Rabu, 25 Maret 2015

Filsafat Ilmu




SEJARAH FILSAFAT ILMU
Filsafat pendidikan Barat sebenarnya berasal dari zaman Yunani Kuno, lebih dari dua ribu tahun yang lalu. Cendikiawan Yunani Kuno meletakan dasar dari filsafat pendidikan dan dasar ini pulalah yang menjadi topik bahasan filsafat pendidikan di Eropa dan di Amerika Utara.
Sebelum zaman Yunani Kuno, tujuan pendidikan cukup sederhana, yakni tentang sintas (survival) atau bertahan hidup di dunia. Para orang tua ingin mendidik anak mereka untuk dapat bertahan hidup di dunia. Penyelenggaraan pendidikan dilakukan melalui peniruan dan pemagangan. Pada zaman Yunani Kuno, pendidikan anak dilaksanakan pada waktu senggang. Dari kata bahasa Yunani skhole yang berarti waktu senggang, lahirlah kata sekolah yang kita kenal sekarang ini.
Filsafat pendidikan bersumber dari Socrates dan kemudian ke Plato. Namun puncak pemikiran tentang filsafat pendidikan terletak pada Aristoteles. Kalau Socrates dan Plato memberi tekanan kepada pengetahuan di dalam pendidikan, maka Aristoteles mengangkat kesejahteraan atau kebaikan sebagai tujuan pendidikan. Muncullah kebaikan intelektual serta kebaikan berkegiatan.
Aristoteles juga membagi pendidikan menjadi pendidikan liberal dan latihan vokasional. Yakni bahwa manusia memiliki kemampuan rasional maka tujuan dari pendidikan liberal adalah membebaskan pemikiran (liberate) agar berkembang luas. Pendidikan demikian dikenal sebagai pendidikan liberal yang bertahan sampai sekarang.
Muncullah bersama itu kurikulum trivium dan quadrivium. Trivium berisikan gramatika, logika, dan retorika yang dianggap dapat meliberalisasi pikiran. Quadrivium terdiri dari musik, astronomi, geometri, dan arismetika.

SUMBER PENGETAHUAN
Secara umum, di Barat terdapat dua aliran terkait dengan sumber ilmu pengetahuan, yaitu Sensualisme dan Rasionalisme. Kaum sensualis, khususnya John Locke, menganggap bahwa pengetahuan yang sah dan benar hanya lewat indra saja. Mereka mengatakan bahwa otak manusia ketika lahir dalam keadaan kosong dari segala bentuk pengetahuan, kemudian melalui indra realita-realita di luar tertanam dalam benak. Peranan akal hanya dua saja, yaitu menyusun atau memilah, dan meng-generalisasi. Jadi, yang paling berperan adalah indra. Pengetahuan yang murni lewat akal tanpa indra itu tidak ada. Konskuensi dari pandangan ini adalah bahwa realita yang bukan materi atau yang tidak dapat bersentuhan dengan indra, maka tidak dapat diketahui, sehingga pada gilirannya mereka mengingkari hal-hal yang metafisik seperti Tuhan.
Sedangkan kaum Rasionalis meyakini bahwa akal merupakan sumber pengetahuan dan sekaligus juga sebagai alat pengetahuan. Mereka menganggap akal-lah yang sebenarnya menjadi alat pengetahuan sedangkan indra hanya pembantu saja. Indra hanya merekam atau memotret realita yanng berkaitan dengannya, namun yang menyimpan dan mengolah adalah akal. Karena kata mereka, indra saja tanpa akal tidak ada artinya. Tetapi tanpa indra pangetahuan, akal hanya tidak sempurna, bukan tidak ada.
Selain dua aliran di atas, masih banyak aliran lain yang tidak mungkin ditulis dalam makalah pendek ini.

FILSAFAT ILMU (PHILOSOPHY OF SCIENCE) BARAT
Menurut Lewis White Beck, filsafat ilmu itu mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah sebagai satu keseluruhan ilmiah. Sedangkan Antony Flew menyatakan, filsafat ilmu merupakan ilmu empiris yang teratur yang menyajikan hasil yang paling mengesankan dari rasionalitas manusia. Filsafat ilmu berusaha menunjukkan dimana letak rasionalitas itu, apa yang khusus mengenai penjelasan-penjelasannya dan konstruksi-konstruksi teorinya, apa yang memisahkannya dari perkiraan dan ilmu-semu serta membuat ramalan-ramalannya dan berbagai teknologi berharga untuk dipercaya yang terpenting apakah teori-teorinya dapat diterima sebagai mengungkapkan kebenaran tentang suatu realitas objektif yang tersembunyi.[1]
Dengan demikian, filsafat ilmu merupakan penerusan dalam pengembangan filsafat pengetahuan. Sebab, pengetahuan ilmiah tidak lain adalah “a higher level dalam perangkat pengetahuan manusia, dalam artian sebagaimana yang selalu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena, itu objek kedua cabang filsafat ini sering berhimpitan, namun berbeda dalam aspek dan motif pembahasannya.
Objek filsafat ilmu adalah tiang-tiang penyangga eksistensi ilmu pengetahuan yaitu ontologi (sebagai salah satu cabang filsafat membahas apa hakikat (being qua being) itu, idealisme atau spritualisme dan lain sebagainya merupakan paham dalam filsafat ontologi, masing-masing mempunyai keyakinannya sendiri-sendiri mengenai apa ‘hakikat ada’ itu, konsekuensinya akan sampai pada perbedaan pandangan tentang apa yang disebut kebenaran atau kenyataan, yang pada gilirannya juga akan sampai pula pada perbedaan dalam menggunakan sarana dalam mencapai kebenaran atau kenyataan tadi), epistemologi (sebagai cabang filsafat membahas apa sarana dan bagaimana tata cara untuk mencapai pengetahuan, dan bagaimana ukuran bagi apa yang disebut kebenaran atau kenyataan ilmiah itu, rasionalisme, empirisme dan lain sebagainya merupakan paham-paham dalam epistemologi) dan aksiologi (sebagai salah satu cabang filsafat yang membahas nilai (value) sebagai imperatif dalam penerapan ilmu pengetahuan secara praksis).
Dari sini dapat disimpulkan, filsafat ilmu bukanlah sekedar metode atau tata cara penulisan karya ilmiah maupun penelitian, bahkan merupakan refleksi secara filsafati yang tidak pernah mengenal titik henti dalam menjelajahi kawasan ilmiah untuk mencapai kebenaran atau kenyataan.[2]


PENDIDIKAN ISLAM
Dalam Islam, pendidikan atau al-Tarbiyah dianggap sebagai proses yang terkait dengan upaya yang mempersiapkan manusia untuk mampu memikul tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi. Untuk maksud tersebut, manusia diciptakan lengkap dengan potensinya berupa akal dan kemampuan belajar. Dalam pada itu, Allah mengutus para rasul setelah Nabi Adam as. kepada umat manusia untuk membimbing mereka dari kondisi “gelap” kepada kondisi yang “terang” melalui al-Kitab, al-Hikmah, dan pendidikan.
Jelas sekali, jalan untuk dapat beribadah, memperoleh petunjuk, menjadi berbudaya, dan memakmurkan bumi guna melaksanakan tugas hidup dari Allah adalah ilmu dan pengetahuan yang dijiwai dengan iman. Oleh karenanya, Islam memberikan garis-garis besar tentang pelaksanaan pendidikan tersebut. Islam memberikan konsep-konsep yang mendasar tentang pendidikan, dan menjadi tanggung jawab manusia untuk menjabarkan dan mengaplikasikan konsep-konsep dasar tersebut dalam praktek kependidikan.

FILSAFAT ISLAM

Dalam Islam, kata filsafat berasal dari bahasa Arab ‘falsafah’ dengan wazan fa’lala, fa’lalah, dan fi’lal, yang berarti mengutamakan dan mencintai hikmah.[3] Hikmah sendiri, menurut Fuad Irfami al-Bustani, secara etimologi adalah al-adl (memposisikan sesuatu pada tempatnya), al-hilm (akal atau pemikiran yang sempurna), dan secara terminologi merupakan ungkapan atau pemikiran yang sesuai dengan suatu kebenaran pendapat yang valid.[4]

Dengan demikian, asal kata Falsafah dan al-Hikmah jika digabungkan akan memberikan makna yang lebih identik pada Filsafat Ilmu, hal ini berdasarkan beberapa definisi para filosof Muslim yang menunjukkan adanya kewajiban untuk bertindak lebih bijaksana dalam hal apapun,[5] serta berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits. Landasan-landasan tersebut dapat diketahui dari ayat-ayat berikut;

Alif Laam Miim. Inilah ayat al-Qur’an yang mengandung hikmah. (QS al-Luqman [21] 1-2)
Dan sesungguhnya telah kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu bersyukurlah kepada Allah, dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah) maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha kaya dan Maha terpuji. (QS al-Luqman [21] 12).
Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang diberikan hikmah, sungguh telah diberikan kebanjikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajarankecuali orang-orang yang berakal. (QS al-Baqarah [2] 269)
Dan Allah akan mengajarkan kepadanya, al-Kitab, hikmah taurat dan injil. (QS al-Imran: [3] 48).
Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: ‘Sungguh apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah….(QS al-Imran [3] ayat 81).

Surah Luqman di atas dimulai dengan huruf-huruf simbolik (‘alif, lam, mim), yang kemudian disusul dengan frasa: Inilah ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung hikmah (al-kitab al-hakim). Hikmah tersebut dalam ayat ke 12 dinyatakan, “Dan sesungguhnya telah kami berikan hikmah (kebijaksanaan) kepada Luqman yaitu bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang tidak bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya Allah maha kaya dan  maha terpuji.” Dalam ayat ini tampak jelas bahwa pengertian hikmah di anggap sebagai anugerah bagi orang yang mau berterima-kasih, dan kebenaran itu ditandaskan lebih lanjut oleh ayat: “Allah memberikan hikmah (kebijaksanaan) kepada siapa yang dikehendakinya, dan barang siapa yang diberi hikmah itu, sungguh telah diberikan kebajikan yang banyak………(QS al-Baqarah : 269)
Dari ayat yang menyebutkan ‘kitab’ dan ‘hikmah’ secara berturutan, merupakan inti untuk menegaskan adanya kewajiban untuk bertindak lebih bijaksana dalam hal apapun (baik itu terhadap masalah, fakta, data, dan teori). Untuk mencapai hal demikian, maka diperlukan ‘aql’ atau rasio, karena ‘aql’ merupakan sebuah refleksi berfikir terhadap realitas yang merupakan instrumen wahyu dan sekaligus sebagai potensi untuk mencari kebenaran.

ILMU DALAM ISLAM
Dalam Islam, asal kata “ilmu” diadopsi dari bahasa Arab yang dilihat dari bentuk masdar (bentuk pembendaan) dari ‘alima’ menjadi ‘ilman’ (ilmu), sehingga kata ‘alima’ yang berarti memahami menjadi ‘ilman’ yang berarti pemahaman atau pengetahuan.[6]
Sejak awal kelahirannya, Islam telah memberikan penghargaan yang begitu besar terhadap ilmu, sebagaimana yang telah diketahui bahwa Nabi Muhammad Saw ketika di utus oleh Allah Swt sebagai Rasul-Nya, hidup dalam masyarakat yang terbelakang, dimana paganisme tumbuh menjadi sebuah identitas yang melekat pada masyarakat Arab dimasa itu, kemudian Islam datang menawarkan cahaya penerang yang mengubah masyarakat Arab Jahiliyyah menjadi masyarakat yang berilmu dan beradab.
Dengan demikian, ilmu pengetahuan tumbuh bersamaan dengan munculnya Islam itu sendiri dan hal ini-pun tidak lepas dari al-Qur’an dan al-Hadits yang merupakan sumber inspirasi adanya ilmu pengetahuan dan perkembangannya. Hal ini dapat diketahui antara lain dari ayat berikut:
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. (QS al-Alaq [30] ayat 1)
…..Katakanlah adakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (QS al-Zumar [23] ayat 9)

Ketika Rasul Saw menerima wahyu yang pertama, mula-mula diperintahkan kepadanya adalah “membaca”. Malaikat Jibril memerintahkan Nabi Muhammad Saw dengan ‘bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan”. Perintah ini tidak hanya sekali di ucapkan Malaikat Jibril, akan tetapi berulang-ulang sampai Nabi dapat menerima wahyu tersebut. Dari kata ‘Iqra’ inilah kemudian lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu dan membaca teks baik yang tertulis maupun tidak. Wahyu pertama itu menghendaki ummat Islam untuk senantiasa “membaca “ dengan dilandasi ‘bismi rabbik’, dalam arti hasil bacaan itu nantinya dapat bermanfaat untuk kemanusiaan.
Selanjutnya ada juga ayat lain yang menyatakan “Katakanlah adakah sama orang-orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya hanya orang-orang yang berakal-lah yang dapat menerima pelajaran. Selain ayat-ayat tersebut, ada juga al-Hadits yang menekankan wajibnya untuk mencari ilmu.
Dengan demikian, al-Qur’an dan al-Hadits dijadikan sebagai sumber ilmu yang dikembangkan oleh ummat Islam dalam spektrum yang seluas-luasnya, lebih lagi kedua sumber pokok Islam ini memainkan peran ganda[7] dalam penciptaan dan pengembangan ilmu pengetahuan.

FILSAFAT ILMU DALAM ISLAM
Pandangan Islam tentang ilmu, berangkat dari pengetahuan sains dalam Islam sebagai suatu disiplin akademik dengan jenis penyelidikan yang khusus dan sebagai jenis khusus pengetahuan yang terorganisasi serta memiliki basis rasionalitasnya (ontologi dan epistemologi).[8] Hal ini berdasarkan tiga basis hierarki ilmu, yaitu basis etis (berhubungan dengan derajat kegunaan ilmu yang ditetapkan dalam kerangka apa konstribusi yang diberikan oleh ilmu yang bersangkutan bagi pemenuhan kebutuhan manusia, baik individu maupun kolektif), basis metodelogis (berkaitan dengan fakta bahwa metode sebagian ilmu untuk menemukan kebenaran dan membuktikan klaim kebenaran yang lebih meyakinkan dan lebih terpercaya, hingga pada akhirnya kebenaran tersebut akan lebih sempurna dibandingkan dengan sebagian lainnya), dan basis ontologis (lahir dari fakta bahwa wujud tersusun secara hierarkis, dan beberapa wujud akan lebih sempurna yang dilihat dari sudut pandang eksistensinya).
Ringkasnya, ilmu pengetahuan (menurut Islam) merupakan hasil dari pengamatan dan percobaan, pemikiran logis, analisis interpretasi rasional atas ke-dua sumber Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits, serta kesemuanya itu tidak lepas dari peran ‘aql,’ yang dengan teratur menerapkan premis-premis yang “benar, primer dan niscaya,” sifat dari kategori premis ini, mencerminkan data empiris yang diberikan oleh indera atau data rasional (intelektual) yang diberikan oleh intuisi, wahyu, penalaran logis atau bahkan pengalaman spritual, hingga kesimpulannya akan berdampak pada ilmu pengetahuan yang benar dan pasti,[9] sekaligus memberikan dampak akan adanya perubahan-perubahan, baik itu pemikiran, ketetapan hukum, teknologi dan lain sebagainya, yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Pandangan Islam tentang filsafat ilmu, berangkat dari al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber dan inspirasi untuk berfilsafat dan sekaligus merupakan sebuah tinjauan kritis terhadap pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap pendapat-pendapat lampau yang telah dibuktikan.
Al-Qur’an dan al-Hadits yang bisa di akses oleh manusia, menduduki posisi sentral bagi seseorang yang hendak berfilsafat, sebab hal ini akan mengarahkan-nya pada sejenis filsafat yang menempatkan al-Qur’an dan al-Hadits yang bukan hanya sebagai sumber tertinggi pengetahuan bagi hukum-hukum keagamaan, melainkan juga sebagai hakikat eksistensi dan sumber segala eksistensi. Oleh sebab itu filsafat Islam berkaitan baik dengan dimensi eksternal wahyu al-Qur’an dan al-Hadits, dikarenakan ke-duanya mempunyai dimensi lahiriah (zhahir) dan dimensi bathiniah, dalam artian ke-dua sumber tersebut menyinggung akan signifikansi bathiniah dan simbolik yang terdapat didalam pesan-pesan-nya.
Dalam Islam, tiang-tiang penyangga eksistensi ilmu pengetahuan dalam filsafat ilmu itu sendiri membicarakan akan ontologi (sebagai salah satu cabang filsafat yang membahas akan ‘wujud’ bahwa kata tersebut sangat universal, sehingga tidak butuh akan pembuktian dan setiap ‘wujud’ boleh jadi akan mengarah kepada yang ‘wajib’ atau yang ‘mungkin’[10]), epistemologi (sebagai cabang filsafat membahas apa sarana dan bagaimana tata cara untuk mencapai pengetahuan,[11] dan bagaimana ukuran bagi apa yang disebut kebenaran atau kenyataan ilmiah itu) dan aksiologi (sebagai salah satu cabang filsafat yang membahas nilai (value) sebagai imperatif dalam penerapan ilmu pengetahuan secara praksis).
Kesimpulannya, persoalan filsafat ilmu dalam Islam (baik itu mengenai ontologi, epistemology, dan aksiologi) mengalami perkembangan dan pendalaman dan tidak pernah mengenal titik henti. Hal itu tidak lepas dari al-Qur’an dan al-Hadits yang menjadi sumber inspirasi dalam mencapai kebenaran, dan sekaligus sebagai corak berpikir naqli-aqli.

a.      Dasar-Dasar Pendidikan Islam
1.                  Pendidikan keimanan
Pendidikan keimanan ialah pembentukan keyakinan kepada Allah yang diharapkan dapat melandasi sikap, tingkah laku, dan kepribadian peserta didik. Dengan hubungan tersebut kehidupan individu akan bermakna, perbuatannya akan bertujuan, dorongannya untuk belajar dan bermal akan tumbuh, jiwanya menjadi bersih, sehingga pada gilirannya ia akan memiliki kompetensi untuk menjadi khalifah di muka bumi.
2.                  Pendidikan akhlaqul karimah
Pendidikan akhlak adalah modal menghadapi kehidupan. Akhlak tidak terbatas pada penyusunan hubungan antar manusia dengan manusia lainnya, tetapi lebih dari itu juga mengatur hubungan manusia dengan segala yang terdapat dalam kehidupan ini, juga mengatur hubungan antara hamba dengan Tuhannya.
3.                  Pendidikan ibadah
Ibadah memiliki makna yang luas. Segala perbuatan yang didasarkan mencari ridho Allah merupakan ibadah. Dalam Islam ibadah merupakan menjalankan perintah Allah yang termasuk di dalamnya hablum-minalloh dan hambum-minannas. Demikian juga ibadah, ada ibadah mahdhoh dan ghoiru mahdhoh. Islam memberikan aturan-aturan peribadatan sebagai manifestasi rasa syukur terhadap Allah dan menunaikan kewajiban terhadap sesama.

b.      Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan Islam berhubungan erat dengan agama Islam itu sendiri, lengkap dengan akidah, syariah, dan sistem kehidupannya. Keduanya ibarat dua kendaraan yang berjalan di atas dua jalur seimbang, baik dari segi tujuan maupun rambu-rambunya yang disyariatkan bagi hamba Allah yang membekali diri dengan taqwa, ilmu, hidayah, serta akhlak untuk menempuh perjalanan hidup. Dalam penentuan tujuan pendidikan, Islam mempertimbangkan posisi manusia sebagai ciptaan Tuhan yang terbaik (Al-Tin: 4) dan sebagai khalifah fil ardl (Yunus: 14), begitu pula tentang Islam yang rahmatan lil ‘alamin, mengandung ajaran-ajaran yang kongkrit, dapat disesuaikan dengan situasi setempat dan dengan kebutuhan zaman. Sebagai agama pilihan (Al-Maidah: 3). Maka tujuan pendidikan Islam, yakni terbentuknya pribadi muslim, atau terwujudnya masyarakat yang sebenar-benarnya yang menjadi tugas akhir pendidikan Islam, secara normatif–filosofis ditetapkan atas dasar satu keyakinan tentang nilai-nilai Islam yang oleh umat Islam dipegangi sebagai kebenaran yang bersumber dari  Al-Qur’an dan Al-Hadis.
Prof. M. Athiyah Al-Abrosyi menyimpulkan tujuan asasi pendidikan Islam:
1.                  Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia. Karena akhlak merupakan jiwa pendidikan Islam –Innama buistu li utammima makarimal aklaq. Dapat diringkaskan tujuan asasi pendidikan Islam itu dalam satu kata “keutamaan”.
2.                  Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Diantara teks-teks yang menguatkan tujuan ini adalah sabda Rasulullah SAW : “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok” (Al-Hadis).
3.                  Menumbuhkan ruh ilmiah. Pendidikan Islam dibangun di atas ilmu dan pengetahuan. Keduanya merupakan isi pendidikan dalam mengembangkan manusia, baik pengetahuan, ketrampilan, maupun arah tujuannya.
4.                  Menyiapkan pelajar professional supaya ia dapat menguasai profesi tertentu atau teknis tertentu.


Sumenep, 16 Desember 2011


Daftar Pustaka

        M. Arifin, Prof., M.Ed. Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2002
        Fuad Ihsan, Drs., Dasar-Dasar Kependidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 2004
        UU No. 20 Tahun 2003 SISDIKNAS, Citra Umbara, Bandung, 2003
        Zuhairini, Dra., dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2004
        Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengaetahun : PT Remaja Rosda Karya Jakarta: 2004.
        Amsal Bakhtiar Filsafat Ilmu : PT Raja Grafindo Persada Jakarta, 2004.
        Jujun Suriamantri Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer : Yayasan Sinar Harapan Jakarta, 2004.
        Achmad Sanusi, Filsafah Ilmu, Teori Keilmuan, dan Metode Penelitian, Makalah, Bandung: PPS-IKIP Bandung, 1998.






DALIL-DALIL NAQLI
Bahan Studi Komparasi Filsafat Ilmu Barat dan Islam

Oleh : Ahmad Mubarok Yasin
Nimko: 2008.4.007.0102.1.00296


KEUTAMAAN AKAL

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأولِي الألْبَابِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih berganti-nya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Ali Imran: 190).

وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ رِزْقٍ فَأَحْيَا بِهِ الأرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ آيَاتٌ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
dan pada pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkan-Nya dengan air hujan itu bumi sesudah matinya; dan pada perkisaran angin terdapat pula tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal. (al-Jatsiyaat: 5)

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَلَكَهُ يَنَابِيعَ فِي الأرْضِ ثُمَّ يُخْرِجُ بِهِ زَرْعًا مُخْتَلِفًا أَلْوَانُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَجْعَلُهُ حُطَامًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لأولِي الألْبَابِ
Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu ia menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. (az-Zumar: 21)
Catatan: Tertib kehidupan merupakan tanda bukti kekuasaan Allah Swt, yang dapat dipahami oleh orang yang berakal.

إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لأولِي النُّهَى
Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal. (Thahaa: 54 dan 128)

وَلِيَذَّكَّرَ أُولُو الألْبَابِ
...dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran. (Ibrahim: 52)

وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الألْبَابِ
Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) kecuali orang-orang yang berakal.

إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَابِ
Hanyalah orang-orang yang berakal yang dapat mengambil pelajaran. (AR-Ra’d: 13)


وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْقِلُونَ
Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal.
Catatan: Pemikiran dan penyelidikan yang mendalam dapat mengetahui manfaat shalat, baik bagi kesehatan jasmani maupun rohani (mental, psikologis), sebagaimana telah dibuktikan oleh ilmu kedokteran modern.

لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلا اللَّهُ لَفَسَدَتَا
"Seandainya di langit dan di bumi ada banyak tuhan selain Allah, niscaya keduanya akan hancur." (QS. al-Anbiya': 22).
Catatan: Akal bisa mengetahui keberadaan Tuhan dengan logika. Ayat ini menggunakan pendekatan rasional yang dalam logika Aristotelian disebut silogisme hipotesis.

ذُو مِرَّةٍ فَاسْتَوَى
Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli. (ab-Njm: 6)
Catatan: Malaikat Jibril patuh dan amanah kepada Allah secara total, karena mempunyai akal yang cerdas. Tidak patuh dan tidak amanah (khianat) berarti goblok, tidak berakal.

الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الألْبَابِ
(yaitu) yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.
Catatan: Maksudnya ialah mereka yang mendengarkan ajaran-ajaran Al Quran dan ajaran-ajaran lain, tetapi yang diikutinya ialah ajaran Al Quran karena ia adalah yang paling baik. Itu bisa diketahui oleh akal sehat.



KETERBATASAN AKAL
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
"Dan Allah yang telah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian, sementara kalian tidak mengetahui sesuatu pun, dan (lalu) Ia meciptakan untuk kalian pendengaran, penglihatan dan hati (akal) agar kalian bersyukur ". (QS. al-Nahl: 78).
Catatan: Akal dan ilmu pengetahuan adalah pemberian Allah Swt yang sewaktu-waktu bisa diambil kembali. Ketika lahir belum punya akal (dan ilmu), ketika tua akalnya berkurang.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ وَنُقِرُّ فِي الأرْحَامِ مَا نَشَاءُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلا ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ وَمِنْكُمْ مَنْ يُتَوَفَّى وَمِنْكُمْ مَنْ يُرَدُّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلا يَعْلَمَ مِنْ بَعْدِ عِلْمٍ شَيْئًا
Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. (al-Hajj: 22)
Catatan: Daya ingat bisa hilang oleh penyakit pikun. Akal terbatas.

وَمَنْ نُعَمِّرْهُ نُنَكِّسْهُ فِي الْخَلْقِ أَفَلا يَعْقِلُونَ
Dan barang siapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadian (nya). Maka apakah mereka tidak memikirkan? (Yaasiin: 68)
Catatan: Maksud “kembali kepada kejadiannya” ialah kembali menjadi lemah secara fisik dan berkurang daya ingatnya. Berarti akal (otak) dibatasi oleh peralihan umur.

وَلَمَّا فَصَلَتِ الْعِيرُ قَالَ أَبُوهُمْ إِنِّي لأجِدُ رِيحَ يُوسُفَ لَوْلا أَنْ تُفَنِّدُونِ
Tatkala kafilah itu telah keluar (dari negeri Mesir) berkata ayah mereka: "Sesungguhnya aku mencium bau Yusuf, sekiranya kamu tidak menuduhku lemah akal (tentu kamu membenarkan aku). (Yusuf: 94)
Catatan: Naluri Nabi Ya’qub ternyata benar, walaupun secara akal salah. Berarti akal bisa kalah oleh naluri (intuisi).

قُلْ لايَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ فَاتَّقُوا اللَّهَ يَا أُولِي الألْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan." (al-Ma’idah: 100)

وَوَجَدَكَ ضَالا فَهَدَى
Dan Dia mendapatimu sebagai orang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. (Ad-Dhuha:7)
Catatan: Yang dimaksud dengan bingung di sini ialah kebingungan untuk mendapatkan kebenaran yang tidak bisa dicapai oleh akal, lalu Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah s.a.w. sebagai petunjuk menuju kebenaran. Berarti akal saja tidak akan mampu menemukan kebenaran sejati.

وَأَنَّهُ كَانَ يَقُولُ سَفِيهُنَا عَلَى اللَّهِ شَطَطًا
Dan bahwasanya orang yang kurang akal daripada kami dahulu selalu mengatakan (perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah. (al-Jin: 4)
Catatan: Yang dimaksud dengan perkataan yang melampaui batas, ialah mengatakan bahwa Allah mempunyai isteri dan anak. Berarti konsep tiga tuhan (trinitas) sangat tidak rasional. Jika kini masih diyakini oleh pemeluknya, maka itu menunjukkan keterbatasan akal mereka.

أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا فَاتَّقُوا اللَّهَ يَا أُولِي الألْبَابِ الَّذِينَ آمَنُوا قَدْ أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ ذِكْرًا
Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang yang mempunyai akal, (yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan kepadamu. (at-Thalaq: 10)
Catatan: Percaya kepada Allah (iman) merupakan manifestasi kemampuan menggunakan akal secara baik. Beriman berarti menghindari siksa. Tidak beriman berarti mau disiksa. Mau disiksa berarti tidak berakal.

قَالَ رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
Musa berkata: "Tuhan yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya: (Itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal". (asy-Syu’araa’: 28)
Catatan: Ini adalah sanggahan kepada Fir’aun yang merasa menguasai dunia. Padahal sehebat-hebatnya manusia tidak mungkin mampu mengatur seluruh isi dunia, yang oleh ayat di atas digambarkan sebagai ”penguasa barat dan timur”. Intinya, ayat ini menunjukkan keterbatasan akal manusia.

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الألْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Dan dalam qishas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (al-Baqarah: 179)
Catatan: Qishas memelihara kelangsungan hidup orang banyak, dengan “mengorbankan” satu orang pelaku pembunuhan. Jika satu orang pelaku pembunuhan dibiarkan, maka akan sering terjadi pembunuhan. Sayangnya, akal sebagian besar masyarakat modern tidak mampu menangkap ”pesan implisit” ini.

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الألْبَابِ
Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal. (al-Baqarah: 197)
Catatan: Bekal takwa akan dibawa ke akhirat yang kekal. Bekal materi hanya dibutuhkan di dunia saja dan bersifat sementara. Memilih yang kekal dengan mengenyampingkan yang sementara, adalah perbuatan orang-orang berakal. Rasulullah SAW bersabda: Orang yang cerdas adalah orang yang menyiapkan bekal hidup setelah mati. Sebagian orang tidak berfikir seperti ini, karena keterbatasan akal mereka.

HATI DAN AKAL
Allah swt berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, niscaya Ia akan memberikan kepada kalian furqon." (QS. al-Anfal: 29)
"Dan bertakwalah kepada Allah, maka Ia akan mengajari kalian. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. al-Baqarah: 282).

إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ
Sesungguhnya pada yang demikian itu (kebinasaan umat-umat terdahulu) benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya. (al-Qaaf: 37)

وَلَقَدْ تَرَكْنَا مِنْهَا آيَةً بَيِّنَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
Dan sesungguhnya Kami tinggalkan daripadanya (kebinasaan kaum Sodom), suatu tanda yang nyata bagi orang-orang yang berakal.

كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
Demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat bagi kaum yang berakal. (ar-Ruum: 28)


[1] Ibid, The Liang Gie, hal 59-60
[2] Tim Dosen Filsafat Ilmu (Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Cet-II Liberty Yogyakarta 2002) hal 14.

[3] Kata hikmah merupakan pengertian yang berarti kebijaksanaan, pengetahuan, ketrampilan, pengalaman praktis dan inteligensi aktualitas manusia berdasarkan kemampuannya.

[4]   Amsal Bakhtiar (Filsafat Ilmu Cet1,Raja Grafindo Persada Jakarta 2004) hal 10
[5]  Al-Jurjani mendefinisikan kata hikmah sebagai ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang ada menurut kadar kemampuan manusia. Begitu-pun juga dengan Ibn Sina yang mendefinisikan kata hikmah dengan mencari kesempurnaan diri manusia dengan menggambarkan segala urusan dan membenarkan segala hakikat, baik yang bersifat teori maupun praktik menurut kadar kemampuan manusia.              
[6]  Munawwir (Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Cet-4 Pustaka Progressif, Surabaya 1997) hal 299
[7] Pertama prinsip-prinsip semua ilmu dipandang kaum muslimin terdapat dalam al-Qur’an, dan sejauh pemahaman terhadap-nya terdapat pula penafsiran yang beraneka ragam, hingga hal ini memungkinkan akan tidak hanya pengungkapan misteri-misteri yang dikandungnya, melainkan juga pencarian makna secara lebih mendalam yang berguna untuk membangun paradigma keilmuan. Ke-dua al-Qur’an dan al-Hadits menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu dengan menekankan kabajikan dan keutamaan menuntut ilmu, singkatnya al-Qur’an dan al-Hadits dapat memberikan dorongan aktivitas intelektual dalam konformitas dengan semangat Islam.
[8] Pengetahuan yang bersifat hakiki atas segala sesuatu meliputi pengetahuan tentang Tuhan, ke-esaan, kebajikan dan pengetahuan yang utuh terhadap segala sesuatu yang berfaedah serta pengetahuan tentang jalan untuk mencapainya, dan jauh dari sesuatu yang merusak, dengan upaya pencegahannya.
[9]  Hal ini berangkat dari metode demonstrasi (al-Burhan) yang digambarkan sebagai metode ilmiah yang tidak harus disamakan dengan metode ilmiah modern lain, dikarenakan metode ini memiliki makna yang lebih jauh dan lebih luas.
[10] Suatu wujud dapat dikatakan dengan mungkin atau bergantung yang konotasinya mengarah kepada yang ‘ada’ (atau menagada), maka ia harus didasarkan atas atau bergantung pada sesuatu yang lain, dan sesuatu yang lain itu pada gilirannya bias jadi ‘wujud niscaya’ dan ‘wujud mungkin’ lainnya.
[11] Pengetahuan tentang yang ‘ada’ (mengetahui) adalah sebuah peristiwa di dalam keseluruhan peristiwa. Setiap pernyataan epistemologis secara implicit adalah pernyataan ontologis. Oleh karena itu lebiah baik memulai analisis mengenai eksistensi dengan mempertanyakan sesuatu yang ada ketimbang dengan persoalan pengetahuan.

Tidak ada komentar: