan suatu persengketaan.
Dalam hadis lain Rasulullah SAW. bersabda,
artinya: “Sukakah aku beritahukan kepadamu sejahat-jahat saksi, ialah
mereka yang memberikan kesaksian sebelum diminta”. (HR. Bukhari –
Muslim)[23].
Hadis yang kedua ini, Rasulullah SAW.
memberitahukan kepada kita bahwa kriteria saksi yang tidak jujur adalah
menyampaikan kesaksian ketika tidak diperlukan dalam menyelesaikan sebuah
persoalan.
Lanjutan firman Allah SWT. dengan artinya: “ Dan
janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas
waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu”.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa sebab dari menuliskan
utang piutang baik besar atau pun kecil akan bermanfaat sebagai alat bukti
untuk menghilangkan keragu-raguan bagi kedua belah pihak. Dan
menghilangkan keraguan merupakan aspek yang lebih adil di sisi Allah SWT.[24]
Konsep yang Allah SWT. berikan sebagaimana
tersebut di atas, berdampak besar terhadap kestabilan jiwa (soul)
manusia. Karena dengan konsep tersebut manusia menemukan sebuah konstruk yang
tepat dengan situasi yang dihadapi. Tersedia konstruk yang tepat menyebabkan
hilangnya kecemasan manusia (anxiety) dari ketidaknyamanan hidup
karena setiap diri manusia diilhami oleh Allah SWT. dengan dua kecenderungan
yang berbeda (taqwa dan fujur).
Ketika Allah SWT. menanamkan dua kecenderungan
yang berbeda dalam diri manusia, Allah SWT. sebagai khaliq juga
memberikan solusi kepada manusia untuk menghadapinya. Di
sinilah letak letak keadilan Allah SWT.
Kemudian di akhir ayat 282 QS. Al Baqarah Allah
SWT. berfirman, artinya: “Kecuali jika muamalah itu perdagangan
tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika)
kamu tidak menuliskannya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan
janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang
demikian), maka sesungguhnya itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan
bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu”.
Tentang firman Allah SWT. tersebut, Ibnu Katsir
menerangkan bahwa dalam jual beli tunai, Allah SWT. tidak mewajibkan untuk
menuliskannya. Akan tetapi, hendaklah mempersaksikan jual beli tersebut supaya
lebih aman.
Dalam menafsirkan firman Allah SWT. ini, Ibnu
Katsir merujuk kepada hadis Rasulullah SAW. yang bersumber dari Khuzaimah (sanad)
yang artinya sebagai berikut : “ Khuzaimah bin Tsabit Al-Anshari menuturkan,
bahwa Rasulullah SAW. membeli seekor kuda dari seorang Baduwi, kemudian
Rasulullah SAW. meminta kepadanya supaya ikut ke rumah untuk dibayar
harganya. Rasululllah SAW. berjalan agak cepat, sedang Baduwi perlahan-lahan,
sehingga banyak orang yang menawar kudanya, karena orang-orang itu tidak
mengetahui bahwa kuda itu sudah jadi dibeli oleh Rasulullah SAW. Ketika ada
tawaran yang lebih tinggi dari tawaran Rasulullah SAW., Baduwi itu berseru
kepada Rasulullah SAW., “Jika anda membeli kuda ini, segeralah. Jika tidak,
maka akan aku jual”. Ketika Rasulullah SAW. mendengar seruan Baduwi itu, beliau
segera berhenti dan berkata, “Bukankan kuda itu sudah aku beli?”, Baduwi
menjawab, “Tidak, demi Allah aku belum menjual kepada mu”. Maka orang-orang
berkerumun di antara Rasulullah SAW. dan Baduwi, lalu Baduwi itu berkata,
“Siapakah saksinya, bahwa aku telah menjual kepada mu?”. Maka kaum muslimin
yang ada di situ semuanya memperingatkan kepada Baduwi, “Celaka kamu,
Rasulullah SAW. tidak pernah berdusta”. Kemudian Khuzaimah bin Tsabit datang
dan mendengar tuntutan Baduwi untuk membawa saksi, maka Khuzaimah bersaksi,
“Aku bersaksi, bahwa engkau telah membelinya”. Maka selesailah urusan itu.
Kemudian Rasulullah SAW. bertanya kepada Khuzaimah, “Dengan dasar apa bahwa
kamu berani menjadi saksi?”, jawab Khuzaimah, “ Karena keteranganmu, ya
Rasulullah”. Maka Rasulullah SAW. menetapkan, bahwa kesaksian Khuzaimah sama
dengan kesaksian dua orang.” (HR. Ahmad) dan hadis ini juga diriwayatkan
oleh Abu Dawud dan Nasa’i.
Ibnu Katsir melanjutkan, Abu Musa r.a.
mengatakan, bahwa Rasulullah SAW. bersabda, artinya : “Tiga macam orang
yang berdoa kepada Allah, tetapi doa mereka tidak diterima, yaitu : 1.
Seseorang yang mempunyai istri yang rendah budinya tetapi tidak diceraikannya;
2. Seseorang yang menyerahkan harta kepada anak yatim sebelum baligh; 3.
Seseorang yang memberi hutang kepada orang lain dan tidak mempersaksikannya”.
(HR. Ibnu Murdawaih dan Hakim).
Ibnu Katsir juga menjelaskan firman Allah SWT.
yang artinya : “Dan janganlah penulis dan saksi saling sulit
menyulitkan”, bahwa penulis dan saksi tidak boleh dibebani, dalam
tugasnya jangan sampai dirugikan atau dipaksakan kepadanya untuk menyalahi yang
sebenarnya. Karena perbuatan itu merupakan pelanggaran yang berarti fasiq dalam
agama[25].
Al-Qurtubi dalam tafsirnya berkenaan ayat 282 QS.
Al-Baqarah melaporkan, “Ketika Allah SWT. memerintahkan penulisan, penyaksian,
dan pegadaian, ini merupakan teks qat’i (pasti) yang berbicara
mengenai pemeliharaan dan pengembangan harta, serta sebagai penyangkal terhadap
orang-orang yang jahil yang tidak mengetahui hal itu. Mereka mengeluarkan
seluruh harta dan tidak meninggalkan kecukupan untuk diri keluarga dan
perbuatan semacam ini sangat dibenci oleh Allah SWT.”[26]. Wallahu a’lam.
V. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penafsiran penulis tentang ayat
282 surat
Al-Baqarah tentang manajemen utang piutang. Kesimpulan yang dapat penulis
sarikan adalah sebagai berikut :
I. Asbab An-Nuzul
1. Didasarkan kepada pengertian asbab an-nuzul
yaitu peristiwa – peristiwa (sebab) diturunkan sebuah ayat, maka untuk ayat 282
surat
Al-Baqarah adalah tidak memiliki asbab al-nuzul.
2. Akan tetapi, bila dipahami bahwa Al-Quran
turun sebagai hidayah dan berisi pesan-pesan moral, maka setiap ayat yang turun
tidak kosong dari asbab al-nuzul. Begitu juga halnya dengan ayat 282 surat Al-Baqarah.
II. Manajemen utang piutang :
1. Transaksi utang piutang wajib dicatat jika ke
dua belah pihak (kreditor dan debitor) merasa diperlukan
untuk itu.
2. Pencatatan utang piutang dicatat oleh para
ahli dibidang tersebut. Dan untuk kondisi sekarang pencatatan transaksi utang
piutang dilakukan bisa dilakukan di kantor notaris.
3. Dalam pencatatan utang piutang, kedua
belah pihak wajib menghadirkan dua orang saksi laki - laki berdasarkan
persetujuan. Akan tetapi, jika saksi yang dihadirkan terdiri dari saksi
laki-laki dan saksi wanita, maka para pihak wajib menghadirkan satu orang saksi
dari laki-laki dan dua orang saksi dari wanita. Karena kesaksian dua wanita
adalah sebanding dengan kesaksian satu lelaki.
4. Menghadirkan kesaksian tidak hanya
diperintahkan pada transaksi utang piutang. Akan tetapi menghadirkan kesaksian
juga diperintahkan dalam jual beli tunai.
II. Implikasi manajeman utang piutang bagi
manusia
- Terpelihara kehidupan sosial manusia sebagai sebuah kebutuhan dasar bagi mereka.
- Menjunjung tinggi hak dan kewajiban manusia dengan tidak mereduksi sifat-sifat kemanusiaan.
- Berdasarkan point 1 dan 2 di atas bahwa, manajemen utang piutang dalam Al-Quran merupakan sebuah konsep sosial bagi manusia yang mengedepankan nilai-nilai kemanusian (humanis). Konsep sosial demikian membuktikan bahwa, kandungan Al-Quran adalah sebuah kebenaran yang absolut dan Al-Quran menjadi pedoman hanyalah bagi manusia yang bertakwa. Wallahu a’lam.
.
[1] Secara etimologi, takwa adalah takut.
Sedangkan pengertian secara terminologi takwa adalah menjunjung segala
perintah Allah SWT. dan meningggalkan segala yang dilarang.
[2] Syahid Mu’ammar Pulungan, Manusia Dalam
Al Quran, Surabaya
: PT.Bina Ilmu, cetakan pertama, 1984, hlm. 58.
[3] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Jakarta : Gaya Media
Pratama, t.t., hlm. ix.
[4] Ibid., hlm. xii.
[5] Departemen Agama RI, Al-Quran Tajwid Dan
Terjemahannya, Bandung
: PT. Syaamil Cipta Mulia, t.t., hlm. 48.
[6] Al-Zarqani : Sabab al-Nuzul ialah sesuatu
peristiwa yang dengannya itu turun satu ayat atau beberapa ayat berbicara
tentangnya atau menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum yang terjadi pada waktu
terjadinya peristiwa tersebut. Muhammad ‘Abd al-Azhim al-Zarqani, Manahil
al-Irfan, Mesir , al-Bab al-Halabi, I, t.t., h. 412.
[7] Manna al-Khaththan : Sebab al-Nuzul ialah
sesuatu, yang turun Al-Quran berkenaan dengannya pada waktu terjadinya seperti
suatu peristiwa yang terjadi atau ada pertanyaan. Manna al-Qaththan, Mabahits
fi Ulum al-Quran, Mansyurat al-Ashr al-Hadits, t.t., hlm. 78.
[8] Quraisy Syihab : Asba al-Nuzul ialah
peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat, dimana ayat tersebut
menjelaskan pandangan Al-Quran tentang peristiwa tadi atau mengometarinya. M.
Quraisy Syihab, Metode Penelitian Tafsir, Ujung Pandang : IAIN Alauddin, 1984, hlm. 3.
[9] Untuk jelasnya baca : Nashruddin Baidan, Wawasan
Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, cetakan I, Agustus 2005, hlm. 136-137.
[10] Departemen Agama RI, op.cit.,
hlm. 75.
[11] Bouman, P.J., Sosiologi Pengertian dan
Masalah, trj : Sugito-Sujitno, Penerbit Yayasan Kanisius, cetakan XII
tahun 1971, hlm. 31.
[12] Syahid Mu’ammar Pulungan, loc.cit.,
hlm. 57.
[13] Tafsir Ibnu Katsir Jilid I, Surabaya : PT. Bina Ilmu,
cetakan keempat, 2004, Hlm. 556
[14] Ibid., hlm. 557.
[15] Syamsu Yusuf, Juntika Nurihsan, Teori
Kepribadian, Bandung
: PT. Remaja Rosdakarya, cetakan pertama, 2007, hlm. 173.
[16] Ibid., hlm. 176.
[17] Philip E. Fess dkk., Accounting
Principles, terj : Hyginus Ruswinarto, Prinsip – Prinsip Akuntansi
Jilid 1, Jakarta
: Erlangga, edisi 14, 1988, hlm. 2.
[18] Ibnu Katsir, op.cit., hlm. 558.
[19] Philip E. Fess dkk., op.cit.,
hlm. 7.
[20] Ibid., hlm. 6
[21] Ibnu Katsir, op.cit., hlm. 560.
[22] Behaviour menurut pandangan
fungsionalisme bahwa; kejiwaan itu selalu mempunyai tujuan tertentu. Yaitu
mencapai dan menyempurnakan jasad (organisme). Oleh sebab itu yang patut
diperhatikan ialah sudah atau belumkah kesempurnaan organisme tercapai. Jadi
yang menjadi obyek di dalam fungsionalisme ini hanya organisme, hanya tubuh,
hanya apa yang tampak dari luar saja. Karena itu benarlah bila orang
mengatakan bahwa Behaviourisme tidak lain daripada pelaksanaan yang
sebenar-benarnya daripada fungsionalisme. Pendapat fungsionalisme ini telah
diterima secara luas. Agus Sujanto, Psikologi Umum, Jakarta : Bumi Aksara, cetakan kesembilan,
Maret 1993, hlm. 117.
[23] Ibnu Katsir, op.cit., hlm.
561.
[24] Ibid.
[25] Ibid., hlm. 562 – 563.
[26] Muhammad as-Sayyid Yusuf, Ahmad Durrah,
Manhaj al-Quran al-Karim fi Islah al-Mujtama’, Qasas al-Ilm fi al-Quran, Mesir
: Dar as-Salam Maktabah al-Usrah, t.t., terj : Abu Akbar Ahmad, Pustaka
Pengetahuan Al-Quran, Edisi Indonesia : PT. Rehal Publika,
t.t., hlm. 15
1212
Ayat 282 ini dimulai dengan seruan Allah
swt. Kepada kaum yang menyatakan beriman, Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.
Kata tadaayantum,
yang diatas diterjemahkan dengan bermuamalah, terambil dari kata dain.
Kata ini memiliki banyak arti, tetapi makna setiap kata yang dihimpun oleh
huruf-huruf kata dain itu (yakni daal, ya’ dan nuun) selalu
menggambarkan hubungan antar dua pihak, salah satunya berkedudukan lebih tinggi
dari pihak yang lain. Kata ini antara lain bermakna hutang, pembalasan,
ketaatan dan agama. Kesemuanya menggambarkan hubungan timbale balik itu, atau
dengan kata lain bermuamalah. Muamalah yang dimaksud adalah muamalah yang tidak
secara tunai, yakni hutang-piutang.
Sedikit menerangkan
diatas, kami disini hanya mencoba menjelaskan tentang persaksian, baik secara
tulis menulis maupun selainnya.
Yang dinamai saksi adalah
orang yang berpotensi menjadi saksi, walaupun ketika itu dia belum melaksanakan
kesaksian, dan dapat juga secara actual telah menjadi saksi.
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantara kamu.
kata saksi yang digunakan ayat ini adalah syahiidain bukan syaahidain.
Ini berarti bahwa saksi yang dimaksud adalah benar-benar yang wajar serta telah
dikenal kejujurannya sebagai saksi, dan telah berulang-ulang melaksanakan tugas
tersebut. Dengan demikian, tidak ada keraguan menyangkut kesaksiannya. Dua
orang saksi dimaksud adalah saksi-saksi lelaki yang merupakan anggota
masyarakat muslim. Atau kalau tidak ada – atau kalau bukan yakni kalau bukan
dua orang saksi, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kamu ridhai, yakni yang disepakati oleh yang melakukan
transaksi.
Betapapun, ayat di atas
tidak menutup kemungkinan kesaksian wanita baik secara luas, terbatas, maupun
sempit.
Dalam pandangan mazhab
Malik, kesaksian wanita dibenarkan dalam hal-hal yang berkaitan dengan harta
benda, tidak dalam kriminal, pernikahan, cerai dan rujuk. Mazhab Hanafi lebih
luas dan lebih sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kodrat wanita. Mereka
membenarkan kesaksian wanita dalam hal-hal yang berkaitan dengan harta,
persoalan rumah tangga, seperti pernikahan, talak, dan rujuk, bahkan segala
sesuatu kecuali dalam soal kriminal. Memang, persoalan kriminal yang dapat
mengantar kepada jatuhnya hukuman mati, dan dera, disamping tidak sejalan
dengan kelemahlembutan wanita, kesaksian dalam hal tersebut juga tidak lumrah
bagi mereka yang diharapkan lebih banyak member perhatian pada anak-anak dan
rumah tangganya.
Sebagaimana Allah
berpesan, “janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka
dipanggil. Karena keengganannya dapat mengakibatkan hilangnya hak atau terjadi
korban. Memang, banyak orang, sejak dahulu apalagi sekarang, yang enggan
menjadi saksi, akibat berbagai faktor, paling sedikit karena kenyamanan dan
kemaslahatan pribadinya terganggu. Karena itu, merka perlu dihimbau. Perintah
ini adalah anjuran, apalagi jika ada orang lain yang member keterangan, dan
wajib hukumnya bila kesaksiannya mutlak untuk menegakkan keadilan. Nanti dalam
ayat berikut akan ada larangan tegas disertai ancaman bagi saksi-saksi yang
menyembunyikan kesaksian, yang mengakibatkan kerugian pihak lain.
Saksi dan penulis yang
diminta atau diwajibkan untuk menulis dan menyaksikan, tentu saja mempunyai
aneka kepentingan pribadi atau keluarga; kehadirannya sebagai saksi, dan atau
tugasnya menulis, dapat mengganggu kepentingannya. Di sisi lain, mereka yang
melakukan transaksi jual beli atau hutang-piutang itu, dapat juga mengalami
kesulitan dari para penulis dan saksi jika mereka menyelewengkan kesaksian atau
menyalahi ketentuan penulisan. Karena itu Allah berpesan dengan menggunakan
satu redaksi yang dapat dipahami sebagai tertuju kepada penulis saksi, kepada
penjual dan pembeli, serta yang berhutang dan pemberi hutang.
Salah satu bentuk
mudharat yang dapat dialami oleh saksi dan penulis adalah hilangnya kesempatan
memperoleh rezeki, karena itu tidak ada salahnya memberikan mereka ganti biaya
transport dan biaya , sebagai imbalan jerih payah dan penggunaan waktu mereka.
Di sisi lain, para penulis dan saksi hendaknya tidak juga merugikan yang
bermuamalah dengan memperlambat kesaksian, apalagi menyembunyikannya, atau
melakukan penulisan yang tidak sesuai dengan kesepakatan mereka. Jika kamu,
wahai para saksi dan penulis serta yang melakukan muamalah, melakukan yang
demikian, maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.
Ayat ini diakhiri dengan
firman-Nya: Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajar kamu; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu. Menutup ayat ini dengan perintah bertakwa yang
disusul dengan mengingatkan pengajaran Ilahi, merupakan penutup yang amat tepat,
karena seringkali yang melakukan transaksi perdagangan menggunakan pengetahuan
yang dimilikinya dengan berbagai cara terselubung untuk menarik keuntungan
sebanyak mungkin. Dari sini peringatan tentang perlunya takwa serta mengingat
pengajaran Ilahi menjadi sangat tepat.
Namun dalam penafsiran
lain disebutkan lebih jelas dan mendetail mengenai tafsiran ayat ini, Ayat di
atas dapat disimpulkan bahwa Islam menetapkan perlunya mendokumentasikan
misalnya dalam bentuk tulisan berbagai peristiwa-peristiwa penting yang terjadi
diantara manusia karena itu sangat beralasan kalau tulisan atau surat-surat
dijadikan sebagai salah satu alat bukti.
Surat sebagai alat bukti tertulis dapat
dibedakan dalam 2 jenis yaitu:
- Akta otentik
Akta otentik adalah akta
yang dibuat oleh atau dihadapkan pejabat yang berwenang untuk itu, menurut
ketentuan yang telah ditetapkan sebagai pejabat yang berwenang dimaksudkan
antara lain notaris, jurusita, panitra, dan hakim pengadilan, pegawai catatan
sipil dan lain-lain.
Pada setiap akta otentik dikenal 3 (tiga)
macam kekuatan bukti, yaitu :
1) Kekuatan bukti lahir yakni berkenaan
dengan syarat-syarat formal suatu akta otentik dipenuhi atau tidak
2) Kekuatan bukti formal yakni berkenaan
dengan soal kebenaran peristiwa yang disebutkan dalam akta otentik
2. Akta tidak
otentik (di bawah tangan)
Akta tidak otentik atau
akta di bawah tangan adalah segala tulisan yang memang sengaja dibuat untuk
dijadikan bukti tetapi tidak dibuat di hadapan atau oleh pejabat yang berwenang
untuk itu dan bentuknya pun tidaklah terikat kepada bentuk tertentu.
Misalnya: Surat jual
beli tanah, yang dibuat oleh kedua bela pihak, sekalipun di atas kartu segel
dan ditandatangani oleh ketua RT, ketua RW, lurah/kepala desa, tidak bisa
disebut akta otentik karena pejabat berwenang membuat akta tanah yang disebut
PPAT, hanyalah notaris dan camat.
- Alat bukti saksi
Kata sandi jika dilihat
dari pengertian terminologi berarti orang yang mempertunjukkan, memperlihatkan,
sebagai bukti. Sedangkan menurut
istilah syara’ ialah orang yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri.
Jadi saksi yang dimaksud
dalam hal ini adalah manusia hidup. Sedangkan menurut Sayid Sabiq dalam kitab
sunnah bahwa yang dimaksud dengan saksi itu adalah memberitahukan seseorang
tentang apa yang disaksikan dan dilihatnya. Maknanya ialah
pemberitahuan seseorang tentang apa yang dia ketahui dengan sebenarnya.
Bila dimaksudkan bahwa
saksi adalah orang yang betul-betul sebagai saksi karena menyaksikan sendiri
suatu perkara maka dinilai bahwa kesaksian tersebut adalah merupakan salah satu
bukti dalam hukum pembuktian.
Kebanyakan ahli hukum
Islam (Fuqaha) menyamakan kesaksian itu dengan bayyinah, apabila saksi
disamakan dengan bayyinah maka itu berarti pembuktian di muka hakim hanya
dimungkinkan dengan saksi saja.
Dasar hukum daripada
alat bukti saksi dapat dilihat dalam Q.S. al Baqarah (2): 282
…وَاسْتَشْهِدُوا
شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ
وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ
إِحْدَاهُمَاأَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى وَلا
يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا…
Terjemahnya :
“…Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh)
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,
supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah
saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil…”
Dalam dalam Q.S. an Nisah
(4) 135 yaitu :
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّه…
Terjemahnya :
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang
benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah…”
Kesaksian hanya wajib
ditunaikan jika saksi mampu menunaikannya tanpa adanya bahaya yang menimpanya
baik dibadannya, kehormatannya, hartanya, ataupun keluarganya, berdasarkan
firman Allah swt dalam Q.S. al Baqarah (2) 282 yaitu:
…وَلا يُضَارَّ
كَاتِبٌ وَلا شَهِيدٌ…
Terjemahnya :
Kesimpulannya bahwa
setiap saksi yang memberikan kesaksiannya di depan hakim hendaknya memperoleh
jaminan keamanan baik jiwa, harta dan kehormatannya. Karena setiap kesaksian
dipandang wajib bagi setiap orang yang memiliki pengetahuan akan perkara yang
ia ketahui secara pasti tentang kebenaran tersebut.
Sehingga dengan adanya
kesaksian dari saksi tersebut diharapkan akan terungkapnya suatu kebenaran
diantara pihak-pihak yang berperkara dengan sebab itulah maka berdosa hukumnya
bagi orang yang memenuhi syarat untuk menjadi saksi menolak untuk tidak
memberikan kesaksiannya, berdasarkan firman Allah swt di dalam Al-Qur’an Q.S.
al Baqarah (2) 283 yaitu :
… وَلا
تَـكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ ءَاثِمٌ قَلْبُـهُ
وَاللَّهُ بـِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Terjemahnya :
“…dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, tentang kedudukan saksi dalam hukum pembuktian yaitu
sebagai alat bukti, diantara alat bukti lainnya yang dapat diajukan oleh
pihak-pihak yang berperkara. Namun dalam berbagai alasan demi untuk membuktikan
suatu kebenaran antara pihak-pihak yang berperkara, hingga adanya saksi sebagai
alat bukti yang diajukan oleh pihak-pihak yang berperkara, tidak begitu saja
diterima sebelum saksi yang diajukan kemuka pengadilan memenuhi kriteria yang
ditetapkan oleh hukum pembuktian. Dan dalam hal ini yakni hukum pembuktian yang
dianut oleh peradilan khususnya Peradilan Agama yang merupakan pembahasan utama
dalam hal ini, dalam kaitannya dengan eksistensi saksi non muslim di mata hukum
Islam.
Untuk memberitahukan
kesaksian yang dapat diterima serta dapat di jadikan pembuktian kuat wajib
memenuhi syarat-syarat tertentu yaitu :
a) Beragam Islam
Saksi dalam hal ini
haruslah beragama Islam karena syarat para fuqaha menetapkan, bahwa dalam
kesaksian ini yang dapat diterima bagi kesaksian seseorang haruslah beragama
Islam.
b) Baliqh
Saksi yang belum mencapai
usia baliqh tidak dapat dijadikan sebagai saksi, terlebih memberikan kesaksian.
c) Berakal
Persaksian dari pada
saksi dapat dijadikan saksi sebagai pembuktian dalam Peradilan Agama jika saksi
memiliki akal dan jiwa yang sehat sebagai salah satu syarat yang harus dimiliki
oleh saksi dalam suatu persaksian.
d) Merdeka
Merdeka ialah saksi dalam
memberikan kesaksian harus termasuk orang yang merdeka yaitu tidak sebagai
budak atau orang yang tidak memiliki kebebasan hidup seperti manusia lainnya.
Sifat keadilan dari saksi
dalam memberikan kesaksian sangatlah menentukan dalam penilaian hakim karenanya
sifat adil dalam hal ini ialah menjauhi perbuatan dosa, baik hati, menjaga
kehormatan diri, dan bukan musuh atau lawan dari pihak yang berperkara.
Syarat-syarat saksi yang
dikemukakan di atas adalah merupakan syarat-syarat yang diperpegangi oleh
peradilan agama, namun ada beberapa tambahan syarat seperti yang dikemukakan
oleh Sayyid Sabiq dalam fiqh sunnahnya, dengan dua syarat tambahannya yaitu
mampu berbicara tidak bisa, dan bukan sanak famili atau keluarga terdekat salah
satunya.
Persyaratan yang harus
dimiliki oleh saksi atau beberapa orang saksi seperti yang telah diuraikan di
atas merupakan syarat mutlak yang mesti ada pada saksi, walaupun dalam beberapa
hal sebagaimana yang dimaksud oleh Sayyid Sabiq harus tidak bisu dan khusus
yang diatur oleh Peradilan Agama dalam perkara perdata.
Syarat-syarat saksi yang
diuraikan di atas adalah merupakan syarat yang dikenakan pada seorang saksi
sebelum memberikan kesaksian, karena saksi dalam hal ini merupakan orang yang
menyaksikan suatu peristiwa hukum yang sekaligus sebagai syarat hukum dalam
membuktikan kebenaran yang terdapat pada salah satu pihak yang mengajukan
perkaranya di muka sidang, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa syarat-syarat
tersebut adalah merupakan ketentuan khusus yang dianjurkan oleh hukum pad
seorang saksi.
Lima syarat yang
dikemukakan di atas ditambah dengan dua syarat oleh Sayyid Sabiq yaitu beragama
Islam, baligh, berakal, merdeka adil tidak bisu dan bukan keluarga dekat dari
pihak-pihak yang berperkara adalah merupakan ketentuan yang wajib dimiliki oleh
seorang saksi.
Pada prinsipnya, setiap
orang dapat menjadi saksi. Namun demikian, untuk memelihara obyektifitas saksi
dan kejujurannya, ada orang tertentu oleh Undang-undang tidak dapat
diperkenankan menjadi saksi sebagai dasar untuk memutus perkara, karena adanya
hubungan tertentu dengan para pihak, atau karena keadaan tertentu orang tidak
boleh di dengar sebagai saksi adalah :
- Keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang sah
- Istri atau suami dari salah satu pihak meskipun sudah ada perceraian
- Anak yang tidak diketahui benar umurnya sudah 15 tahun
- Orang gila, meskipun ia kadang-kadang mempunyai ingatan yang terang.
Sejalan dengan maksud di
atas, nabi saw telah memperingatkan agar tidak mengangkat saksi orang
pengkhianat, orang yang memiliki rasa dengki terhadap saudaranya, dan pembantu
terhadap tuannya. Nabi bersabda :
لاتجوز شهادة
خائن، ولاخائـنـة، ولاذى غمـر على اخيه ولا تجوز شهادة القانع لا هل البيت
(رواه احمد و ابو دود)
Artinya :
Tidak
boleh diterima kesaksian seorang pengkhianat laki-laki dan tidak pula
pengkhianat perempuan, orang yang memiliki perasaan dengki terhadap saudaranya,
dan tidak diterima kesaksiannya seorang pembantu atas tuannya.
13133
Pada waktu Rosulullah SAW dating ke
madinah pertama kali, orang-orang penduduk asli biasa menyewakan kebunnya dalam
waktu satu, dua atau tiga tahun. Oleh sebab itu rosul bersabda:”Barang siapa menyewakan (mengutangkan)
sesuatu hendaklah dengan timbangan atau ukuran yang tertentu dan dalam jangka
waktu yang tertentu pula” sehubungan dengan itu allah swt menurunkan ayat
282 sebagai perintah apabila mereka utang piutang maupun muamalah dalam jangka
waktu tertentu hendaklah ditulis perjanjian dan mendatangkan saksi. Hal mana
untuk menjaga terjdinya sengketa pada waktu-waktu yang akan dating. (Hr. Bukhori dari Sofyan Bin Uyainah dari Ibnu
Abi Najih dari Abdillah bin Katsir dari Minhal dari ibnu Abbas). (A Mudjab
Mahali.1989:136) D. Tuntutan-tuntutan
atau bimbingan yang dapat diambil dari Surat Al-Baqarah 282
madinah pertama kali, orang-orang penduduk asli biasa menyewakan kebunnya dalam
waktu satu, dua atau tiga tahun. Oleh sebab itu rosul bersabda:”Barang siapa menyewakan (mengutangkan)
sesuatu hendaklah dengan timbangan atau ukuran yang tertentu dan dalam jangka
waktu yang tertentu pula” sehubungan dengan itu allah swt menurunkan ayat
282 sebagai perintah apabila mereka utang piutang maupun muamalah dalam jangka
waktu tertentu hendaklah ditulis perjanjian dan mendatangkan saksi. Hal mana
untuk menjaga terjdinya sengketa pada waktu-waktu yang akan dating. (Hr. Bukhori dari Sofyan Bin Uyainah dari Ibnu
Abi Najih dari Abdillah bin Katsir dari Minhal dari ibnu Abbas). (A Mudjab
Mahali.1989:136) D. Tuntutan-tuntutan
atau bimbingan yang dapat diambil dari Surat Al-Baqarah 282
Untuk memperoleh kenikmatan hidup
dan manfaat dari harta dapat ditempuh jalan yang haram akan tetapi allah
menetapkan jalan yang halal yaitu pinjam meminjam dan utang piutang tanpa
bunga.
dan manfaat dari harta dapat ditempuh jalan yang haram akan tetapi allah
menetapkan jalan yang halal yaitu pinjam meminjam dan utang piutang tanpa
bunga.
1.
Apabila terjadi transaksi jual beli atau pinjaman
hendaknya jelas dikemukakan syarat-syarat pembayarannya termasuk waktu
pembayarannya.
hendaknya jelas dikemukakan syarat-syarat pembayarannya termasuk waktu
pembayarannya.
2. Hendaknya ditulis
dan diperkuat oleh dua orang saksi.
dan diperkuat oleh dua orang saksi.
3.
Penulis dan saksi hendaklah bersifat adil dan
dapat dipercaya sehingga tidak terjadi kecurangan.
dapat dipercaya sehingga tidak terjadi kecurangan.
4. Bagi yang
tidak mampu menutarakan keinginannya dapat meminta wali.
tidak mampu menutarakan keinginannya dapat meminta wali.
5.
Saksi teridi dari dua laki-laki atau satu
laki-laki dan dua perempuan. (Q Shaleh Dkk, 1990:105
laki-laki dan dua perempuan. (Q Shaleh Dkk, 1990:105
Tidak ada komentar:
Posting Komentar