SEJARAH FILSAFAT ILMU
Filsafat pendidikan Barat sebenarnya berasal
dari zaman Yunani Kuno, lebih dari dua ribu tahun yang lalu. Cendikiawan Yunani
Kuno meletakan dasar dari filsafat pendidikan dan dasar ini pulalah yang
menjadi topik bahasan filsafat pendidikan di Eropa dan di Amerika Utara.
Sebelum zaman Yunani Kuno, tujuan pendidikan
cukup sederhana, yakni tentang sintas (survival) atau bertahan hidup di dunia.
Para orang tua ingin mendidik anak mereka untuk dapat bertahan hidup di dunia.
Penyelenggaraan pendidikan dilakukan melalui peniruan dan pemagangan. Pada zaman Yunani Kuno, pendidikan anak dilaksanakan pada
waktu senggang. Dari kata bahasa Yunani skhole yang berarti waktu
senggang, lahirlah kata sekolah yang kita kenal sekarang ini.
Filsafat pendidikan
bersumber dari Socrates dan kemudian ke Plato. Namun puncak pemikiran tentang
filsafat pendidikan terletak pada Aristoteles. Kalau Socrates dan Plato memberi
tekanan kepada pengetahuan di dalam pendidikan, maka Aristoteles mengangkat
kesejahteraan atau kebaikan sebagai tujuan pendidikan. Muncullah kebaikan
intelektual serta kebaikan berkegiatan.
Aristoteles juga membagi
pendidikan menjadi pendidikan liberal dan latihan vokasional. Yakni bahwa
manusia memiliki kemampuan rasional maka tujuan dari pendidikan liberal adalah
membebaskan pemikiran (liberate) agar berkembang luas. Pendidikan demikian dikenal sebagai pendidikan
liberal yang bertahan sampai sekarang.
Muncullah bersama itu kurikulum trivium dan quadrivium.
Trivium berisikan gramatika, logika, dan retorika yang dianggap dapat
meliberalisasi pikiran. Quadrivium terdiri dari musik, astronomi, geometri, dan
arismetika.
SUMBER PENGETAHUAN
Secara umum, di Barat
terdapat dua aliran terkait dengan sumber ilmu pengetahuan, yaitu Sensualisme dan
Rasionalisme. Kaum sensualis, khususnya John Locke, menganggap bahwa
pengetahuan yang sah dan benar hanya lewat indra saja. Mereka mengatakan bahwa
otak manusia ketika lahir dalam keadaan kosong dari segala bentuk pengetahuan,
kemudian melalui indra realita-realita di luar tertanam dalam benak. Peranan
akal hanya dua saja, yaitu menyusun atau memilah, dan meng-generalisasi. Jadi,
yang paling berperan adalah indra. Pengetahuan yang murni lewat akal tanpa
indra itu tidak ada. Konskuensi dari pandangan ini adalah bahwa realita yang
bukan materi atau yang tidak dapat bersentuhan dengan indra, maka tidak dapat
diketahui, sehingga pada gilirannya mereka mengingkari hal-hal yang metafisik
seperti Tuhan.
Sedangkan kaum Rasionalis
meyakini bahwa akal merupakan sumber pengetahuan dan sekaligus juga sebagai
alat pengetahuan. Mereka menganggap akal-lah yang sebenarnya
menjadi alat pengetahuan sedangkan indra hanya pembantu saja. Indra hanya
merekam atau memotret realita yanng berkaitan dengannya, namun yang menyimpan
dan mengolah adalah akal. Karena kata mereka, indra
saja tanpa akal tidak ada artinya. Tetapi tanpa indra pangetahuan, akal hanya
tidak sempurna, bukan tidak ada.
Selain dua aliran di
atas, masih banyak aliran lain yang tidak mungkin ditulis dalam makalah pendek
ini.
FILSAFAT ILMU (PHILOSOPHY
OF SCIENCE) BARAT
Menurut Lewis
White Beck, filsafat ilmu itu mempertanyakan dan menilai metode-metode
pemikiran ilmiah serta mencoba menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah
sebagai satu keseluruhan ilmiah. Sedangkan Antony Flew menyatakan, filsafat
ilmu merupakan ilmu empiris yang teratur yang menyajikan hasil yang paling
mengesankan dari rasionalitas manusia. Filsafat ilmu berusaha menunjukkan
dimana letak rasionalitas itu, apa yang khusus mengenai penjelasan-penjelasannya
dan konstruksi-konstruksi teorinya, apa yang memisahkannya dari perkiraan dan
ilmu-semu serta membuat ramalan-ramalannya dan berbagai teknologi berharga
untuk dipercaya yang terpenting apakah teori-teorinya dapat diterima sebagai
mengungkapkan kebenaran tentang suatu realitas objektif yang tersembunyi.[1]
Dengan
demikian, filsafat ilmu merupakan penerusan dalam pengembangan filsafat
pengetahuan. Sebab, pengetahuan ilmiah tidak lain adalah “a higher level”
dalam perangkat pengetahuan manusia, dalam artian sebagaimana yang
selalu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena, itu objek kedua
cabang filsafat ini sering berhimpitan, namun berbeda dalam aspek dan motif
pembahasannya.
Objek
filsafat ilmu adalah tiang-tiang penyangga eksistensi ilmu pengetahuan yaitu
ontologi (sebagai salah satu cabang filsafat membahas apa hakikat (being qua
being) itu, idealisme atau spritualisme dan lain sebagainya merupakan paham
dalam filsafat ontologi, masing-masing mempunyai keyakinannya sendiri-sendiri
mengenai apa ‘hakikat ada’ itu, konsekuensinya akan sampai pada perbedaan
pandangan tentang apa yang disebut kebenaran atau kenyataan, yang pada
gilirannya juga akan sampai pula pada perbedaan dalam menggunakan sarana dalam
mencapai kebenaran atau kenyataan tadi), epistemologi (sebagai cabang filsafat
membahas apa sarana dan bagaimana tata cara untuk mencapai pengetahuan, dan
bagaimana ukuran bagi apa yang disebut kebenaran atau kenyataan ilmiah itu,
rasionalisme, empirisme dan lain sebagainya merupakan paham-paham dalam
epistemologi) dan aksiologi (sebagai salah satu cabang filsafat yang membahas
nilai (value) sebagai imperatif dalam penerapan ilmu pengetahuan secara
praksis).
Dari
sini dapat disimpulkan, filsafat ilmu bukanlah sekedar metode atau tata cara
penulisan karya ilmiah maupun penelitian, bahkan merupakan refleksi secara
filsafati yang tidak pernah mengenal titik henti dalam menjelajahi kawasan
ilmiah untuk mencapai kebenaran atau kenyataan.[2]
PENDIDIKAN ISLAM
Dalam Islam, pendidikan atau
al-Tarbiyah dianggap sebagai proses
yang terkait dengan upaya yang mempersiapkan manusia untuk mampu memikul tugas
sebagai khalifah Allah di muka bumi. Untuk maksud tersebut, manusia
diciptakan lengkap dengan potensinya berupa akal dan kemampuan belajar. Dalam
pada itu, Allah mengutus para rasul setelah Nabi Adam as. kepada umat manusia
untuk membimbing mereka dari kondisi “gelap” kepada kondisi yang “terang”
melalui al-Kitab, al-Hikmah, dan pendidikan.
Jelas sekali, jalan untuk
dapat beribadah, memperoleh petunjuk, menjadi berbudaya, dan memakmurkan bumi
guna melaksanakan tugas hidup dari Allah adalah ilmu dan pengetahuan yang
dijiwai dengan iman. Oleh karenanya, Islam memberikan garis-garis besar tentang
pelaksanaan pendidikan tersebut. Islam memberikan konsep-konsep yang mendasar
tentang pendidikan, dan menjadi tanggung jawab manusia untuk menjabarkan dan
mengaplikasikan konsep-konsep dasar tersebut dalam praktek kependidikan.
FILSAFAT ISLAM
Dalam Islam, kata filsafat berasal dari bahasa Arab ‘falsafah’ dengan wazan fa’lala, fa’lalah, dan fi’lal, yang berarti mengutamakan dan mencintai hikmah.[3] Hikmah sendiri, menurut Fuad Irfami al-Bustani, secara etimologi adalah al-adl (memposisikan sesuatu pada tempatnya), al-hilm (akal atau pemikiran yang sempurna), dan secara terminologi merupakan ungkapan atau pemikiran yang sesuai dengan suatu kebenaran pendapat yang valid.[4]
Dengan demikian, asal kata Falsafah dan al-Hikmah jika digabungkan akan memberikan makna yang lebih identik pada Filsafat Ilmu, hal ini berdasarkan beberapa definisi para filosof Muslim yang menunjukkan adanya kewajiban untuk bertindak lebih bijaksana dalam hal apapun,[5] serta berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits. Landasan-landasan tersebut dapat diketahui dari ayat-ayat berikut;
Alif Laam Miim. Inilah ayat al-Qur’an yang
mengandung hikmah. (QS al-Luqman [21] 1-2)
Dan sesungguhnya telah kami berikan hikmat
kepada Luqman, yaitu bersyukurlah kepada Allah, dan barang siapa yang bersyukur
(kepada Allah) maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang
siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha kaya dan Maha terpuji. (QS
al-Luqman [21] 12).
Allah memberikan hikmah kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang diberikan hikmah, sungguh telah
diberikan kebanjikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil
pelajarankecuali orang-orang yang berakal. (QS al-Baqarah [2] 269)
Dan Allah akan mengajarkan kepadanya,
al-Kitab, hikmah taurat dan injil. (QS al-Imran: [3] 48).
Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil
perjanjian dari para nabi: ‘Sungguh apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa
kitab dan hikmah….(QS al-Imran [3] ayat 81).
Surah Luqman di atas dimulai dengan
huruf-huruf simbolik (‘alif, lam, mim), yang kemudian disusul dengan frasa: Inilah
ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung hikmah (al-kitab al-hakim).
Hikmah tersebut dalam ayat ke 12 dinyatakan, “Dan sesungguhnya telah kami
berikan hikmah (kebijaksanaan) kepada Luqman yaitu bersyukurlah kepada Allah.
Dan barang siapa yang tidak bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya Allah
maha kaya dan maha terpuji.” Dalam
ayat ini tampak jelas bahwa pengertian hikmah di anggap sebagai anugerah bagi
orang yang mau berterima-kasih, dan kebenaran itu ditandaskan lebih lanjut oleh
ayat: “Allah memberikan hikmah (kebijaksanaan) kepada siapa yang
dikehendakinya, dan barang siapa yang diberi hikmah itu, sungguh telah
diberikan kebajikan yang banyak………(QS al-Baqarah : 269)
Dari ayat yang menyebutkan ‘kitab’ dan
‘hikmah’ secara berturutan, merupakan inti untuk menegaskan adanya kewajiban
untuk bertindak lebih bijaksana dalam hal apapun (baik itu terhadap masalah,
fakta, data, dan teori). Untuk mencapai hal demikian, maka diperlukan ‘aql’
atau rasio, karena ‘aql’ merupakan sebuah refleksi berfikir terhadap realitas
yang merupakan instrumen wahyu dan sekaligus sebagai potensi untuk mencari
kebenaran.
ILMU DALAM ISLAM
Dalam Islam, asal kata “ilmu” diadopsi dari
bahasa Arab yang dilihat dari bentuk masdar (bentuk pembendaan) dari ‘alima’
menjadi ‘ilman’ (ilmu), sehingga kata ‘alima’ yang berarti memahami menjadi
‘ilman’ yang berarti pemahaman atau pengetahuan.[6]
Sejak awal kelahirannya, Islam telah
memberikan penghargaan yang begitu besar terhadap ilmu, sebagaimana yang telah
diketahui bahwa Nabi Muhammad Saw ketika di utus oleh Allah Swt sebagai
Rasul-Nya, hidup dalam masyarakat yang terbelakang, dimana paganisme tumbuh
menjadi sebuah identitas yang melekat pada masyarakat Arab dimasa itu, kemudian
Islam datang menawarkan cahaya penerang yang mengubah masyarakat Arab
Jahiliyyah menjadi masyarakat yang berilmu dan beradab.
Dengan demikian, ilmu pengetahuan tumbuh
bersamaan dengan munculnya Islam itu sendiri dan hal ini-pun tidak lepas dari
al-Qur’an dan al-Hadits yang merupakan sumber inspirasi adanya ilmu pengetahuan
dan perkembangannya. Hal ini dapat diketahui antara lain dari ayat berikut:
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
menciptakan. (QS al-Alaq [30] ayat 1)
…..Katakanlah adakah sama orang-orang yang
mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang-orang yang
berakallah yang dapat menerima pelajaran. (QS al-Zumar [23] ayat 9)
Ketika Rasul Saw menerima wahyu yang pertama,
mula-mula diperintahkan kepadanya adalah “membaca”. Malaikat Jibril
memerintahkan Nabi Muhammad Saw dengan ‘bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu
yang menciptakan”. Perintah ini tidak hanya sekali di ucapkan Malaikat Jibril,
akan tetapi berulang-ulang sampai Nabi dapat menerima wahyu tersebut. Dari kata
‘Iqra’ inilah kemudian lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah,
mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu dan membaca teks baik yang
tertulis maupun tidak. Wahyu pertama itu menghendaki ummat Islam untuk
senantiasa “membaca “ dengan dilandasi ‘bismi rabbik’, dalam arti hasil bacaan
itu nantinya dapat bermanfaat untuk kemanusiaan.
Selanjutnya ada juga ayat lain yang menyatakan
“Katakanlah adakah sama orang-orang yang mengetahui (berilmu) dengan
orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya hanya orang-orang yang
berakal-lah yang dapat menerima pelajaran. Selain ayat-ayat tersebut, ada juga
al-Hadits yang menekankan wajibnya untuk mencari ilmu.
Dengan demikian, al-Qur’an dan al-Hadits
dijadikan sebagai sumber ilmu yang dikembangkan oleh ummat Islam dalam spektrum
yang seluas-luasnya, lebih lagi kedua sumber pokok Islam ini memainkan peran
ganda[7]
dalam penciptaan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
FILSAFAT ILMU DALAM ISLAM
Pandangan Islam tentang ilmu, berangkat dari
pengetahuan sains dalam Islam sebagai suatu disiplin akademik dengan jenis
penyelidikan yang khusus dan sebagai jenis khusus pengetahuan yang
terorganisasi serta memiliki basis rasionalitasnya (ontologi dan epistemologi).[8]
Hal ini berdasarkan tiga basis hierarki ilmu, yaitu basis etis (berhubungan
dengan derajat kegunaan ilmu yang ditetapkan dalam kerangka apa konstribusi
yang diberikan oleh ilmu yang bersangkutan bagi pemenuhan kebutuhan manusia,
baik individu maupun kolektif), basis metodelogis (berkaitan dengan fakta bahwa
metode sebagian ilmu untuk menemukan kebenaran dan membuktikan klaim kebenaran
yang lebih meyakinkan dan lebih terpercaya, hingga pada akhirnya kebenaran
tersebut akan lebih sempurna dibandingkan dengan sebagian lainnya), dan basis ontologis
(lahir dari fakta bahwa wujud tersusun secara hierarkis, dan beberapa wujud
akan lebih sempurna yang dilihat dari sudut pandang eksistensinya).
Ringkasnya, ilmu pengetahuan (menurut Islam)
merupakan hasil dari pengamatan dan percobaan, pemikiran logis, analisis
interpretasi rasional atas ke-dua sumber Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits,
serta kesemuanya itu tidak lepas dari peran ‘aql,’ yang dengan teratur
menerapkan premis-premis yang “benar, primer dan niscaya,” sifat dari kategori
premis ini, mencerminkan data empiris yang diberikan oleh indera atau data
rasional (intelektual) yang diberikan oleh intuisi, wahyu, penalaran logis atau
bahkan pengalaman spritual, hingga kesimpulannya akan berdampak pada ilmu
pengetahuan yang benar dan pasti,[9]
sekaligus memberikan dampak akan adanya perubahan-perubahan, baik itu
pemikiran, ketetapan hukum, teknologi dan lain sebagainya, yang disesuaikan
dengan perkembangan zaman.
Pandangan
Islam tentang filsafat ilmu, berangkat dari al-Qur’an dan al-Hadits sebagai
sumber dan inspirasi untuk berfilsafat dan sekaligus merupakan sebuah tinjauan
kritis terhadap pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan
terhadap pendapat-pendapat lampau yang telah dibuktikan.
Al-Qur’an
dan al-Hadits yang bisa di akses oleh manusia, menduduki posisi sentral bagi
seseorang yang hendak berfilsafat, sebab hal ini akan mengarahkan-nya pada
sejenis filsafat yang menempatkan al-Qur’an dan al-Hadits yang bukan hanya
sebagai sumber tertinggi pengetahuan bagi hukum-hukum keagamaan, melainkan juga
sebagai hakikat eksistensi dan sumber segala eksistensi. Oleh sebab itu
filsafat Islam berkaitan baik dengan dimensi eksternal wahyu al-Qur’an dan
al-Hadits, dikarenakan ke-duanya mempunyai dimensi lahiriah (zhahir) dan
dimensi bathiniah, dalam artian ke-dua sumber tersebut menyinggung akan
signifikansi bathiniah dan simbolik yang terdapat didalam pesan-pesan-nya.
Dalam
Islam, tiang-tiang penyangga eksistensi ilmu pengetahuan dalam filsafat ilmu
itu sendiri membicarakan akan ontologi (sebagai salah satu cabang filsafat yang
membahas akan ‘wujud’ bahwa kata tersebut sangat universal, sehingga tidak
butuh akan pembuktian dan setiap ‘wujud’ boleh jadi akan mengarah kepada yang
‘wajib’ atau yang ‘mungkin’[10]),
epistemologi (sebagai cabang filsafat membahas apa sarana dan bagaimana tata
cara untuk mencapai pengetahuan,[11]
dan bagaimana ukuran bagi apa yang disebut kebenaran atau kenyataan ilmiah itu)
dan aksiologi (sebagai salah satu cabang filsafat yang membahas nilai (value)
sebagai imperatif dalam penerapan ilmu pengetahuan secara praksis).
Kesimpulannya,
persoalan filsafat ilmu dalam Islam (baik itu mengenai ontologi, epistemology,
dan aksiologi) mengalami perkembangan dan pendalaman dan tidak pernah mengenal
titik henti. Hal itu tidak lepas dari al-Qur’an dan al-Hadits yang menjadi
sumber inspirasi dalam mencapai kebenaran, dan sekaligus sebagai corak berpikir
naqli-aqli.
a.
Dasar-Dasar Pendidikan Islam
1.
Pendidikan
keimanan
Pendidikan keimanan ialah pembentukan
keyakinan kepada Allah yang diharapkan dapat melandasi sikap, tingkah laku, dan
kepribadian peserta didik. Dengan hubungan tersebut kehidupan individu akan
bermakna, perbuatannya akan bertujuan, dorongannya untuk belajar dan bermal
akan tumbuh, jiwanya menjadi bersih, sehingga pada gilirannya ia akan memiliki
kompetensi untuk menjadi khalifah di muka bumi.
2.
Pendidikan
akhlaqul karimah
Pendidikan akhlak adalah modal menghadapi kehidupan.
Akhlak tidak terbatas pada penyusunan hubungan antar manusia dengan manusia
lainnya, tetapi lebih dari itu juga mengatur hubungan manusia dengan segala
yang terdapat dalam kehidupan ini, juga mengatur hubungan antara hamba dengan
Tuhannya.
3.
Pendidikan
ibadah
Ibadah memiliki makna yang luas. Segala
perbuatan yang didasarkan mencari ridho Allah merupakan ibadah. Dalam Islam
ibadah merupakan menjalankan perintah Allah yang termasuk di dalamnya hablum-minalloh dan hambum-minannas. Demikian juga ibadah, ada ibadah mahdhoh dan ghoiru mahdhoh. Islam memberikan aturan-aturan peribadatan sebagai
manifestasi rasa syukur terhadap Allah dan menunaikan kewajiban terhadap
sesama.
b.
Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan Islam berhubungan erat dengan agama
Islam itu sendiri, lengkap dengan akidah, syariah, dan sistem kehidupannya.
Keduanya ibarat dua kendaraan yang berjalan di atas dua jalur seimbang, baik
dari segi tujuan maupun rambu-rambunya yang disyariatkan bagi hamba Allah yang
membekali diri dengan taqwa, ilmu, hidayah, serta akhlak untuk menempuh
perjalanan hidup. Dalam penentuan tujuan pendidikan, Islam mempertimbangkan
posisi manusia sebagai ciptaan Tuhan yang terbaik (Al-Tin: 4) dan sebagai khalifah fil ardl (Yunus: 14), begitu
pula tentang Islam yang rahmatan lil
‘alamin, mengandung ajaran-ajaran yang kongkrit, dapat disesuaikan dengan
situasi setempat dan dengan kebutuhan zaman. Sebagai agama pilihan (Al-Maidah:
3). Maka tujuan pendidikan Islam, yakni terbentuknya pribadi muslim, atau
terwujudnya masyarakat yang sebenar-benarnya yang menjadi tugas akhir
pendidikan Islam, secara normatif–filosofis ditetapkan atas dasar satu
keyakinan tentang nilai-nilai Islam yang oleh umat Islam dipegangi sebagai
kebenaran yang bersumber dari Al-Qur’an
dan Al-Hadis.
Prof. M. Athiyah Al-Abrosyi menyimpulkan
tujuan asasi pendidikan Islam:
1.
Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia.
Karena akhlak merupakan jiwa pendidikan Islam –Innama buistu li utammima makarimal aklaq. Dapat diringkaskan tujuan asasi pendidikan Islam itu
dalam satu kata “keutamaan”.
2.
Persiapan untuk kehidupan
dunia dan kehidupan akhirat. Diantara teks-teks yang menguatkan tujuan ini
adalah sabda Rasulullah SAW : “Bekerjalah
untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya, dan bekerjalah untuk
akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok” (Al-Hadis).
3.
Menumbuhkan ruh ilmiah.
Pendidikan Islam dibangun di atas ilmu dan pengetahuan. Keduanya merupakan isi
pendidikan dalam mengembangkan manusia, baik pengetahuan, ketrampilan, maupun
arah tujuannya.
4.
Menyiapkan pelajar professional supaya ia
dapat menguasai profesi tertentu atau teknis tertentu.
Sumenep, 16 Desember 2011
Daftar Pustaka
–
M. Arifin, Prof., M.Ed. Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2002
–
Fuad Ihsan, Drs., Dasar-Dasar
Kependidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 2004
–
UU No. 20 Tahun
2003 SISDIKNAS, Citra Umbara, Bandung, 2003
–
Zuhairini, Dra., dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2004
–
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, Mengurai
Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengaetahun : PT Remaja Rosda Karya
Jakarta: 2004.
–
Amsal Bakhtiar Filsafat Ilmu : PT Raja Grafindo
Persada Jakarta, 2004.
–
Jujun Suriamantri Filsafat Ilmu, Sebuah
Pengantar Populer : Yayasan Sinar Harapan Jakarta, 2004.
–
Achmad
Sanusi, Filsafah Ilmu, Teori Keilmuan, dan Metode Penelitian, Makalah,
Bandung: PPS-IKIP Bandung, 1998.
DALIL-DALIL NAQLI
Bahan Studi Komparasi Filsafat
Ilmu Barat dan Islam
Oleh : Ahmad Mubarok Yasin
Nimko: 2008.4.007.0102.1.00296
KEUTAMAAN AKAL
إِنَّ فِي
خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ
اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأولِي
الألْبَابِ
Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih berganti-nya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Ali Imran: 190).
وَاخْتِلافِ
اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ
السَّمَاءِ مِنْ رِزْقٍ فَأَحْيَا بِهِ
الأرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا
وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ آيَاتٌ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
dan pada pergantian malam dan
siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkan-Nya dengan
air hujan itu bumi sesudah matinya; dan pada perkisaran angin terdapat pula
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal. (al-Jatsiyaat: 5)
أَلَمْ تَرَ
أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَلَكَهُ
يَنَابِيعَ فِي الأرْضِ ثُمَّ يُخْرِجُ
بِهِ زَرْعًا مُخْتَلِفًا
أَلْوَانُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَجْعَلُهُ
حُطَامًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لأولِي الألْبَابِ
Apakah kamu tidak
memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka
diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air
itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu ia menjadi kering lalu
kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur
berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. (az-Zumar: 21)
Catatan: Tertib kehidupan
merupakan tanda bukti kekuasaan Allah Swt, yang dapat dipahami oleh orang yang
berakal.
إِنَّ فِي
ذَلِكَ لآيَاتٍ لأولِي النُّهَى
Sesungguhnya pada yang
demikian itu, terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang
berakal. (Thahaa: 54 dan 128)
وَلِيَذَّكَّرَ
أُولُو الألْبَابِ
...dan agar orang-orang yang berakal mengambil
pelajaran.
(Ibrahim: 52)
وَمَا
يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الألْبَابِ
Dan tidak dapat mengambil
pelajaran (daripadanya) kecuali orang-orang yang berakal.
إِنَّمَا
يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَابِ
Hanyalah orang-orang yang
berakal yang dapat mengambil pelajaran. (AR-Ra’d: 13)
وَإِذَا
نَادَيْتُمْ إِلَى
الصَّلاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا
وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْقِلُونَ
Dan apabila kamu menyeru
(mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah ejekan dan
permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak
mau mempergunakan akal.
Catatan: Pemikiran dan
penyelidikan yang mendalam dapat mengetahui manfaat shalat, baik bagi kesehatan
jasmani maupun rohani (mental, psikologis), sebagaimana telah dibuktikan oleh
ilmu kedokteran modern.
لَوْ كَانَ
فِيهِمَا آلِهَةٌ
إِلا اللَّهُ لَفَسَدَتَا
"Seandainya
di langit dan di bumi ada banyak tuhan selain Allah, niscaya keduanya akan
hancur." (QS. al-Anbiya': 22).
Catatan: Akal bisa mengetahui keberadaan Tuhan dengan logika. Ayat ini menggunakan
pendekatan rasional yang dalam logika Aristotelian disebut silogisme hipotesis.
ذُو مِرَّةٍ فَاسْتَوَى
Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu)
menampakkan diri dengan rupa yang asli. (ab-Njm: 6)
Catatan: Malaikat Jibril patuh dan amanah kepada Allah secara total, karena
mempunyai akal yang cerdas. Tidak patuh dan tidak amanah (khianat)
berarti goblok, tidak berakal.
الَّذِينَ
يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ
أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ
وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو
الألْبَابِ
(yaitu) yang mendengarkan
perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah
orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang
mempunyai akal.
Catatan: Maksudnya ialah mereka yang mendengarkan ajaran-ajaran Al Quran
dan ajaran-ajaran lain, tetapi yang diikutinya ialah ajaran Al Quran karena ia
adalah yang paling baik. Itu bisa diketahui oleh akal sehat.
KETERBATASAN AKAL
وَاللَّهُ
أَخْرَجَكُمْ مِنْ
بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لا
تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ
وَالأفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
"Dan
Allah yang telah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian, sementara kalian
tidak mengetahui sesuatu pun, dan (lalu) Ia meciptakan untuk kalian
pendengaran, penglihatan dan hati (akal) agar kalian bersyukur ". (QS.
al-Nahl: 78).
Catatan: Akal dan ilmu pengetahuan adalah
pemberian Allah Swt yang sewaktu-waktu bisa diambil kembali. Ketika lahir belum punya akal (dan ilmu), ketika
tua akalnya berkurang.
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا
خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ
مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ
عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ
لِنُبَيِّنَ لَكُمْ وَنُقِرُّ فِي الأرْحَامِ مَا نَشَاءُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلا ثُمَّ لِتَبْلُغُوا
أَشُدَّكُمْ وَمِنْكُمْ
مَنْ يُتَوَفَّى وَمِنْكُمْ
مَنْ يُرَدُّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلا يَعْلَمَ مِنْ
بَعْدِ عِلْمٍ شَيْئًا
Hai manusia, jika kamu dalam
keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami
telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari
segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan
yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam
rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian
Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu
sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada
pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak
mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. (al-Hajj: 22)
Catatan: Daya ingat bisa
hilang oleh penyakit pikun. Akal
terbatas.
وَمَنْ
نُعَمِّرْهُ نُنَكِّسْهُ فِي الْخَلْقِ أَفَلا
يَعْقِلُونَ
Dan barang siapa yang Kami
panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadian (nya). Maka
apakah mereka tidak memikirkan? (Yaasiin: 68)
Catatan: Maksud “kembali
kepada kejadiannya” ialah kembali menjadi lemah secara
fisik dan berkurang daya ingatnya. Berarti akal (otak) dibatasi oleh peralihan
umur.
وَلَمَّا فَصَلَتِ
الْعِيرُ قَالَ أَبُوهُمْ إِنِّي لأجِدُ رِيحَ يُوسُفَ
لَوْلا أَنْ تُفَنِّدُونِ
Tatkala kafilah itu telah keluar (dari
negeri Mesir) berkata ayah mereka: "Sesungguhnya aku mencium bau Yusuf,
sekiranya kamu tidak menuduhku lemah akal (tentu kamu membenarkan aku).
(Yusuf: 94)
Catatan: Naluri Nabi Ya’qub ternyata
benar, walaupun secara akal salah. Berarti akal bisa kalah oleh naluri
(intuisi).
قُلْ لايَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ
الْخَبِيثِ فَاتَّقُوا اللَّهَ
يَا أُولِي الألْبَابِ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Katakanlah: "Tidak sama yang buruk
dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka
bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat
keberuntungan." (al-Ma’idah: 100)
وَوَجَدَكَ ضَالا فَهَدَى
Dan Dia mendapatimu
sebagai orang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. (Ad-Dhuha:7)
Catatan: Yang dimaksud
dengan bingung di sini ialah kebingungan untuk mendapatkan kebenaran
yang tidak bisa dicapai oleh akal, lalu Allah menurunkan wahyu kepada
Rasulullah s.a.w. sebagai petunjuk menuju kebenaran. Berarti akal saja tidak
akan mampu menemukan kebenaran sejati.
وَأَنَّهُ كَانَ
يَقُولُ سَفِيهُنَا عَلَى اللَّهِ شَطَطًا
Dan bahwasanya orang yang kurang akal
daripada kami dahulu selalu mengatakan (perkataan) yang melampaui batas
terhadap Allah. (al-Jin: 4)
Catatan: Yang
dimaksud dengan perkataan yang melampaui batas, ialah mengatakan bahwa Allah
mempunyai isteri dan anak. Berarti konsep tiga tuhan (trinitas) sangat tidak
rasional. Jika kini masih diyakini oleh pemeluknya, maka itu menunjukkan
keterbatasan akal mereka.
أَعَدَّ اللَّهُ
لَهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا فَاتَّقُوا اللَّهَ يَا
أُولِي الألْبَابِ الَّذِينَ آمَنُوا
قَدْ أَنْزَلَ اللَّهُ
إِلَيْكُمْ ذِكْرًا
Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, maka bertakwalah kepada
Allah hai orang-orang yang mempunyai akal, (yaitu) orang-orang yang beriman.
Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan kepadamu. (at-Thalaq: 10)
Catatan: Percaya
kepada Allah (iman) merupakan manifestasi kemampuan menggunakan akal secara
baik. Beriman berarti
menghindari siksa. Tidak beriman berarti mau disiksa. Mau disiksa berarti tidak berakal.
قَالَ رَبُّ
الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِنْ
كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
Musa berkata: "Tuhan yang menguasai
timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya: (Itulah Tuhanmu) jika kamu
mempergunakan akal". (asy-Syu’araa’: 28)
Catatan: Ini adalah sanggahan kepada
Fir’aun yang merasa menguasai dunia. Padahal sehebat-hebatnya manusia tidak
mungkin mampu mengatur seluruh isi dunia, yang oleh ayat di atas digambarkan
sebagai ”penguasa barat dan timur”. Intinya, ayat ini menunjukkan keterbatasan akal manusia.
وَلَكُمْ فِي
الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الألْبَابِ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
Dan dalam qishas itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.
(al-Baqarah: 179)
Catatan: Qishas memelihara
kelangsungan hidup orang banyak, dengan “mengorbankan” satu orang pelaku
pembunuhan. Jika satu orang pelaku
pembunuhan dibiarkan, maka akan sering terjadi pembunuhan. Sayangnya, akal
sebagian besar masyarakat modern tidak mampu menangkap ”pesan implisit” ini.
وَتَزَوَّدُوا
فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الألْبَابِ
Berbekallah, dan sesungguhnya
sebaik-baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang
berakal. (al-Baqarah: 197)
Catatan: Bekal takwa akan dibawa ke
akhirat yang kekal. Bekal materi hanya dibutuhkan di dunia saja dan bersifat
sementara. Memilih yang kekal dengan mengenyampingkan yang sementara, adalah
perbuatan orang-orang berakal. Rasulullah SAW bersabda: Orang yang cerdas
adalah orang yang menyiapkan bekal hidup setelah mati. Sebagian orang tidak berfikir seperti ini,
karena keterbatasan akal mereka.
HATI DAN AKAL
Allah swt berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, niscaya
Ia akan memberikan kepada kalian furqon." (QS. al-Anfal: 29)
"Dan bertakwalah kepada Allah, maka
Ia akan mengajari kalian. Dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu." (QS. al-Baqarah: 282).
إِنَّ فِي
ذَلِكَ لَذِكْرَى
لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ
أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ
Sesungguhnya pada yang demikian itu (kebinasaan umat-umat
terdahulu) benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati
atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya. (al-Qaaf:
37)
وَلَقَدْ
تَرَكْنَا مِنْهَا
آيَةً بَيِّنَةً لِقَوْمٍ
يَعْقِلُونَ
Dan sesungguhnya Kami tinggalkan daripadanya (kebinasaan
kaum Sodom), suatu tanda yang nyata bagi orang-orang yang berakal.
كَذَلِكَ
نُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
Demikianlah Kami jelaskan
ayat-ayat bagi kaum yang berakal. (ar-Ruum: 28)
[1] Ibid,
The Liang Gie, hal 59-60
[2] Tim
Dosen Filsafat Ilmu (Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan,
Cet-II Liberty Yogyakarta 2002) hal 14.
[3] Kata hikmah merupakan pengertian yang berarti kebijaksanaan, pengetahuan, ketrampilan, pengalaman praktis dan inteligensi aktualitas manusia berdasarkan kemampuannya.
[4] Amsal Bakhtiar (Filsafat Ilmu Cet1,Raja
Grafindo Persada Jakarta 2004) hal 10
[5] Al-Jurjani mendefinisikan kata hikmah sebagai
ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang ada menurut kadar kemampuan manusia.
Begitu-pun juga dengan Ibn Sina yang mendefinisikan kata hikmah dengan mencari
kesempurnaan diri manusia dengan menggambarkan segala urusan dan membenarkan
segala hakikat, baik yang bersifat teori maupun praktik menurut kadar kemampuan
manusia.
[6] Munawwir (Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia
Terlengkap, Cet-4 Pustaka Progressif, Surabaya 1997) hal 299
[7] Pertama
prinsip-prinsip semua ilmu dipandang kaum muslimin terdapat dalam al-Qur’an,
dan sejauh pemahaman terhadap-nya terdapat pula penafsiran yang beraneka ragam,
hingga hal ini memungkinkan akan tidak hanya pengungkapan misteri-misteri yang
dikandungnya, melainkan juga pencarian makna secara lebih mendalam yang berguna
untuk membangun paradigma keilmuan. Ke-dua al-Qur’an dan al-Hadits menciptakan
iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu dengan menekankan kabajikan dan
keutamaan menuntut ilmu, singkatnya al-Qur’an dan al-Hadits dapat memberikan
dorongan aktivitas intelektual dalam konformitas dengan semangat Islam.
[8] Pengetahuan yang bersifat hakiki atas segala sesuatu
meliputi pengetahuan tentang Tuhan, ke-esaan, kebajikan dan pengetahuan yang
utuh terhadap segala sesuatu yang berfaedah serta pengetahuan tentang jalan
untuk mencapainya, dan jauh dari sesuatu yang merusak, dengan upaya
pencegahannya.
[9] Hal ini berangkat dari metode demonstrasi
(al-Burhan) yang digambarkan sebagai metode ilmiah yang tidak harus disamakan
dengan metode ilmiah modern lain, dikarenakan metode ini memiliki makna yang
lebih jauh dan lebih luas.
[10] Suatu
wujud dapat dikatakan dengan mungkin atau bergantung yang konotasinya mengarah
kepada yang ‘ada’ (atau menagada), maka ia harus didasarkan atas atau
bergantung pada sesuatu yang lain, dan sesuatu yang lain itu pada gilirannya
bias jadi ‘wujud niscaya’ dan ‘wujud mungkin’ lainnya.
[11]
Pengetahuan tentang yang ‘ada’ (mengetahui) adalah sebuah peristiwa di dalam
keseluruhan peristiwa. Setiap pernyataan epistemologis secara implicit adalah
pernyataan ontologis. Oleh karena itu lebiah baik memulai analisis mengenai
eksistensi dengan mempertanyakan sesuatu yang ada ketimbang dengan persoalan
pengetahuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar