Rabu, 25 Maret 2015

Pendidikan Agama islam



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perempuan makhluk istimewa dengan segala keindahannya, makhluk yang sering dianggap lemah namun menyimpan kekuatan besar. Wanita juga boleh dibilang selalu jadi 'makhluk kelas dua' jika dibandingkan dengan lawan jenisnya, laki–laki. Kebebasannya sering dianggap tabu, keputusannya dianggap perlawanan, padahal sejatinya perempuan dan laki–laki adalah pelengkap antara satu sama lain. Bukan hal yang baru pula kalau laki–laki malah menjadi penindas bagi perempuan, perempuan jadi warga negara kelas dua. Ditindas hak–haknya dan dilupakan suaranya.
Di sisi lain emansipasi perempuan terus digaungkan. Sayangnya, kesetaraan hak itu bukanlah sesuatu yang bersifat evolusi namun paralel. Di suatu waktu ada perempuan yang menjadi presiden tapi pada waktu yang sama ada perempuan–perempuan yang ditekan, dipaksa menghentikan pendidikannya, mengalami kekerasan dalam rumah tangga atau dijual oleh keluarganya sendiri. Berbicara mengenai kebebasan kaum perempuan, selalu tidak terlepas dari norma–norma adat, tradisi bahkan agama.
Berdasarkan Inpres No. 9 Tahun 2000 disebutkan bahwa:
  1. Gender merupakan konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat.
  2. Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan nasional dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Dalam relasi sosial yang setara, perempuan dan laki-laki merupakan faktor yang sama pentingnya dalam menentukan berbagai hal yang menyangkut kehidupan, baik di lingkungan keluarga, bermasyarakat, maupun berbangsa dan bernegara.
Media massa memiliki peran besar dalam membentuk dan mengubah
pikiran, perasaan, sikap, opini dan perilaku masyarakat tentang perempuan. Namun potret perempuan dalam media massa masih memperlihatkan stereotip yang negatif. Kehadiran film dengan target audience perempuan yang bertujuan untuk memberdayakan perempuan, merupakan suatu harapan baru bagi perempuan untuk menyuarakan kesamaan hak dan meminimalisir ketidakadilan gender.
Inilah yang dinyatakan Wood (1994:235) bahwa media tetap saja menyajikan laki-laki dan perempuan dengan cara yang stereotipikal yang membatasi persepsi kita tentang kemungkinan-kemungkinan manusia. Lebih lanjut, Wood (1994:238-244) menunjukkan 4 (empat) penggambaran stereotipikal itu yang membuat media terus merefleksikan dan mendorong pengembangan relasi pria dan perempuan yang dianggap patut secara tradisional, yaitu:
a. Perempuan bergantung/laki-laki mandiri
b. Perempuan tidak kompeten/laki-laki memiliki otoritas
c. Perempuan mengasuh/laki-laki mencari nafkah
d. Perempuan sebagai korban dan objek seks/laki-laki agresor
Wood mengemukakan hal tersebut tercermin mulai dari film kartun buatan Walt Disney The Litle Mermaid hingga film Hollywood Pretty Woman. Tentu saja, contoh yang dikemukakan Wood itu masih bisa kita tambahi dengan contoh-contoh yang diambil dari apa yang disiarkan media-media di Indonesia.
Seperti dikemukakan sebelumnya, melek-media menjadi salah satu cara yang banyak dianjurkan untuk mengembangkan represesntasi media tentang perempuan yang lebih berimbang dan tidak bias gender. Secara sederhana, melek-media dapat idefinisikan sebagai kemampuan untuk membaca dan mengAnalisiss citra dan pesan-pesan tersirat (implisit) pada semua jenis isi media. Menurut Davidson (2006), melek-media memainkan peran yang signifikan dalam menentukan apakah isu-isu gender akan secara luas dipandang penting dan menjadi persoalan sosial, politik dan budaya yang absah.
Kemudian Islam merupakan agama mayoritas negara ini sering kali dikaitkan dengan topik kebebasan pihak perempuan, dianggap berat sebelah karena lebih memihak atas kepentingan perempuan, yang kemudian ayat–ayatnya menjadi alat untuk membungkam perempuan, sebuah fenomena pro dan kontra yang terus berlanjut hingga saatini.
Membaca fenomena yang terjadi, Starvision mencoba menghadirkan film terbarunya berjudul Perempuan Berkalung Sorban, dengan arahan sutradara berbakat
HanungBramantyo.
Film yang diambil dari karya novel Abidah El. Khalieqy ini adalah film tentang salah satu dunia paralel perempuan. Berkisah tentang Anissa, seorang perempuan dari pesantren yang berjuang untuk mendapatkan hak-nya. Hak untuk memilih hidup tanpa ada tekanan, termasuk juga tekanan yang mengatasnamakan agama.
Inilah yang kemudian menggelitik peneliti untuk mengkaji dan meneliti konsep gender dalam film perempuan berkalung sorban.

B.     Rumusan Masalah
Yang menjadi rumusan masalah dalam Analisis ini adalah Bagaimana konsep kesetaraan gender dalam film perempuan berkalung sorban? Melalui pemahaman tentang teori komunikasi massa dan teori kesetaraan gender.
C.    Tujuan Analisis
Tujuan Analisis ini adalah untuk mengetahui konsep kesetaraan gender dalam film perempuan berkalung sorban.melalui Analisiss teori, wawancara dan pengamatan film perempuan berkalung sorban.
D.    Manfaat Analisis
Ada beberapa manfaat yang coba ditampilkan dalam Analisis ini, yaitu:
  1. Secara akademis, merupakan bentuk aktualisasi nilai pribadi seorang mahasiswa sebagai insan akademis yang mampu mengkaji dan meneliti fenomena social dari sudut pandang keilmuan yang dimilikinya, terutama bagi seorang mahasiswi ilmu komunikasi.
  2. Secara social, bahwa kita sebagai salah satu kelompok social tentu harus mampu memberikan kontribusi pengetahuan keilmuan yang ilmiah, sistematis dan kreatif untuk membantu pemahaman kelompok social lainnya baik internal maupun eksternal.
E.     Batasan Analisis
Yang menjadi batasan dalam Analisis ini adalah dengan menggunakan Analisis kualitatif dengan metode Analisis wacana adapun untuk meneliti konsep kesetaraan gender ini nantinya yang kemudian akan dibatasi berdasarkan unit – unit Analisis yang meliputi: tema, skema, latar, setting, ilustrasi/ visualisasi, maksud, pengandaian, penalaran, kata kunci, pemilian kata, ekspresi dan metafora.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Perempuan antara Laki-laki
Dalam Kamus Linguistik yang ditulis oleh Kridalaksana (1993), Sejarah kontemporer bahasa Indonesia mencatat bahwa kata wanita menduduki posisi dan konotasi terhormat. Kata ini mengalami proses ameliorasi (suatu perubahan makna yang semakin positif, arti sekarang lebih tinggi daripada arti dahulu) (Sudarwati dan Jupriono; 2011).
Kata kewanitaan, yang diturunkan dari wanita, berarti keputrian atau sifat-sifat khas wanita. Sebagai putri (wanita di lingkungan keraton), setiap wanita diharapkan masyarakatnya untuk meniru sikap laku, gaya tutur, para putri keraton, yang senantiasa lemah gemulai, sabar, halus, tunduk, patuh, mendukung, mendampingi, mengabdi, dan menyenangkan pria. Dengan kata wanita, benar-benar dihindari nuansa memprotes, memimpin, menuntut, menyaingi, memberontak, menentang, melawan. Maka, bisa dimengerti bahwa yang muncul dipilih sebagai nama organisasi wanita bergengsi nasional adalah "Darma Wanita", sebab di sinilah kaum wanita berdarma, berbakti, mengabdikan dirinya pada lembaga tempat suaminya bekerja. Maka, program kerjanya pun harus selalu mendukung tugas-tugas dan jabatan suami (Sudarwati dan Jupriono; 2011).
Berdasarkan "Old Javanese English Dictionary" (Zoetmulder, 1982), kata wanita berarti yang diinginkan. Arti yang dinginkan dari wanita ini sangat relevan dibentangkan di sini. Maksudnya, jelas bahwa wanita adalah sesuatu yang diinginkan pria. Wanita baru diperhitungkan karena (dan bila) bisa dimanfaatkan pria. Sudut pandangnya selalu sudut pandang lawan mainnya (pria). Jadi, eksistensinya sebagai makhluk Tuhan menjadi nihil. Dengan demikian, kata ini berarti hanya menjadi objek (bagi lelaki) belaka (Sudarwati dan Jupriono; 2011).
Ini merupakan pantulan realitas bahwa apa pun yang dilakukan wanita tetaplah tak sanggup menghapus kekuasaan pria. Wanita berada dalam alam tanpa otonomi atas dirinya. Begitulah inferioritas wanita akan selalu menderita gagap, gagu, dan gugup di bawah gegap gempitanya superioritas pria (Sudarwati dan Jupriono; 2011).
Sedangkan kata perempuan dalam pandangan masyarakat Indonesia, kata perempuan mengalami degradasi semantis, atau peyorasi, penurunan nilai makna; arti sekarang lebih rendah dari arti dahulu. Di pasar pemakaian, terutama di tubuh birokrasi dan kalangan atas, nasib perempuan terpuruk di bawah kata wanita, sehingga yang muncul adalah Menteri Peranan Wanita, pengusaha wanita (wanita pengusaha), insinyur wanita, peranan wanita dalam pembangunan (Sudarwati dan Jupriono; 2011).
Dalam tinjauan etimologisnya, kata perempuan bernilai cukup tinggi, tidak di bawah, tetapi sejajar, bahkan lebih tinggi daripada kata lelaki (Sudarwati dan Jupriono; 2011).
1)      Secara etimologis, kata perempuan berasal dari kata empu yang berarti tuan, orang yang mahir/berkuasa, atau pun kepala, hulu, atau yang paling besar; maka, kita kenal kata empu jari: ibu jari, empu gending: orang yang mahir mencipta tembang.
2)      Kata perempuan juga berhubungan dengan kata ampu: sokong, memerintah, penyangga, penjaga keselamatan, bahkan wali; kata mengampu artinya menahan agar tak jatuh atau menyokong agar tidak runtuh; kata mengampukan berarti memerintah (negeri); ada lagi pengampu: penahan, penyangga, penyelamat.
3)      Kata perempuan juga berakar erat dari kata empuan; kata ini mengalami pemendekan menjadi puan yang artinya ‘sapaan hormat pada perempuan’, sebagai pasangan kata tuan 'sapaan hormat pada lelaki'.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, keperempuanan juga berarti kehormatan sebagai perempuan. Di sini sudah mulai muncul kesadaran menjaga harkat dan martabat sebagai manusia bergender feminin. Tersirat juga di sini makna kami jangan diremehkan atau kami punya harga diri (Sudarwati dan Jupriono; 2011).
Feminis memandang bahwa baik laki-laki maupun perempuan sekaligus sebagai pusat dan nonpusat, disesuaikan dengan posisi dan kondisinya dalam masyarakat. Kaum perempuan tidak menuntut persamaan biologis sebab perbedaan tersebut merupakan hakikat. Kaum perempuan melalui gerakan dan teori feminis menuntut agar kesadaran kultural yang selalu memarginalkan perempuan dapat diubah sehingga keseimbangan yang terjadi adalah keseimbangan yang dinamis.
Ada dua indikator yang membedakan antara laki-laki dengan perempuan, pertama aspek biologis atau alamiah, kedua aspek psikologis atau kebudayaan. Aspek yang pertama merupakan pembawaan yang dengan sendirinya tidak perlu dan tidak bisa ditolak, yang dipermasalahkan oleh kaum perempuan adalah aspek yang kedua, kondisi-kondisi yang dikerangkakan secara kultural. Dalam kehidupan sehari-hari khususnya dalam ilmu sosial disebut sebagai kesetaraan gender, kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam kaitannya dengan struktur sosial.
Film perempuan berkalung sorban adalah contoh kecil dari film yang “mengandung” teori feminisme, Mengenai perjalanan hidup Anissa, seorang wanita berkarakter cerdas, berani dan berpendirian kuat. Anissa hidup dan dibesarkan dalam lingkungan dan tradisi Islam konservatif di keluarga Kyai yang mengelola sebuah pesantren kecil Salafiah putri Al-Huda di Jawa Timur, Indonesia. Dalam lingkungan dan tradisi konservatif tersebut, ilmu sejati dan benar hanyalah al-Qur’an, Hadist dan Sunnah, dan buku-buku modern dianggap sebagai ajaran menyimpang. Dia berjuang melakukan perubahan dengan mencoba mengubah pola pikir penghuni pesantren.
B.     Gender
Gender adalah seperangkat peran, yang seperti halnya kostum dan topeng di teater, menyampaikan pada orang lain bahwa kita adalah feminim atau maskulin. Perangkat perilaku khusus ini – yang mencakup penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas, tanggung jawab keluarga dan sebagainya – secara bersama-sama memoles “peran gender” kita (Mosse, 1996:2-3).
Yang jelas, suatu masyarakat dapat memiliki beberapa naskah yang berbeda, kebiasaan yang berbeda, tetapi nilai inti dari suatu kultur, yang mencakup peran gender berlangsung dari generasi ke generasi seperti halnya bahasa (Mosse, 1996:3).
Salah satu hal yang paling menarik mengenai peran gender adalah peran-peran itu berubah seiring waktu dan berbeda antara satu kultur dengan kultur lainnya. Peran itu juga amat dipengaruhi oleh kelas sosial, usia, dan latar belakang etnis (Mosse, 1996:3-4).
Gender kita menentukan berbagai pengalaman hidup yang akan kita singkap. Gender dapat menentukan akses kita terhadap pendidikan, kerja, alat-alat, dan sumber daya yang diperlukan untuk industri dan keterampilan. Gender bisa menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan gerak kita. Yang jelas, gender ini akan menentukan seksualitas, hubungan, dan kemampuan kita untuk membuat keputusan dan bertindak secara autonom. Gender bisa jadi merupakan satu-satunya faktor terpenting dalam membentuk kita akan menjadi apa nantinya (Mosse, 1996:4-5).
Gender kita membatasi dan mendahului kita. Kita lahir kedalamnya sebagaimana halnya kita lahir ke dalam keluarga kita, dan gender kita bekerja pada suatu tingkat di luar tujuan-tujuan individu kita. Untuk itulah kita cenderung menjalani peran gender sebagai sesuatu yang benar, alami dan baik. Peran gender yang kita jalani dalam kehidupan sehari –hari merupakan bagian dari landasan cultural kita, dan tidak mudah di ubah (Mosse, 1996:7).
 Setiap saat, sebagian besar di antara kita belajar menyukai diri sendiri dengan “kostum” yang dianggap tepat bagi gender kita. Sehingga, kebanyakan di antara kita akhirnya memilih peran gender yang bisa diterima oleh diri kkita (Mosse, 1996:7).
Sesuai dengan asal-usulnya, pembentukan identitas gender didasarkan pada acuan ekspektasi dan preskripsi nilai-nilai religius, sosial, dan kultural. Oleh sebab itu, gender dapat berubah sewaktu-waktu seiring dengan perubahan dimensi ruang dan waktu. Pencitraan seseorang dalam perspektif gender dibingkai dalam konteks semangat ruang dan waktu (Chuzaifah, et.al., 2004:18).
Dalam buku Perempuan Dalam Wacana Politik Orde Baru yang disusun oleh Liza Hadiz (2004:273) yang merupakan kumpulan dari artikel Prisma menuliskan bahwa perempuan berorientasi pada laki-laki yang lebih penting perannnya, di samping itu dia tergantung pada pria dan perlu berlindung pada mereka. Tempatnya tiada lain ialah di rumah, dalam rumah tangga, di mana kesejahteraan menjadi tanggung jawab dan tugas sucinya.
Perempuan yang menyiratkan makna radikal memiliki citra. Tamagola (Bungin, 2006: 220-222) menjelaskan citra perempuan dalam media  tergambarkan sebagai citra pigura, citra pilar, citra pinggan, dan citra pergaulan.
1)      Citra pigura
Pentingnya perempuan untuk selalu tampil memikat dengan mempertegas sifat kewanitaannya secara biologis, seperti memiliki waktu menstruasi, memiliki rambut hitam dan panjang, merupakan pencitraan perempuan dengan citra pigura. Ditekankan lagi dengan menebar isu ‘natural anomy’ bahwa umur perempuan sebagai momok yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan perempuan.
2)   Citra pilar
             Citra pilar dalam pencitraan perempuan, ketika perempuan digambarkan sebagai tulang punggung utama keluarga. perempuan sederajad dengan laki-laki, namun karena fitrahnya berbeda dengan laki-laki, maka perempuan digambarkan memiliki tanggungjawab yang besar terhadap rumah tangga. Secara lebih luas, perempuan memiliki tanggung jawab terhadap persoalan domestik.
3)   Citra pinggan
             Perempuan tidak bisa melepaskan diri dari dapur karena dapur adalah dunia perempuan, hal ini merupakan penggambaran dari citra pinggan.
4)   Citra pergaulan
Citra ini ditandai dengan pergulatan perempuan untuk masuk ke dalam kelas-kelas tertentu yang lebih tinggi dimasyarakatnya, perempuan dilambangkan sebagai makhluk yang anggun, menawan.
              Pencitraan perempuan seperti di atas tidak sekedar dilihat sebagai objek, namun juga dilihat sebagai subjek pergaulan perempuan dalam menempatkan dirinya sebagai realitas sosial, walaupun tidak jarang perempuan lupa bahwa mereka telah masuk dalam dunia hiper-realitik (pseudo-reality), yaitu sebuah dunia yang hanya ada dalam media (Bungin, 2006: 219-220).
   Film mempunyai jauh lebih banyak bahan untuk mengatakan sesuatu tentang wanita secara langsung – yaitu bahwa banyak film secara sadar mulai membuat pernyataan tentang wanita – kesadarannya, tempatnya di dalam masyarakat, sebagaimana dibuat dalam kesusasteraan. Apa yang dikatakan film tentang wanita lebih menarik dari pada bagaimana wanita dimanfaatkan/dipakai dalam media tersebut (Liza Hadiz, 2004:295).
Keindahan perempuan dan kekaguman lelaki terhadap perempuan adalah cerita klasik dalam sejarah umat manusia. Dua hal itu pula menjadi dominan dalam inspirasi banyak pekerja seni dari masa ke masa. Namun ketika perempuan menjadi simbol dalam seni-seni komersial, maka kekaguman-kekaguman terhadap perempuan itu menjadi sangat diskriminatif, tendensius, dan bahkan menjadi subordinasi dari simbol-simbol dari kekuatan laki-laki. Bahkan terkadang mengesankan perempuan menjadi simbol-simbol kelas sosial dan kehadirannya dalam kelas tersebut hanya karena kerelaan yang dibutuhkan laki-laki (Bungin, 2006: 202).
Komunikasi memang terikat dalam budaya (culture-bound). Teori komunikasi yang dihasilkan dari penelitian dalam suatu budaya belum tentu sesuai bila diterapkan dalam budaya lain. Namun variabel-variabel yang sama dapat diteliti oleh para peminat dan ahli-ahli dalam bidang itu, sehingga muncul suatu teori baru yang lebih khas atau modifikasi dari teori sebelumnya (Deddy Mulyana, 2001:22)  
Perempuan Berkalung Sorban merupakan film garapan sutradara Hanung Bramantyo. Bintang utama dari kedua film tersebut adalah perempuan. Film yang merupakan bagian dari media, mencitrakan perempuan dalam bangunan budaya.
Cultural Norms Theory (Teori Norma Budaya)
Teori Norma Budaya menurut Melvin DeFleur hakikatnya adalah bahwa media massa melalui penyajiannya yang selektif dan penekanannya pada tema-tema tertentu, menciptakan kesan-kesan pada khlayak di mana norma-norma budaya umum mengenai topik yang diberi bobot itu, dibentuk dengan cara-cara tertentu (Effendy, 2003: 279).
Dalam pada itu kadang-kadang media massa menggalakkan bentuk-bentuk baru dari perilaku yang diterima oleh masyarakat secara luas. dengan lain perkataan, dalam situasi-situasi tertentu media massa menciptakan norma-norma budaya baru. Mengenai hal ini tampak pada media surat kabar, radio, televisi, dan film. Media tersebut menampilkan banyak bentuk baru dari hiburan, bahkan interaksi di kalangan keluarga (Effendy, 2003: 280).





C.    Perempuan Berkalung Sorban
Film Perempuan Berkalung Sorban adalah sebuah film yang menceritakan kehidupan seorang wanita yang memiliki pemikiran modern. Hidup dalam lingkungan pesantren dengan ajaran Islam yang kental. Wanita yang memilih hidup dengan pemikiran modern dianggap sebagai wanita yang liar dan keluar dari aturan yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an.
Berangkat dari apa yang dituliskan Asghar Ali yang dikutip oleh Chumaidi Syarif  Romas (2000: 96) dalam bukunya yang berjudul Wacana Teologi Islam Kontemporer, perempuan modern mampu mendefinisikan dirinya secara eksistensial dalam sejarah teristerial peradaban modern. Asghar Ali dengan berpijak pada konsep penciptaan pria dan perempuan sebagai nafsin wahidatin (an-Nisa: 1 dan az-Zumar: 6) menyatakan bahwa lelaki dan perempuan secara substansial setara. Akan tetapi didasari oleh Boisard bahwa Al-Qur’an diturunkan pada masa Nabi, budaya arab masih primitif, yang tradisinya belum dapat diberantas, meskipun tujuan Al-Qur’an ingin membawa perbaikan martabat perempuan. Kemudian ia mengatakan bahwa dalam perkembangan sejarah menunjukkan penyalahgunaan memahami Al-Qur’an, yang secara Harfiah memperkuat egoisme lelaki. Dikatakan pula bahwa risalah nabi Muhammad ialah menegakkan hak-hak suci perempuan di hadapan hukum, perlindungan hak milik pribadi dan hak waris secara sederajad.
Firman Allah yang menyatakan bahwa kasih sayang-Ku meliputi segala sesuatu (QS al-A’raf:156) merupakan substansi dari paradigma moralitas ilahiyah, yang dapat mendasari teologi perempuan, sehingga perempuan juga sederajad dengan sosok lelaki dalam arti yang sebenarnya. Namun demikian,  disadari atau tidak, dalam perjalanan sejarah perempuan telah “menyimpang” dari perspektif Al-Qur’an itu sendiri. Akibat lebih jauh, dapat dikatakan bahwa perempuan telah kehilangan otoritas “keimamahan” dalam ritual keagamaan (Romas, 2000:97).  



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dalam makalah Gender dengan Film Wanita Berkalung Sorban bertolak belakang dimana dalam film tersebut hanya mementingkan seorang laki-laki daripada perempuan dan di makalah gender semua manusia itu sama yaitu dalam alqur’an tidak mementingkan sebelah pihak.
Kedudukan anak laki-laki dan perempuan dalam keluarga menurut Al-Qur'an adalah sama. Bahkan semua laki-laki dan perempuan ditingkat manapun tidak berbeda. Menurut Umar[1] ada beberapa variaber yang dapat digunakan sebagai standar dalam menganalisa prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam Al-Qur'an. Variaber tersebut adalah :
1)      Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Allah.
2)      Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah (penguasa) di bumi.
3)      Laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial dengan Tuhannya.
4)      Adam (sebagai simbol laki-laki) dan Hawa (sebagai simbol perempuan) terlibat secara aktif dalam dramis kosmis.
5)      Laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi.
Dengan demikian, Al-Qur'an yang merupakan kitab suci pemeluk agama Islam, sebenarnya menganugerahkan status yang setara antara laki-laki dan perempuan dalam pengertian normatif, namun juga mengakui superioritas laki-laki dalam konteks sosial tertentu.
B.     Saran
Semoga para pembaca makalah analisis gender dengan Film Wanita Berkalung Sorban ini semakin baik membawa hidupnya ke jalan yang benar, menjadi manusia yang adil makmur sentosa bagi bangsa dan negaranya, dengan adanya makalah ini penulis berharap jauhkanlah sifat pencemoh dan jauhkanlah saling meremehkan yang lain sehingga tidak menimbulkan kesalah fahaman anatara perempuan dengan laki-laki. Ingat dimata Allah semua manusia adalah sama kecuali ketakwaannya.
C.    Daftar Kepustakaan
Fakih, Mansour. 1999. Analisiss Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hardiman, F. Budi. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif. Jakarta: Kanisius. Kompas, 13 Juni 2001.
Mosse, Julia Cleves. 2004. Gender dan Pembangunan. Terj. Hartian Susilawati. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



Tidak ada komentar: