BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perempuan makhluk istimewa dengan segala keindahannya,
makhluk yang sering dianggap lemah namun menyimpan kekuatan besar. Wanita juga
boleh dibilang selalu jadi 'makhluk kelas dua' jika dibandingkan dengan lawan
jenisnya, laki–laki. Kebebasannya sering dianggap tabu, keputusannya dianggap
perlawanan, padahal sejatinya perempuan dan laki–laki adalah pelengkap antara
satu sama lain. Bukan hal yang baru pula kalau laki–laki malah menjadi penindas
bagi perempuan, perempuan jadi warga negara kelas dua. Ditindas hak–haknya dan
dilupakan suaranya.
Di sisi lain emansipasi perempuan terus digaungkan.
Sayangnya, kesetaraan hak itu bukanlah sesuatu yang bersifat evolusi namun
paralel. Di suatu waktu ada perempuan yang menjadi presiden tapi pada waktu
yang sama ada perempuan–perempuan yang ditekan, dipaksa menghentikan
pendidikannya, mengalami kekerasan dalam rumah tangga atau dijual oleh
keluarganya sendiri. Berbicara mengenai kebebasan kaum perempuan, selalu tidak
terlepas dari norma–norma adat, tradisi bahkan agama.
Berdasarkan Inpres No. 9 Tahun 2000 disebutkan bahwa:
- Gender merupakan konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat.
- Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan nasional dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Dalam relasi sosial yang setara, perempuan dan laki-laki merupakan faktor yang sama pentingnya dalam menentukan berbagai hal yang menyangkut kehidupan, baik di lingkungan keluarga, bermasyarakat, maupun berbangsa dan bernegara.
Media massa memiliki peran besar dalam membentuk dan
mengubah
pikiran, perasaan, sikap, opini dan perilaku masyarakat tentang perempuan. Namun potret perempuan dalam media massa masih memperlihatkan stereotip yang negatif. Kehadiran film dengan target audience perempuan yang bertujuan untuk memberdayakan perempuan, merupakan suatu harapan baru bagi perempuan untuk menyuarakan kesamaan hak dan meminimalisir ketidakadilan gender.
pikiran, perasaan, sikap, opini dan perilaku masyarakat tentang perempuan. Namun potret perempuan dalam media massa masih memperlihatkan stereotip yang negatif. Kehadiran film dengan target audience perempuan yang bertujuan untuk memberdayakan perempuan, merupakan suatu harapan baru bagi perempuan untuk menyuarakan kesamaan hak dan meminimalisir ketidakadilan gender.
Inilah yang dinyatakan Wood (1994:235) bahwa media tetap
saja menyajikan laki-laki dan perempuan dengan cara yang stereotipikal yang
membatasi persepsi kita tentang kemungkinan-kemungkinan manusia. Lebih lanjut,
Wood (1994:238-244) menunjukkan 4 (empat) penggambaran stereotipikal itu yang
membuat media terus merefleksikan dan mendorong pengembangan relasi pria dan
perempuan yang dianggap patut secara tradisional, yaitu:
a.
Perempuan bergantung/laki-laki mandiri
b.
Perempuan tidak kompeten/laki-laki memiliki otoritas
c.
Perempuan mengasuh/laki-laki mencari nafkah
d.
Perempuan sebagai korban dan objek seks/laki-laki agresor
Wood mengemukakan hal tersebut tercermin mulai dari film
kartun buatan Walt Disney The Litle Mermaid hingga film Hollywood Pretty
Woman. Tentu saja, contoh yang dikemukakan Wood itu masih bisa kita tambahi
dengan contoh-contoh yang diambil dari apa yang disiarkan media-media di
Indonesia.
Seperti dikemukakan sebelumnya, melek-media menjadi salah
satu cara yang banyak dianjurkan untuk mengembangkan represesntasi media
tentang perempuan yang lebih berimbang dan tidak bias gender. Secara sederhana,
melek-media dapat idefinisikan sebagai kemampuan untuk membaca dan mengAnalisiss
citra dan pesan-pesan tersirat (implisit) pada semua jenis isi media. Menurut
Davidson (2006), melek-media memainkan peran yang signifikan dalam menentukan
apakah isu-isu gender akan secara luas dipandang penting dan menjadi persoalan
sosial, politik dan budaya yang absah.
Kemudian Islam merupakan agama mayoritas negara ini sering
kali dikaitkan dengan topik kebebasan pihak perempuan, dianggap berat sebelah
karena lebih memihak atas kepentingan perempuan, yang kemudian ayat–ayatnya
menjadi alat untuk membungkam perempuan, sebuah fenomena pro dan kontra yang
terus berlanjut hingga saatini.
Membaca fenomena yang terjadi, Starvision mencoba menghadirkan film terbarunya berjudul Perempuan Berkalung Sorban, dengan arahan sutradara berbakat HanungBramantyo.
Film yang diambil dari karya novel Abidah El. Khalieqy ini adalah film tentang salah satu dunia paralel perempuan. Berkisah tentang Anissa, seorang perempuan dari pesantren yang berjuang untuk mendapatkan hak-nya. Hak untuk memilih hidup tanpa ada tekanan, termasuk juga tekanan yang mengatasnamakan agama.
Membaca fenomena yang terjadi, Starvision mencoba menghadirkan film terbarunya berjudul Perempuan Berkalung Sorban, dengan arahan sutradara berbakat HanungBramantyo.
Film yang diambil dari karya novel Abidah El. Khalieqy ini adalah film tentang salah satu dunia paralel perempuan. Berkisah tentang Anissa, seorang perempuan dari pesantren yang berjuang untuk mendapatkan hak-nya. Hak untuk memilih hidup tanpa ada tekanan, termasuk juga tekanan yang mengatasnamakan agama.
Inilah yang kemudian menggelitik peneliti untuk mengkaji dan
meneliti konsep gender dalam film perempuan berkalung sorban.
B. Rumusan Masalah
Yang menjadi rumusan masalah dalam Analisis ini adalah
Bagaimana konsep kesetaraan gender dalam film perempuan berkalung sorban?
Melalui pemahaman tentang teori komunikasi massa dan teori kesetaraan gender.
C. Tujuan Analisis
Tujuan Analisis ini adalah untuk mengetahui konsep
kesetaraan gender dalam film perempuan berkalung sorban.melalui Analisiss
teori, wawancara dan pengamatan film perempuan berkalung sorban.
D. Manfaat Analisis
Ada
beberapa manfaat yang coba ditampilkan dalam Analisis ini, yaitu:
- Secara akademis, merupakan bentuk aktualisasi nilai pribadi seorang mahasiswa sebagai insan akademis yang mampu mengkaji dan meneliti fenomena social dari sudut pandang keilmuan yang dimilikinya, terutama bagi seorang mahasiswi ilmu komunikasi.
- Secara social, bahwa kita sebagai salah satu kelompok social tentu harus mampu memberikan kontribusi pengetahuan keilmuan yang ilmiah, sistematis dan kreatif untuk membantu pemahaman kelompok social lainnya baik internal maupun eksternal.
E. Batasan Analisis
Yang menjadi batasan dalam Analisis ini adalah dengan
menggunakan Analisis kualitatif dengan metode Analisis wacana adapun untuk
meneliti konsep kesetaraan gender ini nantinya yang kemudian akan dibatasi
berdasarkan unit – unit Analisis yang meliputi: tema, skema, latar, setting,
ilustrasi/ visualisasi, maksud, pengandaian, penalaran, kata kunci, pemilian
kata, ekspresi dan metafora.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perempuan
antara Laki-laki
Dalam Kamus Linguistik
yang ditulis oleh Kridalaksana (1993), Sejarah kontemporer bahasa
Indonesia mencatat bahwa kata wanita menduduki posisi dan konotasi
terhormat. Kata ini mengalami proses ameliorasi (suatu perubahan makna yang
semakin positif, arti sekarang lebih tinggi daripada arti dahulu) (Sudarwati
dan Jupriono; 2011).
Kata kewanitaan,
yang diturunkan dari wanita, berarti keputrian atau sifat-sifat khas
wanita. Sebagai putri (wanita di lingkungan keraton), setiap wanita diharapkan
masyarakatnya untuk meniru sikap laku, gaya tutur, para putri keraton, yang
senantiasa lemah gemulai, sabar, halus, tunduk, patuh, mendukung, mendampingi,
mengabdi, dan menyenangkan pria. Dengan kata wanita, benar-benar dihindari
nuansa memprotes, memimpin, menuntut, menyaingi, memberontak, menentang,
melawan. Maka, bisa dimengerti bahwa yang muncul dipilih sebagai nama
organisasi wanita bergengsi nasional adalah "Darma Wanita", sebab di
sinilah kaum wanita berdarma, berbakti, mengabdikan dirinya pada lembaga tempat
suaminya bekerja. Maka, program kerjanya pun harus selalu mendukung tugas-tugas
dan jabatan suami (Sudarwati dan Jupriono; 2011).
Berdasarkan "Old
Javanese English Dictionary" (Zoetmulder, 1982), kata wanita
berarti yang diinginkan. Arti yang dinginkan dari wanita ini sangat relevan
dibentangkan di sini. Maksudnya, jelas bahwa wanita adalah sesuatu yang
diinginkan pria. Wanita baru diperhitungkan karena (dan bila) bisa dimanfaatkan
pria. Sudut pandangnya selalu sudut pandang lawan mainnya (pria). Jadi,
eksistensinya sebagai makhluk Tuhan menjadi nihil. Dengan demikian, kata ini
berarti hanya menjadi objek (bagi lelaki) belaka (Sudarwati dan Jupriono; 2011).
Ini merupakan pantulan
realitas bahwa apa pun yang dilakukan wanita tetaplah tak sanggup menghapus
kekuasaan pria. Wanita berada dalam alam tanpa otonomi atas dirinya. Begitulah
inferioritas wanita akan selalu menderita gagap, gagu, dan gugup di bawah gegap
gempitanya superioritas pria (Sudarwati dan Jupriono; 2011).
Sedangkan kata perempuan dalam
pandangan masyarakat Indonesia, kata perempuan mengalami degradasi
semantis, atau peyorasi, penurunan nilai makna; arti sekarang lebih rendah dari
arti dahulu. Di pasar pemakaian, terutama di tubuh birokrasi dan kalangan atas,
nasib perempuan terpuruk di bawah kata wanita, sehingga yang muncul
adalah Menteri Peranan Wanita, pengusaha wanita (wanita pengusaha), insinyur
wanita, peranan wanita dalam pembangunan (Sudarwati dan Jupriono; 2011).
Dalam tinjauan
etimologisnya, kata perempuan
bernilai cukup tinggi, tidak di bawah, tetapi sejajar, bahkan lebih tinggi
daripada kata lelaki (Sudarwati
dan Jupriono; 2011).
1) Secara
etimologis, kata perempuan berasal dari kata empu yang berarti
tuan, orang yang mahir/berkuasa, atau pun kepala, hulu, atau yang paling besar;
maka, kita kenal kata empu jari: ibu jari, empu gending: orang yang mahir mencipta tembang.
2) Kata
perempuan juga berhubungan dengan kata ampu: sokong, memerintah, penyangga,
penjaga keselamatan, bahkan wali; kata mengampu artinya menahan agar tak
jatuh atau menyokong agar tidak runtuh; kata mengampukan berarti
memerintah (negeri); ada lagi pengampu: penahan, penyangga, penyelamat.
3) Kata
perempuan juga berakar erat dari kata empuan; kata ini mengalami
pemendekan menjadi puan yang artinya ‘sapaan hormat pada perempuan’,
sebagai pasangan kata tuan 'sapaan hormat pada lelaki'.
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, keperempuanan juga berarti kehormatan sebagai perempuan. Di
sini sudah mulai muncul kesadaran menjaga harkat dan martabat sebagai manusia
bergender feminin. Tersirat juga di sini makna kami jangan diremehkan atau kami
punya harga diri (Sudarwati dan Jupriono; 2011).
Feminis memandang bahwa baik laki-laki maupun perempuan
sekaligus sebagai pusat dan nonpusat, disesuaikan dengan posisi dan kondisinya
dalam masyarakat. Kaum perempuan tidak menuntut persamaan biologis sebab
perbedaan tersebut merupakan hakikat. Kaum perempuan melalui gerakan dan teori
feminis menuntut agar kesadaran kultural yang selalu memarginalkan perempuan
dapat diubah sehingga keseimbangan yang terjadi adalah keseimbangan yang
dinamis.
Ada dua indikator yang membedakan antara laki-laki dengan
perempuan, pertama aspek biologis atau alamiah, kedua aspek psikologis atau
kebudayaan. Aspek yang pertama merupakan pembawaan yang dengan sendirinya tidak
perlu dan tidak bisa ditolak, yang dipermasalahkan oleh kaum perempuan adalah
aspek yang kedua, kondisi-kondisi yang dikerangkakan secara kultural. Dalam
kehidupan sehari-hari khususnya dalam ilmu sosial disebut sebagai kesetaraan
gender, kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam kaitannya dengan
struktur sosial.
Film
perempuan berkalung sorban adalah contoh kecil dari film yang “mengandung”
teori feminisme, Mengenai perjalanan hidup Anissa, seorang wanita berkarakter
cerdas, berani dan berpendirian kuat. Anissa hidup dan dibesarkan dalam
lingkungan dan tradisi Islam konservatif di keluarga Kyai yang mengelola sebuah
pesantren kecil Salafiah putri Al-Huda di Jawa Timur, Indonesia. Dalam lingkungan dan tradisi
konservatif tersebut, ilmu sejati dan benar hanyalah al-Qur’an, Hadist
dan Sunnah, dan buku-buku modern dianggap
sebagai ajaran menyimpang. Dia berjuang melakukan perubahan dengan mencoba
mengubah pola pikir penghuni pesantren.
B. Gender
Gender adalah seperangkat
peran, yang seperti halnya kostum dan topeng di teater, menyampaikan pada orang
lain bahwa kita adalah feminim atau maskulin. Perangkat perilaku khusus ini –
yang mencakup penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di
luar rumah tangga, seksualitas, tanggung jawab keluarga dan sebagainya – secara
bersama-sama memoles “peran gender” kita (Mosse, 1996:2-3).
Yang jelas, suatu masyarakat
dapat memiliki beberapa naskah yang berbeda, kebiasaan yang berbeda, tetapi
nilai inti dari suatu kultur, yang mencakup peran gender berlangsung dari
generasi ke generasi seperti halnya bahasa (Mosse, 1996:3).
Salah satu hal yang paling
menarik mengenai peran gender adalah peran-peran itu berubah seiring waktu dan
berbeda antara satu kultur dengan kultur lainnya. Peran itu juga amat
dipengaruhi oleh kelas sosial, usia, dan latar belakang etnis (Mosse,
1996:3-4).
Gender kita menentukan
berbagai pengalaman hidup yang akan kita singkap. Gender dapat menentukan akses
kita terhadap pendidikan, kerja, alat-alat, dan sumber daya yang diperlukan
untuk industri dan keterampilan. Gender bisa menentukan kesehatan, harapan
hidup, dan kebebasan gerak kita. Yang jelas, gender ini akan menentukan
seksualitas, hubungan, dan kemampuan kita untuk membuat keputusan dan bertindak
secara autonom. Gender bisa jadi merupakan satu-satunya faktor terpenting dalam
membentuk kita akan menjadi apa nantinya (Mosse, 1996:4-5).
Gender kita membatasi dan
mendahului kita. Kita lahir kedalamnya sebagaimana halnya kita lahir ke dalam
keluarga kita, dan gender kita bekerja pada suatu tingkat di luar tujuan-tujuan
individu kita. Untuk itulah kita cenderung menjalani peran gender sebagai
sesuatu yang benar, alami dan baik. Peran gender yang kita jalani dalam
kehidupan sehari –hari merupakan bagian dari landasan cultural kita, dan tidak
mudah di ubah (Mosse, 1996:7).
Setiap saat, sebagian besar di antara kita
belajar menyukai diri sendiri dengan “kostum” yang dianggap tepat bagi gender
kita. Sehingga, kebanyakan di antara kita akhirnya memilih peran gender yang
bisa diterima oleh diri kkita (Mosse, 1996:7).
Sesuai dengan asal-usulnya,
pembentukan identitas gender didasarkan pada acuan ekspektasi dan preskripsi
nilai-nilai religius, sosial, dan kultural. Oleh sebab itu, gender dapat berubah
sewaktu-waktu seiring dengan perubahan dimensi ruang dan waktu. Pencitraan
seseorang dalam perspektif gender dibingkai dalam konteks semangat ruang dan
waktu (Chuzaifah, et.al., 2004:18).
Dalam buku Perempuan Dalam
Wacana Politik Orde Baru yang disusun oleh Liza Hadiz (2004:273) yang
merupakan kumpulan dari artikel Prisma menuliskan bahwa perempuan berorientasi
pada laki-laki yang lebih penting perannnya, di samping itu dia tergantung pada
pria dan perlu berlindung pada mereka. Tempatnya tiada lain ialah di rumah,
dalam rumah tangga, di mana kesejahteraan menjadi tanggung jawab dan tugas
sucinya.
Perempuan yang menyiratkan
makna radikal memiliki citra. Tamagola (Bungin, 2006: 220-222)
menjelaskan citra perempuan dalam media
tergambarkan sebagai citra pigura, citra pilar, citra pinggan, dan citra
pergaulan.
1) Citra
pigura
Pentingnya perempuan untuk
selalu tampil memikat dengan mempertegas sifat kewanitaannya secara biologis,
seperti memiliki waktu menstruasi, memiliki rambut hitam dan panjang, merupakan
pencitraan perempuan dengan citra pigura. Ditekankan lagi dengan menebar isu ‘natural anomy’ bahwa umur perempuan
sebagai momok yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan perempuan.
2) Citra
pilar
Citra pilar dalam pencitraan perempuan, ketika
perempuan digambarkan sebagai tulang punggung utama keluarga. perempuan
sederajad dengan laki-laki, namun karena fitrahnya berbeda dengan laki-laki,
maka perempuan digambarkan memiliki tanggungjawab yang besar terhadap rumah
tangga. Secara lebih luas, perempuan memiliki tanggung jawab terhadap persoalan
domestik.
3) Citra
pinggan
Perempuan tidak bisa melepaskan diri dari
dapur karena dapur adalah dunia perempuan, hal ini merupakan penggambaran dari
citra pinggan.
4) Citra
pergaulan
Citra ini ditandai dengan
pergulatan perempuan untuk masuk ke dalam kelas-kelas tertentu yang lebih
tinggi dimasyarakatnya, perempuan dilambangkan sebagai makhluk yang anggun,
menawan.
Pencitraan perempuan seperti di atas tidak
sekedar dilihat sebagai objek, namun juga dilihat sebagai subjek pergaulan
perempuan dalam menempatkan dirinya sebagai realitas sosial, walaupun tidak
jarang perempuan lupa bahwa mereka telah masuk dalam dunia hiper-realitik (pseudo-reality), yaitu sebuah dunia yang
hanya ada dalam media (Bungin, 2006: 219-220).
Film mempunyai jauh lebih banyak bahan untuk
mengatakan sesuatu tentang wanita secara langsung – yaitu bahwa banyak
film secara sadar mulai membuat pernyataan tentang wanita – kesadarannya,
tempatnya di dalam masyarakat, sebagaimana dibuat dalam kesusasteraan. Apa yang
dikatakan film tentang wanita lebih menarik dari pada bagaimana wanita
dimanfaatkan/dipakai dalam media tersebut (Liza Hadiz, 2004:295).
Keindahan perempuan dan
kekaguman lelaki terhadap perempuan adalah cerita klasik dalam sejarah umat
manusia. Dua hal itu pula menjadi dominan dalam inspirasi banyak pekerja seni
dari masa ke masa. Namun ketika perempuan menjadi simbol dalam seni-seni
komersial, maka kekaguman-kekaguman terhadap perempuan itu menjadi sangat
diskriminatif, tendensius, dan bahkan menjadi subordinasi dari simbol-simbol
dari kekuatan laki-laki. Bahkan terkadang mengesankan perempuan menjadi
simbol-simbol kelas sosial dan kehadirannya dalam kelas tersebut hanya karena
kerelaan yang dibutuhkan laki-laki (Bungin, 2006: 202).
Komunikasi memang terikat
dalam budaya (culture-bound). Teori komunikasi yang dihasilkan dari
penelitian dalam suatu budaya belum tentu sesuai bila diterapkan dalam budaya
lain. Namun variabel-variabel yang sama dapat diteliti oleh para peminat dan
ahli-ahli dalam bidang itu, sehingga muncul suatu teori baru yang lebih khas
atau modifikasi dari teori sebelumnya (Deddy Mulyana, 2001:22)
Perempuan Berkalung Sorban merupakan film garapan sutradara Hanung Bramantyo.
Bintang utama dari kedua film tersebut adalah perempuan. Film yang merupakan
bagian dari media, mencitrakan perempuan dalam bangunan budaya.
Cultural Norms Theory (Teori Norma Budaya)
Teori
Norma Budaya menurut Melvin DeFleur hakikatnya adalah bahwa media massa melalui
penyajiannya yang selektif dan penekanannya pada tema-tema tertentu,
menciptakan kesan-kesan pada khlayak di mana norma-norma budaya umum mengenai
topik yang diberi bobot itu, dibentuk dengan cara-cara tertentu (Effendy, 2003:
279).
Dalam
pada itu kadang-kadang media massa menggalakkan bentuk-bentuk baru dari
perilaku yang diterima oleh masyarakat secara luas. dengan lain perkataan,
dalam situasi-situasi tertentu media massa menciptakan norma-norma budaya baru.
Mengenai hal ini tampak pada media surat kabar, radio, televisi, dan film.
Media tersebut menampilkan banyak bentuk baru dari hiburan, bahkan interaksi di
kalangan keluarga (Effendy, 2003: 280).
C. Perempuan Berkalung Sorban
Film
Perempuan Berkalung Sorban adalah sebuah film yang menceritakan
kehidupan seorang wanita yang memiliki pemikiran modern. Hidup dalam lingkungan
pesantren dengan ajaran Islam yang kental. Wanita yang memilih hidup dengan
pemikiran modern dianggap sebagai wanita yang liar dan keluar dari aturan yang
telah dijelaskan dalam Al-Qur’an.
Berangkat
dari apa yang dituliskan Asghar Ali yang dikutip oleh Chumaidi Syarif Romas (2000: 96) dalam bukunya yang berjudul Wacana
Teologi Islam Kontemporer, perempuan modern mampu mendefinisikan dirinya
secara eksistensial dalam sejarah teristerial peradaban modern. Asghar Ali
dengan berpijak pada konsep penciptaan pria dan perempuan sebagai nafsin
wahidatin (an-Nisa: 1 dan az-Zumar: 6) menyatakan bahwa lelaki dan
perempuan secara substansial setara. Akan tetapi didasari oleh Boisard bahwa
Al-Qur’an diturunkan pada masa Nabi, budaya arab masih primitif, yang
tradisinya belum dapat diberantas, meskipun tujuan Al-Qur’an ingin membawa
perbaikan martabat perempuan. Kemudian ia mengatakan bahwa dalam perkembangan
sejarah menunjukkan penyalahgunaan memahami Al-Qur’an, yang secara Harfiah
memperkuat egoisme lelaki. Dikatakan pula bahwa risalah nabi Muhammad ialah
menegakkan hak-hak suci perempuan di hadapan hukum, perlindungan hak milik
pribadi dan hak waris secara sederajad.
Firman
Allah yang menyatakan bahwa kasih sayang-Ku meliputi segala sesuatu (QS
al-A’raf:156) merupakan substansi dari paradigma moralitas ilahiyah, yang dapat
mendasari teologi perempuan, sehingga perempuan juga sederajad dengan sosok
lelaki dalam arti yang sebenarnya. Namun demikian, disadari atau tidak, dalam perjalanan sejarah
perempuan telah “menyimpang” dari perspektif Al-Qur’an itu sendiri. Akibat
lebih jauh, dapat dikatakan bahwa perempuan telah kehilangan otoritas “keimamahan”
dalam ritual keagamaan (Romas, 2000:97).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam makalah Gender dengan Film
Wanita Berkalung Sorban bertolak belakang dimana dalam film tersebut hanya
mementingkan seorang laki-laki daripada perempuan dan di makalah gender semua
manusia itu sama yaitu dalam alqur’an tidak mementingkan sebelah pihak.
Kedudukan anak laki-laki dan
perempuan dalam
keluarga menurut Al-Qur'an adalah sama. Bahkan semua laki-laki dan perempuan
ditingkat manapun tidak berbeda. Menurut Umar[1]
ada beberapa variaber yang dapat digunakan sebagai standar dalam menganalisa
prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam Al-Qur'an. Variaber tersebut adalah :
1) Laki-laki dan perempuan sama-sama
sebagai hamba Allah.
2) Laki-laki dan perempuan sebagai
khalifah (penguasa) di bumi.
3) Laki-laki dan perempuan menerima
perjanjian primordial dengan Tuhannya.
4) Adam (sebagai simbol laki-laki)
dan Hawa (sebagai simbol perempuan) terlibat secara aktif dalam dramis kosmis.
5) Laki-laki dan perempuan
berpotensi meraih prestasi.
Dengan
demikian, Al-Qur'an yang merupakan kitab suci pemeluk agama Islam, sebenarnya
menganugerahkan status yang setara antara laki-laki dan perempuan dalam
pengertian normatif, namun juga mengakui superioritas laki-laki dalam konteks
sosial tertentu.
B. Saran
Semoga para pembaca makalah analisis gender dengan Film
Wanita Berkalung Sorban ini semakin baik membawa hidupnya ke jalan yang benar, menjadi
manusia yang adil makmur sentosa bagi bangsa dan negaranya, dengan adanya
makalah ini penulis berharap jauhkanlah sifat pencemoh dan jauhkanlah saling
meremehkan yang lain sehingga tidak menimbulkan kesalah fahaman anatara
perempuan dengan laki-laki. Ingat dimata Allah semua manusia adalah sama
kecuali ketakwaannya.
C. Daftar Kepustakaan
Fakih,
Mansour. 1999. Analisiss Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Hardiman,
F. Budi. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif. Jakarta: Kanisius. Kompas,
13 Juni 2001.
Mosse,
Julia Cleves. 2004. Gender dan Pembangunan. Terj. Hartian Susilawati.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar